
******
Simple-Shot Two :
Daydream
******
35Please respect copyright.PENANARYwA1ahMHk
“HAHAHA! Astaga, Hana, mengapa kau selalu tak bisa mengejarku?” teriak Jiho di bawah langit yang cerah siang itu; ia tengah bersepeda di samping Hana. Angin meniup helaian rambut hitamnya serta kemeja berwarna putihnya yang tampak sangat menyilaukan di bawah langit biru siang itu. Ia sedikit mengurangi kecepatan bersepedanya hingga kini Hana bisa menyusulnya dan akhirnya bersepeda berdampingan dengannya. Ia lalu tertawa lepas; wajah tampannya terlihat begitu berseri-seri kala itu. Biru, langit, angin, cahaya mentari,dan Jiho adalah perpaduan yang begitu sempurna. Pemuda itu adalah representasi dari kata indah itu sendiri.
Hana hanya bisa menggerutu sejenak, lalu ia ikut tertawa. “Hei! Tadi aku hampir menang, lho!”
Jiho tertawa lagi, lalu ia menatap Hana seraya mencibir. “Oh ya? Kau selalu mengatakan itu beberapa bulan terakhir.”
Hana kontan berdecak. “Diamlah! Lihat saja, ya, besok lusa aku pasti akan mengalahkanmu!”
“Pffftt—hahahaha!!” Jiho tertawa kencang. “Aku sampai bosan mendengar kau mengatakan itu. Tidak kreatif sekali. Iya, deh, iyaaa. Aku tunggu perkembanganmu besok lusa. Mudah-mudahan kau tidak membuat alasan seperti kakimu digigit tomcat, capybara, atau bahkan digigit kukang. Hewan-hewan itu bahkan tak tahu kalau kau sedang menyalahkan mereka.”
Hana melipat bibirnya kuat-kuat, mencoba untuk memasang ekspresi sedatar mungkin sebab ia tengah menahan tawanya mati-matian. Dia sendiri tahu bahwa itu semua hanyalah bualan atau akal-akalannya saja supaya Jiho tak meremehkannya karena selalu kalah dalam pertandingan bersepeda rutin mereka. Namun, Jiho mendadak mempercepat gerakan mengayuh sepedanya hingga ia mulai berkendara di depan Hana. Memunggungi Hana. Pemuda itu lalu berkata, “Pantas saja kau lambat, soalnya kau ketularan kukang. Makanya, tidak usah gigit-gigitan dengan kukang.”
“HEI! Siapa yang kau bilang gigit-gigitan dengan kukang?!!” teriak Hana, ia lantas mengayuh sepedanya dengan lebih cepat agar ia bisa menyusul Jiho. Sialnya, Jiho kini mulai tertawa kencang.
“HEI, TUNGGU AKU!! JIHOOO!” teriak Hana lagi. Setelah itu, tatkala ia berhasil menyusul Jiho, ia pun langsung menepuk pundak Jiho dengan kencang seraya berkendara. Jiho meresponsnya dengan tertawa lepas.
Di dalamhidup ini, ada satu hal yang tidak pernah dilewatkan oleh Hana setiap dua hari sekali. Sebuah hal yang sederhana, sebuah hal yang seakan-akan memiliki peraturan yang tak tertulis, sebuah hal yang berujung menjadi kebiasaan untuknya.Melekat di dalam benak. Setiap dua hari sekali—jika tidak ada kendala—maka dunianya akan dipenuhi dengan warna kuning dari bunga-bunga rapeseed.
Untuk lebih jelasnya lagi, setiap dua hari sekali, Hana akan memilih pakaian yang sedikit lebih bagus daripada pakaian rumahannya. Biasanya ia akan memilih flowy dress selutut yang berwarna cerah. Flowy dress yang ia pakai terkadang berlengan pendek dan terkadang juga berlengan panjang; kadang-kadang dress itu bermotif bunga-bunga dan kadang-kadang hanya polos. Hana akan menyiapkan bekalnya, keluar dari rumah dengan flowy dress tersebut, mengambil sepedanya, lalu ia akan melihat Jiho yang sudah bertengger di depan pagar rumahnya. Jiho biasanya akan duduk di sadel sepeda milik pemuda itu seraya tersenyum pada Hana. Jiho hampir selalu datang ke rumah Hana pada siang hari, menjemputnya untuk bermain sepeda bersama. Jiho melakukan itu secara rutin dan terjadwal seolah hal itu sudah menjadi suatu kelaziman tersendiri baginya.
Mereka pun akan bersepeda bersama, mengelilingi desa, lalu pasti akan berakhir di ladang rapeseed yang sangat luas di ujung desa itu. Bersepeda bersama di antara hamparan bunga rapeseed yang berwarna kuning terang dan luar biasa indah. Berada di sana akan membuatmu merasa seperti sedang berada di alam mimpi. Begitu indah dan terang, tetapi terkadang terlihat sedikit blur seperti sebuah memori nostalgia yang tertinggal di otak. Lokasi indah itu tampak begitu sulit untuk diyakini eksistensinya seolah semuanya hanyalah lamunan dan imajinasi yang diromantisasi belaka. Tidak nyata. So dreamy, so bright, so beautiful, and so…innocent.
Namun, kenyataannya hamparan bunga rapeseed yang terlalu-indah-untuk-menjadi-nyata itu ada di desa yang Hana dan Jiho tinggali. Bunga berwarna kuning cerahnya bermekaran serta tersebar secara merata dan luas seperti taman bunga yang begitu elok. Berlarian di sana akan membuatmu merasa seperti sedang berada di taman surga meskipun sesungguhnya kau takkan pernah berkunjung ke taman surga kecuali jika dijembatani oleh kematian. Jika kau berada di sana, kau akan merasa seolah ingin terus-menerus melihat ke atas dan memandangi langit seraya menghirup udara segarnya, lalu berlarian di hamparan bunga itu seakan terbebas dari seluruh beban hidup yang kau pikul di dunia. Kau akan berputar-putar seraya tertawa bahagia, mendadak merasa seperti makhluk ciptaan Tuhan yang paling tak berdosa sedunia.
Sepatu kets berwarna putih milik Hana tampak terus mengayuh sepeda berwarna hijau tosca-nya dengan bersemangat. Bagian ujung dress selutut berwarna putih yang Hana pakai tampak sedikit tertiup angin tatkala gadis itu sedang bersepeda; tubuhnya sedikit condong ke depan, lalu ia tertawa lepas tatkala ia sadar bahwa ia lagi-lagi ditinggalkan oleh Jiho. Lagi-lagi ia tetap kalah cepat dari Jiho. Sialnya, Jiho mendadak mengeluarkan sebuah saputangan berwarna putih dari dalam kantung celana jeans-nya, lalu melambai-lambaikan saputangan itu di atas kepalanya. Saputangan itu juga tampak berkibar karena tertiup angin.
“Ayo, Hanaa, ayooo. Ini, aku bawa bendera putih, nih! Kalau kau mau, aku akan melemparkannya kepadamu. Kau bisa mengibarkannya sebagai pertanda bahwa kau menyerah!” Jiho tertawa.
Hana kontan membulatkan kedua matanya, menganga, lalu ia jelas saja langsung tertawa keras. Kurang ajar, Jiho memang niat sekali kalau soal mengejeknya!
“KAU—” Hana langsung mengayuh sepedanya dengan lebih kencang. Ia menatap Jiho yang ada di depannya dengan mata yang lebar; semangatnya begitu berapi-api meskipun baru saja selesai tertawa. “DIAM DI SANA!! AKU AKAN MENARIK TELINGAMU!!”
Jiho masih tertawa terbahak-bahak di depan sana seraya terus melambaikan saputangannya.
Kalau bukan jail, bukan Jiho namanya. Pemuda tampan yang bersahaja itu—yang juga merupakan teman Hana sejak kecil—adalah salah satu bagian dari hidup Hana yang paling signifikan. Hana dan Jiho saling mengetahui tentang satu sama lain. Telah lama ada di dalam hidup satu sama lain.
35Please respect copyright.PENANA4sOHWvIj1B
******
35Please respect copyright.PENANAZZH27YH3nd
“Bawa apa hari ini?” tanya Jiho tatkala Hana baru saja mulai membuka kain penutup keranjang pikniknya. Mereka sudah duduk di bawah sebuah pohon oak yang ada di ujung hamparan bunga rapeseed itu. Kedua sepeda mereka terparkir tidak jauh dari posisi mereka duduk.
Jiho dan Hana duduk beralaskan karpet berwarna hijau dan bermotif kotak-kotak. Seperti biasa, setelah bersepeda mereka akan duduk di bawah pohon oak itu bersama, lalu memandangi hamparan bunga rapeseed yang luas itu seraya memakan bekal yang dibawa oleh Hana.
“Roti. Selainya coklat,” jawab Hana sembari tersenyum. Ia tampak mulai membuka penutup keranjang pikniknya itu dan mengeluarkan sebotol selai coklat. Setelah itu, ia mengeluarkan beberapa potong roti dan mulai mengoleskan selai coklat itu di sana. Jiho juga membantunya hingga akhirnya roti-roti itu siap untuk dimakan.
Ketika mereka tengah memakan roti itu, tiba-tiba Jiho berbicara, “Tumben kau tidak minum obat dulu.”
Hana lantas menoleh ke arah Jiho dan menelan rotinya. “Hmm? Oh, iya. Hari ini aku tidak membawa obatku.” Hana menggigit rotinya lagi, lalu mengunyahnya seraya melanjutkan, “Aku juga heran mengapa perutku sakit tiap kali aku memakan sesuatu tanpa menelan obat itu terlebih dahulu.”
Sebenarnya, Hana tahu bahwa ia tak boleh bertaruh seperti ini karena sejak kecil pencernaannya memang bermasalah. Ayah dan ibunya selalu mewanti-wantinya agar tetap meminum obat sebelum makan demi kesehatannya. Sewaktu kecil dahulu, Hana sukses masuk IGD tatkala ia dengan tanpa sengaja menelan sesuatu selain air susu ibunya. Sejak saat itu, tiap kali Hana memakan sesuatu yang bukan berwujud cairan, Hana harus menderita rasa sakit yang luar biasa di bagian perutnya hingga akhirnya ayahnya memutuskan untuk berkonsultasi dengan banyak pihak yang mumpuni. Sebetulnya, Hana sendiri tak begitu tahu mereka-mereka yang mumpuni itu siapa dan jalan ceritanya bagaimana. Dia masih kecil waktu itu dan tak begitu ingin tahu. Hana sudah pernah mempertanyakan soal penyakitnya itu kepada orangtuanya—ketika ia sudah mulai besar—tetapi intinya, kata ayah dan ibu, pencernaannya bermasalah dan ia harus benar-benar berhati-hati. Sampai sekarang pun, pencernaan Hana masih bermasalah.
“Kau yakin?” Jiho mengangkat kedua alisnya. “Bukannya perutmu akan sakit jika kau tidak minum obat?”
Namun, saat itu Hana hanya menghela napas dan mengedikkan bahunya. Entah mengapa mendadak ia merasa sangat jenuh, ia merasa ingin lebih bebas dan ingin bersantai barang sebentar saja. “Hmm. Entahlah, biarkan saja. Aku hanya ingin mencoba, siapa tahu perutku tidak sakit.”
Kini giliran Jiho yang menghela napas. “Kalau sakit bagaimana?”
“Kalaupun sakit, mungkin saja jika kubiasakan seperti ini terus menerus, perutku akan mulai terbiasa. Bisa jadi lama kelamaan tubuhku akan menciptakan antibodinya sendiri,” tutur Hana asal, tetapi sebenarnya itu adalah suara hatinya sendiri. Keinginannya. Dia menciptakan logika tersendiri di dalam otaknya untuk mendukung keinginannya.
“Orangtuamu memberimu obat itu karena ada sebabnya, Hana, yaitu karena perutmu sering sakit,” tutur Jiho. “Dimakan saja, daripada kau masuk rumah sakit.”
Sekarang Hana jadi mendengkus. Ia lalu menggigit rotinya—mengunyahnya sebentar—dan menjawab, “Obatku habis, Jiho. Aku belum memberitahukannya kepada Ayah dan Ibuku, soalnya aku lupa. Nanti sajalah. Aku akan memberitahu mereka kalau aku sudah sampai di rumah. Untuk saat ini aku mau makan saja dulu.”
Jiho lantas menatap Hana; kedua bola mata Jiho yang jernih itu mulai menatap Hana dengan heran. Pemuda itu memperhatikan Hana yang sedang makan itu seraya menyatukan kedua alisnya.
35Please respect copyright.PENANAsy1lEPpkA3
******
35Please respect copyright.PENANARgJ4TGWXul
Hana memuntahkan seluruh makanan yang sudah ia telan.
Sejak ia berada di dalam perjalanan pulang bersama Jiho, ia sudah menahan rasa mual yang teramat sangat. Ia bahkan hampir berkali-kali jatuh dari sepedanya karena tubuhnya gemetar akibat menahan sakit yang luar biasa. Perutnya bergejolak. Semua isi perutnya itu bagaikan diaduk-aduk, diguncang-guncang,dan memaksa untuk segera dikeluarkan. Selain itu, ususnya seolah sedang diperas dengan amat kencang.
Hana melihat ke dalam kloset dengan mata yang membulat penuh; ia menatap seluruh muntahannya itu dengan tatapan tak percaya. Bibirnya bergetar, napasnya terengah-engah. Semuamakanan yang ia telan ternyata benar-benar tidak ada yang tercerna. Tidak ada yang diterima.
Jantung Hana berdegup kencang. Dadanya sesak. Matanya memerah menahan tangis akibat rasa sakit yang bukan kepalang di bagian perutnya. Gejolak itu datang lagi. Rasa ingin muntah itu datang lagi. Rambutnya acak-acakan karena terus ia tarik agar tidak terkena muntahannya sendiri. Dia terlihat kacau. Frustrasi. Wajahnya tegang dan pucat pasi.
Sakit. Sakit sekali.
Hana kembali muntah.
35Please respect copyright.PENANAxSe6yBJf4m
Tunggu. Sebentar.
Ini…serius jadi separah ini?
Penyakit macam apa yang sebenarnya sedang ia derita?
Perutnya…memang separah ini?
Jadi, dia harus menelan obat itu seumur hidup?
35Please respect copyright.PENANAuJnDSdY1zZ
Sejak kejadian masuk IGD sewaktu kecil dulu, Hana tak pernah absen meminum obatnya sebelum makan. Ia baru sadar bahwa efeknya ternyata seburuk ini jika ia absen minum obat itu walau sekali saja.
Rasa sakitnya terasa tidak masuk akal.Sebenarnya, perutnya ini kenapa?!
Hana kembali muntah.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Wajahnya penuh dengan air mata, tetapi rasa sakitnya tak kunjung berhenti. Ia tak diberi jeda, tak diberi ampun. Air liur bercampur muntahan yang tertinggal di ujung bibirnya itu sudah mengalir hingga ke dagunya. Suara yang ia keluarkan tatkala ia muntah, bunyi napasnya, semuanya sudah terdengar seperti seekor hewan yang sedang meregang nyawa. Matanya kini benar-benar terlihat merah. Ia mulai sulit bernapas. Tubuhnya bergetar hebat sampai-sampai ia harus berpegangan pada kloset tatkala tubuhnya nyaris terjatuh ke lantai karena oleng. Rasanya seperti sedang tercekik.
35Please respect copyright.PENANAMrMNoww8eg
“Hana!! Ya Tuhan, Hana!!! Ada apa denganmu?!! HANA!!!”
“HANA!!!”
35Please respect copyright.PENANAhm9JkqVdDU
Teriakan ayah dan ibunya yang mulai masuk ke kamar mandi itu terdengar seperti dengungan semata di telinga Hana. Bagaikan mendengar orang berbicara di atas permukaan air tatkala kita sedang berendam. Suaranya terdengar kurang jelas, bergemuruh, serta berdengung.
Namun, tatkala sosok ayah dan ibunya itu sampai di dekat tubuh Hana, lalu ibunya berjongkok dan mengusap-usap punggung Hana seraya membantu menyingkirkan rambut Hana yang menghalangi Hana saat muntah, tiba-tiba saja Hana berhenti.
Dia berhenti muntah. Begitu saja, seakan-akan waktu mendadak berhenti. Seperti aliran listrik yang terputus. Seperti lampu yang dimatikan.
Sang ibu dan ayah yang tadinya panik setengah mati hingga wajahnya pucat bukan main, kini mulai bisa bernapas dengan normal. Wanita paruh baya itu mencoba untuk semakin mendekati Hana, lalu menyingkirkan helaian rambut Hana yang berserakan itu agar ia bisa mengelap wajah Hana. Sang ibu lalu berkata, “Hana! Ya Tuhan—ya Tuhanku! Hana, kau baik-baik saja, Nak?!!”
“Kau tunggu di sini, ya, aku akan segera menyiapkan mobil. Ayo kita bawa dia berobat,” ucap ayah Hana dengan cepat, lalu ibunya mengangguk seraya menahan tangis. Ayah Hana lalu langsung berlari keluar dari kamar mandi.
“Apa kau masih ingin muntah, Nak?” tanya ibu Hana seraya menguncir kembali rambut Hana. Jemarinya agak bergetar. “Ayo, Ibu akan membantumu untuk berdiri. Ayo kita pergi berobat. Ayah sedang menyiapkan mobil.”
Hana benar-benar diam. Ia terlihat kaku mendadak, tidak bergerak dan bersuara, seolah mati di tempat. Namun, tidak. Dia tidak mati.
Kedua matanya masih terbuka lebar. Sangat lebar.
Ia masih menatap ke kloset.
Namun, mulai dari kedua orangtuanya yang tiba-tiba berlari ke arahnya dengan panik, duduk bertumpukan lutut di sebelahnya seraya mengusap-usap pundaknya, lalu kini mencoba untuk menyingkirkan helaian rambut yang menempel di wajahnya itu, Hana mulai mengeluarkan air liur yang lebih banyak daripada sebelumnya. Air liur itu mulai jatuh ke seluruh bagian dagunya, menutupi sisa-sisa muntahan yang ada di sudut-sudut bibirnya, lalu tiba-tiba Hana sadar akan sesuatu.
Ada sebuah hasrat yang terasa asing. Ada yang tidak beres. Ada yang berbau harum. Sesuatu terasa janggal.
Gejolak di dalam perutnya kini berubah haluan.
…dan setelah itu, kedua mata Hana hanya melihat warna merah.
35Please respect copyright.PENANArj4nZEUPWr
******
35Please respect copyright.PENANA16gpCwMB8r
Hana memandangi kedua telapak tangannya.
Napasnya tersendat-sendat. Mulutnya terbuka; ia terlihat seperti orang yang akan tenggelam atau sehabis berlari kencang. Jantungnya seakan berhenti berdegup. Tubuhnya bergetar hebat. Matanya memelotot sempurna. Wajahnya pucat, seluruh kekacauan sedang berkecamuk di dalam kepalanya.
Ada banyak darah di telapak tangannya.
Mengalir hingga ke lengannya.
Ada darah di mana-mana. Darah-darah itu berceceran di lantai.
Namun, yang membuat Hana semakin hilang akal adalah tatkala ada tetesan darah yang jatuh ke telapak tangannya,
…dan darah itu berasal dari mulutnya.
Hana terperanjat; tubuhnya terlompat ke belakang. Kakinya bergetar hebat, ia mengesot ke belakang seraya menggeleng ketakutan. Seluruh kengerian mendadak bertumpuk di otaknya, berkumpul di satu muara, lalu meluap dan sukses membuatnya gila. Ia terus menarik dirinya ke belakang, mengesot dengan putus asa, lalu secara tanpa sadar ia pun melihat ke sekelilingnya.
Kontan tubuhnya mematung. Matanya membulat sempurna. Paru-parunya mendadak terasa seperti sedang dicengkeram. Napasnya seakan terhenti. Dadanya sesak; jantungnya seolah mencelus hingga ke perut.
Di sana, di samping kanan, tepat sekitar dua langkah dari posisinya, Hana melihat sesuatu yang seumur hidup tak ingin ia lihat. Sesuatu yang begitu mengerikan. Sesuatu yang begitu sulit untuk dipercaya. Sesuatu yang akan membuat Hana trauma selama-lamanya. Sesuatu yang akan membuat Hana menjadi sinting setelah menit ini berakhir. Mimpi buruk yang akan menyiksanya terus-menerus hingga ia lebih memilih untuk mati.
Di depan sana ia melihat ada mayat ayahnya. Terbujur kaku dengan perut yang bolong, seluruh organnya berserakan di lantai. Kepalanya hilang separuh, otaknya juga berceceran di lantai, seperti baru saja dimangsa oleh sesuatu. Kedua tangannya hilang. Kedua kakinya putus dan berserakan di lantai yang sudah dipenuhi dengan warna merah dari darah segar.
Jantung Hana bagai tertohok oleh sebuah lembing yang sangat tajam.
Dengan rasa takut yang melambung tinggi, perlahan-lahan Hana menoleh ke samping kirinya. Kepalanya menoleh dengan gerakan yang terpatah-patah karena tubuhnya sedang gemetar hebat.
Ia melihat ke dalam kamar mandi.
Pintu kamar mandi itu terbuka,
35Please respect copyright.PENANAR16XAfz3oi
…dan ibunya masih ada di dalam sana.
35Please respect copyright.PENANARS8eKGxDJb
Terlentang dengan kedua kaki yang terbuka lebar,
35Please respect copyright.PENANANKldG2GXC0
…tetapi tanpa kepala.
35Please respect copyright.PENANAGGzXxfRlFU
Hana semakin hilang akal. Kepalanya menggeleng kencang hingga terlihat seakan ia hampir memelintir kepalanya sendiri. Mulutnya terbuka; dia ingin berbicara, tetapi tak ada satu kata pun yang bisa terucap dari bibirnya. Ia terlihat seperti orang gagu yang berusaha untuk berbicara untuk pertama kalinya. Matanya memelotot akibat teror itu; ia tak lagi bisa bernapas dengan benar. Dadanya sesak. Ia serta-merta bangkit, duduk bertumpukan lutut, lalu tertunduk dan memukul-mukul dadanya sendiri. Sakit. Sakit. Dia tak bisa bernapas. Napasnya seakan terhenti di tenggorokan. Dia terbatuk-batuk keras. Dari mulutnya keluar ludah bercampur darah yang akhirnya jatuh ke lantai. Pandangannya berputar, tak mampu mencerna apa yang sedang ia saksikan. Namun, sebenarnya, seluruh bukti di tempat kejadian telah mengarahkannya kepada satu skenario yang sama. Sayangnya otaknya menolak untuk menghadapi kenyataan; dia menolak untuk percaya pada mimpi buruk itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya.
Tidak—ini—apa yang sedang terjadi di sini?! Apa yang sudah terjadi kepada kedua orangtuaku?
Mengapa lamunan indahnya yang selalu pas untuk diromantisasi itu—momen bahagianya bersama Jiho—mendadak berubah menjadi mimpi buruk seperti ini dalam waktu sekejap mata?
Tiba-tiba Hana mendengar ada seseorang yang agaknya sedang berlari menuju ke teras rumahnya. Dengan mata yang membulat ketakutan, tangan yang bergetar, serta wajah yang dipenuhi dengan darah segar itu, Hana perlahan-lahan menoleh ke pintu utama rumahnya. Pintu depan yang tidak tertutup. Sinar matahari masuk seluruhnya melalui pintu depan itu, sangat terang, kontras dengan suasana yang sedang menyelimuti rumah itu. Rumah yang penuh dengan darah. Rumah di mana rasa takut telah merambat ke setiap sudutnya. Merayap seperti kelabang. Rumah yang kini menyimpan beribu teror bersamaan dengan mayat-mayat kedua orangtua Hana yang sudah tidak utuh.
Tatkala Hana sudah benar-benar menatap ke pintu rumahnya, dua detik kemudian dia melihat seseorang berdiri di sana. Berpegangan dengan kedua sisi kosen pintu. Menatap Hana dengan panik. Alisnya bertaut. Mulutnya sedikit terbuka.
35Please respect copyright.PENANADKTHt0pi37
Itu Jiho.
35Please respect copyright.PENANAnuccA6UXtV
Air mata Hana tanpa sadar terjatuh. Dengan mata yang masih melebar sempurna itu, air matanya jatuh begitu saja; ia terlihat sesat akal. Sakit jiwa. Matanya tak berkedip, sementara air matanya jatuh semakin deras. Bercampur dengan darah di wajahnya. Di sekitar mulut, dagu, rahang, dan pipinya.
Dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang terdengar seperti sedang tercekik, Hana mulai membuka bibirnya yang bergetar itu dan berusaha untuk memanggil Jiho. “Ji—ho…”
Hana mulai terisak-isak. Dengan tubuh yang bergetar, Hana pun kembali bersuara, “Ji…ho… A…ku…”
Jiho tampak masih berdiri di depan sana; tubuhnya menghalangi cahaya matahari yang masuk melalui pintu dan hal itu membuat sosoknya tampak menggelap. Akan tetapi, dia ada. Dia ada di sana. Berdiri di sana.
“A—ku…” Hana terus menangis, tubuhnya terus gemetar. Ia menatap Jiho dengan seluruh rasa takutnya yang sejak tadi sudah menumpuk. Seluruh rasa takutnya, seluruh kegelisahannya, seluruh kesedihannya, semuanya berkumpul menjadi satu dan akhirnya meledak dalam bentuk tangisan. Di depan Jiho, Hana lalu melanjutkan perkataannya.
“Sepertinya…ada…” Hana terbata-bata. “ada yang salah…denganku…”
Hana lalu tertunduk sebentar, melihat ke kedua telapak tangannya, lalu ke flowy dress berwarna putihnya yang kini jadi berwarna merah darah. Air mata kembali jatuh dari kedua pelupuk matanya.
Setelah itu, Hana kembali mendongakkan kepalanya. Menatap ke arah Jiho dengan nelangsa. Tak tahu harus bagaimana. Tak tahu ini nyata atau tidak. Ia menggeleng dengan putus asa.
Namun, pada akhirnya, Hana mulai mengutarakan semua persepsinya. Dugaannya. Kemungkinan terburuknya. Feeling-nya yang sejak tadi terus masuk ke dalam otaknya, menusuk kepalanya seperti duri-duri yang menyembilu.
Feeling yang terus ia coba untuk pungkiri. Dugaan yang terus-menerus ia tepis karena ia akan gila jika itu benar.
Akan tetapi, tatkala ia melihat Jiho berdiri di depan sana, melihatnya hancur sehancur-hancurnya seperti ini, mendadak ia ingin memberitahukan segalanya kepada pemuda itu. Semua yang mungkin saja telah terjadi. Setidaknya…sebelum ia nantinya dibunuh warga atau membunuh dirinya sendiri, dia harus mengutarakan dugaannya ini kepada seseorang. Seseorang yang mungkin akan memercayainya. Seseorang yang memiliki kemungkinan untuk tidak terlalu membencinya.
Hana berusaha untuk bernapas dengan normal, tetapi ia gagal. Namun, biarpun begitu, ia mulai bersuara meski masih dengan terbata-bata.
35Please respect copyright.PENANA7VTC2C5Mbk
“Jiho, a—ku… Sepertinya aku…telah...memakan kedua orangtuaku…”
35Please respect copyright.PENANA14vtkBbHgJ
Kedua mata Hana masih terbuka lebar; ia masih menatap Jiho dengan tatapan putus asanya. Air mata gadis itu mengalir tanpa henti. Akan tetapi, meski dia sudah hampir gila di titik ini, dia masih terduduk di sana, masih belum selesai berbicara walau dengan napas yang tersengal-sengal.
“Ba—gaimana…ini…Jiho…? A—aku…sepertinya…tidak normal… Penyakitku ini…mungkin saja…aku—aku…”
35Please respect copyright.PENANA9AiVifxuP9
Namun, tanpa Hana sangka-sangka, tiba-tiba saja sesuatu yang aneh terjadi.
35Please respect copyright.PENANAYnWuPPHgZd
Jiho mulai berdiri dengan tegap. Kedua tangan pemuda itu tidak lagi menyentuh kosen pintu. Ia menatap Hana dan caranya memandangi Hana kini berubah.
Tatapan matanya mulai rileks.Ia memandangi Hana dengan penuh kasih. Ekspresinya berubah total. Semua perubahan ekspresinya seakan memberitahu Hana penyebab mengapa pemuda itu sejak tadi tidak kunjung masuk ke dalam rumahnya dan membawanya keluar dengan ekspresi panik. Seharusnya pemuda itu terperanjat, ketakutan, lalu berlari masuk ke dalam rumah dan membawa Hana ke luar. Menyelamatkan Hana.
Namun, tidak. Ia sejak tadi tidak melakukan apa-apa selain berdiri di sana. Memperhatikan Hana. Mendengarkan Hana.
Jiho kemudian tersenyum dengan sangat lembut kepada Hana.
35Please respect copyright.PENANA9s5uB4Vn04
“Iya, Hana. Tidak apa-apa. Aku sudah tahu.” []
35Please respect copyright.PENANAGqydR2yJTX