217Please respect copyright.PENANAqHoiQoZklQ
217Please respect copyright.PENANA9MkIIr6RtU
Sore hari, ketika waktu hampir gelap Nora pulang yang paling awal. Lanjut disusul Seema dan Gea, Theon, dan terakhir Genio. Semuanya merasa lelah. Ini, hari kedua mereka berkerja selain mencari jamur. Apalagi ibunya tak bisa pergi bekerja.
Genio sempat mengajak saudaranya kembali mencari jamur yang dijaga para troll itu dan dijual keluar desa. Namun, Seema menolak dan diikuti yang lainnya.
"Kita berhenti saja, lagian penduduk desa mulai enggan mengonsumsi jamur. Terlebih yang dari hutan." Kata seema waktu itu yang diangguki setuju oleh Gea, Theon dan Nora. Sedangkan Genio hanya mendesah pelan.
"Lelah sekali rasanya aku menjadi pengangkut barang di pasar," keluh Genio sembari meregangkan badannya. Ya, kali ini hanya dia yang mengambil pekerjaan lain. Sebab kemarin, ada domba yang lepas membuat Genio dimarahi oleh ayah temannya. Untung saja domba itu masih bisa ditemukan dan dia tak lagi diizinkan menggembalakan hewan ternaknya lagi. Takut terulang katanya.
"Yang penting, kau bekerja membantu kita," timpal Seema sembari menuangkan air putih untuk Genio.
Theon yang hanya duduk sebentar langsung pamit pergi untuk membersihkan diri. Gea pun sama ia pergi ke kamar orang tuanya. Menengok sang ayah yang tetap terbaring lemah. Kini di ruang makan hanya ada mereka bertiga. Seema, Nora dan Genio.
Tak ingin bermalas-malasan, Seema mengajak Nora untuk membantu menyiapkan makan malam. Lagi-lagi Genio ditinggal sendiri. Dia hanya menatap lurus ke gelas ditangannya dan meminumnya sampai tandas.
"Rasanya aku seperti tak berguna jika di rumah." Meletakan gelas kembali ke tempatnya, lalu terbengong. Sampai tersentak ketika Theon meneriakinya.
"Gen, sialan! Kau apakan baju-bajuku."
****
Matahari menyambut hari baru. Keluarga Jaswan langsung bersiap-siap berangkat kerja. Kali ini Nora menjaga ayahnya. Katanya, Meldina ada pesanan baju yang banyak. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan itu.
Awalnya Genio yang ingin tetap di rumah. Namun, Theon tak menyetujui. Mau bagaimana pun Genio tak akan bisa menjaga dengan benar, yang ada dia malah keasyikan tidur-tiduran.
Setelah sarapan, Seema dan Gea langsung berangkat. Mereka berkerja sebagai pelayan di tempat makan.
"Gen, ayo! Hari ini, kau ikut saja denganku, cepat!" titah Theon yang langsung menarik tangan adiknya. Lagi-lagi Genio mengerjakan pekerjaan yang baru lagi.
Hari ini, benar-benar hari terbaik bagi mereka berempat. Tempat makan Bibi Tila sangat ramai, sampai Seema dan Gea hampir kewalahan, tetapi mereka terus menerbitkan senyum terbaiknya. Begitupun Theon dan Genio, tiba-tiba ada petinggi kota yang memesan seribu kerajinan kayu. Hal yang tak menyangka jika berbarengan mendapatkannya.
Sayangnya untuk hari ini, Meldina merasa cukup kesusahan, sering kali ia melakukan kesalahan.
"Dina, kerjakan ini dengan benar. Kita sedang banyak pesanan, jangan kau kacaukan sehingga aku rugi. Kalau iya, kau bisa pulang lebih awal," ujar bibi El dengan Lembut. Namun, penuh peringatan. Ia datang menghampiri Meldina yang sedang memperbaiki kesalahannya. Itu pun peringatan ke tiga kalinya yang ia dapatkan.
Pikiran Meldina benar-benar kacau ia teringat terus suaminya. Karena jika dilihat-lihat keadaanya semakin buruk meski sudah diberi obat dari tabib. Ia merasa heran juga, dengan jamur yang dimakan Jaswan. Ketika bertanya kepada Sach, dia menjawab bahwa jamur yang dimakan itu berwarna kuning.
"Ibu!"
Di tengah kesibukan orang-orang menjahit baju. Nora tetiba datang dengan tergesa-gesa. Tentu saja hal itu membuat Meldina tersentak dari lamunanya.
"Ibu! Ayah, itu ayah ...." Napas yang tersenggal membuat Nora kesulitan menjelaskan sesuatu.
"Ada apa, Nora?" Meldina langsung meninggalkan pekerjaan dan menghampiri Nora yang tengah mengatur napasnya.
"Ayah tak bernapas."
Waktu bagaikan terhenti. Meldina gemetaran. Membuat orang-orang di sana pun menghampirinya. Terlebih suara Nora yang cukup keras saat mengatakan hal tersebut.
Kenapa tiba-tiba, apakah aku bermimpi? Itu yang dipikirkan Meldina sekarang. Rasanya kemarin-kemarin baik-baik saja. Mengapa ini menghampirinya.
Dengan derai air mata Meldina segera izin untuk tak melanjutkan bekerja. Ia langsung ke rumah menyuruh Nora memanggil tabib dan ke empat saudaranya.
Bukan suka namanya kalau tidak ada duka yang bersamanya. Kini mereka berempat dihantam kenyataan. Rencana mereka ingin memberi sebuah berita menyenangkan jika akan mendapatkan uang banyak. Namun, Sebuah duka yang sangat tak diduga. Tangisan memenuhi rumah.
Jaswan telah mati.
Tidak ada yang menyangka hal itu terjadi. Mereka berlima benar-benar terkejut dengan berita tentang ayah. Ketika mereka sedang asyik bekerja lagi seperti kemarin.
Kata sang tabib racun dari jamur yang dimakannya tak bisa dihentikan ternyata, menyebar dengan cepat dan meregangkan nyawa.
Prosesi pemakaman pun berlangsung cepat. Jaswan dikuburkan di pemakaman desa setempat.
Berita kematiannya itu juga menyebar dan membuat heboh orang-orang. Terlebih desa ini makanannya dominan jamur.
Rumah kediaman Jaswan pun dikunjungi oleh beberapa orang desa. Namun, namanya juga manusia yang kadang tak pernah peduli atau mengerti keadaan orang lain.
Seseorang tiba-tiba datang dan menunjuk-nunjuk kearah Theon, Genio, Seema, Gea dan Nora. "Lihat! Mereka yang membawa jamur beracun itu."
Ternyata dia adalah pria bertubuh gempal yang menuduh mereka di pasar waktu itu. Ke lima saudara itu tentu saja membela diri.
"Apa? yang benar saja, dasar anak-anak sial!" seru seseorang yang lainnya yang ikut menuduh juga.
Orang-orang pun mulai termakan omongan itu. Manusia tanpa sadar sangan mudah dihasut. Theon hampir melayangkan tangannya untuk memukul mulut orang-orang itu. Namun, Gea yang berada didekatnya segera sadar dan segera menahan aksi yang akan sang kakak lakukan.
"Jangan!" kata Gea pelan dengan menahan kuat-kuat tangan Theon.
"Hei! Anaknya Meldina, kan, tidak tau asal usulnya. Mereka semua hanya anak angkat, lihat! Wajahnya saja berbeda-beda," kata seorang wanita yang seperti melemparkan kayu ke api yang sudah menyala-nyala sehingga api itu semakin membesar.
"Ah, ya, Benar! Kita hampir lupa teentang hal itu."
"Kita tak tau, jikalau ada anak iblis di antara mereka."
"Atau pembawa sial."
"Ya, pembawa sial sayangnya malah menimpa kekeluarga mereka sendiri."
Semua yang di sana saling bersahutan untuk ikut-ikutan. Hal itu pun menarik orang desa yang lewat.
Mereka benar-benar tak mengerti dengan orang-orang yang tetiba menuduh. Membuat Meldina yang sedih menjadi marah dengan perkataan mereka, ia jadi teringat ketika masa-masa penantian menunggu keturunan. Sayangnya takdir berkata lain, ia sama sekali tak mempunyai anak juga hingga hanya mampu mengadopsi ataupun mengangkat anak yang tak sengaja mereka temukan.
"Mereka anakku, darah dagingku. Mengapa kalian begitu tega, aku sedang berduka dan kalian malah menuduh ini dan itu." Meldina berkata dengan nada tinggi dan suaranya yang parau karena terus menangis.
"Pergi! Pergi kalian. Semua ini bukan salah anak-anakku." Ia mendorong satu persatu orang-orang, mengusirnya dengan cukup kasar. Ada rasa kesal juga kepada orang-orang ini.
Meldina langsung menutup pintu dengan kuat sehingga menimbulkan suara keras. Sedangkan, kelima saudara itu hanya berdiri dengan terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Melihat Meldina yang kini terduduk dan menangis lagi.
Lalu mereka menghampiri bersamaan dan memeluk sang ibu. Rasa sedih dan semuanya datang tiba-tiba bersamaan.
.....
217Please respect copyright.PENANAtIrVX2OvFj
217Please respect copyright.PENANACESYT5zucE
217Please respect copyright.PENANA7g7M7Cbhs9
217Please respect copyright.PENANA3ufaDjLPbU
217Please respect copyright.PENANA91Y4A4nfms
217Please respect copyright.PENANAErFoYalmnO
217Please respect copyright.PENANA0Gq3b9xTJx
217Please respect copyright.PENANAz4ftzm5t27
217Please respect copyright.PENANAsYz9c0zBPg
217Please respect copyright.PENANAdcxbt6CIS9
217Please respect copyright.PENANA69w5ArflDb
217Please respect copyright.PENANAhUFFqMk7oy
217Please respect copyright.PENANAYYgU28oieE
217Please respect copyright.PENANASBLt1hBU07
217Please respect copyright.PENANACDmhjodN0C
217Please respect copyright.PENANAXviHVyYORK
217Please respect copyright.PENANAXnDKSo1HUR
217Please respect copyright.PENANAC1TTBYTr5e
217Please respect copyright.PENANALLhABZWobk
217Please respect copyright.PENANABxvSQHj1MY
217Please respect copyright.PENANAl58Pq90Aph
217Please respect copyright.PENANAFAxUwYETIS
217Please respect copyright.PENANAJbrkadXL0G
217Please respect copyright.PENANAX1yuC1DJ74
217Please respect copyright.PENANAdO16EwcsqR
217Please respect copyright.PENANArOHXHYe2kw
217Please respect copyright.PENANAVKwj56fh9i
217Please respect copyright.PENANAp3psbMYssE
217Please respect copyright.PENANA7J3qdrk8Fj
217Please respect copyright.PENANAxtj8HXFcyB
217Please respect copyright.PENANAuA1hQI3xP0
217Please respect copyright.PENANAPfSlaelWcq
217Please respect copyright.PENANAJrDr0eDHfg
217Please respect copyright.PENANAK1bS28UAUx
217Please respect copyright.PENANAF9JQj8M3iy
217Please respect copyright.PENANAPFCvJj5JZW
217Please respect copyright.PENANAaQC6wQa8c8
217Please respect copyright.PENANAd0mSlhvKJc
217Please respect copyright.PENANACnbib5tVXr
217Please respect copyright.PENANAOKJLrq5rZH
217Please respect copyright.PENANA6swyx4euk9
217Please respect copyright.PENANAGVLbpapu05
217Please respect copyright.PENANAy7An0f15oS
217Please respect copyright.PENANAMxE99ihx3d
217Please respect copyright.PENANAyQfyzOCA42
217Please respect copyright.PENANA1JbYcAxm1Y
217Please respect copyright.PENANA9giz3qD6oP
217Please respect copyright.PENANADHNLXYIzsk
217Please respect copyright.PENANAxvOWbBo3l5
217Please respect copyright.PENANAKyfLVXpA1O
*****217Please respect copyright.PENANAI3EamAOQjB
217Please respect copyright.PENANA36RfiTczew