Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEoSmXYy1e2
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI226IYEu9v
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjAXJ2tRVcT
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQHVEDQGQ1E
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8d9w61rAd4
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeWJA7rlTgm
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9weyIkuL4z
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5CWuWeQMJ2
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡg9ta6Xi7Rt
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwMyRDNMQ5S
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ10Rhq62zym
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMjk69xyliP
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUaO54xa1ap
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4VUWvDZxpe
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrYnrfc4wVm
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRKbQTm92iR
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡC6znwglDry
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy73qHTmXxs
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcTwk8VjHNk
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡX1RVVn1Qac
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡj1pjUTS33X
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbDv3dWu236
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡStJaZoe0K2
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ979UdRFny7
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8T420yqHDS
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ32dQ1Bus2
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡX1Z7sciDZz
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2N3owrmnfc
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXnTyX2nf2o
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBfQRHynDyf
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡluFMRrRPqQ
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaIAmkfUBmn
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQWNQ6wcoql
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxuAobv2Riu
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ56p0vKQk4E
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbLZNqUd8s9
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkZDt9Ehnuw
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJo6QtUZbzZ
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxaQa0lTn2U
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGcvrfwIVBs
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVoohn07W1f
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0RZpEhgl0x
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxZDXSSO6jZ
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuNJgBBHy97
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvm5Bgk5Za0
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwWAkZdbPYa
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVpEthHTWuF
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMfBDaO1YTB
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrwgtdVwDQP
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnOznMBrJrS
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNsaKXDWQs0
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsPSgQujCtq
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVm4bEMGf47
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxhMqzHqfQy
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ47QdQtc92u
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQNRdsOFrjt
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYhdyb8f180
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡk51X7WCOsM
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡg9LIYjBdVh
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxHAxa97u9m
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOS1dQPaXj9
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡT0m29R6OvJ
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRgH0fWDyG3
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwWilJNnoE4
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqQ2020ncAJ
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8Vaey6EelC
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxqcXV4J1hY
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfh3ohwfzHo
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6RE9IMr0BZ
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzMqpXyF7J5
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOWi2G9iUcl
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0KyDAOJagr
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5ZWYrlJ52u
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYXOsVU0DR1
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRQflLPV2cl
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEMRoJX40bk
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEYRgFVJqUm
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMRzZSoEqbF
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXQqFjGKKCP
Itulah awal mula keakraban mereka.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡonrph9a9FV
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3a6t88bfU5
***
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡS9GimtwXLE
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTSOCQ6jSTt
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsETLT9KUHh
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡanqQ5QSstZ
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsPUJl7DSIF
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJm6h6f4fpF
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡC5xV6yEmCG
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM5wvzyEwTr
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZ3xnjpiyoM
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDppSabaT7V
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzI3UdrB37K
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYtNYQWP3cQ
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdOz3e9LcTZ
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡB8LGOAtM0o
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJxnFMigcM5
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEvK46He5jv
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
114Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7eUyXd3Zq2
