Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
124Please respect copyright.PENANAPKwhg6dEGh
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
124Please respect copyright.PENANAWDuhZiK7cn
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
124Please respect copyright.PENANA7tDWvBhzuA
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
124Please respect copyright.PENANA7TJB36L60L
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
124Please respect copyright.PENANAvfqvNzSk1N
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
124Please respect copyright.PENANAZ3hGBboXn3
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
124Please respect copyright.PENANAVAHw5CDF8c
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
124Please respect copyright.PENANAcL06Jqtw2W
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
124Please respect copyright.PENANAgwSvJQkueL
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
124Please respect copyright.PENANALbmdgXcc7J
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
124Please respect copyright.PENANApICDU4AtKo
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
124Please respect copyright.PENANAFrM9v8sD4Q
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
124Please respect copyright.PENANAqtpnksYibp
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
124Please respect copyright.PENANAQoaMH7V0ZT
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
124Please respect copyright.PENANA2pkrljGmDV
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
124Please respect copyright.PENANAb3ZJdsWsxE
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
124Please respect copyright.PENANAS3xv2cDiYy
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
124Please respect copyright.PENANAsni7jDE3fy
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
124Please respect copyright.PENANAmTp6ZbkEUD
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
124Please respect copyright.PENANA4O8ViAvRHH
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
124Please respect copyright.PENANAQ85eT4U4Nz
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
124Please respect copyright.PENANAloiGbXpYI0
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
124Please respect copyright.PENANAzKIUbG6ybC
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
124Please respect copyright.PENANAncFapgS6cC
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
124Please respect copyright.PENANAtA7LSv3ZlY
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
124Please respect copyright.PENANAoZIDfLec7K
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
124Please respect copyright.PENANAoT9kfwKXrX
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
124Please respect copyright.PENANAFyj4plU3wx
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
124Please respect copyright.PENANAARVVllb11d
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
124Please respect copyright.PENANAzdQaEK4jRl
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
124Please respect copyright.PENANADxdZFxGcEL
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
124Please respect copyright.PENANAOvpT7ofd75
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
124Please respect copyright.PENANAvMsD1GMR1w
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
124Please respect copyright.PENANAZCykABHqWR
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
124Please respect copyright.PENANAGI3yl5Bsjy
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
124Please respect copyright.PENANArpVMz8A2id
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
124Please respect copyright.PENANA4mjxSnY6Cr
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
124Please respect copyright.PENANA3pc3CoPEEi
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
124Please respect copyright.PENANA7ishTtyAmu
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
124Please respect copyright.PENANANf5DTht2Qz
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
124Please respect copyright.PENANALRfMtw99aL
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
124Please respect copyright.PENANABDtBPZLAYJ
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
124Please respect copyright.PENANAk7iKhm5pJv
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
124Please respect copyright.PENANAaH6elZnVb7
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
124Please respect copyright.PENANAN58XBY74jn
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
124Please respect copyright.PENANA2q2tksVdpv
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
124Please respect copyright.PENANA8TIgmbhPaK
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
124Please respect copyright.PENANAbjBI58LVTy
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
124Please respect copyright.PENANADDpGg4Up1V
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
124Please respect copyright.PENANAAWWhTrMAeK
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
124Please respect copyright.PENANA9duz3uzIBs
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
124Please respect copyright.PENANAgw7hHiiNvj
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
124Please respect copyright.PENANAlXy7SsedEc
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
124Please respect copyright.PENANA6wpnwgoJji
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
124Please respect copyright.PENANALIwyCd6kEu
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
124Please respect copyright.PENANAdLryblhd1m
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
124Please respect copyright.PENANA8D56Gxjfvm
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
124Please respect copyright.PENANAXOZ75nryhW
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
124Please respect copyright.PENANAqIy9vDNIol
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
124Please respect copyright.PENANAbSJ2pMj4db
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
124Please respect copyright.PENANARLiFJBV4iF
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
124Please respect copyright.PENANAZ2lcvz8yu7
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
124Please respect copyright.PENANAsI3IVD7oYO
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
124Please respect copyright.PENANAiKMwEYxsug
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
124Please respect copyright.PENANAqPz3ZgfKAA
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
124Please respect copyright.PENANAwM9phbSF1C
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
124Please respect copyright.PENANA44A4wGlrh3
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
124Please respect copyright.PENANAYn6XNcnpqH
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
124Please respect copyright.PENANAHqprN7iFgh
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
124Please respect copyright.PENANA9CROrXzjRp
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
124Please respect copyright.PENANAcgvSEKNrxH
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
124Please respect copyright.PENANAth7Tp4vSOc
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
124Please respect copyright.PENANACiyZLNlTfV
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
124Please respect copyright.PENANAd4ME7zZbW3
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
124Please respect copyright.PENANA7PcbsMRyrL
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
124Please respect copyright.PENANAPfeFHhf928
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
124Please respect copyright.PENANAZZvIumIeHz
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
124Please respect copyright.PENANAGc1eS0UNQc
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
124Please respect copyright.PENANABzRWPHSz9G
Itulah awal mula keakraban mereka.
124Please respect copyright.PENANAbjWZ6m6KCM
124Please respect copyright.PENANA15HT81Q2YP
***
124Please respect copyright.PENANADcY5wtnmHp
124Please respect copyright.PENANANBfunW5yKk
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
124Please respect copyright.PENANAWyfmioziTm
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
124Please respect copyright.PENANAuChwKrMkak
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
124Please respect copyright.PENANAknP5FnUDsE
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
124Please respect copyright.PENANAi27F7xR0gc
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
124Please respect copyright.PENANAoEBJKLAyAg
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
124Please respect copyright.PENANAoauGhwXjGL
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
124Please respect copyright.PENANA5wZKmNOTFD
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
124Please respect copyright.PENANAzL2bWxfSHf
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
124Please respect copyright.PENANARPsQj4C76n
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
124Please respect copyright.PENANAHISa51S651
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
124Please respect copyright.PENANAyyOcHHJmkz
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
124Please respect copyright.PENANAEhTFWwQ5cq
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
124Please respect copyright.PENANADmQokyssGV
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
124Please respect copyright.PENANAfUhKxFoujr
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
124Please respect copyright.PENANAWqp14oIgXu