aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
804Please respect copyright.PENANAkCK4huSz8h
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
804Please respect copyright.PENANA6pxrEg4WSi
--Sapardi Djoko Damono
Gue tersenyum simpul usai membaca salinan sajak di buku harian Petrikor Sajani. Manis. Juga miris. Hampir tragis. Perempuan bernama panggil Sajani itu menaruh terlampau banyak rasa pada jejaknya. Yang gue baca hanya sekeping kecil.
Tuhan, hamba tahu hamba tak pantas untuk meminta. Namun Kau pun telah bersabda: Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka hamba berdoa, tentang anak manusia bernama Petrikor Sajani, semoga Engkau berkasih kepadanya.
Dia hanya manusia yang bukan gemilang. Mungkin sebabnya karena Sajani hampir gak pernah keluar rumah. Di kampus pun dia diam, setahu gue. Tapi di antara berjuta manusia yang memilih lupa akan Sajani, gue dan anak Semesta memilih ingat.
Bagi gue, Petrikor Sajani adalah adik. Setingkat dengan adik kandung gue, Shashikirana Maisadipta. Gue gak bisa menjelaskan, tapi Sajani unik. Ibarat satu bagian lego yang remeh tapi kalau hilang ya repot.
Malam ini tugas gue mau nyamain Gunung Semeru. Klimaks dari beberapa hari lalu. Namun gue gak tahu kenapa malah baca buku harian Sajani. Serasa dia di sini, melakoni hobi pelukan yang membuat gue tersanjung dan sedikit lupa atas tanggungan.
Ah, gerimis.
Dari sebuah catat asing, gue mendapat pesan bahwa hujan datang terpaksa, sedang gerimis lambat laun terasa manis. Kayaknya sih bener. Betapapun, gue lebih rela nugas di balkon ditemani gerimis ketimbang hujan.
Namun gerimis kadang gak sanggup mendatangkan petrikor. Kali ini sih gue beruntung sebab gerimis mendatangkan Petrikor. Dan rasanya manis. Tentang gue yang bikinin susu putih atau cokelat di gelas kecil setiap jam enam pagi biar Sajani gak bikin kopi. Tentang oceh polos gadis itu akan insiden dan konflik harian.
Juga tentang Sajani yang berhasil bikin gue menurunkan keberengsekan dan mengurangi kunjungan ke dunia malam.
Duh, maaf ya, Jani. Kakak gak sedarah lo sekarang ini kumat lagi.
Ngomong-ngomong, kalo lo bisa denger gue, Jan. Lo harus tahu bahwa anak kosan baik-baik aja. Lo gak perlu khawatir seperti waktu itu. Bang Kosma Aziga udah kerja secara layak, income-nya pun cukup buat menghidupi anak Semesta dalam keseharian. Matahari Ajanta lebih giat bersinar di mana pun ia melangkah (meski gue pikir itu bocah lebih banyak ngebacotnya ketimbang jadi lampu). Venous Arjuna udah bisa jadi jahat demi melawan kepatuhan parasitisme.
Dan gue .... Entahlah. Gue gak cukup yakin lo bakal berhenti khawatir kalo memandang kehidupan gue saat ini. Hubungan gue ke keluarga makin buruk. Tiga bulan lalu gak sengaja ketemu Papa. Hampir berniat bunuh dia lagi perkara dia tiba-tiba menyodorkan undangan pernikahan. Gampang banget ya itu orang pindah dari keluarga gue?
Makin yakin, harusnya gue menusuk abdomennya berkali-kali ketika gue masih lima tahun.
Dan harusnya lo di sini buat cermahin gue, ‘kan? Maaf ya, Kakak kangen. Tuhan, datangkan siksa atas kangen kepada hamba saja. Sajani cukupkan dengan damai.
Deh, gue gak tahu diri banget emang.
Soal kuliah, gue bisa jamin bahwa itu gak mengkhawatirkan. Meski IPK udah kayak grafik sin x sih. Heck, matematika. Kalem, Jan. Jurusan biologi gak banyak hitungan kok, jadi gue betah. Kalo bosen atau jenuh sih tinggal ngegila bareng Jazziel Eleuthero.
Jazziel si kuping gajah. Bah, tadi dia ngabarin lagi ditawan kerjaan. Gue gak habis pikir sama Jazziel. Itu anak bisa fokus banget ke kerjaan kalo udah ngantor, padahal di kampus tukang rusuh bareng gue.
Oh iya, soal kerjaan. Investasi gue sama Jazziel berhasil, Jan. Sayang banget gue gak bisa jajanin lo cilok depan kampus. Soalnya sebenarnya dulu gue mikir banget buat sekadar jajanin lo cilok. Sekarang gelar penyedot duit gue berpindah ke Matahari Ajanta. Lo pasti gak nyangka itu toak bisa porotin gue lima kali sehari.
Sajani, malam ini gerimis cuma mampir tanpa hujan. Gerimis lambat laun terasa manis, menerbangkan benih-benih petrikor ke udara. Tapi lidah gue telanjur pahit.
Pukul 1:52
Yah, gue salah. Biar gue ulang : Sajani, pagi ini gerimis menjenguk gue tanpa hujan. Ia membawa keranjang berisi buah-buah kangen yang menjulang. Bak dongeng putri salju, gue hampir mati tatkala mencicip segigit buah kangen.
ns 15.158.61.54da2