Gurat-gurat warna ringkih itu satu melalui tangan langsat Ambivalensi Geathena. Betapa hening malam ini, kontras akan malam-malam gemerlap yang lalu. Hanya ada gue, Gea, alat-alat lukis dan cat, lalu Janaloka malam.
Mata jelinya terus dipaku pada kanvas yang tak lagi putih. Cewek yang sempat gue kira berkarakter galak itu telah hanyut. Gak bakal deh dia noleh ke gue. Kecuali kalau gue berisik.
Dan gue gak bakal berisik sampai Gea selesai ngelukis. Gue jamin. Karena Gea akan melempar kuas terdekat yang paling besar kalo gue ngadi-ngadi ningkah cem bocah hiperaktif.
Kok tau? Ya berdasarkan pengalaman lah. Pertama dan terakhir kali. Hasilnya jidat gue benjol. Gimana gak benjol, yang dilempar Gea kan kuas buat nge-cat tembok. Fiuh, itu waktu Gea bikin mural di rumah Alka. Gue iseng manggil dia, “Cewek,” dan lemparan maut itu mencium gue begitu cepat.
Tapi seriusan deh, ngeliatin Ambivalensi Geathena melukis adalah hal favorit baru bagi gue. Dia begitu tenang laiknya air danau. Namun ketika lo memutuskan untuk menyelam, ternyata dua manik tajamnya menjerat atensi lo hingga ke dasar.
Di luar dugaan, Gea beralih membereskan piranti lukis. Wah, emang lebih cepat apa gue yang dikecoh waktu?
Gue duduk dari posisi rebahan tanpa melepas tatap dari Gea. Gea yang bersih-bersih piranti lukis, Gea yang bangun tidur, Gea yang tertawa lepas terhadap hal sepele. Gea. Hanya Ambivalensi Geathena tanpa marga Kimbell, juga tanpa kabut labelling masyarakat.
She trully is, zat adiktif paling berbahaya karena menimbulkan efek samping kepikkiran setiap saat.
Gea, kenapa harus lo?
Berniat memberi jeda pada pikir sejenak, gue menyesap kopi yang udah dingin. Dua gelas kopi dan secangkir cokelat panas yang entah masih panas atau enggak. Oh iya, juga sebotol penuh susu sapi. Belum ada yang diminum Gea, tapi anaknya kekeh ngejejer segala yang pengen diadakan untuk malam ini.
Selera Gea.
Wow, malam ini gue beruntung. Meski keinginan Gea untuk meng-adakan gue patut diragukan, tapi gue pikir pengalaman dibalut mikrokosmosnya adalah hal precious. Seperti gue yang menghindari dilempar kuas, mungkin Ambivalensi Geathena juga bakal menghindari menaruh gue di dalam mikrokosmosnya.
Getir, masam. Satu frekuensi yang menghimpun rasa gue dan rasa kopi.
Gea duduk di samping gue bersama gelas bening berisi air di tangan. Hela lega keluar dari mulutnya. Pertama, Gea minum air. Kedua, Gea minum kopi. Ketiga, Gea minum air lagi. Lantas keempat, Gea minum cokelat hangat. Risiko perut marah-marah pasti ada, tapi gue paham bahwa seorang Ambivalensi Geathena pasti udah sering tak acuh.
“Lo nggak bosen?” tanya Gea usai lepas dari segala minuman.
“Hm? Bosen apaan?”
“Dari tadi ngeliatin gue kayak orang dongo, padahal gue gak ngapa-ngapain.”
Gue tertawa kecil. “Tau deh, gue juga heran kenapa betah mantengin lo.”
“Freak Deva. Defreak.”
“Sounds good.”
Gea tertawa mengejek. “Beneran, ga ngerti lagi sama lo.”
Iya, banyak yang gak mengerti tentang gue. Apalagi kalau gue mulai mengagumi objek seremeh bunga tepian jalan. Sering kali, banyak perihal yang tetap mengambang tanpa sudi dimengerti. Lo coba pun hanya menghasilkan sakit kepala, lebih-lebih sakit hati.
Contohnya perihal takdir yang menjatuhkan gue dalam gravitasi seorang Ambivalensi Geathena. Pernah semalam suntuk gue mencoba cari artian, tapi malah semakin membuncahkan tanya. Ya gue biarkan, meski makin dalam gue terbenam gravitasi itu.
“Gue juga gak ngerti, Ge.”
“Tentang apa?”
“Tentang kita.”
Gea terdiam. Kami saling selam di antara rimbun belantara pikiran.
“Kenapa? Kenapa lo harus jadi medan magnet?”
“Lantas kenapa lo mau jadi arus listrik?”
“Gue gak pernah mau, Ge. Satu waktu gue gak sengaja jatuh, mencoba bangun tapi kembali jatuh.”
Gea tersenyum kecut sembari melengos. “Maaf, gue yang tolol. Gue bikin lo terus-terusan jatuh tanpa tahu aturan.”
“Bukan salah lo, Ge. Gak ada yang salah.”
“Nggak, lo salah. Ada yang salah. Letaknya di keluarga kita yang terus-terusan musuhan kayak orang tolol padahal apinya udah mati.”
“Apa gak bisa kita jadi asing? Lantas tolong biarkan gue jatuh kembali. Peluk, bukan bergeming.”
“Gue pengen, tapi lo pasti ngerti kita gak bisa,” lirih Gea.
Gue mencium Ambivalensi Geathena. Lembut, bittersweet. Bisa gue rasakan air mata gue jatuh di pipi Gea. Dia pun. Kita satu. Hanya sepasang merpati asing yang kena jebak takdir tanpa mengerti.
Ambivalensi Geathena. Bahagianya gue, dukanya gue. Ambivalensi.
ns 15.158.2.246da2