"Cepet-cepetan anjir, suara sirine nya udah kedengeran."
Sekawanan anak remaja lelaki mengangkat kardus berukuran sedang ke atas mobil. Setelah itu mereka berlari ke sembarang arah. Reza dan beberapa temannya berlari sekencang mungkin. Para petugas polisi meneriaki kawanan itu agar berhenti namun tentunya mereka tidak akan mendengar. Masih dengan rencana awal kalau mereka akan terus berlari sampai mendapatkan kerumunan agar bisa membiaskan diri ditengah padatnya manusia yang sedang menikmati pasar malam.
Ponsel salah satu temannya berbunyi mengharuskan ia mematikan ponsel tersebut karena itu bisa menjadi perhatian untuk polisi yang sedang memburu. Namun sialnya ponsel itu terjatuh karena tangannya yang bergetar.
"Jo lari jo!." Teriak temannya menarik tangan lelaki itu.
"Hp nya,..." Mereka kembali berlari namun Reza ingat kalau ponsel yang terjatuh itu memiliki dokumen penting.
"Kalian lari duluan aja, biar gue yang ambil hpnya." Serunya kembali masuk ke dalam kerumunan orang yang sedang berdesakan.
Ia dengan cepat mencari benda tersebut, sesekali memperhatikan sekeliling. Jantungnya berdetak kencang takut dan juga kelelahan. Matanya menyipit ketika melihat ada pantulan cahaya. Reza membelah kerumunan dan saat hendak meraih ponsel tersebut, seseorang lebih dulu mengambilnya. Keduanya saling bertatapan cukup lama tapi dengan kecepatan yang tidak terlihat oleh si petugas polisi, Reza langsung meninju wajahnya sampai lelaki paruh baya itu tersungkur. Hidungnya berdenyut dan mengeluarkan darah.
Orang-orang yang sedang berkerumun langsung terkejut.
Reza mengambil ponselnya dan saat hendak pergi ia memilih untuk memukul petugas itu sekali lagi agar tidak sadarkan diri. "Sorry banget pak." Sesalnya kembali berlari.
Angin malam tidak membuatnya merasa kedinginan padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah 11 malam. Reza baru sampai di halte dan teman-temannya sudah menunggu di seberang.
"Cepetan Zan!." Teriak temannya bersamaan dengan suara peluit dari petugas keamanan yang sedang bertugas.
"RED MASK, RED MASK ADA DISINI!." Teriaknya pada HT.
"Shit!" Pekik Reza kembali berlari, ia menyuruh teman-temannya untuk pergi duluan, lagi.
Ia kembali berlari untuk mengalihkan para polisi agar fokus pada dirinya sendiri. Bahaya jika teman-temannya tertangkap. Dan sepertinya polisi sudah kewalahan mengejar Reza, lari para petugas sudah tidak sekencang sebelumnya. Reza masuk ke dalam toilet supermarket. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh, cepat-cepat Reza membuka jaket serta masker merahnya tidak lupa merapihkan rambut dan menggunakan kacamata setelah itu ia keluar dari supermarket.
Kasir yang melihat terkejut karena sepertinya yang tadi datang beda orang. Ia meletakkan sejumlah uang tutup mulut. Tidak lama setelah Reza keluar dari supermarket dua orang polisi tiba. Kasir tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak melihat seseorang yang ciri-cirinya disebutkan para polisi.
Di jalan Reza bersikap normal layaknya anak remaja yang pulang nongkrong. Dan sepertinya hari ini tidak baik untuk Reza, ia berpapasan dengan petugas polisi yang sedang patroli. Jantungnya terasa berhenti berdetak ketika polisi itu menghentikannya.
Reza tersenyum kaku saat diperhatikan dari atas sampai bawah.
"Kartu identitas." Pintanya pada Reza.
Reza menggeleng pelan. "Saya masih sekolah, pak." Jawabnya agak panik.
"Kalo gitu kartu identitas sekolahnya mana?"
Dengan kolektif Reza mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan kartu tersebut.
"Habis dari mana jam segini masih keluyuran?"
"Saya habis dari pameran pak, ini mau pulang."
"Ya sudah pulang. Bahaya anak dibawah umur keluyuran jam segini."
Reza mengangguk ia berjalan dengan perasaan yang lega karena bisa keluar dari pengecekan.
"Tunggu.."
Napasnya langsung tercekat, Reza sedikit memutar tubuhnya.
"Pasar malam gak ada di arah sana."
Reza menyunggingkan giginya lalu berlari setelah polisi itu mengeluarkan tongkat, suara peluit juga melengking menarik perhatian semua orang. Ia sudah hampir kehabisan tenaga untuk berlari. Reza celingukan mencari tempat untuk bersembunyi.
Sebuah taksi berhenti tepat dihadapannya ketika pintu mobil tersebut terbuka, Reza langsung mendorong si penumpang untuk masuk kembali. Reza menyusutkan tubuhnya agar tidak ketahuan.
"Reza?!"
"Sst!" Lelaki itu menoleh dan melotot ketika tahu bahwa penumpang didalam mobil ini adalah Monica.
Ia langsung menyimpan jari telunjuknya di bibir memberi isyarat Monica untuk tidak mengatakan dirinya ada didalam.
Tak lama salah satu polisi datang mengetuk kaca mobil dan bertanya mengenai masker merah. Monica dan supir taksi sudah sepakat untuk tutup mulut.
Sekitar 15 menit berada di dalam mobil, akhirnya Monica memutuskan untuk keluar diikuti oleh Reza.
Remaja lelaki itu membuntuti Monica masuk ke dalam gedung Apartemen.
"Kamu ngapain ngikutin aku?" Tanya Monica.
"Gue gak bisa keluyuran malem ini."
"Hubungannya sama aku?"
"Boleh gak lu nolongin lagi gue."
Awalnya Monica ingin menolak namun ia mengingat semua bantuan Reza atas dirinya. Ia membawa lelaki itu masuk ke dalam Apartemen. Kebetulan Reza adalah remaja lelaki pertama yang berkunjung.
"Kamu boleh tidur disini." Ujar Monica langsung masuk ke dalam kamarnya.
Reza sedikit mengerucutkan bibirnya, ia melihat seluruh kota lewat jendela.
"Lumayan juga pemandangannya." Kakinya melangkah lagi, sepertinya Reza ingin sedikit room tour.
"Jangan sentuh barang apapun." Gumam Monica ketika melihat Reza hendak meraih buku album. Ia menutup pintu kamarnya dan pergi mengecek dapur.
"Lu mau masak?" Tanyanya menghampiri Monica yang sedang membuka kulkas.
Keduanya terdiam saat menyadari kalau tidak ada apapun di dalam kulkas.
"Pesen Go Food aja kalo gitu." Monica mengambil ponselnya dan memesan beberapa makanan.
Sembari menunggu pesanannya tiba mereka menonton serial drama yang lewat di televisi.
"Ngomong-ngomong lu tinggal sendiri disini?"
Monica mengangguk.
"Mau gue temenin gak? Gue bisa langsung pindah besok kok." Kata Reza dengan wajah yang sumringah.
Monica tidak menanggapinya "Kenapa tadi dikejar-kejar sama polisi?"
Reza terdiam. "Masalah tongkrongan, ada yang berantem. Hal biasalah."
Gadis itu menghembuskan napasnya. Mengiyakan penjelasan Reza.
Berada di pantai dengan suasana yang tenang, suara ombak dan burung-burung berkicau. Monica menoleh ke belakang lalu melambaikan tangannya pada ayah dan ibu yang sedang berpelukan. Dari sorot matanya terlihat bahwa Monica sangat senang dan bahagia. Ini adalah kehidupan yang diinginkan olehnya. Sebuah kedamaian dan rasa cinta yang amat besar, tidak ada yang mengganggu kehidupannya. Monica menghampiri orang tuanya, mereka memeluk Monica dengan sangat erat. Sampai tiba-tiba ada sebuah batu yang jatuh tepat dibawah kaki Monica. Gadis itu menatap lurus dan mendapati kerumunan manusia yang berlari sembari terus melempari ia dan kedua orang tuanya dengan batu. Monica menjerit begitupun dengan kedua orang tuanya yang sudah babak belur dan dibasahi oleh darah.
Monica menangis parau, apa yang terjadi? Kenapa kebahagiaan nya hanya sangat sesaat saja.
Matanya langsung terbuka, rupanya barusan hanyalah mimpi. Ia bangun dari tidurnya dengan keadaan masih setengah sadar. Monica mengusap rambutnya dan melihat Reza sudah terlelap sembari terlentang.
Paginya Reza dibangunkan oleh suara lalu lalang jalanan.
"Ah, siapa sih yang buka jendela pagi gini." Gumamnya merangkak menuju sofa. Reza hendak menutup lagi matanya tapi ia ingat akan sesuatu. Lelaki itu celingukan dan menemukan Monica yang sedang duduk dimeja makan.
"Pagi,...." Sapanya duduk di hadapan Monica.
"Nyenyak?"
Reza mengangguk, ia meraih teh hangat milik Monica dan meneguknya.
"Aku kasih sian*da di tehnya."
Reza tidak termakan oleh omong kosong Monica.
Keduanya menikmati angin pagi yang segar.
"Ada rencana hari ini?"
"Kenapa emangnya?"
"Mau ikut gue ke bengkel gak?"
"Ngapain ke bengkel?"
"Benerin perasaan lu biar suka balik sama gue."
.... Tak ada jawaban apapun dari Monica.
"Kalo mau ikut ayo dari pada lu gak ngapa-ngapain." Imbuh Reza sedikit memaksa.
"Aku ada acara."
"Ya udah gue anterin kalo gitu."
"Gak usah! Kamu pergi aja. Aku gak perlu dianter-anterin kok." Ujar Monica memalingkan wajahnya yang seketika itu diterpa oleh angin.
Untuk pertama kalinya Reza meyakinkan diri bahwa wanita dihadapannya adalah jodoh yang dikirim Tuhan. Cantik sekali sampai Reza tidak mau mengedipkan matanya.
Di waktu yang sama namun berbeda tempat.
Seorang anak dibawah umur sedang diamankan oleh petugas polisi. Gadis itu terduduk bersama dengan beberapa orang di dalam sel.
Tak lama tibalah pria bertubuh besar, ia hendak menjemput gadis itu. Pria itu segera mengurus semua surat-surat dan membawanya keluar dari kantor polisi.
"Udah gue bilang buat berhenti nyuri makanan di supermarket."
Gadis berambut pirang itu menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil.
"Berisik! Yang penting gue gak jualan obat-obatan kaya lu."
Pria itu hendak menjawab namun mengurungkan diri. Lebih baik tidak mengatakan apapun.
Selang dua jam Monica baru keluar dari lift, ia terkejut karena Reza menunggunya. Monica hendak menegur Reza tapi tampaknya lelaki itu tengah serius mendengarkan berita di televisi.
'Ditemukan dua buah plastik berisi Ganja.' – Headline.
Monica memperhatikan Reza dari belakang memikirkan blog internet yang sempat di baca olehnya. Apa mungkin Reza termasuk anak dibawah umur yang mengelola bisnis gelap? Rasanya tidak mungkin polisi mengejar Reza hanya karena perkelahian kecil di tongkrongan.
"Akhirnya turun juga." Seru Reza berdiri.
"Kamu nungguin aku?"
"Gue mau anter lu sampe halte."
Monica melangkahkan kakinya. "Aku bisa ke halte sendiri. Jadi urus aja urusan kamu sendiri." Ujarnya keluar dari lobi.
Reza masih bersikeras membuntuti Monica.
"Lu takut banget sama mereka? Se-takut itu sampe kayaknya gue itu pembawa sial buat lu?"
"Enggak. Bukan itu maksud aku." Jawab Monica menghentikan langkah kaki.
"Terus? Lu merasa dirugikan kan kalo gue ada di deket lu?"
"Reza. Keadaan disekolah gak baik buat aku. Aku takut kalo hubungan kamu sama Dimas makin parah."
Reza memicingkan matanya. "Gue rasa bukan itu alasannya. Alasan yang sebenarnya lu mau gue menjauh biar mereka gak ngebuli lu lagi."
"Denger Monica. Pembullyan yang terjadi ke lu itu tergantung diri lu sendiri bukan orang lain. Sekalipun gue ikut campur kalo lu gak ngelawan mereka. Nasib lu bakal tetep sama. Jadi gak ada hubungannya sama gue." Imbuhnya membuat Monica terdiam.
Reza menghembuskan napasnya. "Kenapa harus takut sama Karin? Dan juga kenapa lu gak ngelawan setiap Dimas menindas lu?"
Monica masih belum menjawab.
"Itu karena lu takut. Lu merasa kalau diri lu pantes buat di injek-injek sementara nyatanya lu harus lebih kuat dari pada mereka. Keadaan yang terjadi terhadap bokap lu gak merugikan semua orang tapi dengan mudahnya lu merasa bersalah seolah kejadian penggelapan dana itu merugikan sekolah."
Reza mengusap rambut ke belakang. "Bokap lu ngelakuin penggelapan dana buat bantu orang-orang susah. Dia gak pernah melakukan penyuapan ke bokap nya Dimas. Bahkan waktu ditangkap aja dia menyerahkan diri, gak ada perlawanan sama sekali. Kenapa lu pasrah dengan perlakuan buruk anak-anak disekolah? Lu berhak buat melawan, lu pantas buat membela diri,....."
"Tapi ayah aku jual narkoba. Dan ibunya Kim terseret karena pake narkoba yang ayah jual. Kimberly dirugikan begitupun dengan Dimas yang nama ayahnya terseret dan bikin imagenya sebagai Irjen buruk. Penggelapan dana dan menjual narkotika yang ayah lakuin mungkin untuk hal positif. Dua-duanya termasuk perbuatan yang salah walaupun dilakukan untuk hal baik. Mereka pantas melampiaskan emosinya ke aku. Karena aku anak dari seseorang yang udah bikin kehidupan mereka menderita."
"Lu gak boleh jadi pecundang kaya gini Monica! Pengacara bokap lu berusaha buat cari keadilan dan lu juga harus dapet keadilan itu. Bukannya pasrah gitu aja!" Nada bicara Reza agak naik. Ia kesal karena Monica dengan sukarela membiarkan teman-temannya menjatuhkan harga diri Monica.
Reza menghembuskan napasnya pelan. "Sorry gue terlalu ikut campur." Ujarnya menyesal.
Tiba-tiba saja terdengar suara bising kendaraan yang berjumlah cukup banyak, bak geng motor yang ada di film-film. Mereka berhenti ketika melihat Reza sedang berbicara dengan seorang perempuan.
Salah satu dari mereka turun dari motor.
"Gue kira lu ke tangkep." Gumam Jo.
"Aman. Kalian semua mau pada kemana?"
"Kita dipanggil sama Big Boss sekalian mau ngambil beberapa barang yang baru dateng." Ujar Jo melirik Monica.
"Pacarnya Rezan?" Tanya nya tiba-tiba.
Monica mengangkat alisnya. "Rezan?"
"Reza maksud gue."
Monica menggelengkan kepalanya.
Jo menyipitkan matanya pada Reza seolah tidak percaya sementara lelaki itu hanya tersenyum tipis.
"Kalo gitu gak ada yang jaga di bengkel?"
"Bengkel tutup."
Reza menarik napas lalu menghembuskannya. "Gue pinjem motor lu dong. Gue mau anter Monica sekalian baliknya ke bengkel."
"Lu mau buka bengkel sendirian gak akan ikut nemuin Big Boss?"
Reza mengangguk dengan wajah yang gundah. "Target bulan ini belum kecapaikan, biar gue yang urus pelanggan."
Jo memandang teman-temannya lalu setuju dengan usulan Reza.
Ia melempar kunci motornya pada Reza dan ingat sesuatu.
"Btw gimana sama black phone? Ketemu?"
"Kita bicarain itu nanti."
Mendengar ucapan Reza, perasaan Jo langsung tidak karuan.
Reza membalikkan badannya dan sudah tidak melihat keberadaan Monica.
"Dia udah naik bus tadi." Ujar salah satu anggota Remora.
Reza menyalakan motornya dan melenggang pergi bersamaan dengan Remora namun dipersimpangan jalan ia berpisah dengan teman-temannya. Mengikuti bus yang ditumpangi oleh Monica.
Ia menghentikan motornya di depan gerbang besar menjulang tinggi. Ada banyak sekali spanduk dan juga coretan-coretan pilox tanda protes karena Kresna (Om Monica) mencalonkan diri sebagai Wali Kota. Reza menyalakan motornya bersamaan dengan Monica yang keluar dari rumah itu.
"Kamu ngikutin aku?" Seru Monica terkejut.
Reza mengangguk santai.
"Kok keluar lagi?"
"Tante gak ada dirumah."
"Terus sekarang lu mau kemana?"
"Aku mau pulang."
"Biar gue anter."
Monica menggeleng.
"Gue udah pinjem motor temen gue buat nganterin lu. Gak kasian sama Jo? Dia jadi nebeng sama temennya."
"Fine. Aku naik karena Jo udah kasih pinjem motornya ke kamu."
Reza tersenyum kecil. Ia memberikan helm pada Monica setelah itu melajukan motornya.
Di perjalanan sesekali Reza menggoda Monica untuk memeluknya namun tidak ditanggapi.
"Geng motor barusan itu Remora?" Gumam Monica.
"Hah? Lu ngomong?"
Monica memutar bola matanya. "Iya!" Katanya sedikit berteriak.
"Ngomong apaan? Sini agak deketan ngomongnya."
Gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya. "Geng motor tadi itu, Remora?" Tanyanya sekali lagi.
"Loh tau dari mana?"
"Bukannya udah nyebar ya di sekolah kalau kamu salah satu anggota Remora?"
"Gue pikir lu gak tertarik sama gosip murahan di sekolah."
"Emang gak tertarik cuma anak-anak sekolah sering banget ngomongin tentang geng motor kamu."
Reza tidak menjawab ia sibuk memandangi wajah Monica lewat spion.
"Cantik banget." Gumamnya sangat pelan.
ooOoo
"Sampai ketemu minggu depan, ulangan."
"Ah, Pak~." Seru para siswa protes.
Monica membuka kotak makannya namun sesegera mungkin ia terkejut ketika Dimas memainkan bola basket.
Sepertinya trauma sudah mulai menjalar di seluruh saraf tubuh Monica. Bahkan terkadang ia ketakutan ketika seseorang bergerak cepat di dekatnya seolah hendak memukul.
Tiba-tiba saja Karin memanggilnya dan menyuruh Monica untuk menggantikan dirinya pergi ke perpustakaan mengambil beberapa buku yang dibutuhkan oleh guru sejarah.
Monica mengangguk menuruti perintah gadis berambut pendek itu.
Karin memandangi Monica dari kejauhan, ia sedang memikirkan rencana untuk membuat Monica keluar dari sekolah ini. Sementara itu Dimas menyadari isi pikiran Karin.
"Kalo sampe lu bikin Monica gak betah sekolah disini. Gue bakal jadiin lu sebagai pengganti Monica."
Karin mengangkat sudut bibirnya. "Gertakan lu gak mempan buat gue."
Monica meletakkan beberapa buku dimeja, ia masih perlu mencari satu buku lagi. Kepalanya menengadah namun tidak menemukan buku tersebut.
"Pak, buku sejarah kelas 12 di sebelah mana ya?"
"Coba cek di lorong D bagian 2."
Monica mengangguk dan pergi ke bagian lorong yang disebutkan. Ia melihat Reza, lelaki itu tengah mengobrol di telefon. Suaranya begitu pelan dan serius.
"Duitnya udah di Yohan, Bang. Dia yang megang selama 2 bulan ini."
Tanpa disadari oleh Monica ia bersembunyi dibalik lemari perpustakaan, mendengarkan percakapan Reza dengan seseorang di dalam ponsel.
"Bengkel masih aman buat di pake sama VIP. Jo juga udah mastiin gak ada aktivitas intel selama 2 tahun terakhir." Gumam Reza menarik buku lalu meletakkannya lagi.
"Semua masih aman. Abang bisa laporin ke Big Boss kalo bengkel bisa beroperasi sampe beberapa tahun ke depan."
"..."
"Okey." Reza mematikan ponselnya dan pergi dari perpustakaan tanpa menyadari ada Monica tengah bersembunyi di dekatnya.
Gadis itu menyusul keluar dari perpustakaan dengan isi pikiran yang penuh. Apa maksud dari pembicaraan Reza?.
"VIP? Intel? Big Boss? Terus kenapa nama kak Yohan di sebutin?"
Monica kembali ke dalam kelas dan disambut hangat oleh rangkulan Dimas. Lelaki itu meminta Monica untuk berdiri tegak pada tembok.
Kansa berdiri didepan Monica, tangannya menggunakan Glove sementara diseberang ada Dimas yang siap melempar bola. Kansa harus bisa menangkap bola tersebut karena kalo tidak bola baseball akan mengenai tubuh Monica.
"Satu... dua... tiga...." Bola tersebut dilempar dengan sangat kencang sampai Kansa yang menangkapnya kesakitan.
Dan tentu saja Monica ketakutan. Wajahnya panik luar biasa ketika mendengar Kansa berteriak.
"Payah!" Ujar Dimas sembari meminta dilemparkan bola baseball nya.
Para pelajar lain selalu menikmati pertunjukan yang dibuat oleh Dimas. Mereka cengengesan ketika melihat Monica yang akan menangis. Sarah hanya mampu menggelengkan kepalanya, seperti biasa tidak mau ikut campur.
Dimas bersiap untuk melempar dan kali ini Monica berteriak keras membuat seluruh siswa kaget begitu pun siswa yang ada diluar kelas.
Kansa langsung mematung melihat Monica sudah terduduk dilantai sembari menutupi kepalanya menggunakan kedua tangan.
Beberapa detik kemudian pada siswa tertawa, mereka menertawakan respon Monica. Bola tidak mengenai tubuhnya sama sekali melainkan menyentuh pigura sertifikat kelas sampai pecah. Dan tampaknya suara pecahan itu dikalahkan oleh teriakan Monica.
Dimas menyelesaikan tawanya, ia meraih bola baseball namun langsung memberi salam ketika melihat Miss. Kamel didepan pintu.
"Kenapa piguranya pecah?" Tanya beliau.
"Sama Monica tuh Miss. Dia tiba-tiba kaya orang kesurupan." Jawab Rehan membuat seisi kelas tertawa.
"Kamu ini!. Ada yang luka gak, Monica?"
Monica menggeleng sembari merapihkan rambut.
"Ya sudah beresin serpihannya kalo gitu. Yang piket tolong bantu Monica."
Sarah bangkit dari duduknya. Ia menghembuskan napasnya lalu mulai membantu Monica.
Di belakang sekolah Monica berterima kasih pada Sarah.
"Lu gak mau pindah sekolah?" Tanyanya memasukkan keresek sampah ke perapian.
Monica menggelengkan kepalanya. "Sebentar lagi kelulusan kok."
"Ya, semoga lu bisa bertahan sampe kelulusan." Sarah melempar sekantung keresek ke dalam drum yang berisikan api.
Monica terdiam, ia juga membakar sekantung sampah.
"Kalo lu gak mau ngelawan mending lu pindah sekolah aja. Sebelum berandalan itu bikin lu masuk rumah sakit."
Monica tersenyum.
"Hah~ gue gak paham sama isi kepala lu. Kenapa repot-repot bertahan di sekolah terkutuk ini."
Mendadak keadaan menjadi sunyi yang terdengar hanyalah suara percikan api.
Monica tengah berpikir apakah dirinya mampu melawan Dimas dan Karin?.
Apakah ia bisa seberani itu untuk melawan mereka?
Atau mungkin ia harus menyuruh seseorang untuk balas dendam atas perbuatan Dimas dan Karin pada dirinya?.
Bersambung..
Akhiri Revisi 22 September 2024
48Please respect copyright.PENANAU4pLSPImli