x
Sky sebenarnya seseorang yang idealis. Dia selalu berpikir lama untuk memutuskan satu hal. Perspektif-nya meyakini jika keputusan yang diambil dengan terburu-buru hanya akan menghasilkan penyesalan. Namun sikap itu tak membuatnya jadi seorang yang sempurna. Justru ia menjadi lebih lambat dari teman yang lain. Butuh waktu setidaknya satu bulan, hanya untuk memutuskan dia meng'iya'kan ajakan Chloe untuk masuk di klub malam hari ini. Pertimbangan Sky sudah seperti menghitung rumus kimia. Itulah yang membuat seluruh temannya menjadi tak betah. Tentu kecuali,Chloe. Meskipun terkadang gadis bermata empat itu lelah serta jenuh akan sifat Sky. Tapi berkat mengikuti gaya hidup Chloe, kini sifat idealis Sky sedikit menyingkir. Yah, meskipun sifat kolot layaknya orang tua masih sering muncul di kesehariannya. Namun, justru hal itu yang menyelamatkan Sky dari sex bebas yang tengah menyelusup di kehidupan anak muda jaman sekarang. Sky tak pernah mempertimbangkan atau repot-repot berpikir untuk urusan tersebut.menjadi keputusan terbodoh jika ia harus melakukan hal itu.
"Sky!!!" teriakan serta loncatan dari seorang laki-laki yang membuat ranjang Sky menggelayut, cukup membuatnya berjengit kaget. Nafasnya tersengal serta membelalakkan mata. Jantungnya serasa copot. Namun itu justru membuat laki-laki itu tertawa terpingkal. Berguling di atas selimut merah muda Sky. Sementara Sky masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Bahkan membiarkan rambutnya acak-acakan. Sebagian menutupi wajahnya.
"Bobby!! Bisakah kau, sekali saja, bersikap normal?!"
Sky geram pada laki-laki berambut pirang mohawk yang telah mengejutkannya beberapa menit yang lalu. Bantal pun mendarat berkali-kali pada tubuh laki-laki yang memiliki bibir mungil tersebut. Alih-alih menyesali perbuatannya, justru Bobby semakin terpingkal karena ulahnya sendiri.
"Sky.. Aku normal. Jika aku gila, aku mungkin akan berhadapan dengan Judson, kan?" katanya, menahan tawa.
Bobby mengusap satu titik air mata yang keluar di sudut mata, lalu berdiri. Memasukkan kedua tangan pada saku celana jeansnya.
"Jayden, sedang menunggumu di ruang makan. Dia ingin kau sebagai sarapannya," goda Bobby dengan bergaya seolah akan menerkam.
"Ayolah, Bobby. Apa kau akan menghabiskan dua puluh enam tahun hidupmu hanya untuk bersikap konyol?"
"Untuk yang satu ini aku tidak bercanda, sweety. Mood-nya sedang tidak baik. Aku dengar, semalam kau melawannya?"
"Emm, itu.."
"Bersiaplah.. Mungkin dia akan menelanmu hidup-hidup."
Lelucon yang menurut Sky sangat tidak lucu. Bahkan membuatnya tergelak ngeri. Setelah Bobby keluar dan menutup pintu, ia bergegas ke kamar mandi. Selepas itu, ia mengenakan kaos abu-abu serta jeans joogerpants, dam meraih ransel hitamnya yang terselempang di gantungan baju dekat almari. Berlari kecil menuruni tangga setelahnya. Aroma khas masakan yang telah tersaji, membuat hidung Sky berkerut teratur. Mengirim sinyal pada organ di dalam perut sehingga menimbulkan borbogimi atau biasa disebut dengan bunyi bergemuruh. Layaknya sebuah gunung aktif yang siap meledak. Sky meletakkan ransel di sebelah kursi yang ia duduki saat ini. Ia mengambil sepotong roti tawar seraya melirik kearah Jayden yang tengah makan dengan wajah arogannya. Sementara Bobby makan sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya. Persis seperti anak kecil yang… Bodoh, tentu, pikir Sky. Judson duduk tepat di samping Sky, begitu ia tiba di ruang makan. Sama halnya dengan Sky, ia mengambil sepotong roti, melipatnya menjadi dua bagian lalu mengunyahnya begitu saja.
"Menikmati berdua semalaman di kamar?" kata Jayden, selepas meneguk jus jeruk.
"Siapa yang kau bicarakan?" Bobby bertanya.
"Tentu saja mereka berdua," Jayden menyentakkan kepala kearah Judson serta Sky. Cukup membuat Sky juga Bobby tersedak. Berbeda dengan Judson yang masih tetap dengan gaya santainya.
"Apa?? It's really, man?" Chann yang baru saja tiba di ruang makan, segera berkata lantang dengan menepuk bahu Judson. "Kau tidur dengan gadis pasar ini?!"
Sifat Chann sama persis Dengan Jayden. Gemar menindas dan menghina. Namun ia tak sekejam kakak pertamanya itu. Lebih tepatnya ia picik serta tak memiliki pendirian. Karena dia hanya suka menirukan sifat seseorang.
"Aku tidak akan mengelak. Juga tidak membenarkan," kata Judson.
"K-kita saudara! Bagaimana mungkin aku tidur dengan Judson?" Penjelasan Sky yang diselingi tawa kikuk, membuatnya tampak bodoh.
"Saudara? Denganmu? Aku rasa, aku tidak menyetujui hal itu. Ibu kita berbeda, nona!" kata Chann seraya mengusap kacamata dan mengenakannya kembali.
"Sebagai kakak kedua, kau sungguh tidak pantas berbicara seperti itu, Chann."
"Sekarang kau membela Sky? Kau suka padanya?"
Sky yang mendengar perdebatan tentang dirinya hanya mampu melebarkan mata sembari memperhatikan satu persatu para kakaknya yang masing-masing memiliki wajah tampan.
"Tentu, aku menyayanginya. Seorang kakak harus selalu melindungi dan menyayangi adiknya, bukan begitu, Jayden?" Dengusan singkat terdengar dari Jayden.
"Lalu.. Kau ingin menentangku?"
Jayden terpancing emosi. Dentingan pisau roti yang bersentuhan dengan piring ketika Jayden menaruhnya sedikit keras, membuat Alice, kekasihnya yang duduk disampingnya berjengit kaget. Begitu pula yang lain.
"Jika aku melawanmu.. Apa aku akan memenangkan permainan ini?"
Gejolak amarah Jayden semakin mencapai puncak. Ia mengepalkan tangan. Giginya bergemeretak. Tatapan tenang dari Judson dan mata geram dari Jayden saling bertemu. Sky yang merasakan suasana semakin mencekam, mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Judson!" teriak Sky. "A-aku sudah terlambat pergi ke kampus. Klinikmu satu arah dengan kampusku, bukan?"
Judson yang seketika menengok kearah Sky, hanya mengangguk dan berdiri.
"Kau tidak akan pergi kemana-mana, Sky!" Jayden berkata lantang.
"Apa? Kenapa?"
"Kau dihukum! Karena semalam kau sudah pulang larut!"
"Oh, ayolah, Jayden! Aku bukan lagi remaja. Apalagi anak kecil. Umurku sudah dua puluh satu tahun!"
"Itu benar, Jayden. Sky bukan anak kecil lagi. Dia-"
Picingan tajam yang mengarah tepat kearah Bobby, membuat nyalinya menciut. "Tapi, Sky! Rules is rules," lanjutnya. Lalu berlari pergi.
"Jayden, aku ada ujian hari ini-"
"Sky Smith! Pergi ke kamarmu sekarang! Siapapun yang membantu Sky keluar dari rumah! Aku tidak ada segan untuk mematahkan tulang ekornya! Kalian mengerti?
"Tentu, bukan aku," sahut Chann lirih seraya menggigit roti.
803Please respect copyright.PENANA8wXhlbq24u
Tak ada pilihan lain. Mengelak pun percuma. Apalagi membela diri, akan seperti berjalan melawan hembusan angin yang kencang. Sky pun kembali ke kamarnya. Melemparkan ransel kearah samping dan merebahkan diri keatas ranjang. Mendesah cukup panjang seraya membentangkan kedua tangannya. Diam untuk sepersekian detik sembari memutar dua bola matanya. Dan mengambil ponsel di dalam kantong celana. Menghubungi Chloe. Setelah tidak ada jawaban dari seberang, Sky menghempaskan tangannya ke samping dengan tetap menggenggam ponsel. Tentu saja ia merasa bingung dan bosan. Karena biasanya ia memiliki segudang aktifitas. Namun hari ini, ia justru harus berdiam di dalam kamar. Dan baru beberapa menit diatas ranjang, ia kembali berdiri. Berjalan menuju laci meja yang ada di seberang ranjang, mengambil sebuah buku kemudian kembali duduk pada ranjangnya dan membaca. Selepas membaca, ia mencoba menghubungi Chloe kembali. Namun Chloe tetap tak ada jawaban. Ia pun mengambil sebuah kotak kecil yang berisi tumpukan kartu dari dalam almari. Sky sengaja menyembunyikan benda itu, bisa kacau jadinya jika Jayden mengetahui Sky memiliki benda itu. Sebagai laki-laki dua puluh tujuh tahun, Jayden sangat mengikuti trend setiap tahunnya. Dia pandai bergaul. Ramah dengan temannya. Namun entah kenapa sifatnya berubah menjadi kolot ketika harus berhadapan dengan Sky. Apalagi jika di perusahaan. Sebagai Direktur, ia sangat tegas juga keras. Namun terkadang, ia menyalahgunakan jabatan tersebut. Ringan tangan dan malaikat maut. Ya, itu julukan yang tepat Untuknya.
"Babe.. bisakah kau hari tidak pergi ke kantor?" Alice meminta seraya memainkan rambutnya yang ikal, duduk diatas ranjang.
"Tidak. Mr. Dean datang hari ini. Jadi aku harus mengadakan meeting dengannya," kata Jayden dengan tetap memasukkan kancing pada lubangnya satu persatu.
Alice pun menghampiri. Kedua tangannya meraba pinggang Jayden yang telah terselimuti kemeja putih, sehingga warna yang merah terlihat semakin menyala.
"Tapi.. Aku masih sangat merindukanmu."
Kini tangan Alice telah melingkar di pinggang Jayden. Menyentuh perutnya yang berotot. Sedangkan Jayden acuh tak acuh, tetap menatap dirinya pada kaca yang memiliki tinggi hampir sama dengannya. Merapikan kemeja, setelah memasukkan kancing pada lubang terakhir.
"Aku tidak akan lama. Lakukan apa yang kau inginkan disini."
Jayden mengecup singkat bibir merah Alice, ketika berhadapan dengannya. Lalu berjalan begitu saja. Dan Alice hanya mampu mendesah pasrah. Setelah mengenakan jas abu-abu serta menenteng tas kerja, ia berjalan keluar dari kamar. Sejenak berhenti, menengok pada kamar Sky yang berada di lantai dua. Entah apa yang ada di benaknya, tapi cukup membuatnya mendesah sedikit panjang.
"Ingat, Sky!" teriaknya. "Kau dilarang untuk keluar dari kamar, hingga aku datang! Kau mengerti?"
Sky yang tengah bermain kartu, memutar dua bola matanya dengan cepat serta kesal. Mood yang sebelumnya mulai membaik, kini kembali kritis. Dilemparnya kartu yang berada di genggaman. Mengacak-acak sisanya yang tertata diatas ranjang. Menelungkupkan tubuhnya, sementara kakinya menendang udara secara berulang. Berteriak dalam diamnya. Segala upaya telah dilakukan Sky untuk mengusir rasa jenuhnya. Beberapa kali pula ia mencoba menghubungi Chloe, hingga ia merasa jengkel dan melempar ponselnya begitu saja. Dan kembali menelungkupkan tubuhnya, sampai cahaya matahari tak lagi menyelusup pada tirai putih tipisnya. Kamarnya perlahan menjadi gelap. Dengan langkah gontai, ia menyalakan lampu yang tombolnya berada tepat di samping pintu, di saat yang sama ponselnya berdering. Dengan segera ia mencari ponsel yang ia lempar entah kemana. Melongokkan kepala ke bawah ranjang. Menyingkap selimut dan terdengar suara khas dari benda yang terjatuh di lantai. Dan bingo! Ponsel miliknya lah yang terlempar kemudian terjatuh di lantai. Tetap berdering.
"Oh, shit! Aku benci hari ini!"
Perasaan kesalnya semakin bertambah. Meraih ponsel dan segera menjawab panggilan tanpa melihat layarnya.
"Siapapun kau! Dengar, kau hanya menambah keburukan dalam hariku!"
"Wow, tenang, nona. Hanya Karena tak menjawab teleponmu sebelumnya, kau marah padaku? Lalu menghapus nomorku?" kata Chloe. "Kejam."
Sky mengernyitkan dahi lalu menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat nama Chloe tertera di layar.
"Ah.. Kau bangkit dari kematian?"
"Baik.. Aku anggap itu lelucon. Sekarang buka jendelamu."
"Jendelaku? Untuk apa?"
"Jangan banyak bertanya! Cepat!"
Sky berjalan dengan penuh pertanyaan. Menggeser kunci lalu mendorongnya keatas.
"Lalu?"
"Lihat ke bawah."
Sky menjulurkan kepala keluar jendela dan melihat kebawah. Terlihat Chloe melambaikan tangan. Dan Judson berada di sampingnya, dengan kedua tangan ia sembunyikan pada saku depan celana.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Sky tanpa suara.
Chloe menggoyangkan ponselnya. Dan membuat Sky ingat jika masih tersambung dengan gadis yang tengah mengenakan singlet hijau muda itu.
"Bagaimana kau bisa disini?"
"Nanti saja aku bercerita. Sekarang, kau cepat turun menggunakan tangga itu."
"Tapi, Jayden akan segera pulang."
"Oh, ayolah. It's your life, Sky! Kesempatan seperti ini takkan datang untuk kedua kalinya."
Sky pun berpikir, ada benarnya perkataan gadis yang telah menjadi sahabatnya semenjak SMA itu. Ia lalu bergegas meraih tas selempang yang warnanya selaras dengan kaos yang ia kenakan. Sementara Judson memegang ujung tangga, Sky perlahan memijakkan kaki pada tangga besi tersebut. Sesekali menoleh ke bawah.
"Bagaimana bisa kau bersama dengan,Judson?" pertanyaan itu segera meluncur, begitu kedua kakinya memijak di rumput.
"Ah, Sky.. Kau terlalu banyak pertanyaan. Yang pasti, ini semua adalah ide Judson. Dia hanya tak ingin adik cantiknya, menghabiskan masa remajanya hanya membaca buku di dalam kamar. Ataupun bermain kartu."
"Judson, bagaimana bisa kau mengetahui jika aku sering bermain kartu?" kata Sky, berganti menoleh pada Judson.
"Tebakan yang tepat, mungkin," jawab Judson seraya menggidikkan bahu.
"Mobilku terparkir agak jauh dari rumahmu. Jadi, ayo kita cepat pergi. Sebelum malaikat mautmu datang."
Sejenak Sky menjadi bimbang. Menatap Judson yang mungkin akan bernasib buruk, jika Sky pergi.
"Jangan khawatirkan aku. Dia takkan berani Memukulku," Judson meyakinkan. "Percaya padaku dan cepat pergi. Jika tidak.. Semua rencanaku akan j-sia."
"Judson.. Maafkan aku. Jaga dirimu."
Sky menatap murung kakaknya lalu berlari mengikuti Chloe. Kemudian Judson pun memutar badan, disaat yang sama Sky berteriak memanggilnya. Ia kembali memutar badannya dan segera Sky mendarat di pelukannya.
"Aku menyayangimu, Judson."
Cukup membuat Judson tersenyum kecil. Karena itu adalah kali pertamanya, ia mendapat pelukan hangat dari adik perempuan semata wayangnya. Berbeda dengan Sky yang Merasakan ketidaktenangan, saat meninggalkan Judson begitu saja. Ia terus memikirkan pria cantik itu, meski tengah konsentrasi mengemudi. Desahan pun terus terdengar darinya. Apa dia akan baik-baik saja? Kata-kata itu terus menggema di pikirannya.
"Aku kira, seorang psikiater tampan hanya ada di sebuah film," kata Chloe, yang sejak tadi memandangi kartu nama di tangannya.
"Siapa yang kau bicarakan?"
"Tentu saja kakakmu, Judson."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia memberiku kartu nama," kata Chloe seraya mengipaskan kartu nama tersebut tepat di wajah Sky. "Kau tahu? Seluruh perempuan di kampus menatapnya dengan kagum! Aku merasa tersanjung saat dia menghampiriku dan mengetahui namaku! Oh, Sky.. Aku beruntung menjadi sahabatmu!"
"Tsk. Bahkan ketika aku memberimu ponsel di hari ulang tahunmu saja, kau tak pernah mengatakan hal seperti itu."
"Bertemu dengan Judson, menurutku adalah suatu anugerah, Sky! Selama bertahun-tahun aku menjadi temanmu, yang aku tahu hanya wajah Jayden, malaikat mautmu. Itupun karena dia menyeretmu dari rumahku, ketika itu."
Mengingat hal itu, wajah Chloe berubah masam. Namun itu tak berlangsung lama, ketika dia kembali menatap kartu nama milik Judson.
"Aku sangat yakin! Dari kelima kakakmu, Judson tertampan!"
"Nope. Kau salah, nona. Darel yang paling tampan menurutku. Tidak, memang dia tampan dan aku menyayanginya." kata Sky. "Sejak kecil," lanjutnya. "Darel selalu menemaniku. Dia menyayangiku meski kami terlahir dari ibu yang berbeda. Dia tak pernah lelah dengan sifatku yang manja. Bahkan, saking aku menyukainya, waktu kecil aku pernah berharap akan menikah dengannya suatu saat."
Tawa kecil terus terdengar dari Sky sepanjang dia bercerita tentang Darel. Dan sepanjang perjalanan pula ia tak berhenti menceritakan kakak kelimanya itu. Hingga di depan pintu masuk klub malam pun, tak membuat ia berhenti bercerita.
"Sky, please. Di rumah, aku sudah muak mendengar ibuku bercerita tentang telenovela yang ia tonton dan aku menghindarinya selama satu minggu. Jadi.. Bisakah kau berhenti menceritakan tentang Darel?"
Perkataan Chloe tak pelak membuat Sky menjadi kikuk. Dia memutar dua bola mata seraya mengerucutkan bibirnya.
"B-baik.. Itu tak masalah."
Desahan lega terdengar dari Chloe, setelah itu. Mereka berdua kembali berjalan, setelah melalui perdebatan kecil tersebut. Menuju ke satu meja kecil, dimana dua orang temannya telah menunggu. Gemerlap lampu klub, membuat Sky sedikit pusing. Ditambah bau alkohol yang telah tersaji di depannya. Tiga orang temannya, termasuk Chloe sangat mudah untuk meneguk minuman keras itu. Sementara Sky, mengerutkan dahi dan nampak jijik melihat alkohol. Baginya, itu sama saja dengan minum antibiotik. Pahit, tentu saja. Dentuman nada keras musik ciri khas klub, semakin membuat Chloe tak dapat menahan tubuhnya untuk bergerak mengikuti irama. Tak menghiraukan wajahnya yang telah berubah semu. Tapi, Chloe tidak mudah untuk kehilangan kesadaran seperti dua orang temennya yang kini telah membaur dengan pengunjung yang lain. Berdansa dan melompat layaknya orang hilang akal. Sedangkan Sky hanya menggerakkan kepala keatas serta bawah. Meneguk jus jeruk yang sudah di pesannya beberapa menit yang lalu. Mengambil ponsel di dalam tasnya, setelah itu.
"Berhenti melihat ponsel. Kau harus menikmati malam ini, Sky," kata Chloe dengan berteriak.
"Aku ingin mengirim pesan pada Judson. Aku khawatir dengannya," Sky ikut berteriak. Dan kembali menatap layar ponsel.
"Kau baik-baik saja, Judson? Apa.. Jayden sudah kembali? Dia memukulmu? Oh, sungguh seharusnya aku tidak berangkat tadi. Aku merasa sangat bersalah padamu. Aku sedang berada di Heaven klub sekarang. Tunggu aku pulang."
Mendengar nama idolanya disebut, Chloe segera mengembangkan senyum. Berharap akan mengetahui nomor Judson. Karena yang tercantum pada kartu nama hanyalah alamat klinik serta nomor telepon kantornya. Tapi, senyum itu perlahan menghilang seraya bersandar pada bahu kursi.
"Jus jeruk membuatmu mabuk, Sky?"
"Apa yang kau katakan? mana mungkin aku mabuk karena jus jeruk." tawa ejekan pun terlontar darinya.
"Bukankah kau mengatakan akan mengirim pesan pada Judson?"
"Yes. So, what?"
Chloe memutar dua bola matanya dengan cepat. "Kau sangat merindukan Darel?"
Sky mengernyitkan dahi. Tak mengerti apa yang dikatakan oleh Chloe. "Aku rasa, kau mabuk Chloe. Lebih baik kita pulang."
"Aku tidak mabuk, Sky. Tapi kau!"
"Aku sungguh tak mengerti, apa yang ingin kau sampaikan?"
"Kau mengirim pesan pada Darel, bodoh!"
Seketika Sky melebarkan mata. Keringat dingin muncul begitu saja diatas pori-pori Kulitnya. Ia pun mengambil kembali ponsel yang ia letakkan diatas meja, sebelumnya. Segera ia terkesiap, membungkam mulut dengan telapaknya.
"Oh, shit! Aku akan benar-benar mati hari ini!"
"Kenapa? Apa Darel lebih menakutkan dari malaikat mautmu?"
"Tidak lebih. Tapi sangat!"
Kepanikan tengah menyelimuti Sky, dan semakin bertambah ketika Darel menghubunginya. Matanya semakin melebar.
"Oh God.. I'm gonna die!"
Sky layaknya orang kebakaran jenggot. Menggigit kuku jari. Menggaruk kepalanya yang sedang tidak gatal. Dengan tetap menatap layar ponsel. Berharap tiba-tiba Ponselnya mati dan rusak. Tapi, jika ia tak segera mengangkat telepon dari Darel. Maka ponselnya akan terus berbunyi sepanjang malam. Tanpa berpikir terlalu lama lagi, Sky melompat dari kursi, lalu pergi ke kamar mandi dan masuk ke salah satu biliknya. Duduk diatas kloset. Mengambil nafas panjang untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"D-darel! Bagaimana kabarmu? Kau tahu, aku sangat merindukanmu."
"Dimana kau?" nada dingin dari Darel sudah cukup meyakinkan Sky, jika kakak terakhirnya tersebut telah membaca pesannya.
"Aku? Tentu saja, dirumah. Ini hampir tengah malam. Tak mungkin aku berada di luar. Haha."
Sky mencoba untuk menepiskan kegugupannya. Namun justru terdengar mencurigakan.
"Ah, rumah? Baik. Temui aku di depan rumah. Sepuluh menit lagi!"
"Apa? D-darel! Tunggu!"
Belum selesai Sky berbicara, Darel telah memutus telepon. Gadis berhidung mungil serta mancung tersebut semakin dibuat bingung oleh kakaknya.
"Bagaimana bisa dalam sepuluh menit aku tiba dirumah?" gerutunya. "Ini gila!!" teriaknya.
Sky pun bergegas keluar dari kamar mandi dan berlari kembali ke meja yang ia tempati sebelumnya.
"Chloe kita harus pulang sekarang?"
"Apa? Kenapa? Judson dalam masalah?"
"Tidak. Justru aku yang dalam musibah, jika tak berada di rumah dalam sepuluh menit!"
"What? Kau gila, Sky! Rumahmu jauh dari tempat ini. Tiga puluh menit pun kita takkan sampai!'
"Aku tahu! Maka dari itu, cepat kita pulang. Jika tidak, aku-"
"Apa kabar, Sky?" sapaan seorang laki-laki bertubuh tinggi, yang berada di belakang Chloe, membuat kata-kata Sky tersekat di tenggorokan.
"M-matt? K-kau disini?"
Laki-laki yang dipanggil Matt oleh Sky hanya mengangguk seraya tersenyum simpul. Alih-alih bahagia karena bertemu dengan teman lama, justru bertemu dengan Matt, membuat sekujur tubuh Dky semakin gemetar. Karena dimana ada Matt, sudah dipastikan ada..
"Darel.. Di.. Sini?"
"Jika kau yang kau maksud dengan Darel adalah laki-laki manis berambut ikal pendek coklat," kata Chloe. "Dia berada tepat di belakangmu," Tunjuknya.
Seperti disambar petir di siang bolong, jantung Sky berpacu dengan cepat. Tubuhnya seolah membeku dan tak mampu berkata apapun.
"Ini.. Rumahmu, Catty?"
Catty adalah nama kecil Sky. Dan satu-satunya orang yang memanggil dia seperti itu adalah..
"Darel? Hai?"
ns 15.158.61.48da2