Salah satu tempat favorit di rumah bagi Shafira adalah kolam renang. Shafira selalu merasa nyaman di kolam renang pribadinya. Di sana, dia bisa melupakan segala tekanan dan tuntutan yang datang dari kehidupan sehari-harinya. Air yang dingin dan segar selalu menjadi pelarian yang menenangkan setelah hari-hari yang melelahkan. Tidak ada yang mengganggunya di sini; area kolam renang ini adalah tempat pribadinya, di mana para pekerja tidak diizinkan masuk sembarangan kecuali untuk membersihkan dan mengganti air kolam. Atau jika dibutuhkan bantuan dari ART wanita mereka bisa diizinkan masuk ke area kolam.
Hari itu, seperti biasa, Shafira mengenakan bikini two-piece-nya yang minim dan menonjolkan lekuk liku tubuh indahnya yang mulai terbentuk di usia dia yang masuk 19 tahun. Shafira melompat ke dalam air dengan penuh semangat. Gelombang kecil tercipta saat tubuhnya menyentuh permukaan air, menciptakan riak yang tenang di sekelilingnya. Shafira merasa bebas, tanpa beban, tanpa harus berpikir tentang penampilan atau pandangan orang lain. Di sini, dia hanya menjadi dirinya sendiri, menikmati setiap detik ketenangan yang jarang dia dapatkan di tempat lain.
Namun, ada sesuatu yang Shafira tidak pernah tahu. Di balik dinding yang mengelilingi area kolam renang itu, ada dua pasang mata yang diam-diam memperhatikannya. Mengintip dia dengan tatapan birahi penuh hasrat birahi.
Alex dan Noel, pekerja rumahnya yang seharusnya menjaga keamanan dan kenyamanan di rumah itu, ternyata menyimpan niat yang jauh dari tugas mereka. Mereka sering kali berdiri di balik celah kecil di dinding, mengintip Shafira yang sedang berenang dengan penuh gairah. Bagi mereka, momen ini adalah kesempatan yang tak ternilai, meskipun tindakan itu jelas-jelas melanggar privasi majikannya.
"Hati-hati, jangan sampai ketahuan," bisik Alex pada Noel saat mereka mengintip melalui celah kecil di dinding.
Noel mengangguk, matanya tidak lepas dari sosok Shafira yang sedang berenang. "Tenang aja, nggak mungkin dia sadar. Lagian, siapa yang bakal curiga?"
Mereka terus mengamati, menikmati setiap gerakan Shafira di air. Sementara itu, Shafira sama sekali tidak menyadari bahwa setiap langkah dan gerakannya di kolam renang sedang diperhatikan dengan penuh perhatian dari balik dinding itu.
Setelah puas berenang, Shafira naik ke tepi kolam dan berbaring di kursi panjang untuk berjemur, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia menutup mata, merasa benar-benar damai di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi damai yang dirasakannya itu hanyalah sebuah ilusi, karena di balik kedamaian itu, ada mata-mata yang terus mengintip, mengawasi dengan niat yang tidak pernah ia duga.
Saat Shafira akhirnya memutuskan untuk selesai dan kembali ke dalam rumah, Alex dan Noel perlahan pergi dari tempat persembunyian mereka, membawa serta rahasia gelap yang hanya mereka ketahui.
“Aku jadi pengen coli liat body Shafira!” ucap Noel.
“Kalau aku bukan pengen coli bro, tapi pengen ngentotin dia!”Sahut Alex.
“Gila lo, emang berani?”
“Kalau ada kesempatan gua berani entotin memek perawan Shafira!”
Keduanya benar-benar sudah terobsesi dengan tubuh indah Shafira yang sering mereka intip. Sementara Shafira kembali ke dalam rumah, tidak menyadari bahwa di tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari rasa suntuk dan ruang pribadinya, ada ancaman yang tersembunyi di balik tembok. Dan meskipun ia merasa aman, kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di tengah kemewahan dan keangkuhan, ada sisi gelap yang mulai mengintai, menunggu momen yang tepat untuk muncul ke permukaan.
***
Hari-hari berlalu, dan obsesi Alex dan Noel terhadap Shafira semakin tumbuh, meski mereka berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan itu. Sebagai pekerja di rumah keluarga Othman, mereka tahu betul bahwa batasan-batasan harus dijaga, namun ada sesuatu dalam diri Shafira yang membuat mereka sulit untuk berpaling.
Setiap kali Shafira masuk ke kolam renang, mengenakan bikini model two-piece-nya yang sangat sexy, mereka diam-diam memiliki hasrat terhadap kecantikan dan kemolekan Shafira. Sesuatu yang seolah tak terjangkau. Tubuh Shafira yang langsing dan proporsional selalu tampak begitu anggun saat dia berenang. Begitu mengairahkan dan menatang birahi yang melihatnya.
Air yang mengalir di sekitar tubuhnya menciptakan pemandangan yang memukau bagi siapa pun yang bisa menyaksikan keindahan itu. Namun, meski Alex dan Noel menyadari bahwa apa yang mereka lakukan salah, tapi mereka tetap ketagihan untuk terus menikmati pemandangan indah itu untuk diintip.
Setiap kali Shafira berenang, mereka selalu pergi ke tempat di mana mereka merasa leluasa mengintip ke dalam area kolam. Mereka memilih tempat yang tersembunyi, memastikan bahwa mereka tidak akan ketahuan oleh siapa pun, terutama oleh Shafira. Bagi mereka, ini adalah sebuah rahasia yang harus dijaga ketat, sesuatu yang mereka simpan rapat-rapat di dalam hati.
"Aku udah gak tahan, Noel," kata Alex suatu hari saat mereka mengintip Shafira dari balik celah kecil di dinding. "Rasanya pengen banget ngerasain memek Shafira."
Noel mengangguk, walaupun di dalam hatinya dia yakin itu sesuatu hal yang mustahil.
"Iya, aku tahu. Tapi... susah, Lex. Susah banget."
Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa mereka hanya bisa onani sambil membayangkan tubuh Shafira. Seperti yang dilakukan Noel dia langsung melakukannya sambil mengintip. Tak peduli apa yang dia lakukan dilihat oleh Alex.
“Gila lo!” Ujar Alex.
“Udah daripada ngayalin mending coli sambil liat langsung body aduhai!” Ucap Noel sambil terus ngocok.
Alex akhrinya ikutan onani karena sudah tidak bisa menahan hasrat. Keduanya mengocok kontol mereka sambil memelototi tubuh setengan telanjang Shafira.
Di sisi lain, Shafira tetap tidak menyadari apa yang terjadi di balik tembok-tembok yang seharusnya melindungi privasinya. Baginya, kolam renang adalah tempat di mana dia bisa merasa bebas, tempat di mana dia bisa melepas segala beban dan tekanan hidupnya. Shafira menikmati setiap momen di air, merasa damai tanpa mengetahui bahwa ada dua sosok yang mengaguminya dari kejauhan.
Namun, seiring waktu, Alex dan Noel semakin sulit mengendalikan hasrat mereka. Walau mereka tahu, jika suatu hari kelakuan mereka ini terbongkar, tidak hanya pekerjaan mereka yang akan hancur, tetapi juga kepercayaan yang telah diberikan oleh keluarga Othman kepada mereka. Dan semakin lama mereka menyimpan rahasia ini, semakin besar risiko yang mereka hadapi.
Di balik senyum sopan dan sikap takut-takut mereka, Alex dan Noel menyembunyikan hasrat mesum yang makin menguat. Seperti api yang sulit dipadamkan, perasaan itu terus membara di dalam hati mereka, membuat mereka terperangkap dalam dilema yang tak berujung.
***
Shafira duduk di kamarnya, memandang keluar jendela yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Hatinya penuh dengan berbagai pikiran yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Sifat angkuhnya, yang selama ini menjadi ciri khasnya, mulai mengusik pikirannya. Di usianya yang sudah menginjak 19 tahun, dia mulai menyadari satu hal—sifatnya yang tajam dan dingin mungkin akan membuatnya sulit mendapatkan seorang kekasih.
Shafira tahu bahwa dirinya menarik. Banyak yang memuji kecantikannya, kepintarannya, dan statusnya sebagai anak dari seorang ustadz penceramah terkenal. Tapi, di balik semua itu, ada kesepian yang perlahan-lahan merayap ke dalam hatinya. Dia melihat teman-teman kuliahnya mulai menjalin hubungan, sementara dia sendiri tetap menjaga jarak. Bukan karena dia tidak tertarik, tetapi karena dia tidak tahu bagaimana caranya membuka hati.
"Kenapa aku harus berubah?" gumamnya pada dirinya sendiri. "Ini sudah aku, sifat yang sudah terbentuk dari kecil."
Shafira ingat bagaimana sejak kecil dia dididik untuk mandiri, kuat, dan tidak bergantung pada orang lain. Kedua orang tuanya, Ustadz Farid Othman dan Senaiya Hafidz, selalu menekankan pentingnya menjaga citra dan martabat keluarga.
Shafira tumbuh dengan pemikiran bahwa dia harus menjadi yang terbaik dalam segala hal, dan bahwa menunjukkan kelemahan adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Namun, seiring berjalannya waktu, Shafira mulai merasakan bahwa sikap ini mungkin telah menutup dirinya dari kemungkinan-kemungkinan lain dalam hidup.
"Pacar? Apa pentingnya sekarang?" pikirnya lagi, mencoba menghibur dirinya sendiri. Hingga saat ini, dia tidak terlalu peduli tentang belum punya pacar. Kuliah, prestasi, dan reputasi keluarganya selalu menjadi prioritas. Lagipula, dia merasa masih punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu di masa depan.
Namun, dalam hati kecilnya, Shafira tahu bahwa ada keinginan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain—perasaan dicintai, diperhatikan, dan dimiliki oleh seseorang yang spesial. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan itu semua jika dia terus bersikap angkuh dan menjaga jarak?
Shafira menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.
"Mungkin suatu hari nanti aku bisa berubah," pikirnya. Tapi untuk sekarang, dia memilih untuk tetap menjadi dirinya yang sekarang, meski dia tahu bahwa sifat itu mungkin akan menghalanginya mendapatkan apa yang diam-diam dia inginkan. Namun, untuk saat ini, dia belum siap untuk berubah. Biarlah waktu yang mengajarkannya, jika memang itu perlu.
Suasana di rumah Shafira begitu tenang malam itu. Kedua orang tuanya, Ustadz Farid Othman dan Senaiya Hafidz, baru saja berangkat ke luar negeri untuk urusan bisnis dan dakwah. Shafira, yang terbiasa dengan kesendirian, memutuskan untuk menghabiskan malamnya dengan berenang di kolam renang pribadinya. Tempat favorit di mana dia selalu merasa nyaman dan bebas.
Dengan mengenakan bikini yang lagi-lagi sangat minim yang mengekpos kemolekan tubuhnya, Shafira melangkah ke tepi kolam dan menceburkan diri ke dalam air. Dia berenang bolak-balik, menikmati kesunyian malam dan dinginnya air yang menyegarkan tubuhnya. Namun, lagi-lagi Shafira tidak menyadari bahwa dua pasang mata penuh hasrat birahi sedang mengawasinya dari balik bayangan.
Alex dan Noel, yang sejak lama terobsesi pada Shafira, tahu bahwa ini adalah kesempatan yang langka. Dengan orang tua Shafira berada jauh dari rumah, mereka merasa inilah saat yang tepat untuk mewujudkan fantasi mereka yang selama ini hanya tersimpan di dalam kepala. Obsesi mereka sudah mencapai puncaknya, dan kali ini, mereka tak lagi bisa menahan diri.
Shafira baru saja selesai menyelesaikan beberapa putaran renang sore di kolam renang rumahnya. Air yang dingin dan suasana sunyi menenangkan pikirannya setelah hari yang panjang di kampus. Namun, ketenangan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap ketika ia merasakan firasat tidak enak. Jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas.
Saat Shafira berhenti di tepi kolam untuk mengambil napas, bayangan dua orang pria muncul di sudut pandangannya. Alex dan Noel, dua pekerja rumah tangga keluarganya, berdiri di sana. Awalnya, Shafira berpikir mereka mungkin datang untuk melakukan perawatan kolam tanpa sadar bahwa majikan mereka sedang memakai kolam renang itu malam ini, tetapi tatapan mereka terasa tidak biasa—ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Alex? Noel? Ngapain kalian di sini?" tanya Shafira dengan suara yang sedikit bergetar, meskipun ia berusaha terdengar tegas.
Keduanya tidak menjawab. Langkah mereka semakin mendekat, dan Shafira bisa merasakan ketidaknyamanan semakin menjalar di tubuhnya. Ia mencoba menjaga jarak, berenang ke sisi lain kolam, namun rasa takut mulai menjalar di setiap gerakannya. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat Shafira merasa terancam.
"Hei, kalian dengar nggak? Aku tanya ada apa?" suara Shafira mulai terdengar lebih tegas, namun jauh di dalam hatinya, ada rasa panik yang mulai muncul.
Akhirnya, Alex membuka mulut. "Kita cuma pengen ngomong, Nona Shafira," katanya pelan, namun nada suaranya tidak terdengar seperti biasanya.
Shafira semakin merasa tidak aman. "Hah, mau ngomong? ngomong apaan? Kalau ada yang perlu disampaikan, sampaikan ke ayahku, jangan ke aku. Sekarang keluar dari sini."
Namun, mereka tidak berhenti. Dalam sekejap, Noel mendekati Shafira dengan cepat. Ia tahu bahwa ini bukan lagi situasi biasa. Nalurinya berkata untuk segera bertindak.
Dengan kecepatan dan kekuatan yang mungkin tidak mereka duga, Shafira menendang air, mencipratkan cairan dingin ke arah mereka dan berusaha melarikan diri menuju sisi lain kolam. "Kalian gila?! Pergi sekarang juga!" teriaknya.
Alex mencoba menangkap tangannya, tetapi Shafira berhasil meloloskan diri. Dalam kepanikan, ia berteriak sekuat tenaga, berharap seseorang di rumah mendengar dan datang menolong. "Tolong! Tolong! Hentikan….!" teriaknya dengan suara yang semakin parau.
Ketika mereka mendekat lebih jauh, Shafira tidak berhenti melawan. Dia melemparkan apapun yang bisa ia raih, bahkan tumpukan handuk di dekat kolam, sembari terus berteriak. Tapi Alex dan Noel berhasil mendekatinya dan menangkap gadis cantik itu.
Keduanya merasakan kulit halus Shafira yang selama ini hanya bisa mereka intip. Shafira meronta-ronta saat Alex memeluknya. Noel dengan buas meraih bagian bikini bawah Shafira dan menariknya hingga terlepas. Memek Shafira kini terpampang nyata yang segera digerayangi oleh Alex dan Noel.
“Hentikan…..tolong jangan lakukan ini… kalian bajingan!”
Bikini bagian atas juga sudah dilepas entah oleh siapa dan langsung saja kedua lelaki bejad itu meremas dengan buas payudara kenyal Shafira.
“Bajingan…. Akhhhhh… hentikan….!” Shafira berteriak sekencang mungkin.
Teriakan Shafira yang penuh ketakutan akhirnya terdengar oleh Jefry, yang sedang berada di dekat rumah utama. Tanpa berpikir panjang, Jefry berlari menuju kolam renang. Ketika dia sampai di sana, apa yang dia lihat membuat darahnya mendidih. Alex dan Noel, dua orang yang seharusnya melindungi Shafira, malah berusaha mencelakai dia. Shafira terlihat sudah telanjang bulat dalam kekuasaan dua lelaki bejad itu.
Jefry melompat tanpa ragu, tubuh kekarnya menerobos udara dengan kecepatan penuh. Dengan satu gerakan, dia menghantam Alex dengan pukulan telak di rahang, membuat pria itu terjatuh ke tanah. Noel yang mencoba melawan, tak sempat bereaksi ketika pukulan Jefry mendarat keras di dadanya, membuat napasnya tersengal-sengal.
Kedua pria itu, meskipun lebih tua dan berpengalaman, tidak mampu menahan amukan kekuatan Jefry. Mereka terkapar, tak berani lagi melawan, sebelum akhirnya melarikan diri dengan langkah terhuyung, meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun.
Shafira, yang tadinya dipenuhi ketakutan, jatuh terduduk di tepi kolam. Tubuhnya yang telanjang bulat gemetar hebat, dan air mata tak terbendung mengalir di pipinya. Dia menutupi bagian penting dari tubuhnya itu dengan kedua tangannya. Perasaannya campur aduk—takut, terkejut, lega, semuanya bercampur menjadi satu. Nafasnya tersengal, dan dia merasa seolah seluruh dunianya runtuh hanya dalam beberapa menit yang menegangkan.
Jefry, yang melihat Shafira begitu rapuh di hadapannya, segera mendekat. Matanya yang tajam kini dipenuhi kepedulian. Tanpa sepatah kata pun, Shafira tiba-tiba memeluknya erat, tubuhnya yang telanjang itu gemetar mencari perlindungan dalam hangatnya pelukan lelaki itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Shafira merasakan kehadiran seseorang yang benar-benar peduli dan siap melindunginya. Dia tidak peduli bahwa saat ini dia tidak mengenakan apapun.
Jefry membalas pelukannya dengan lembut, satu tangan membelai rambut Shafira yang masih basah, sementara tangan lainnya mengelus punggung telanjang gadis majikannya itu dengan penuh kasih sayang.
"Tenang, Shafira... Aku di sini. Mereka sudah pergi. Nggak akan ada yang bisa menyakitimu lagi," bisiknya dengan suara yang rendah namun penuh ketenangan.
Shafira mengeratkan pelukannya, seolah takut kehilangan rasa aman yang baru saja ia temukan. Di balik kesempurnaan dan kekuatannya yang selama ini ia tunjukkan, saat ini ia hanya seorang gadis yang membutuhkan seseorang untuk bersandar, dan Jefry adalah sosok yang memberikan kehangatan yang tak pernah ia duga.
Dalam dekapan itu, waktu seakan berhenti. Hanya suara napas mereka yang terdengar, perlahan-lahan membawa ketenangan pada Shafira. Tanpa sadar, air mata yang tadi deras kini mulai berhenti, dan dalam keheningan, Shafira merasakan sesuatu yang lebih dalam. Di antara ketakutan dan rasa syukur, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di hatinya, perasaan yang berbeda dari sebelumnya.
Jefry terus memeluknya erat, seolah ingin memastikan bahwa Shafira benar-benar merasa aman. "Aku nggak akan biarin siapa pun nyakitin kamu lagi," bisiknya lembut, sambil menatap dalam-dalam ke matanya. Dalam momen itu, Shafira merasa lebih dari sekadar aman—ia merasa dilindungi, dicintai.
Shafira merasa aman dalam pelukan Jefry. Selama ini, dia selalu merasa kuat dan mampu menghadapi segala hal sendiri, tetapi malam ini, dia menyadari betapa rentannya dirinya. Dalam pelukan Jefry, dia merasakan kehangatan dan kenyamanan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Setelah beberapa saat, Shafira akhirnya bisa mengumpulkan kekuatannya kembali. Dia melepaskan pelukannya dengan pelan, menatap Jefry dengan mata yang masih basah oleh air mata. Jefri segera mengambil handuk dan menyerahkan kepada Shafira.
“Cepat kau pakai handuk ini!”
"Jefry terima kasih ... aku mohon, rahasiakan ini," kata Shafira dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin kedua orang tuaku tahu. Ini... ini bisa membuat semuanya jadi lebih rumit. Mereka sudah kabur, dan mungkin tidak akan berani kembali kesini lagi."
Jefry menatap Shafira dengan serius, lalu mengangguk. "Aku janji, Shafira. Aku tidak akan bilang ke siapa pun. Yang penting sekarang, kamu aman. Dan kalau mereka coba-coba kembali gak akan aku maafkan lagi."
Shafira mengangguk pelan, merasa sedikit lega meski masih diliputi oleh trauma. Dia tahu bahwa Jefry adalah satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini. Dengan bantuan Jefry, Shafira bangkit dari tempat itu dan berjalan perlahan kembali ke dalam rumah, meninggalkan malam yang penuh kegelapan dan bahaya di belakang mereka. Namun, pengalaman ini meninggalkan bekas yang dalam di hati Shafira, membuatnya semakin sadar akan kepercayaan dan batasan yang harus dia jaga.
Norma dan Ernipun ikut mengetahui kejadian itu karena mendengar teriakan dan rebut-ribut meski tak melihat langsung. Mereka baru berani datang saat Alex dan Noel lari meninggalkan rumah ini.
“Aku mohon kalian tidak cerita kejadian ini ke Abi dan Umi!”
“Baik non… kami janji merahasiakan ini!”
***
Setelah kejadian mengerikan itu, Shafira memutuskan untuk menyimpan semuanya rapat-rapat. Dia tidak ingin keluarganya tahu, apalagi mengkhawatirkan keselamatannya. Baginya, peristiwa itu sudah cukup berakhir dengan pelarian Alex dan Noel. Mereka tidak akan berani kembali, dan Shafira percaya Jefry akan selalu ada untuk melindunginya.
Namun, perubahan besar mulai terjadi dalam hatinya. Setiap kali Shafira melihat Jefry, dia merasakan sesuatu yang berbeda—perasaan yang sebelumnya tak pernah dia izinkan tumbuh. Jefry mungkin tidak begitu tampan seperti pria-pria lain yang pernah dia temui, tapi ada daya tarik dalam tubuh atletisnya, dalam ketegasan dan ketenangannya yang selalu membuat Shafira merasa aman.
Suatu sore, Shafira mengamati Jefry dari jendela kamarnya saat dia sedang merawat tanaman. Setiap gerakannya tampak tenang dan terukur. Shafira memperhatikan bagaimana sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuh Jefry yang kokoh di antara tanaman-tanaman yang dirawatnya dengan telaten.
Dia berpikir tentang betapa Jefry berbeda dari pria-pria lain di sekitarnya. Jefry tidak memandangnya dengan rasa takut atau hormat berlebihan. Dia tidak pernah menunduk ketika berbicara dengannya, tetapi juga tidak pernah melewati batas kesopanan.
Dan ketika Shafira mengingat bagaimana Jefry melindunginya saat itu, hatinya semakin mantap—perasaan ini bukan sekadar rasa terima kasih. Jefri sudah melihatnya telanjang dan memeluknya tapi dia tidak berniat kurang ajar setelah memeluknya. Membuat Shafira makin kagum pada sosok Jefry.
Ketika Shafira turun ke taman, Jefry menoleh dan menyapanya seperti biasa. "Ada apa, Shafira?"
Shafira tersenyum kecil, sesuatu yang jarang dia tunjukkan pada siapa pun selain Jefry. "Nggak ada apa-apa. Cuma mau lihat tamannya. Aku selalu merasa nyaman melihat bunga-bunga di taman ini."
Jefry mengangguk, tanpa banyak bicara seperti biasanya. Tapi Shafira bisa merasakan kehangatan dalam sikapnya yang tenang. Mereka berbicara sebentar tentang tanaman, tentang hal-hal kecil yang biasa, tapi bagi Shafira, momen itu terasa lebih dari sekadar percakapan. Itu adalah kebersamaan yang tak bisa digantikan.
Dan di malam-malam yang sunyi, ketika Shafira sendirian di kamarnya, perasaannya pada Jefry semakin jelas. Dia tahu, perasaan ini berbeda dari apa pun yang pernah dia rasakan sebelumnya. Jefry telah mengisi ruang kosong di hatinya, dan meskipun Shafira tahu perjalanan ini mungkin tidak mudah, dia siap untuk menjalaninya.
Bersambung
ns 15.158.61.16da2