Hari masih terlalu pagi, namun suara kokok ayam milik tetanggaku sudah terdengar lantang dan membuatku terjaga dari tidur. Hidup di sebuah rumah kontrakan petak kecil dan berhimpitan dengan banyak rumah lain memang harus kuat menahan kebisingan, bahkan suara hewan sekelas ayampun bisa mengganggu tidurku.
Kulihat di sampingku Mas Fajar, suamiku, masih terlelap nyenyak. Wajahnya tampak lelah setelah kemarin dia harus lembur menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Sebagai pegawai rendahan Mas Fajar memang sering pulang larut malam karena mengambil jadwal lembur. Aku bangga dengan suamiku, meskipun tak terlahir dari keluarga berada tapi etos kerjanya tiada duanya. Itulah yang membuatku jatuh hati dan menambatkan pilihan padanya untuk mengarungi bahtera rumah tangga meskipun banyak orang menentangnya, termasuk kedua orang tuaku.
“Kamu mau jadi apa kalo menikah dengan Fajar? Gimana masa depanmu nanti? Fajar itu cuma pegawai kantor rendahan!” Kata Ibuku dua tahun lalu saat Mas Fajar datang ke rumah untuk meminangku.
“Mas Fajar mencintaiku Bu, aku juga begitu.” Kataku membela Mas Fajar.
“Alah! Omong kosong dengan cinta! Menikah itu berat Diandra, kalian nggak akan bisa hidup hanya dengan mengandalkan cinta!” Sahut Ayahku yang juga sejak awal menentang hubungan kami berdua.
Aku dan Mas Fajar memang berbeda jauh dari strata sosial. Aku tumbuh besar di kelurga berada, Ayahku seorang pengusaha sukses, pun begitu pula dengan Ibuku yeng memiliki bisnis catering terkenal. Tak terhitung berapa kali kedua orang tuaku mencoba menjodohkanku dengan banyak pria pilihan mereka, mulai dari pilot, dokter, hingga pengusaha muda, namun tak ada satupun yang aku terima dan lebih memilih Mas Fajar sebagai tambatan hatiku.
Tentangan dari orang-orang terdekatku nyatanya sama sekali tak membuat surut cinta kami berdua. Bahkan sebaliknya, hubunganku dan Mas Fajar semakin erat dan tak bisa dipisahkan. Keteguhan hati inilah yang akhirnya membuat lunak hati kedua orang tuaku dan akhirnya merestui pernikahan kami berdua. Namun, tantangan besar belum sepenuhnya bisa kami lewati. Kami harus memulai semuanya dari nol, hidup mandiri dan lepas dari bantuan siapapun termasuk kedua orang tuaku.
Meskipun Ayahku menawarkan sejumlah uang pada Mas Fajar untuk membuka usaha, tapi suamiku itu menolak dengan halus. Mas Fajar tidak ingin menghabiskan sisa hidup kami di bawah bayang-bayang kesuksesan orang tuaku, apalagi sampai menerima uang cuma-cuma guna memperbaiki hidup. Aku bangga dengan sikap Mas Fajar, harga dirinya tinggi dan pantang dikasihani.
“Kamu percaya kan sama Mas?” Tanya Mas Fajar beberapa tahun lalu sesaat setelah acara ijab qabul kami berlangsung.
“Iya Mas, Aku percaya.” Jawabku sembari tersenyum bahagia.
“Aku janji akan jaga Diandra, akan mencukupi semua kebutuhan Diandra tanpa bantuan orang lain.” Mas Fajar menatap lekat wajahku sembari menggenggam jemariku.
“Makasih ya Mas, Diandra bahagia banget.” Ucapku yang langsung disambut helaan nafas lega oleh Mas Fajar.
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, Mas Fajar langsung mengajakku tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Rumah itu telah dikontrak Mas Fajar sejak dirinya datang merantau dari luar pulau, lingkungan di sekitar rumah ini tentu berbeda jauh dengan rumah keluarga besarku yang berada di kawasan perumahan elit. Puluhan rumah petak berukuran kecil dengan satu atau dua kamar tidur utama terlihat rapi berjejer. Kesan kumuh langsung tergambar di kepalaku saat pertama kalinya menginjakkan kaki dua tahun yang lalu.
Memang awalnya aku sedikit terganggu dengan keadaan di sekitar rumah baruku, tapi aku sudah mengambil leputusan bulat saat menerima pinangan Mas Fajar. Kemanapun dia membawaku pergi, aku akan selalu setia menemaninya. Satu tahun pertama pernikahanku berjalan dengan begitu lancar, Mas Fajar sangat giat bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, sementara aku membantunya dengan cara berjualan skincare online, meskipun tak banyak menghasilkan tapi kami bersyukur masih bisa hidup secukupnya.
Tak terasa usia pernikahan kami sudah menginjak tahun kedua, tantangan baru kembali muncul. Layaknya pasangan yang sudah menikah, kehadiran seorang anak tentu telah dinanti-nantikan, hal itu pula yang terjadi pada kami berdua. Sebenarnya kehidupan seksualku dan Mas Fajar tak jadi soal, kami rutin melakukannya, apalagi aku juga tergolong wanita yang “hyperseks”. Hanya saja beberapa bulan lalu kami baru menyadari sumber masalahnya adalah pada sperma Mas Fajar yang berkualitas buruk. Kami mengetahuinya setelah berkonsultasi pada dokter kandungan.
Tak hanya itu, satu tahun terakhir, penis Mas Fajar juga tak sekeras biasanya. Setiap kali akan melakukan penetrasi, suamiku itu juga begitu cepat memuntahkan pelurunya, bahkan sebelum aku merasakan penetrasi. Ejakulasi dini dipadu disfungsi ereksi, sebuah kombinasi mematikan dalam hubungan suami istri. Apakah aku kecewa? Iya, aku kecewa, tapi itu bukan alasan untuk tak lagi mencintai Mas Fajar. Aku sudah berikrar untuk sehidup semati dengannya apapun keadaan yang menimpanya.
***
Aku bangun dari ranjang dan bersiap untuk memulai rutinitas pagiku sebagai seorang ibu rumah tangga. Menyiapkan sarapan untuk Mas Fajar sebelum dia berangkat kerja, kemudian dilanjutkan dengan membersihkan seisi rumah. Saat hendak melangkah ke dapur aku sempatkan memperhatikan tubuhku di depan cermin kaca berukuran besar yang terpasang di lemari bajuku. Secara fisik, penampilanku termasuk di atas rata-rata, tubuhku tidak tinggi namun sintal dengan payudara cukup berisi, rambutku yang sedikit bergelombang biasa kubiarkan terurai hingga dada. Wajahku juga lumayan cantik untuk wanita seusiaku, bahkan tak jarang banyak orang mengira usiaku masih 20 tahunan.
Matahari sudah muncul dengan gagah saat aku selesai menyiapkan sarapan untuk suamiku. Terdengar dari dalam kamar mandi suara guyuran air menerpa permukaan lantai, rupanya Mas Fajar sedang mandi saat aku sibuk menyapu ruang tengah. Kubuka pintu rumahku, beberapa orang tetangga menyapaku ramah, aku menyahuti mereka dengan senyum dan sikap sopan. Salah satu faktor yang membuatku betah tinggal di lingkungan ini adalah keramahan para tetangga, sikap mereka begitu hangat padaku maupun pada Mas Fajar.
“Wah! Wah! Rajin bener, pagi-pagi udah bersih-bersih.” Aku menoleh ke samping dan mendapati sosok Narto sudah berdiri tak jauh dari pagar rumahku yang hanya setinggi dada orang dewasa.
“Hmmm…Iya.” Jawabku tak acuh sembari terus melanjutkan kegiatan menyapuku. Aku selalu tak tenang jika berhadapan dengan pria yang berbadan kekar dengan lengan penuh tatto itu.
“Jangan cemberut gitu dong, nanti hilang cantiknya loh! Hehehehe…” Narto masih belum selesai menggodaku.
Narto adalah salah satu tetanggaku, dia tinggal tepat di belakang rumah kontrakanku. Pria yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dariku itu dikenal sebagai preman kampung. Sudah tak terhitung berapa kali dia jadi biang pemicu keributan di lingkungan ini, namun tak sekalipun dia merasa jera dan berniat memperbaiki hidupnya. Citra buruk yang terbangun justru jadi ladang penghasilan bagi pria berambut gondrong itu.
Pernah dulu saat aku dan Mas Fajar sedang berjalan berdua kembali ke rumah setelah selesai membeli makan kami dihadang oleh Narto dan gerombolannya. Tanpa segan dia langsung memalak Mas Fajar, suamiku itu tanpa daya langsung menyerahkan seluruh uang di dalam dompetnya karena ketakutan. Waktu itu tentu aku begitu kecewa dengan sikap Mas Fajar yang terlihat begitu lemah di hadapan Narto dan nyaris tanpa perlawanan. Tapi setelah kupikir-pikir apa yang dilakukan oleh suamiku ada benarnya juga, karena melawan Narto yang berbadan kekar tentu bukan hal yang mudah bagi suamiku, apalagi waktu itu Narto tak sendirian, tapi bersama gerombolannya.
Tapi sejak kejadian itu, Narto makin semena-mena terhadap Mas Fajar. Tak jarang saat pulang kerja pada malam hari, suamiku kembali jadi korban pemalakan preman kampung itu. Setiap kali aku tanya, Mas Fajar selalu enggan menceritakannya, suamiku itu selalu berdalih jika Narto hanya bercanda. Pernah aku menyarankan agar melapor ke Polisi saja, tapi usul itu segera ditolak mentah-mentah oleh Mas Fajar. Katanya dia tidak ingin terjadi keributan selama masih tinggal di sini.
“Eh ada Mas Narto, pagi Mas.” Aku baru menyadari jika suamiku sudah selesai sarapan dan bersiap untuk berangkat kerja.
“Pagi juga Jar, tumben udah berangkat jam segini?” Kata Narto berbasa-basi, meskipun begitu preman kampung itu masih menatap tubuhku seolah tak mempedulikan kehadiran Mas Fajar.
“Iya Mas, maklum akhir bulan.” Ujar Suamiku sembari menali sepatunya yang sudah terlihat usang.
“Eh ya Jar, aku boleh minta tolong nggak?” Narto berjalan mendekati pintu pagar rumahku, tanpa meminta ijin terlebih dahulu dia kemudian membukanya dan berjalan masuk. Aku yang kaget seketika langsung berusaha melipir menjauhinya.
“Minta tolong apa ya Mas?” Tanya suamiku, dari raut wajahnya aku yakin jika suamiku juga tak nyaman saat ini.
“Hmmm, jadi gini Jar, nanti siang aku diundang resepsi pernikahan teman baikku. Nah, aku ingin minjem istrimu buat nemenin aku. Sebentar aja kok, paling nggak sampai satu jam.”
“Hah?! Min-Minjem Diandra??” Kami berdua sama-sama terkejut setelah mendengar permintaan Narto. Preman kampung itu kemudian berjalan makin mendekati tubuh suamiku yang terlihat gugup, atau ketakutan lebih tepatnya.
“Ayolah Jar, cuma sebentar aja kok. Nggak bakal aku apa-apain Diandra, aku nggak mau dicap sebagai bujang lapuk terus kalo datang ke resepsi tanpa pasangan. Boleh ya?” Ujar Narto dengan nada bicara penuh intimidasi. Mas Fajar sesaat melirik ke arahku.
“Ta-Tapi Mas…”
“Ayolah, masa kamu nggak mau bantu temen sih?” Kali ini ucapan Narto diselingi sebuah gerakan tangan yang mencengkram kerah baju kerja suamiku. Tatapan tajam penuh ancaman dibNartoan Narto, suamiku terlihat tak berdaya menghadapi preman kampung itu.
“I-Iya saya akan temani. Saya akan temani untuk datang ke resepsi.” Kataku panik seraya menepuk-nepuk pergelangan tangan Narto agar segera melepas cengkramannya pada kerah baju suamiku.
“Nah gitu dong!” Sahut Narto seraya mengembangkan senyum lebar di wajah sangarnya.
“Ta-Tapi Dek….? Kamu yakin?” Mas Fajar seolah tak percaya dengan persetujuanku.
“Nggak apa-apa Mas, aku bisa jaga diri kok.” Kataku mencoba menenangkan Mas Fajar.
“Oke, nanti jam sepuluh aku jemput ya. Makasih ya Jar, selamat bekerja, biar hari ini istrimu aku yang jaga. Hahahahaha!” Tanpa perasaan berdosa Narto segera beranjak pergi dari rumahku.
“Dek…Bahaya ka-kalo…”
“Udah Mas…Lebih bahaya lagi kalo Narto bikin keributan di rumah kita. Sekarang Mas Fajar berangkat kerja aja, urusan sama Narto biar aku yang handle. Tenang, aku bisa jaga diri kok.”
“Ka-Kamu yakin Dek…”
“Iya Mas, nggak apa-apa kok.”
7113Please respect copyright.PENANAMmZyKtP68N
BERSAMBUNG
Cerita "SECRET AFFAIR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
7113Please respect copyright.PENANANFCCi0lPVH