Sebuah fiksi yang dirancang oleh penulis itu sendiri. Alur yang dituangkan didalam cerita murni ide penulis. Jika ada kesamaan dalam nama, tempat hanyalah kebetulan. Dilarang keras untuk membawa perasaan terhadap kejadian yang tidak masuk akal. PERINGATAN! Setiap adegan kekerasan, pelecehan dan seksualitas tidak untuk ditiru!. Selamat membaca.
Flashback
Awal masuk SMA Bangsa jauh sebelum kasus Ayahnya Monica.
"Lu tau satu hal yang gue gak suka dari angkatan kita?"
Pertanyaan Jihan membuat Monica kebingungan.
"Apa? Memangnya ada yang salah?"
"Sekolahnya gak bermasalah tapi muridnya yang bermasalah. Sekolah Elite tapi Attitude sulit." Jihan mendekatkan diri pada Monica.
"Lu liat yang pake bomber plus hoodie merah, dia alumni SMP Tunas. Namanya Rezan, dia dikenal sebagai cowok musisi karena suka bawa gitar, dia juga ramah dan ganteng. Minusnya Reza anggota Remora."
"Remora? Ikan?"
Jihan menggeleng. "Remora itu geng motor yang megang wilayah utara. Mereka setuju gunain nama Remora karena rumornya mereka bawahan preman. Remora bisa disebut sebagai penghasil uang perusahaan X yang di pegang sama para preman itu."
Monica sedikit memiringkan kepalanya. "Penghasil uang? Mereka bisnis maksudnya?"
"Bener. Remora punya bisnis, mereka buka bengkel yang dikelola sama anggotanya tapi penghasil uang sebenernya bukan dari bengkel melainkan dari hasil judi online."
Monica memandangi Jihan tidak percaya. "Ah~ itu kan cuma rumor. Lagian situs judi online pasti susah buat diakses karena ilegal."
Jihan berdesis. "Justru akses judi online itu gampang nyebar nya. Mereka sebagai anggota tinggal nawarin ke temen-temennya buat ikutan. Syarat jadi anggota Remora itu harus dibawah umur. Kalo mereka ketangkep, polisi gak bisa ngehukum karena mereka bukan orang dewasa."
Monica tidak terlalu percaya, ia hanya mengganggap perkataan Jihan sebagai rumor biasa.
Jihan sering sekali menganalisis keadaan sekolah, ia selalu membuat teori-teori liar yang menurutnya menyenangkan.
Monica dan Jihan duduk di kafetaria setelah mengambil makanan. Mereka sibuk mengobrol kesana-kemari mengenai banyak hal.
"Bisa gak sih dia berhenti gangguin anak-anak lemah."
Kata Jihan mengarah pada Karin yang sibuk mengganggu para siswa/siswi lemah.
"Mereka cocok banget kalo jadi pasangan. Sama-sama tukang buli." Ujar Jihan saat melihat Dimas tengah berjalan masuk ke kafetaria dengan raut wajah yang marah.
Sampai akhirnya keadaan kafetaria menjadi chaos. Dimas menendang tubuh siswa lelaki hingga jatuh ke lantai. Siswa itu hendak berdiri namun dengan cepat Dimas memukul kepalanya menggunakan food tray stainless. Lelaki itu berteriak kesakitan, Dimas hendak menginjak lelaki tersebut namun teman-temannya mencegah.
"Udah Dim, udah!" Kata Rehan sedikit marah.
"Cleo gak sengaja patahin tongkat baseball lu. Lagian lu bisa beli yang baru."
Dimas melepas semua cengkeraman teman-temannya. "Perstan Anjng." Ujarnya menendang kursi dan melenggang pergi.100Please respect copyright.PENANABzcCXfbYZZ
Monica menghembuskan napasnya, ia tegang dan sedikit ngeri pada Dimas.
"Serem banget." Gumamnya pada Jihan.
"Miris banget gue sama attitude nya. Jangan sampe deh kita berurusan sama orang ringan tangan kaya Dimas."
Membayangkannya saja sudah membuat Monica merinding.
Dimas dikenal sebagai siswa yang ringan tangan. Tidak peduli orang itu laki-laki atau perempuan kalau menurutnya pecundang maka harus di tindas.
Sikapnya yang kasar itu terbentuk dari papanya yang kejam. Dimas dipaksa untuk selalu hidup dengan pencapaian terbaik. Dia tidak boleh ada di nomor 2, semua yang dilakukan oleh Dimas harus selalu nomor 1. Karena itu bisa membuat reputasi papanya sangat baik di kepolisian. Mereka akan beranggapan bahwa beliau berhasil mendidik sang anak.
"Ngejaga tongkat baseball aja sulit, Dim?!" Sebuah tongkat panjang mendarat di bokongnya.
Posisi Dimas seperti orang push up. Ia memejamkan mata setiap papanya memukul. Mulut Dimas berhitung sampai hitungan ke 10 setelah itu papanya akan berhenti memukul.
Tongkat itu dilempar ke lantai. "Dasar anak gak berguna!." Ujarnya keluar dari ruangan dengan amarah yang masih bergejolak.
Perlahan Dimas menurunkan tubuhnya, menempel dengan lantai. Ia memejamkan mata membuat air mata menetes ke lantai. Tubuhnya terasa nyeri, bokongnya panas dan berdenyut. Sementara hatinya sudah hancur. Dimas menangis tertahan.
Tangan Dimas mengepal, ia menyalahkan Cleo karena tongkat baseball pemberian papanya dipatahkan. Saat itu Cleo lupa membawa tongkat miliknya dan pelatih menyuruh Cleo untuk menggunakan tongkat milik Dimas terlebih dahulu. Namun saat memukul bola justru tongkat baseball milik Dimas terbagi menjadi dua. Cleo tidak tahu kalau kejadian itu bisa membuat dirinya masuk rumah sakit.
Dimas dilaporkan atas penyerangan Cleo di cafetaria.
"Apa masalahnya serumit itu?" Gumam Monica.
Semua siswa memperhatikan Dimas yang didatangi ibu sekaligus pengacaranya Cleo.
"Mengerikan, gue rasa ini alasannya kenapa bokap gue selalu ingetin gue buat gak cari masalah disekolah ini. Itu karena sekolah kita diisi sama anak-anak yang punya backing-an." Jelas Jihan memakan camilannya.
Entah bagaimana sekolah menyelesaikan masalah Dimas dan Cleo. Yang pasti satu minggu kemudian Cleo pindah sekolah sementara pelatih baseball digantikan oleh orang baru.
Monica berjalan menuju parkiran untuk menemui ayahnya yang baru saja selesai rapat dengan kepala sekolah. "Maaf, aku gak sengaja." Pekiknya mengambil plester yang jatuh dan memberikannya pada siswa lelaki jangkung.
Flashback End
Mata sayu itu menatap layar televisi yang sedang menayangkan berita mengenai artis Kimberly.
Namanya terseret karena kasus penggunaan narkoba. Penyelidik yang menyelidiki kasus Denan Chandera yakni ayah Monica, mendapatkan nama orang-orang penting di dalam nya. Rupanya kasus Penggelapan Dana dan Narkoba yang terjadi pada DC bukan lah kasus simple yang dilakoni oleh satu orang saja tetapi merambah pada dewan-dewan petinggi negara.
"Gak kemana-mana den?" tanya mba Ratih pada Reza yang duduk di sofa.
"Lagi nunggu balesan chat dari temen. Mau cabut kok nanti."
Mba Ratih mengangguk. "Tumben nonton berita, aden kan gak suka berita."
Reza menoleh. "Ah gak ditonton kok. Reza fokus ke hp." Katanya memasukkan ponsel ke saku hoodie lalu beranjak dari rumah.
Remaja itu bergegas menaiki motornya.
Aroma karbol menjadi ciri khas rumah sakit. Dimas berdiri memandangi ruang inap yang menampakkan seorang remaja lelaki tengah berbaring. Ada banyak sekali alat rumah sakit yang menempel ditubuhnya.
"Gue tau gue gak seharusnya benci banget sama dia."
Gumamnya nyaris tanpa suara.
Reza memarkirkan motornya di basement. Ia berjalan memasuki area dalam sembari menenteng keresek berisikan makanan.
"Udah waktunya ganti baju ya sus?" Tanya Reza.
"Iya, mohon tunggu diluar ya kak."
Reza menyimpan bingkisannya lalu menunggu dikursi tunggu. Saat sedang melihat sekeliling matanya bertemu dengan mata besar milik Dimas.100Please respect copyright.PENANACJZLUYzcQn
Dimas berjalan menghiraukan tatapan Reza yang tajam.
"Apapun yang ada di pikiran lu saat ini, itu gak akan merubah keadaan Saka." Ucap Reza membuat Dimas berhenti melangkah.
"Jangan karena gue diemin lu sekarang. Lu merasa gue gak ada dendam terhadap Remora. Inget! Kalo bukan karena lu, Saka dan Sean pasti bakal baik-baik aja sampe sekarang." Dimas tak banyak berbasa-basi.
Ia melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Reza yang diselimuti dengan rasa bersalah.
Reza menundukkan kepala merenungi ucapan Dimas. Memang benar apa yang terjadi pada Saka dan Sean diakibatkan oleh geng motor Remora yang bermasalah dengan antek-antek preman pasar.
Saka masih dalam keadaan koma sementara Sean kehilangan sensor gerak pada kakinya dan juga ia tidak bisa berbicara lagi. Tidak ada keuntungan dalam insiden baku hantam yang terjadi di jalanan. Beritanya sempat mencuat namun ter-alihkan oleh kasus Denan Chandera.
Setelah para suster selesai menangani Sean, Reza duduk di kursi.
"Udah enakan badan lu?"
Sean mengangguk.
"Syukurlah." Gumamnya.
Sean meraih ponselnya.
"Gimana keadaan Saka? Udah siuman?"
"Tadi gue ketemu Dimas, dari raut wajahnya udah keliatan kalau belum ada tanda-tanda baik dari Saka."
"Saka pasti bakal baik-baik aja. Lebih baik lu istirahat, balik sana. Gue gak sudi kalo suster nyangka gue penyuka sesama jenis."
Reza mendecak. "Alah kalo pun gue penyuka sesama jenis gue gak bakal pilih lu jadi pasangan gue, ege."
Lelaki itu menggetarkan kaki kanannya. "B T W, ada cewe yang gue suka di sekolah."
"Udah move on lu dari cinta pertama lu waktu SD?"
Reza tersenyum kecil. "Kalo gue udah bisa jatuh cinta lagi, artinya gue udah lupain dia."
"Awas aja ya lu kalo gak nengokin gue lagi."
"Dih~ labil banget jadi orang. Tadi katanya kagak mau gue jengukin. Giliran gue ada cewe aja lu cemburu."
"Bangs*t, kagak ada gue cemburu ama lu. Pergi sana, njing."
"Ciealah~ bete nih yeee."
Kali ini Sean tidak membalas dengan ketikan di ponsel melainkan mengacungkan jari tengahnya pada Reza.
Di perjalanan Reza memikirkan kelompoknya, Remora. Sepertinya apa yang tengah terjadi pada Remora semakin rumit. Yang terjadi pada Sean dan Saka harus menjadi yang terakhir.
Reza melajukan motornya ke bengkel untuk mengobrol ringan dengan teman-temannya. Ia menyalakan sebatang rokok.
"Ada tamu di dalem?" Tanya Reza.
"Iya, baru dateng 3 orang. Lagi ditangani sama si Yayat. Gimana keadaan Saka?"
Reza menghembuskan napasnya bersamaan dengan asap rokok yang mengepul terbawa angin.
"Saka masih belum bangun."
Sekawanan remaja itu mengeluarkan mimik wajah putus asa.
"Pihak panti bilang kalau mereka udah ikhlas. Kasian Saka, takutnya dia gak bisa pergi karena kita yang belum rela."
Reza hanya terdiam tidak menanggapi perkataan teman-temannya.
"Kalo sampe Saka meninggal. Dimas bakal bikin kita masuk penjara, dia pasti minta keadilan buat Saka."
"Itu bakal bahaya banget buat Remora dan bengkel kita."
"Gue berharap Saka cepet siuman. Masalah kita sekarang ini udah rumit, belum lagi kita harus ngurusin klien bengkel yang rewel. Kita gak bisa terus-terusan numbalin orang lain, apalagi ini hampir bocor. Kalo Dimas sama bokap nya ikut campur, kita gak bisa ngapa-ngapain."
ooOoo
Monica memperhatikan kulit tangannya yang mengelupas, ia mencabutnya secara perlahan. Kulit bibirnya pun terkadang ia tarik membuat bibirnya sedikit terluka. Teman-temannya memperhatikan Monica yang sedang duduk disudut kafetaria. Mereka saling berbisik membicarakan bahwa sepertinya Monica sudah mulai gila. Ia terlihat putus asa apalagi tubuhnya selalu ditutupi oleh sweater. Setiap jam makan siang, Monica tidak pernah lagi memakan makanannya. Ia hanya duduk tertegun dengan tatapan yang kosong.
Dua orang siswi menghampirinya dan meminta Monica untuk pergi. Monica menurut, ia meraih tempat makannya dan melangkah mencari tempat yang sepi. Seperti biasa beberapa orang jahil padanya. Monica nyaris tersandung namun ia masih bisa menjaga keseimbangan.
"Apa liat-liat? Gue colok ya mata lu kalo natap gue lagi." Ujar Dara temannya Kim.
Gadis berambut panjang itu menghembuskan napasnya menahan amarah. Kedua tangannya menggenggam tempat makan dengan sangat kuat sampai bergetar.
Dara melanjutkan makan siangnya tapi tiba-tiba saja percikan air menyentuh sepatu putihnya, Dara mendongak melihat Dimas tengah mengguyur kepala Monica dengan air sayur. Dara mengatupkan bibirnya ketika melihat rambut Monica sudah dipenuhi dengan sayuran.
Dimas menyimpan mangkuk di meja lalu memasukkan tangannya ke saku. Ia berdiri di hadapan Monica.
"Sorry, tangan gue licin."
Monica hanya terdiam tidak berani melawan. Amarah yang di picu oleh Dara lenyap begitu saja ketika berhadapan dengan Harimau seperti Dimas.100Please respect copyright.PENANAMN7SZ0x441
Keadaan kafetaria sangat sepi, semua orang tertuju pada Dimas dan Monica sebelum akhirnya Dimas memekik kaget, beberapa siswa juga berteriak termasuk Monica yang ikut terkejut.
Dimas menyentuh kepalanya yang basah dan lengket. Ia berbalik dan mendapati Reza tengah berdiri tidak jauh darinya. Raut wajah Reza tidak terlihat menyesal setelah melempar sekaleng minuman ke kepala Dimas.
Tentu itu membuat amarah Dimas meningkat. Lelaki itu meraih kaleng minuman yang tergeletak di lantai lalu melemparnya ke arah Reza namun ia bisa menghindar. Dimas berjalan dengan cepat untuk memukul wajah Reza namun belum apa-apa Reza langsung menendang perut Dimas. Lagi.
Dengan santai Reza menghampiri Dimas yang terduduk kesakitan di lantai. Dimas mencoba untuk memukul lagi namun Reza menahannya dengan kaki. Ia meletakkan kaki kanannya di pundak kiri Dimas.
"Ini akibatnya kalo lu gangguin pacar orang."
Gumamnya menginjak lebih keras sampai Dimas berteriak kesakitan.
Tak terima dirinya diinjak seperti ini, Dimas menendang kaki belakang Reza lalu memukul wajahnya menggunakan mangkok. Dimas tersenyum kecil ketika melihat ada darah di pipi Reza.100Please respect copyright.PENANADb4LcQz84c
Mereka berkelahi dengan keras. Tak ada yang mau mengalah.
Para siswa sibuk merekam dan menonton perkelahian keduanya. Bahkan tak ada yang mau memisahkan. Sementara Monica berlari keluar dari kafetaria menuju ruang guru. Ia mengadu kalau Reza dan Dimas tengah berkelahi. Hanya itu satu-satunya cara agar mereka berhenti.
Kembali ke kafetaria. Kansa serta Guin tengah memisahkan keduanya.
Pipi Reza dan kening Dimas mengeluarkan darah begitupun sudut bibir keduanya yang terluka. Penampilan keduanya berantakan.
"DASAR BERANDALAN. TIAP HARI KERJAAN NYA RIBUT TERUS. REZA, DIMAS PANGGIL ORANG TUA KALIAN!." Teriak Kepala Sekolah.
Bahkan Kepala Sekolah turun langsung untuk menghentikan perkelahian keduanya. Beliau sudah begitu bosan mendapat laporan perkelahian antara Reza dan Dimas yang tak pernah kunjung usai.100Please respect copyright.PENANAvugi701WZk
Bell bubaran sekolah sudah bunyi satu jam yang lalu. Di koridor dekat gudang tampaknya anak-anak masih berkumpul.
"Ngh!." Pekik Monica ketika tubuhnya dibenturkan ke tembok.
Karin menekan kepala Monica ke tembok. "Lu liat kan Reza dan Dimas jadi makin gak akur gegara lu!." Serunya menarik rambut Monica.
"Lu itu cuma sumber masalah! Lebih baik lu ikut sama bokap lu masuk ke Penjara." Tambahnya mendorong Monica sampai gadis itu tersungkur membentur tong sampah.
"Kasih dia pelajaran!." Perintah Karin pada bawahannya.
Para siswi itu langsung menginjak dan mempermainkan Monica. Beberapa dari mereka menampar wajahnya dan juga bercanda akan membakar rambut Monica.
Ia mencoba untuk melawan namun rasa takutnya lebih besar dari pada keberaniannya.
Karin tertawa menikmati pertunjukkan tersebut.100Please respect copyright.PENANAXgzQKSxv73
Monica dikeroyok habis-habisan, sampai ia tidak bisa melawan lagi. Tubuhnya terkulai lemas membuat lawannya tidak nafsu untuk mengganggu dan memilih untuk pulang saja. Monica tak pernah menangis lagi, ia hanya mengeluarkan mimik wajah menahan sakit.
Bibirnya berdarah sementara lehernya terkena sayatan dari kuku panjang Karin.
Ia berjalan dengan lunglai, sesekali Monica menyentuh pinggangnya. "Ah!." Pekiknya ketika mencoba mengusap rambut yang menutupi wajah. Luka di bibirnya tersentuh.
Mendadak langkah kakinya terhenti, ia terkejut melihat tangan Reza dibalut perban.
Begitu pun dengan Reza yang tanpa disadari mendekat, ia juga sama terkejutnya seperti Monica ketika melihat penampilan gadis itu sangat berantakan.
"Siapa yang ngelakuin ini ke lu?" Tanyanya ingin menyentuh wajah Monica namun ia menahan diri.100Please respect copyright.PENANAYvkb9OxYb2
Monica memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.
"Aku udah bilang sama kamu buat berhenti jadi penyemangat aku!" Gumamnya kembali melangkahkan kaki.
"Salah kalo gue cari ke adilan buat lu?"
"Kamu harus liat apa yang terjadi sama aku selama kamu ikut campur, Reza! Kamu bikin kehidupan aku makin buruk." Ujar Monica sedikit berteriak.
"Aku mohon! Jangan lagi coba-coba buat selamatin aku. Aku bisa urus mereka semua sendirian." Pintanya.100Please respect copyright.PENANA38HcvpBhqa
Monica tidak memikirkan perasaan Reza yang sangat ingin menyelamatkannya dari pembulian. Menurutnya kehadiran Reza malah membuat perbuatan Karin dan Dimas semakin ganas. Ia juga tidak mau menyeret orang lain untuk terluka karena dirinya.
Reza memperhatikan kepergian Monica. Ia menghembuskan napasnya ketika melihat gadis itu berjalan dengan kaki yang pincang.
Di kediaman rumah dinas, Dimas baru saja ditampar oleh papanya.
"Kenapa ngebiarin anak sialan itu buat nyentuh muka kamu?" Tanya sang papa marah.
Dimas hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Sampe kapan mau kalah terus? Seenggaknya kalo kalah soal nilai kamu bisa menang dari masalah pertarungan."
Ia tak menjawab.
"Nunggu apa lagi?" Tanyanya mengintimidasi. Segera mungkin Dimas memposisikan diri seperti biasa. Beliau berulang kali menghukum Dimas ketika anak itu menjatuhkan harga dirinya.
Yang diharapkan orang tuanya Dimas adalah martabat dan harga diri. Mereka memaksa anaknya untuk sempurna agar layak dipamerkan, menjadi bahan perbincangan dan perbandingan anak-anak lainnya. Menjadikan Dimas role model yang layak ditiru. Dan tentu nantinya beliau akan sangat bangga atas itu semua.
Tak pernah memikirkan bagaimana perasaannya Dimas. Apakah anak itu menjadi dirinya sendiri? Apakah ia bahagia menjalani kehidupan seperti ini?.
Esoknya Dimas turun dari mobil disusul oleh Kansa yang menghentikan motor.
"Udah ke rumah sakit lu?" Tanya Kansa.
Dimas mengangguk. Keduanya langsung teralihkan oleh suara bising knalpot motor.
Reza bersama dengan rombongan anak kelasnya baru saja tiba disekolah. Sudah terlihat jelas kalau mereka adalah geng motor.
Kansa meninggalkan Dimas karena harus memarkirkan motornya terlebih dahulu. Setelah itu ia melewati Reza dan Karin yang sedang berbincang.
"Tangan lu gak parah kan?" Tanya Karin mencoba menyentuhnya.
Namun lelaki itu menghindarinya. "Gue gak kenapa-napa." Ujarnya.
"Syukurlah kalo gak parah. Bisa-bisanya Dimas bikin tangan lo kayak gin....."
Kalimat Karin tersendat ketika Reza memotong. "Gue gak punya banyak waktu buat ngomong sama lu.
"Ucapnya melenggang pergi meninggalkan Karin.
Gadis itu langsung menghentakkan kaki, kesal.
"Reza kancingin seragamnya." Tegur seorang guru.
"Aduh pak susah nih." Anak itu mengangkat tangan kirinya yang dibaluti perban.
"Monica bantuin Reza kancingin seragamnya."
Monica yang hendak menaiki tangga langsung mematung. "Tapi, pak."
"Eh mau nolak perintah bapak?"
Dengan sedikit mendesis pada akhirnya Monica menurut. Ia tak mau melihat Reza karena tahu kalau lelaki itu pasti sedang menatapnya dan betul saja. Reza memperhatikan wajah Manda.
"Udah diobatin dengan bener lukanya?"
"Gak usah ngomong sama aku." Bisiknya100Please respect copyright.PENANAHY7yadToOT
memasangkan kancing terakhir.
"Sudah pak. Monica izin ke kelas ya." Gadis itu langsung kabur lebih tepatnya menjauhi Reza karena takut kalau Karin melihat maka ia akan dihajar lagi.
"Tumben lu rapih." Teo meledek.
Reza langsung berbisik. "Dirapihin sama doi." Katanya100Please respect copyright.PENANAi4kQ76ZsNb
sembari malu-malu.
"Cewek mana lagi yang lu incar, Za~"
"Dih ngomongnya seolah gue sering banget ngincer cewek."
"Cewek lu kan banyak. Bagi kek gue satu."
Reza merangkul Teo. "Gue bakal kenalin lu sama temen cewek gue asal mau bantuin gue."
"Bantuin apaan?"
"Dapetin nomor hp nya Monica."
Teo terdiam memandangi Reza.100Please respect copyright.PENANA9BmFLRAwNI
"Lu suka sama dia? Dia kan anak Napi."
Raut wajah Reza berubah menjadi dingin membuat Teo ketakutan.
"Okey, Okey. Gue bantuin, jangan ngambek gitu dong. Serem." Ujarnya langsung kabur.
Reza menyunggingkan giginya melihat Teo terbirit-birit ketakutan.
Walau Monica berusaha untuk menjauh darinya, ia tidak akan menyerah untuk selalu mendekati Monica.
Bersambung..
Akhir Revisi 18 September 24
100Please respect copyright.PENANApYaseVtCsg