Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEoqYm8a9Th
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiPNgrG6sdy
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVEtw3RnJq3
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFlc37WFTr3
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnDhp6sRXtH
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHRExRF3H0z
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyOGmvh4Uto
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3vF8hWtuD5
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjW96thvS1w
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ70EAinGIgE
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrqLNdsS217
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpZBmJKHJnO
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTwJnJ4VThy
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxX9RMcVE7n
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5FP1OwB1Fg
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjKRO691ZLO
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLKBIlaZE89
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuAFj1FuL5R
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQy7JmkI8mo
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLMMMvaOK70
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4UXipJm6Rj
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6Fs2etx022
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡH4hinVSifY
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFjDrlfwjrq
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡc7LXSLe8o4
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0SuekLFMg4
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn6u7RSuFSc
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3k1zbHVOfT
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOIE2Vbi9Ir
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7tXxwcZ5Zy
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3uaZ2CR8dq
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUBLX80kYZt
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSGwJJiVCEo
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDZRjlwIGXi
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUTaLRmH04G
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ65ribjvnqF
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV3kQymIATk
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUudTbpIYvl
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJeZN2H1evS
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUG5FxElhmc
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMcPOYJduwq
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnH5zWKah1a
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxILT8xbi70
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUngjcpa7cp
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtVBiRTMGnr
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEXGABzrkLF
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxV7HScKJ5r
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyzlRjAzlud
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNvm8gH0BVP
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlGG8JpyutY
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvos3W8MgeO
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgFjK1GLIMn
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡt72MrRaYCg
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRzztkMb0Jk
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5r5JBd0wZY
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7sePil3Hel
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRj4NzGeV03
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhq6nOQQjnu
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiqDYQWMc8C
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRIR8Q3el32
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡS6ENirVI3T
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1ryRdD6YMl
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0DmKX8UbKa
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjna7opC4fL
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEUBLhst7wL
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMARYACnH0S
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡj0JjnJnG1Z
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ79JXFi7c7r
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqzLfakpMj2
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYQzEWGuHVO
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5HJlBoeMu3
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxlUUhHDOi0
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjH2RJpaL7h
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQcUiGYC3EF
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdcGYkLzZ0T
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCARF7ivRAg
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXsZtjDWMiB
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrdt4J5cTTo
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpaTP8cjmka
Itulah awal mula keakraban mereka.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMHO2rfZHBu
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡP8fvNxQJ9J
***
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSOatEhEU2D
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeNT8vwMTQW
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNJFwiwN5hE
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU4t13MTeBN
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7sIhYBuvrT
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIV5H8dg80b
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCg1VRgh16f
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvHPcYWw1Gc
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLtm1dL81Jx
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLSpHixK0R0
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgK9QWvMLWT
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSrUSMOJwNI
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzsJMfF3xhD
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡklppahNyD9
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPR3E3NHjbT
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEqOcZE0CLk
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
123Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdOhecmTpMe
