Zia's POV
Gue Zia Dyatmika. Biasanya orang-orang manggil gue Zia. Sekolah di SMA bertaraf internasional di Surabaya. Meski gue ini sekolah di SMA bertaraf internasional, gue ini cuma gadis biasa dari keluarga dengan keuangan biasa dengan kehidupan gue biasa aja. Jujur aja malah cenderung membosankan.
Karna gue masuk lewat jalur beasiswa, mau gak mau gue harus rajin belajar agar beasiswa gak dicabut. Keluarga gue bisa aja, jadi kalo beasiswa gue dicabut, ga ada yang sanggup bayarin sekolah gue.
Tahun depan, gue udah kuliah. Dan lagi-lagi gue harus rajin belajar untuk dapet beasiswa. Sebenarnya gue udah dapet tawaran beasiswa di universitas negeri yang cukup bergengsi di Surabaya. Tapi gue masih membiarkannya.
Beberapa minggu terakhir, waktu luang gue habiskan buat nyari-nyari universitas di luar negeri. Dari Jepang, Kanada, Korea, Australia, Jerman, dan Singapura. Dan sejauh ini, gue belum dapet universitas yang cocok dengan minat gue.
Di kehidupan gue yang membosankan ini, satu-satunya hiburan gue itu... ya Bangtan. Nonton kelakuan lucu mereka di Rookie King, Bangtan Bomb, dan VLive aja udah cukup bikin gue geli sendiri.
Pernah gue ketawa-ketawa gaje di kelas pas jamkos sementara kelas sedang begitu sunyi karena anak-anak lagi sibuk ngerjain tugas dari guru. Sontak anak-anak ngeliatin gue dan tanya, "Zi, lo udah ga waras?"
Kalian boleh setuju sama teman-temen gue. Gue juga gak keberatan lo benci gue karna lo benci Bangtan.Bagi gue, fans cukup angkat tangan dan haters, sorry, lo harus angkat kaki.
Inilah gue. Kalo gak suka, just go away!
x.o.x
Malming. Karna gue dan Deva sama-sama jomblo, jadi malam ini Deva nginep di rumah gue. Katanya, dia bosen di rumah sendirian. Ortunya lagi sibuk bisnis di luar kota.
Bohong. Gue tahu alasan Deva pengen nginep di rumah gue malming ini. Dia mau ngehibur dirinya sendiri karena habis dikeluarin dari grupnya. Emang, gue tau ini bukan dari Deva sendiri. Melainkan Kira, fans atau gue lebih suka nyebut dia stalker.
Selama ini gue pura-pura gak tau kalo Kira naruh kamera CCTV di atas meja belajar gue yang terlaetak di kamar. Kenapa kamar gue? Sebab gue adalah sahabatnya Deva. Dan otomatis, Deva sering ke rumah gue.
"Zi, lo udah siap belum?" Dalam sekejap lamunan gue buyar karena teguran Deva.
"Oh, ya. Gue udah siap."
Kini, gue dan Deva tengah duduk berhadapan dengan kertas origami berbagai ukuran di tengah-tengah kita berdua. Mungkin lo pada nanya, apa yang bakal kita lakuin?
So, ceritanya gini. Deva tiba-tiba aja tanpa ada angin dan topan, minta nginep di rumah gue setelah gue latihan debat bahasa inggris bareng tim gue. Gue iyain aja karena ayah gue lagi sibuk lembur kerja sementara ibu lagi ngurus kucingnya periksa ke dokter hewan di kota sebelah sampai besok. Berarti, di rumah cuma tinggal gue dan kakak cowok gue yang super duper nyebelin; Kallyangga Dyatmika.
Then, tadi waktu Deva baru aja dateng di rumah gue, dia ngelempar kantong plastik hitam ke kasur gue. And do you know? Ternyata isinya kertas origami.
Belum sempat gue bertanya, 'Apa maksud lo dengan semua ini?' ke Deva, dia udah jelasin semuanya ke gue. "Gue mau buat 100 origami burung dan lo harus bantuin gue!"
Awalnya gue males. "So childish! Apa faedahnya coba? Mending gue belajar materi buat debat gue minggu depan. Kayak anak TK aja." Kurang lebih begitu komentar gue.
Deva natap tajam gue, "Zi, denger ya. Gue pernah denger kalo buat origami burung 100 buah, harapan kita bakal terwujud!"
"Dev, that's not rational. Lagi pula kita udah SMA. Udah bukan bocah lagi." Gue menolak mentah-mentah.
"Zi, please, bantu gue." Deva melakukan aegyo di hadapan gue.
Gue yang berpikir berdasarkan logika sebenarnya amat sangat menolak apa yang dikatakan Deva. Kalo bukan Deva sahabat gue, gue ga bakal ngelakuin ini.
Dan di sinilah kami sekarang, di kamar gue. Sedang melakukan hal yang paling tidak rasional yang gue lakuin dengan sahabat gue.
Pukul sembilan malam. 100 origami telah tuntas kami buat.
"oke, sekarang gue udah selesai bantuin lo. Jadi, ayo beresin semua ini terus gue mau belajar materi debat." Gue sudah mulai memisahkan origami burung yang sudah jadi dengan yang gagal jadi lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam yang berbeda.
"Stop! Stop! Stop! Kita harus ucapin harapan kita dulu, Zi!" Deva mencegah gue melanjutkan aktivitas pemilahan kertas origami ini.
"Haruskah?" gue memutar bola mata tanda malas. "That's fool. Gue gak mau ngelakuin itu."
"Ayolah Zi! Cuma ngucapin harapan terus selesai! Atau lo lebih milih gue gangguin lo semalaman?"
Damn! Ini anak kok mintanya diturutin mulu. Tapi kalo gak diturutin bakal ganggu gue terus.
Baiklah, demi nyenengin Deva.
"Oke." Gue menjawab singkat.
"Bagus! Kalo gitu gue dulu yang ngucapin harapan." Deva menarik napas panjang, "Gue pengen jadi dancer, ketemu BTS dan bias gue!"
Oke, mungkin ini adalah hal yang paling tidak rasional dalam hidup gue. "Gue pengen jadi penulis terkenal dan ketemu Bangtan!"
Sumpah demi apapun, gue ngerasa jadi orang paling ga waras saat ini.
Setelah ngucapin harapan, gue dan Deva melakukan aktivitas masing-masing. Gue belajar materi debat Bahasa Inggris sedangkan Deva membaca webtoon melalui handphonenya sambil tiduran di atas kasur.
Puk. Sebuah tangan hinggap di pundak gue. Gue pu menoleh.
"Zi, anterin gue ke kamar mandi kuy." Muka Deva terlihat gak karuan. Keliatan banget dari raut wajahnya, ia lagi nahan kencing.
"Kagak mau." Gue menolak ajakan Deva dengan sinngkat, padat, dan jelas.
"Please, Zi. Gue udah gak kuat nih. Nanti kalo ada valak tiba-tiba nongol di depan gue gimana? Atau tiba-tiba Kak Angga muncul pake selimut putih kayak pocong?" Muka Deva makin gak karuan.
"Dev, gue gak nyangka lo ternyata sepenakut itu." Gue ngelirik laptop gue. Pukul sepuluh malam. "Gue jamin gak ada valak di rumah gue. Dan jam segini, kakak gue lagi sibuk main game. Jadi, gak ada yang perlu lo khawatirin." Gue mencoba meyakinkan Deva.
"Pokoknya nanti kalo ada apa-apa sama gue, lo harus tanggung jawab!" Ucapnya sebelum melipir ke kamar mandi.
"Serah apa kata lo, Dev." Balas gue yang pastinya Deva ga denger karna sudah di luar jangkauan.
Sepuluh menit setelah itu, Deva belum juga balik dan gue mulai mengantuk. Karna kepala gue mulai terasa berat, gue pun ketiduran di depan laptop di atas meja belajar.
Puk. Puk. Puk. Gue ngerasa ada yang nepuk-nepuk pipi gue.
"Hey, bangun." Terdengar sebuah suara yang berat, suara cowok.
Pasti Kak Angga!
"Apasih kak, gue ngantuk nih." Gue masih diam di posisi gue, duduk di kursi dengan kepala di atas meja belajar dengan alas kedua tangan gue.
"Hey, bangun!" Suaranya terdengar makin keras masih diiringi dengan tepukan di pipi gue yang intensitasnya makin banyak.
"Apasih kak. Kakak mau minta dibuatin mi lagi?" Gue sempurna bangkit dari posisi gue semula dan langsung menyeret Kak Angga untuk keluar kamar dengan kondisi mata setengah merem.
"Mi itu gak baik buat kesehatan kak. Mending kakak makan kue kering buatan ibu. Kan kemarin kakak udah..."
Brak!
Gue meringis kesakitan karena punggung gue bertrubukan dengan pintu kamar.
"Kakak apa-apaan sih?!" Gue berseru keras.
"Aku yang seharusnya tanya begitu! Kamu ini apa-apaan dan kamu ini siapa? Aku ini bukan kakakmu!"
Kini mata gue sempurna terbuka lebar.
"Bagaimana bisa kau ada disini? Kau pasti penguntit kan? Sasaeng fans?!" Ia membentak gue semakin keras.
Tangan gue gemetaran sekarang.
Impossible. Bisik gue dalam hati.
"Jawab pertanyaannku!" Tangannya menggebrak dinding sebelah kepala gue.
Gue membatu. Sekarang bagian tubuh gue yang bergerak cuma dua. Tangan gue yang gemetaran serta jantung gue yang berdegup kencang.
"Sekali lagi ku tanya. Bagaimana bisa kau ada disini?!"
Gue menelan ludah. Orang ini.. Benarkah ia?
x.o.x
Deva's POV
Begitu selesai kencing, gue keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kulkas yang berada di dapur. Ya, gue haus. Jadi sekarang gue pengen minum soda dingin.
Jujur aja gue lagi takut. Gimana kalo nanti di belakang gue ada valak? Atau pocong? Atau ternyata di dalam kulkas ada tuyul?
Eh, emangnya bisa masuk?
Baru saja gue membuka pintu kulkas, gue dikejutkan dengan dua buah tangan yang tiba-tiba berada di pundak gue.
"AAAA!!!" Gue berteriak keras.
Entah hantu apapun itu, gue harus lari sekarang juga!
Gue berlari panic. Baru sekitar lima langkah gue lari, kaki gue menginjak sesuatu yang menyebabkan gue terpeleset.
Aduh, tamatlah riwayat gue. Gue pasti mau diculik sama hantu itu!
Gue menutup mata, merasakan sensasi jatuh tiap detiknya.
'Hup'
Bukannya terjatuh di atas lantai, badan gue justru ditopang oleh seseorang.
Gue pun membuka mata perlahan-lahan sampai pandangan gue terlihat jelas. Saat itu juga, mata gue bertatapan dengan sepasang mata yang indah. Gue terbengong seketika.
OMG!!! Dia kan...?!
ns 15.158.2.247da2