Terik sinar matahari yang akan tenggelam menyorot wajahnya. Monica tengah menyirami tanaman yang ada di halaman belakang tantenya.
"Aduh non, udah biar sama mba aja."
"Gak apa-apa mba, biar sama Monica aja." Ucapnya menekan selang agar menyemprot lebih jauh.
Saat ini raganya ada di rumah tapi isi pikirannya ada di luar. Setelah pulang dari sekolah, Monica kembali ke rumah tantenya tapi ternyata beliau masih belum pulang. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu. Monica menyentuh bingkai foto berwarna cokelat keemasan, disana terpampang wajah sang tante dan om serta bayi kecil.
Bayi itu adalah anak pertamanya Sani dan Kresna. Sudah 19 tahun mereka kehilangan putra kecilnya, kala itu Sani tengah memberi asi untuk Ryan namun tidak pernah ada dipikirannya jika hal menyedihkan akan tiba di hari yang sangat bahagia. Ryan memejamkan mata untuk selamanya di usia yang baru 5 jam lahir ke dunia. Tentu ditinggalkan anak pertama yang sangat diinginkannya menjadi hal yang amat menyakitkan, Sani terpuruk hampir 10 tahun lamanya. Ia masih tidak bisa menerima takdir yang di beri Tuhan padanya. Setelah kejadian tersebut Sani dan Kresna memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi.
Pernah sekali Monica memergoki tantenya sedang menangis di gudang, beliau menangis di depan ranjang bayi yang sudah usang. Sepertinya luka atas kehilangan akan terus menghantui sampai akhir usia.
Sejak dulu ibunya selalu meminta Monica untuk perhatian pada semua orang, ia harus selalu baik dalam menanggapi segala hal. Monica menerapkan hal itu tapi tidak pada semua orang. Monica merasa bahwa sekarang ada yang berubah pada dirinya namun entah apa itu.
Sampai jam 10 malam tantenya masih juga belum pulang. Monica berjalan keluar gerbang untuk menikmati angin dan juga langit. Ia meregangkan tubuhnya yang pegal sembari melihat tetangga yang sibuk memindahkan barang-barang ke dalam mobil. Anak kecil yang mengenali Monica langsung melambaikan tangannya. Monica tersenyum lalu membalas lambaian anak tersebut.
ooOoo
Kemarin malam di grup obrolan kelompok Sarah mengumumkan bahwa mereka akan melakukan kerja kelompok di sekolah dan Dimas mengusul untuk mengerjakan tugasnya di taman lapangan baseball.
Monica mendaratkan bokongnya sembari meletakkan beberapa alat belajar. Ia melihat ke arah lapangan, disana ada Dimas yang sedang latihan bersama dengan teman-temannya.
"Kalo lu mau neliti kenakalan remaja gak usah jauh-jauh, ada Dimas tuh si biang kerusuhan." Ujar Sarah mengetik sesuatu di laptopnya.
"Meriset langsung dari orangnya gak semudah yang dibayangin." Jawab Monica pelan.
"Iya lah maling aja gak akan ngaku kalo dia maling." Sahutnya masih fokus pada laptop.
Monica memperhatikan sekeliling, ia mencari keberadaan Reza karena biasanya siswa itu nongkrong di sekitaran sini.
"Lu pacaran sama Reza?"
Pertanyaan Sarah mengalihkan fokus Monica. Gadis itu menggelengkan kepalanya.
Sarah menatap Monica beberapa detik setelah itu kembali melihat laptop.
"Seenggaknya Reza udah peduli sama lu dan orang seperti dia harus lu pertahanin." Jelasnya dengan raut wajah yang dingin.
Monica diam saja tidak menanggapi apapun. Ia tahu bahwa mungkin memang hanya Reza yang memihak pada dirinya.
Tidak lama Dimas menghampiri para wanita.
"Rehan mana?" Tanyanya membuka helm.
"Lagi rapat osis katanya."
"Halah~ rapat osis apaan lagi sih orang mereka gak ngehasilin apa-apa." Dimas duduk di sebelah Sarah. Matanya melihat Monica yang sedang menunduk menghindari dirinya. Remaja itu menghembuskan napas, kali ini ia memberi kesempatan untuk Monica ada di hadapan dirinya.
"Keringet lu bau, anj!." Pekik Sarah menutup hidungnya.
"Heh bau dari mana, ini bau parfume Chanel."
"Harus ya lu sebutin mereknya?" Sarah mulai sewot.
"Lah kenapa? Gue kan kaya raya!." Dan Dimas membalasnya dengan lebih sewot.
Monica menggaruk tengkuk lehernya. Ia tidak biasa berada di dekat Dimas dengan atmosfer yang normal.
"Apa yang lu dapet dari riset lu tentang penyimpangan remaja di sekolah?" Sarah meraih iPad Dimas.
"Gampang lah, Gue ngeriset pembuliannya Karin ke Monica." Katanya.
Monica dan Dimas saling bertatap beberapa detik.
"Kenapa gak ngeriset diri lu sendiri? Lu juga ngebuli Monica."
Dimas berdesis. "Heh! satu sekolah ngebuli dia kali."
"Gue engga tuh."
"Ya, kecuali lu sama anak-anak geng Remora sialan itu. Heh anak koruptor, lu sengaja ya deketin si Reza biar anak-anak yang lain gak gangguin lu lagi?"
Monica langsung menggelengkan kepalanya.
"Ngomong bego, lu kan punya mulut!... AW!!." Dimas berteriak ketika Sarah membenturkan kepalanya ke meja.
"Bisa gak sih lu ngomong ke Monica biasa aja?"
"Kenapa? Lu mau ngadu ke si Reza?"
"Bukan mau ngadu. Tapi seenggaknya lu hargain Monica sebagai anggota kelompok dong." Jelas Sarah yang dibalas dengan ejekan ke kanak-kanak kan Dimas.
Monica yang melihat keduanya terus bertengkar merasa lelah.
"Aku sama Reza emang gak ada hubungan apa-apa. Jadi gak perlu bawa-bawa dia." Gumamnya mengotak-atik laptop.
"Syukur deh, gue bisa tindas lu sesuka hati gue kalo gitu."
"Dasar orang gila." Hina Sarah.
Dimas mendelik, ia melepas sepatunya karena ke gerahan setelah itu dengan random ia menendang kaki Monica.
"Baliknya gue mau ke rumah sakit, gantiin gue piket pinalti." Perintahnya pada Monica dan gadis itu langsung mengangguk.
"Dim, gue mau keruang konseling. Mau sekalian gue aduin ke guru BK gak kalo lu nyuruh orang lain buat ngerjain hukuman lu?"
"Ah, apaan sih lu ngadu-ngadu kaya gitu. Becanda gue!" Ujarnya kesal.
Pada akhirnya tetap saja Dimas menyuruh Monica untuk membersihkan jalanan koridor. Monica menyapu bersama dengan siswa lain yang kena hukuman sementara Dimas nongkrong dengan teman-temannya di taman. Benar yang di katakan Dimas kalau seluruh sekolah membulinya, sapu bekas menyapu di letakkan di kepala Monica. Tidak hanya itu alat pel yang masih basah saja di ciprat kan ke roknya. Monica terdiam dan menghindari mereka yang usil, ia kembali menyapu di tempat yang lain namun pengganggu tidak akan pernah membuat Monica tenang. Salah satu dari mereka menendang ember sampa airnya tumpah dan membasahi sepatu.
Monica memperhatikan sepatunya yang basah, ia mengepalkan tangannya menahan amarah seperti biasa.
"Jangan main-main, kita harus beresin hukumannya sebelum guru BK liat." Gumam Monica.
Tidak ada yang takut dengan gertakan lemah dari Monica. Mereka menanggapinya sebagai lelucon.
"Kalo gitu kerjain sendiri aja, kita udah cape."
"Awas aja kalo gak beres, gue bilangin Dimas." Ancamnya.
Seperti biasa Monica tidak pernah melawan, ia menuruti ucapan teman-temannya itu.
Reza yang berada di gedung seberang memperhatikan Monica. Ia sedang kumpul dengan teman-temannya di kelas Yohan, mereka membicarakan perihal ponsel yang hilang.
"Gue minta maaf banget karena gegara gue hp nya bisa ilang." Jo berbicara di telpon.
"Butterfly gak tahu kalo hp itu ilang jadi gue mau lu pada harus cari sampe ketemu."
"Gue gak tahu harus nyari kemana."
"Cari di sepanjang jalan waktu kalian lari kalo perlu geledah aja Apartemennya Monica." Seru Yohan membuat Reza menoleh.
"Udah gue bilang Monica gak ada hubungannya sama masalah kita."
Yohan menatap Reza dengan dingin. "Gue gak akan minta lu buat geledah Apartemen cewek itu. Biar Hans yang ngelakuin."
Reza menarik kerah seragam . "Kalo sampe lu nyentuh Monica, gue gak akan tinggal diem."
"Kenapa? Mau mukul gue?"
"Lebih dari itu!" Gumamnya melepas cengkeraman sembari menghempaskan tubuh Yohan ke kursi.
Reza meraih ponsel Yohan dan berbicara pada Jo untuk bertemu dengannya di bengkel sepulang sekolah. Lelaki itu keluar dari gedung B menuju gedung A yang diisi dengan anak-anak BAHASA. Ia berjalan ke dekat Monica lalu bergumam, "Gue tunggu di taman sepulang sekolah." Ujarnya melenggang pergi menaiki anak tangga.
Wajah Monica langsung kebingungan.
Sepertinya ada yang ingin disampaikan oleh Reza. Apakah itu sesuatu yang penting? Reza tidak akan menyatakan perasaan padanya kan?.
Mendadak jantungnya berdetak kencang. Ia membayangkan Reza tengah mengajaknya untuk berpacaran. Namun, Monica menolak untuk berekspektasi tinggi.
Saat hendak meraih alat-alat kebersihan untuk di simpan ke gudang, Dimas tiba-tiba merebut sapu. Ia berlagak membersihkan koridor ketika guru BK datang untuk mengecek.
"Udah beres nih bu, Dimas boleh balik ke kelas kan?"
Guru BK memperhatikan lantai dengan seksama. "Yowes. Simpen lagi sapunya ke gudang." Dimas mengangguk. Setelah guru BK pergi ia melempar sapunya ke Monica.
"Balikin sana, gue mau ke kelas." Pintanya melenggang pergi dengan gembira.
Monica membereskan semuanya, ia menyimpan alat-alat tersebut ke dalam gudang. Dan segera bergegas kembali ke kelas. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Reza.
Saat keluar dari kelas ia takut dihadang oleh Karin atau Dimas. Ia pura-pura berjalan sampai keluar dari gerbang. Dan sepertinya hari ini adalah hari keberuntungannya karena tidak ada tanda-tanda gangguan dari dua makhluk iblis itu.
Monica segera berlari masuk lagi ke dalam kawasan sekolah.
Napasnya tersengal-sengal. Monica sedikit kecewa karena ternyata Reza belum tiba. Ia duduk sembari mengatur napas. Sesekali celingukan barang kali lelaki itu sedang bersembunyi.
"Masa sih dia lupa kalo mau ketemuan dulu sepulang sekolah?" Gumamnya mengecek ponsel.
Matahari sudah semakin tenggelam dan Reza benar-benar tidak datang. Monica terdiam, apa mungkin Reza juga mempermainkan dirinya? Apakah sebenarnya Reza juga sama seperti yang lain? Tidak peduli dan hanya ingin mengganggu dirinya?.
Ia menundukkan kepala merasa dibohongi. Kenapa Reza masih tidak datang juga?. Padahal ia sudah berharap pada setiap menit yang terus berjalan.
"Lima menit lagi...., Lima menit lagi...., Lima menit lagi....." Sampai entah 5 menit yang ke berapa. Monica mendengar suara langkah kaki.
Gadis itu langsung sumringah dan membalik badan.
Namun bahkan senyumnya tidak bertahan lama. Ia hanya melihat seorang siswa lelaki yang seragamnya sudah nyaris basah karena keringat. Monica juga bisa melihat ingus yang keluar dari hidung lelaki itu.
"Hah~ hah~hah~hah~ Sialan. Reza sialan."
Monica kebingungan ketika lelaki itu mengatai Reza.
"Kamu temennya Reza? Reza nya kemana?"
"Diahhh~ (glek) Dia nyuruh gue buat bilang ke lu. 'Kasih tahu ke Monica kalo gue tiba-tiba harus kerumah sakit, gue bakal temuin dia besok.' gitu katanya. Jadi sekarang lu balik aja."
Mendadak Monica merasa bersalah karena sudah berpikir negative mengenai Reza.
"Kamu gak apa-apa, minum minuman aku aja nih."
Tanpa sungkan Teo langsung menyambar botol minum itu. Ia langsung menghabiskannya tanpa pikir panjang.
"Ah sial. Mau mati rasanya."
Monica tersenyum tidak enak. "Maaf ya karena aku kamu lari-lari."
Teo langsung terkejut. "Ah~ jangan salah paham! Gue lakuin ini karena Reza."
Pernyataan Teo jauh membuat Monica lebih salah paham.
"Ah! Maksudnya! Engga-engga. Gue sama Reza bukan Gay!" Teo semakin tidak bisa menjelaskan maksud sebenarnya.
Esoknya Teo mengadu pada Reza kalau dirinya benar-benar hampir mati karena berlari dari rumahnya ke sekolah.
"Gak usah lebay deh. Rumah lu kan diseberang sekolah." Ujar Reza sembari scroll Instagram.
"Tetep aja gue gak kuat. Kayanya gue butuh napas buatan, deh."
Reza memberi tatapan side eye.
Dan benar saja mengenai perasaannya yang tidak enak, Teo memajukan bibirnya ke wajah Reza.
"Ah sial! Dasar otak mesum." Reza langsung meninju perut Teo membuat lelaki itu terkapar lemah.
Perhatiannya teralihkan pada Dimas yang sedang bercanda dengan teman-temannya dilapangan.
Dimas merasa jika ia sedang diperhatikan. Lelaki itu melihat ke arah kelas Reza lalu langsung mengacungkan jari tengahnya saat melihat Reza memang sedang memandanginya.
"Bajingan sialan!" Umpat Reza.
"By the way kenapa sih dari awal masuk sekolah lu sama Dimas udah musuhan?" Tanya Teo sangat ingin tahu.
"Ah~ Ceritanya panjang. Kalo gue jelasin nanti reader gak penasaran lagi."
Di dalam kelas Monica sibuk mengerjakan tugas milik Karin. Ia mencatat semua jawaban miliknya.
Sementara Karin sibuk melihat-lihat postingan foto Reza. Ia bahkan melakukan spam Love dan juga komentar. Membuat Reza terganggu dan langsung mematikan data selulernya.
"Ah~ Kenapa sih Reza ganteng banget. Makin cinta gue sama dia." Gumamnya mengambil tangkapan layar foto Reza. Setelah itu menyetelnya sebagai lock screen.
"Heh babu! Pastiin ya kalo Reza mau dateng ke acara ulang tahun gue hari minggu. Kalo gak lu tahu kan apa yang bakal gue lakuin?"
Monica mengangguk-angguk lalu kembali menyalin jawaban.
Seperti janji Reza kemarin, ia menemui Monica sepulang sekolah.
Lelaki itu duduk diatas motor sembari menunggu ke datangan Monica. Sesekali ia menggerakkan jari-jarinya diatas helm.
"Kayak nya Yohan belum ada pergerakan buat geledah Apartemen Monica. Buktinya Monica baik-baik aja sampe sekarang." Pikirnya sampai tidak sadar kalau Monica sudah ada disampingnya.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan Monica.
"Ada apa mau ketemu sama aku?" Tanyanya langsung ke inti.
Reza tidak menjawab pertanyaan Monica sampai gadis itu mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Reza.
"Ah~ itu gue lupa gue mau ngomong apa. Maaf ya." Serunya membuat Monica mengernyitkan dahi.
"Kamu yakin kamu lupa?"
Reza mengangguk. "Yuk. Gue anterin pulang."
Monica mengangguk lalu naik ke atas motor Reza.
Ia tahu bahwa Reza pura-pura lupa dengan apa yang akan dia katakan pada dirinya. Monica tak bisa memaksa Reza untuk terus terang, itu hanya akan semakin membuat hubungan keduanya bingung. Lagi pula keadaan sekarang ini berkat perjanjian antara dirinya dengan Karin.
Monica mengembalikan helmnya pada Reza.
"Gih masuk." Kata Reza.
Gadis berambut panjang itu menarik napas lalu mulai berbicara.
"Reza. Karin minta tolong sama aku. Dia minta kamu buat dateng ke acara ulang tahunnya nanti hari minggu." Monica memberikan secarik undangan kecil pada lelaki itu.
Reza tidak memberi reaksi apapun.
"Kenapa harus lu yang ngundang gue?" Tanyanya datar namun Monica menyadari kalua Reza kesal.
"Karin udah undang kamu lewat direct message tapi kamu belum bales. Makanya dia nitip ini ke aku."
Reza membuka helmnya. "Jadi ini sebabnya lu mau gue anterin pulang? Padahal biasanya lu nolak."
"Maaf. Tapi aku mohon kamu harus dateng ke acara ulang tahunnya Karin." Kali ini Monica memaksa Reza untuk mengambil undangan yang ada ditangannya.
"Perjanjian apa yang udah lu sepakati sama Karin kalau gue dateng ke acara ulang tahunnya?"
Monica menggelengkan kepalanya. "Gak ada. Gak ada kesepakatan apapun."
Reza terkekeh hambar. "Lu pikir gue bodoh?" Lelaki itu mengeluarkan ponselnya lalu menelfon Karin lewat instagram.
Karin senang setengah mati saat Reza menelponnya. Namun ia langsung melempar ponselnya ketika Reza sudah berbicara panjang lebar.
Pada hari Jum'at ketika beberapa siswa melaksanakan ibadah. Monica diberi hukuman oleh para berandalan perempuan. Mereka memegangi kedua tangan Monica.
"Tenang-tenang gue bakal bikin muka lu jelek sampe Reza sadar bahwa lu itu bukan seleranya dia." Seru Karin.
Ia mengaplikasikan penghapus kapur ke wajah Monica. Menjadikannya sebagai bedak. Karin melakukannya dengan sangat keras sampai rasanya ia menampar-nampar seluruh wajah Monica menggunakan penghapus itu.
Monica hendak berteriak namun ia tersedak oleh debu kapur. Gadis itu terbatuk-batuk.
"Kan, udah gue bilangin juga. DIEM!."
Karin mencengkram keras dagu Monica.
Ia membuka penutup spidol dengan giginya. Sontak Monica berontak lagi menyadari kalau spidol itu akan di coret kan ke bagian wajahnya.
"Diem, nanti alisnya tebel sebelah!" Omel Karin.
Ia serius mencoret kan spidol ke alis Monica. Dia berlagak seperti seorang make up artis yang professional.
"Wah~ alis lu kaya sinchan. Hahaha."
Semua anggota geng berandalan nya Karin tidak bisa menahan tawa melihat wajah Monica yang awut-awutan.
"Okey. Sekarang waktunya pake blash on. Biar sedikit berwarna. Siniin blash on lu." Pinta Karin pada temannya.
Gadis itu terdiam tidak merelakan blash on nya dijadikan mainan.
"Siniin!.l" Bentak Karin.
Mau tidak mau ia memberikan alat make up nya itu pada Karin.
"Karin aku mohon jangan. Jangan. Mmhhh." Karin langsung menyumpal mulut Monica. Ia benar-benar memoleskan blash on dengan sangat tebal dan berbentuk bulat sempurna. Membuat pipi Monica seperti badut.
Para wanita itu puas tertawa melihat wajah Monica.
"Sekarang sentuhan terakhir. Lipstik. Enaknya pake warna apa, ya?." Gadis gila itu memilih-milih warna spidol.
"Tolong! Tolong berhenti!." Pinta Monica sembari menangis.
"Heh! Jangan nangis! Make up nya jadi luntur." Seru teman Karin.
"Ah, warna ini cocok pasti."
Monica benar-benar terkejut ketika melihat warna spidol yang dipilih oleh Karin.
Orange stabilo. Warna yang sangat menyala.
Monica bersikeras berontak. Ia sempat bisa melepas satu genggaman namun tangannya bisa kembali dikunci.
Monica menangis histeris. Ia tidak mau spidol warna orange itu menempel di bibirnya.
Karin benar-benar nekat. Ia mencengkram kuat rahang Monica. Sementara Monica bersikeras mengatupkan mulutnya.
Sudah hilang kesabaran Karin. Ia menampar pipi Monica sebanyak tiga kali. Dengan cepat Karin memoleskan spidol itu ke bibir Monica.
Pada akhirnya Monica hanya bisa menangis, pasrah.
Wanita itu memoles dengan penuh kehati-hatian.
Di lorong tampaknya para siswa yang selesai beribadah telah kembali.
"Ah sial. Kenapa mereka udah pada balik sih. Padahal karya gue belum selesai."
Karin menutup spidol itu dan meminta anak buahnya untuk menyeret Monica keluar.
Tubuhnya langsung di hempaskan ke koridor. Di biarkan menjadi tontonan para siswa yang berlalu lalang. Monica terkejut ketika melihat ada banyak sekali sepasang mata yang menatap ke arahnya. Suara gelak tawa terus terdengar dengan nyaring dari segala sisi. Mereka merekam dan memotret wajah Monica.
"Setiap ekspresinya harus gue jadiin stiker chat." Seru siswa lelaki.
"Gila. Haha~ nanti gue minta ya stikernya." Imbuh siswa lelaki lainnya.
Perutnya terasa mual, kepalanya jadi sangat pusing.
Satu detik kemudian, gadis itu membuat seluruh siswa yang sedang melihat ke arahnya langsung menjauh.
Monica, ia baru saja muntah dan tidak sadarkan diri.
Bersambung....
Akhir Revisi 23 September 2024
28Please respect copyright.PENANA7MfuOsiLpY