218Please respect copyright.PENANArV6gkKHVc1
218Please respect copyright.PENANARi8ZHcAFp0
Sore hari, ketika waktu hampir gelap Nora pulang yang paling awal. Lanjut disusul Seema dan Gea, Theon, dan terakhir Genio. Semuanya merasa lelah. Ini, hari kedua mereka berkerja selain mencari jamur. Apalagi ibunya tak bisa pergi bekerja.
Genio sempat mengajak saudaranya kembali mencari jamur yang dijaga para troll itu dan dijual keluar desa. Namun, Seema menolak dan diikuti yang lainnya.
"Kita berhenti saja, lagian penduduk desa mulai enggan mengonsumsi jamur. Terlebih yang dari hutan." Kata seema waktu itu yang diangguki setuju oleh Gea, Theon dan Nora. Sedangkan Genio hanya mendesah pelan.
"Lelah sekali rasanya aku menjadi pengangkut barang di pasar," keluh Genio sembari meregangkan badannya. Ya, kali ini hanya dia yang mengambil pekerjaan lain. Sebab kemarin, ada domba yang lepas membuat Genio dimarahi oleh ayah temannya. Untung saja domba itu masih bisa ditemukan dan dia tak lagi diizinkan menggembalakan hewan ternaknya lagi. Takut terulang katanya.
"Yang penting, kau bekerja membantu kita," timpal Seema sembari menuangkan air putih untuk Genio.
Theon yang hanya duduk sebentar langsung pamit pergi untuk membersihkan diri. Gea pun sama ia pergi ke kamar orang tuanya. Menengok sang ayah yang tetap terbaring lemah. Kini di ruang makan hanya ada mereka bertiga. Seema, Nora dan Genio.
Tak ingin bermalas-malasan, Seema mengajak Nora untuk membantu menyiapkan makan malam. Lagi-lagi Genio ditinggal sendiri. Dia hanya menatap lurus ke gelas ditangannya dan meminumnya sampai tandas.
"Rasanya aku seperti tak berguna jika di rumah." Meletakan gelas kembali ke tempatnya, lalu terbengong. Sampai tersentak ketika Theon meneriakinya.
"Gen, sialan! Kau apakan baju-bajuku."
****
Matahari menyambut hari baru. Keluarga Jaswan langsung bersiap-siap berangkat kerja. Kali ini Nora menjaga ayahnya. Katanya, Meldina ada pesanan baju yang banyak. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan itu.
Awalnya Genio yang ingin tetap di rumah. Namun, Theon tak menyetujui. Mau bagaimana pun Genio tak akan bisa menjaga dengan benar, yang ada dia malah keasyikan tidur-tiduran.
Setelah sarapan, Seema dan Gea langsung berangkat. Mereka berkerja sebagai pelayan di tempat makan.
"Gen, ayo! Hari ini, kau ikut saja denganku, cepat!" titah Theon yang langsung menarik tangan adiknya. Lagi-lagi Genio mengerjakan pekerjaan yang baru lagi.
Hari ini, benar-benar hari terbaik bagi mereka berempat. Tempat makan Bibi Tila sangat ramai, sampai Seema dan Gea hampir kewalahan, tetapi mereka terus menerbitkan senyum terbaiknya. Begitupun Theon dan Genio, tiba-tiba ada petinggi kota yang memesan seribu kerajinan kayu. Hal yang tak menyangka jika berbarengan mendapatkannya.
Sayangnya untuk hari ini, Meldina merasa cukup kesusahan, sering kali ia melakukan kesalahan.
"Dina, kerjakan ini dengan benar. Kita sedang banyak pesanan, jangan kau kacaukan sehingga aku rugi. Kalau iya, kau bisa pulang lebih awal," ujar bibi El dengan Lembut. Namun, penuh peringatan. Ia datang menghampiri Meldina yang sedang memperbaiki kesalahannya. Itu pun peringatan ke tiga kalinya yang ia dapatkan.
Pikiran Meldina benar-benar kacau ia teringat terus suaminya. Karena jika dilihat-lihat keadaanya semakin buruk meski sudah diberi obat dari tabib. Ia merasa heran juga, dengan jamur yang dimakan Jaswan. Ketika bertanya kepada Sach, dia menjawab bahwa jamur yang dimakan itu berwarna kuning.
"Ibu!"
Di tengah kesibukan orang-orang menjahit baju. Nora tetiba datang dengan tergesa-gesa. Tentu saja hal itu membuat Meldina tersentak dari lamunanya.
"Ibu! Ayah, itu ayah ...." Napas yang tersenggal membuat Nora kesulitan menjelaskan sesuatu.
"Ada apa, Nora?" Meldina langsung meninggalkan pekerjaan dan menghampiri Nora yang tengah mengatur napasnya.
"Ayah tak bernapas."
Waktu bagaikan terhenti. Meldina gemetaran. Membuat orang-orang di sana pun menghampirinya. Terlebih suara Nora yang cukup keras saat mengatakan hal tersebut.
Kenapa tiba-tiba, apakah aku bermimpi? Itu yang dipikirkan Meldina sekarang. Rasanya kemarin-kemarin baik-baik saja. Mengapa ini menghampirinya.
Dengan derai air mata Meldina segera izin untuk tak melanjutkan bekerja. Ia langsung ke rumah menyuruh Nora memanggil tabib dan ke empat saudaranya.
Bukan suka namanya kalau tidak ada duka yang bersamanya. Kini mereka berempat dihantam kenyataan. Rencana mereka ingin memberi sebuah berita menyenangkan jika akan mendapatkan uang banyak. Namun, Sebuah duka yang sangat tak diduga. Tangisan memenuhi rumah.
Jaswan telah mati.
Tidak ada yang menyangka hal itu terjadi. Mereka berlima benar-benar terkejut dengan berita tentang ayah. Ketika mereka sedang asyik bekerja lagi seperti kemarin.
Kata sang tabib racun dari jamur yang dimakannya tak bisa dihentikan ternyata, menyebar dengan cepat dan meregangkan nyawa.
Prosesi pemakaman pun berlangsung cepat. Jaswan dikuburkan di pemakaman desa setempat.
Berita kematiannya itu juga menyebar dan membuat heboh orang-orang. Terlebih desa ini makanannya dominan jamur.
Rumah kediaman Jaswan pun dikunjungi oleh beberapa orang desa. Namun, namanya juga manusia yang kadang tak pernah peduli atau mengerti keadaan orang lain.
Seseorang tiba-tiba datang dan menunjuk-nunjuk kearah Theon, Genio, Seema, Gea dan Nora. "Lihat! Mereka yang membawa jamur beracun itu."
Ternyata dia adalah pria bertubuh gempal yang menuduh mereka di pasar waktu itu. Ke lima saudara itu tentu saja membela diri.
"Apa? yang benar saja, dasar anak-anak sial!" seru seseorang yang lainnya yang ikut menuduh juga.
Orang-orang pun mulai termakan omongan itu. Manusia tanpa sadar sangan mudah dihasut. Theon hampir melayangkan tangannya untuk memukul mulut orang-orang itu. Namun, Gea yang berada didekatnya segera sadar dan segera menahan aksi yang akan sang kakak lakukan.
"Jangan!" kata Gea pelan dengan menahan kuat-kuat tangan Theon.
"Hei! Anaknya Meldina, kan, tidak tau asal usulnya. Mereka semua hanya anak angkat, lihat! Wajahnya saja berbeda-beda," kata seorang wanita yang seperti melemparkan kayu ke api yang sudah menyala-nyala sehingga api itu semakin membesar.
"Ah, ya, Benar! Kita hampir lupa teentang hal itu."
"Kita tak tau, jikalau ada anak iblis di antara mereka."
"Atau pembawa sial."
"Ya, pembawa sial sayangnya malah menimpa kekeluarga mereka sendiri."
Semua yang di sana saling bersahutan untuk ikut-ikutan. Hal itu pun menarik orang desa yang lewat.
Mereka benar-benar tak mengerti dengan orang-orang yang tetiba menuduh. Membuat Meldina yang sedih menjadi marah dengan perkataan mereka, ia jadi teringat ketika masa-masa penantian menunggu keturunan. Sayangnya takdir berkata lain, ia sama sekali tak mempunyai anak juga hingga hanya mampu mengadopsi ataupun mengangkat anak yang tak sengaja mereka temukan.
"Mereka anakku, darah dagingku. Mengapa kalian begitu tega, aku sedang berduka dan kalian malah menuduh ini dan itu." Meldina berkata dengan nada tinggi dan suaranya yang parau karena terus menangis.
"Pergi! Pergi kalian. Semua ini bukan salah anak-anakku." Ia mendorong satu persatu orang-orang, mengusirnya dengan cukup kasar. Ada rasa kesal juga kepada orang-orang ini.
Meldina langsung menutup pintu dengan kuat sehingga menimbulkan suara keras. Sedangkan, kelima saudara itu hanya berdiri dengan terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Melihat Meldina yang kini terduduk dan menangis lagi.
Lalu mereka menghampiri bersamaan dan memeluk sang ibu. Rasa sedih dan semuanya datang tiba-tiba bersamaan.
.....
218Please respect copyright.PENANAB8Tn4fY98T
218Please respect copyright.PENANA0FwS7sVu5V
218Please respect copyright.PENANAvPqqHTgfAc
218Please respect copyright.PENANAJvevLucU1l
218Please respect copyright.PENANAdyMLaWzyqI
218Please respect copyright.PENANA0y5fHPRQmH
218Please respect copyright.PENANAM3Sq4xUwlv
218Please respect copyright.PENANAXhYOv4X25o
218Please respect copyright.PENANAteXGmPJrtZ
218Please respect copyright.PENANAn7timJWzI4
218Please respect copyright.PENANAGgQoiIU8qY
218Please respect copyright.PENANAwsOfGeGYKh
218Please respect copyright.PENANADILUUZ4afN
218Please respect copyright.PENANAdv2WBCsEVt
218Please respect copyright.PENANAEVJaBUJ2ou
218Please respect copyright.PENANAls3E3x0SNE
218Please respect copyright.PENANAFjekIDNOmr
218Please respect copyright.PENANAbKyJtI6N68
218Please respect copyright.PENANAgzUPPs02d2
218Please respect copyright.PENANABJkcS04vbL
218Please respect copyright.PENANAGvtjEj6KWp
218Please respect copyright.PENANAYRRBDkd5Kb
218Please respect copyright.PENANAh9nKMquyL0
218Please respect copyright.PENANA2fJOem8Go0
218Please respect copyright.PENANAawoLVmM0cY
218Please respect copyright.PENANAQEB8oWxlo4
218Please respect copyright.PENANAx7QjWzN3dl
218Please respect copyright.PENANA7iWJLN9C27
218Please respect copyright.PENANAcbgC7dnyKL
218Please respect copyright.PENANAgKYwtDw6Q9
218Please respect copyright.PENANABL57NNhHyp
218Please respect copyright.PENANArAKNMHmTDz
218Please respect copyright.PENANAkAa5ykqX0k
218Please respect copyright.PENANAox9h3m90YL
218Please respect copyright.PENANAfg0er9Exwn
218Please respect copyright.PENANAOuFKdf9M5Z
218Please respect copyright.PENANA3irrYPRcHQ
218Please respect copyright.PENANAM5X9R76MDE
218Please respect copyright.PENANAB5UMeNjCUP
218Please respect copyright.PENANATjUwqsyn4Z
218Please respect copyright.PENANAyvSl97IDUY
218Please respect copyright.PENANAEpKzDdWJn8
218Please respect copyright.PENANAmpObR4DZof
218Please respect copyright.PENANAzCP1yOFpYm
218Please respect copyright.PENANAYLMux3BGJp
218Please respect copyright.PENANAVM1dMOaVff
218Please respect copyright.PENANAqVwheDEfxX
218Please respect copyright.PENANAmZSlkImMWx
218Please respect copyright.PENANA8CRsTPqfvY
218Please respect copyright.PENANAEB8eZrG8Xk
*****218Please respect copyright.PENANAXrcUNrtO8u
218Please respect copyright.PENANAWBBnKl8V6u