Lagu patah hati digemakan secara semarak di dalam Lepas. Lihat, betapa kompak Janaloka mendukung gue putus sama Gea. Setengah jam berlalu sejak bokong gue mendarat kasar di atas kursi keras. Setengah jam pula gue memandangi Malibu rasa mangga di dalam gelas mungil.
Mungil, manis, masam, pahit, terkadang ganas. Kayak Gea.
Udah selesai, Dev. Tolong kubur perasaan-perasaan lo kepada Ambivalensi Geathena yang dapat menimbulkan bahaya sejenis gagal move on di masa depan. Lo gak boleh deket-deket Gea lagi. Gea berhak bahagia.
Selama sama Gea, bukannya lo mengerti bahwa ia dan keluarganya cukup renggang karena pilihan karirnya? Kali ini lo gak boleh egois, Dev. Relain Gea, please. Tanpa sadar, setitik air mata jatuh membentur permukaan meja yang keras. Man doesn’t cry. Bohong ah.
Lo kudu ngerti perasaan gue terlebih dahulu sebelum ngata-ngatain gue cengeng. Rasanya ... ada bagian yang begitu besar tiba-tiba menjadi kosong. Tiba-tiba. Setiba-tiba itu pula sakit untuk merelakan tumbuh subur. Ia berakar di dasar hati dan pucuk daunnya telah berhasil menggapai otak gue. Efeknya? Pengen nangis. Menangis sekencangnya macam bayi kehilangan dot. Sesak, ingin melesat kepada kebebasan tak beraturan untuk sejenak.
Namun gue gak bisa.
Gue menundukkan kepala di meja. Mungkin, lebih tepatnya membenturkan. Udah pusing duluan sebelum minum. “Heh.” Sebuah telapak tangan besar yang cukup berat menghantam pundak kanan gue. Berhubung lagi suntuk, cuma gue intip. Jazziel Eleuthero. Gak guna, mending skinship sama muka meja.
“Bangun, Goblok! Lo kalo mau tidur jangan di sini, gue anterin pulang deh. Malu-maluin.”
Demi kolor barbie dan cocot Matahari Ajanta, gue pengen banget nampol Jazziel. Gue berusaha duduk tegak sambil memicingi pemuda itu. Dia sih santai kayak di pantai, main ambil botol Malibu gue. Ini gak bisa dibiarin. Perlu diketahui, Guys. Makhluk lucknut sejenis Jazziel perlu diberi tindakan tegas sebelum kelakuannya makin melunjak naik hingga merogoh otak kalian.
“Punya gue,” sahut gue sambil merebut botol Malibu.
“Dih, lihat deh mata lo. Pasti udah abis banyak tuh. Bagi satu doang napa. Jangan pelit-pelit, nanti kuburan lo sempit.” Dasar kutu badak. Ada aja kilahnya.
“Gue bahkan belum minum setetes,” balas gue dingin. Jazziel terkesiap. Terjadi jeda canggung yang dipecah Jazziel melalui pemesanan cocktail. Gak mengelak, hawa gak enak yang gue ciptakan terus mendominasi meja ini hingga pesanan Jazziel mendarat dengan selamat di atas meja.
Sial. Kok gue merasa bersalah, sih?
“Ekhem, lo lagi ada masalah ya, Dev?”tanya Jazziel usai menyeruput cocktail.
Gue menghela napas dan memandang kosong ke tengah-tengah meja. “Bukan masalah. Cuma habis putus sama Gea.” Jazziel keselek. “What the fucckk?! Elo putus sama Gea? Ambivalensi Geathena yang anak kampus sebelah itu, ’kan?” Dih, gak sabaran banget. Saputangan masih menempel di dagu Jazziel sementara mulut pemuda itu udah nyeplos tanpa rem.
“Hm,” jawab gue malas.
“Anjir Dev, lo apain anak orang ampe putus gitu? Perasaan, lo berdua adem-adem aja deh.” Kan. Gak ada yang benar-benar tahu bagaimana hubungan kami berjalan. Karena gue dan Gea sama-sama pandai mengenakan topeng bahagia. Gue tersenyum kecut. Ternyata selama ini gue dan Gea cukup tertutup perihal hubungan kami terhadap orang-orang terdekat.
Gue jadi sangsi. Kayak gini, apa Gea punya teman buka-bukaan selain gue? Betapa gue terlena, hingga hal penting macam ini aja gak pernah terpikir. Seingat gue sih, Gea jarang cerita mengenai orang-orang terdekatnya.
Ge, are you alright?
“Heh, ditanya tuh njawab! Ini malah bengong.” Gue kaget. Di depan, Jazziel bersungut-sungut. Sama, El. Kita sama-sama sebel terhadap kehadiran lawan bicara tapi gak bisa pergi begitu aja. Toh gue butuh curhat juga. Akhirnya gue jawab, “Gak gue apa-apain, El. Beneran. Emang waktunya putus aja.”
Alis Jazziel makin erat bertautan. Kayaknya ini orang makin bingung. Terserah lah. Gue membuka tutup botol Malibu lalu menuang isinya memenuhi gelas. “Well, gue jarang nemu elo sekalem ini. Bikin khawatir tau, gak?” Gue menegak habis Malibu rasa mangga di gelas. “Khawatir gimana?” tanya gue.
“Elo kalo ada apa-apa tuh bilang. Gue ngerti, Gea beda sama cewek-cewek yang udah mampir ke masa lalu lo. So, kenapa dan bagaimana?”
Gue terkekeh. “Pertanyaan lo kayak soal bahasa Indonesia, anjir.”
“Yeu, sengaja ya, Sat. Gue lagi baek nih, ngehibur teman yang sedang bersedih. Kapan lagi gue baek sama lo?”
“Hm.” Gue manggut-manggut. “Cheers?” tawar gue sembari menyodorkan botol Malibu untuk dibenturkan. Jazziel mengangkat gelas cocktail lantas membenturkan benda itu ke botol di tangan gue. “Cheers,” katanya.
Paham lah lo perihal bagaimana adegan selanjutnya. Usai minum, gue bilang, “Gue udahan sama Gea karena keluarga kami musuhan. Keluarga tolol. Masalah udah kelar dari zaman purba, eh masih aja tengkar sampe sekarang. Gue gak bisa maksain, El. Gea udah cukup renggang sama keluarganya karena dia milih jadi pelukis.” Entah gimana, sendu lagi-lagi berhasil membungkus perasaan gue.
“Loh bukannya lo udah lupa keluarga sendiri, Nyet?”
“Nah itulah, gak paham gue. Intinya keluarga Gea gak suka sama gue.”
“Trus sekarang lo mau gimana?”
Sebuah pertanyaan besar yang gue pun gak tahu bagaimana jawabnya. Dalam situasi begini, mending jujur, ‘kan? Maka gue jawab, “Gue gak tahu, El. Kosong banget. Lo ngerti ‘kan, Gea udah jadi bagian besar dalam hidup gue.”
Jazziel mengubah ekspresi menjadi serius. “Jujur, gue nggak tahu gimana bantu lo. Perasaan mah nggak ada yang bisa nawar. Tapi saran gue sih jangan dilawan. Pelan-pelan aja lepas dari Gea, jangan maksain.”
“Thanks, El. Bakal gue coba. Wasted kuy? Malem ini doang.” Jazziel menyeringai. We’re friends for some reasons. Klop aja gitu sama Jazziel dalam dunia maksiat. Walau menambah dosa, gak bisa gue pungkiri bahwa Jazziel merupakan pemberhentian solusi yang terakhir.
Seiring bertambahnya botol Malibu di meja, gue gak bisa menemukan cara pintas untuk lepas dari Gea. Malah makin terikat. Kan kampret. Di ujung kesadaran, gue sadar. Memang gak ada cara buat lepas dari Gea. Karena apa yang telah dekat sedekat nadi kepada jiwa lo, gak bakalan bisa dilepas.
Ia pergi. Dan gak ada respons terbaik selain menerima. Bagaimana dengan himpunan rasa yang tertinggal? Biarkan. Sayang dan cinta gak seharusnya berkenalan dengan akhir. Gea, gue harap lo bisa hidup baik-baik tanpa gue. Juga ... jangan menghindar dari gue.
Kita memang telah mencapai titik akhir, tetapi bukan berarti lo dan gue kembali menjadi asing laiknya di titik nol. Lo dan gue ada di titik setelah akhir, yakni titik satu baru.
ns 15.158.61.48da2