Utara(kan)
549Please respect copyright.PENANANpdmpyeZCi
Nona manis,
Konstelasi bintang di bentang angkasa
Bukankah terasa magis?
549Please respect copyright.PENANABsRocZal9M
Namun perlu kau tahu,
Konstelasi rasaku untukmu
Tanpa ragu terasa manis
549Please respect copyright.PENANAMzLIcFpRTz
Kau perlu tahu,
Jika ini kalian terakhir,
Bukankah kita masih punya
Lembar tanpa akhir?
549Please respect copyright.PENANAgIfUWnsGK4
Inginku,
Hidup habis bersamamu
Namun jika pupus,
Akan kupinta kembali
Hingga temu di tanda titik.
549Please respect copyright.PENANAip7UU1u8Xs
549Please respect copyright.PENANApnp3E643la
2 April 2020, di bawah naung langitan yang sama, dari Venous Arjuna
(Venous POV)
“Apa bintang segitu menarik?”
Pecah syahdu perkara Alamanda. Gue tersenyum lantas memindah pandang dari angkasa ke Manda. Malam ini kami di rooftop rumah gue, jauh dari Kosan Semesta. Alamanda, as usual. Rahang tegasnya cantik dalam jalan pribadi.
“Bagi gue sih iya.”
Mata Manda makin lekat, jarak perlahan dipersempit. Heran, ini cewek pede banget main tatap-tatap bareng gue. I mean, gue cowok dan dia cewek.
“Kalo gitu kasih tau gue, tentang hal paling menarik dari bintang.”
“Harus?”
“Harus! Kalo gak mau nanti gue cium!”
Gue tertawa. Please lah, Alamanda. We used to kiss each other since baby, but now we clearly aren’t babies anymore. Gue menghela napas sembari kembali memandang langit.
Bintang, sumber cahaya.
“Bintang yang lagi lo lihat sekarang ini mungkin udah mati.”
“Hah? Mati gimana? Lo mentang-mentang pinter ngemongnya tinggi bener.” Alamanda cemberut. Kok bisa-bisanya ya gue punya temen yang makin gemesin kalo cemberut?
Gue terkekeh. “Pinter dari mananya sih? Lo aja kali yang gak pernah baca tentang bintang.”
“Hemeh, merendah untuk meroket,” cibir Alamanda.
“Gak gitu, Alamanda. Jadi, bintang itu sumber cahaya. Lo tau kan kalo Janaloka sama bintang punya jarak?”
Wajah Alamanda tampak serius untuk berpikir. Lucu.
“Iya. Terus apa hubungannya?” jawab Alamanda.
“Jaraknya jauh, saking jauh sampai cahaya harus jalan ratusan ribu tahun biar nyampe ke Janaloka.”
Gadis itu mendengus lantas menekuk kaki. Mukanya terbenam ditelan lutut. Ini Artemis Alamanda yang frustasi akibat lambat paham ilmu. Gue tersenyum kecil sembari menepuk bahu kiri Alamanda.
“Anggap aja si cahaya kabur dari bintang ke Janaloka. Saking jauh si cahaya kabur, ternyata bintang udah mati waktu dia sampai di Janaloka.”
Alamanda mengintip dari balikan lutut, menampakkan mata kanannya yang ber-iris cokelat terang. “Hn? Apa selalu gitu?”
“Iya.”
Intipan Alamanda berganti dengan dongakan atas angkasa. “Woah, kalo gitu apa semua yang gue liat ini dari bintang mati?”
Gue terkekeh, untuk tanya dan tingkah Artemis Alamanda. “No one knows, Artemis Alamanda.”
'Alike this hell-feeling which goes to you,’ lanjut gue dalam hati. Artemis Alamanda, gue bahagia masa kecil gue habis bareng lo. Time passes by, dan gue gak pernah tahu di mana batas rasa senang menjadi suka.
Nevertheless, gue gak menyesal.
Gue mengikuti Alamanda untuk memandang langit. Kalau dipikir-pikir, lama juga gak sama Alamanda meski masih chatting tiap hari. Hm, grogi. Gak apa, Ven. Malam ini doang, okay? Besok lo bakal lega.
“Alamanda.”
“Apa?”
“Ck, lihat gue.”
Alamanda menurut.
“Gue ... mau kasih tau lo sesuatu.”
Gadis itu terbelalak. “Woah, pas banget. Gue juga mau kasih tau lo sesuatu. Emang ya, lo tuh sahabat gue banget. Apa-apa bisa kompak gini.”
“Oh, kalo gitu lo aja duluan.”
“Seriously? Jarang banget lo ngalah sama gue.”
Respons Alamanda membuat gue penasaran. Dia seantusias ‘itu’. I have no idea ‘bout it, makanya mengiyakan tanpa ragu.
“Lo tahu Kak Peachy senior gue, nggak?”
“ ... Ya?”
“Gue jadian sama dia! Gila gak sih? Minggu lalu gue nembak dia, udah gak pede banget takut dianggep weird. Eh ternyata diterima anjiirrr, seneng banget gue.”
“Hah?!”
Speechless, asli. Bentar-bentar, gimana? Kak Peachy seniornya Alamanda kan cewek, setahu gue. Apa gue salah informasi ya?
“Kak Peachy, Ven. Setahun di atas kita. Ah, dia tuh adorable pake banget.”
“Alamanda ... lo ... suka cewek?”
“Eh?” Gadis itu menatap gue ragu sejenak, lantas membuang muka. “Hm ... iya. Lo tahu kan Ven, kayak lo yang suka stroberi tanpa alasan.”
Antusias Alamanda menghilang, menyeret semua energi positif turut serta. Gadis itu murung, tahu benar bahwa apa yang dia lakoni dapat mengundang stigma masyarakat termasuk gue.
“Hm ... ya ... gue ikut seneng kalo lo seneng. Lanjutin aja kalo lo bahagia.”
Alamanda menghadap gue dengan cepat. Antusias-nya balik. Gue memaksakan senyum dan mengelus kepala Alamanda. “Iya,” ucap gue.
Malam ini Artemis Alamanda bahagia banget, sedang gue bermimikri biar kelihatan bahagia. Artemis Alamanda, bahagia lo ya bahagianya gue. Tapi kali ini, hati gue sakit. Deeply, gue terus terjaga hingga pagi buta. Bahkan masih di tempat yang sama, memandang langit kayak orang bodoh.
Salah, bukan ‘kayak’ lagi. Tapi udah jadi orang bodoh. Harusnya dari dulu ya .... If only I told her since the first time ... mungkin sekarang kita udah pacaran sana-sini. If only I told her since the first time ... maybe it doesn’t go so hurt.
If only.
Pada akhirnya, gue dan Artemis Alamanda menjadi bintang dan Janaloka. Terlampau jauh, sehingga sekalipun rasa gue sampai ke Alamanda, hati gue udah mati duluan akibat kelelahan saat mengejar.
ns 15.158.61.50da2