Panik
Itulah yang aku rasakan saat ini. Di ruang tamu sudah menunggu Narto yang akan membawaku ke resepsi pernikahan salah satu temannya. Setelah mandi sekarang aku bingung harus memakai pakaian apa karena hampir seluruh pakaianku masih berada di tiang jemuran. Satu-satunya yang tersisa di dalam lemari bajuku hanyalah hanya baju batik terusan dengan bagian bawah tidak sampai lutut. Saat aku memakainya terlihat bagian pahaku yang putih mulus, belum lagi di bagian atas yang ukurannya lebih kecil dibanding ukuran buah dadaku membuat payudaraku menyembul begitu saja.
Aku memandangi tubuhku yang terbalut kebaya seksi itu di depan cermin. Aku seharusnya bangga karena kemolekan tubuhku tercetak begitu jelas, tapi yang kurasakan saat ini adalah ketakutan karena orang pertama yang akan melihatnya adalah Narto, preman brengsek yang berhasil membuat Mas Fajar tak berkutik pagi tadi. Setelah menguatkan tekad dan berharap hari ini berlalu cepat aku melangkah ragu-ragu keluar dari dalam kamar.
“Wah!! Kamu cantik sekali Diandra!” Pekik Narto terperangah saat aku berjalan keluar kamar. Mata jalangnya seolah tengah menelanjangiku saat ini. Risih!
“Ayo, kita jadi berangkat atau nggak?” Kataku dengan ketus. Preman kampung itu hanya tersenyum sembari berdiri dari kursi dan berjalan mendekatiku.
“Jangan galak-galak dong, nanti cantiknya ilang, heheheheh.” Ujar Narto sambil mencolek daguku.
“Ih! Apaan sih?! Jangan kurang ajar ya!” Hardikku cepat sembari menghindari sentuhan jarinya.
“Hahahahaha! Ayo kita berangkat, kamu bakal bikin temen-temenku mupeng hari ini!” Seperti sebelumnya, Narto begitu saja melangkah pergi tanpa perasaan berdosa sedikitpun. Aku hanya bisa meruntuk kesal sebelum kemudian mengekor di belakangnya.
“Loh kita naik ini?” Tanyaku, di depan rumahku Narto sudah duduk di depan kemudia sebuah motor RX King dengan jok yang sudah dimodifikasi agak menungging.
“Iyalah, mau naik apalagi? Ayo buruan!” Jawab Narto seraya menepuk-nepuk jok belakang motornya. Aku akhirnya pasrah saja dan menuruti permintaannya meskipun dengan wajah cemberut.
Tadinya aku ingin duduk dengan posisi menyamping, tapi hal itu tidak mungkin dilakukan, sebab bentuk jok motornya terlalu menyulitkan. Alhasil aku harus dibonceng dengan posisi mengangkang. Narto memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk menerabas padatnya lalu lintas. Berkali-kali aku berusaha menutupi paha mulusku yang tersingkap karena bagian bawah pakaianku terangkat akibat hembusan angin. Tapi percuma saja. Akhirnya aku terpaksa membiarkan para pria hidung belang di jalan melihat pahaku yang putih dengan tatapan jalang.
Selang beberapa waktu Narto mengarahkan motornya ke sebuah jalanan tak beraspal mulus, kiri kanan yang terlihat hanyalah hamparan persawahan jagung. Karena jalanan yang bergelombang, Aku terpaksa berpegangan pada bahu Narto supaya tidak terjatuh. Luar biasa, bahunya terasa kokoh sekali. Benar-benar bahu seorang pria sejati. Tapi aku segera menepis kekaguman itu setelah mengingat bahwa Narto adalah orang yang sering mengganggu kehidupanku dan Mas Fajar.
Tak sampai setengah jam kami sudah sampai di tujuan. Setelah memakirkan motor, Narto tanpa canggung mengamit lenganku dan menggandengku menuju tenda perkawinan yang telah dipenuhi oleh tamu undangan. Beberapa orang yang mengenal Narto menyalami kami berdua. Aku yang canggung memngikuti kemanapun Narto melangkah. Setelah menyalami kedua mempelai, preman kampung itu membawaku menuju meja besar yang berada tak jauh dari kursi pelaminan. Di sana sudah duduk berkumpul belasan pria sangar dengan mata merah karena pengaruh minuman keras. Di atas meja tersaji puluhan botol bir dan miras yang sengaja dipersiapkan untuk tamu undangan.
“Wah gila! Cewek mana lagi nih yang kamu bawa To?” Celetuk salah satu pria yang perawakannya tak kalah sangar dengan Narto.
“Bagi-bagi lah To, emang mau kamu habisin sendiri lonte kayak gitu?” Wajahku merah padam saat dilecehkan oleh salah satu teman Narto yang bertubuh cungkring, di wajahnya terdapat codet bekas luka.
“Hei! Jaga mulutmu! Bangsat!” Umpat Narto tak terima. Suasana mendadak menjadi tegang karena pria cungkring tadi langsung berdiri dari tempat duduknya dan mengeluarkan sebilah badik dari balik bajunya.
“Memangnya kenapa dengan mulutku To? Hah? Nggak terima kamu?”
Wajah pria bertubuh cungkring terlihat memerah, tanda jika pengaruh alkohol begitu kuat menyerang kesadarannya. Beberapa orang yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi berusaha untuk menenangkan emosi pria cungkring itu, pun begitu pula dengan Narto yang juga coba dilerai oleh beberapa orang lain.
“Udah Mas, lebih baik kita pergi aja.” Kataku ikut menenangkan Narto tapi tampaknya preman kampung itu emosinya terlanjur terbakar.
Narto merangsek maju, memicu keributan yang lebih besar. Dua orang berperawakan tinggi besar yang mencoba menahan laju prema kampung itu tak bisa berbuat banyak, Narto berhasil maju dan langsung menghujamkan pukulannya pada si pria cungkring. Suara teriakan dari para tamu undangan seketika pecah, kerumunan orang mencoba melerai perkelahian antar Narto dan si pria cungkring. Aku sendiri ikutan panik dan tak tau harus berbuat apa hingga selang beberapa waktu kemudian Narto berhasil dijauhkan dari pergumulan, wajah si pria cungkring sudah babak belur sementara Narto hanya menderita luka sedikit di pelipis matanya.
“Baru minum sedikit udah banyak tingkah Lu! Anjing!” Umpat Narto sesaat setelah berhasil dijauhkan. Si pria cungkring masih nampak kesakitan, mulut besarnya tak lagi terdengar.
“Udah To, lebih baik kamu dan pacarmu pergi aja dari sini, nggak enak sama keluarga pengantin.” Ujar salah seorang pria yang berambut gondrong. Narto masih nampak kesal, meskipun begitu dia menuruti permintaan salah satu temannya itu.
“Ayo kita pulang.” Kata Narto singkat sembari mengamit lenganku dan melangkah keluar meninggalkan acara resepsi.
Banyak mata memandang kami dengan tatapan miris, namun begitu dalam hatiku bersorak gembira karena untuk pertama kalinya dalam hidup ada seorang pria yang berani membelaku mati-matian bahkan sampai baku hantam. Mustahil Mas Fajar bisa melakukan hal yang sama. Narto menyalakan motornya, tanpa diperintah aku langsung naik di boncengan. Sepanjang perjalanan Narto hanya terdiam seribu bahasa, aku juga tak berani membuka percakapan, takut kalau preman kampung itu masih dalam keadaan emosional. Kami berdua akhirnya telah sampai di depan rumahku, aku turun dari boncengan dan melihat pelipis mata Narto masih mengeluarkan darah segar akibat perkelahian tadi.
“Terima kasih ya sudah mau menemaniku, maaf kalau ada keributan tadi di tempat resepsi.” Entah kenapa perangai Narto yang kasar dan urakan berubah jadi begitu lembut saat ini.
“Iya nggak apa-apa, terima kasih juga sudah membelaku.” Balasku.
“Eh ya, kamu ada obat merah nggak?” Tanya Narto sembari mengangkat alisnya yang berdarah.
“Ada sih, tapi…”
“Aku boleh minta?” Melihat darah segar masih mengucur dari pelipis matanya membuatku jadi tak tega.
“Ya sudah ayo masuk dulu.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mempersilahkan pria lain masuk ke dalam rumah saat Mas Fajar pergi. Narto langsung sigap memakirkan motornya dan melangkah masuk ke dalam rumah mengikutiku. Di ruang tamu, pria berbadan tegap itu langsung duduk di ruang tamu sementara aku masuk ke dalam kamar untuk berganti baju dan mengambil obat merah. Namun sesuatu yang tak terduga terjadi begitu cepat, saat aku hendak menutup pintu kamar tiba-tiba Narto sudah berdiri di hadapanku, aku sama sekali tak menyadari jika preman itu mengikuti langkah kakiku menuju kamar. Seringai menakutkan tergambar di wajahnya.
“Loh?! Mau ngapain kamu?!” Hardikku setengah histeris.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Narto merangsek maju, mendorong tubuhku ke dalam kamar hingga terjengkang di atas lantai. Narto kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Setelah menutup pintu, tiba-tiba Narto membuka bajunya. Sesaat aku terpesona melihat dadanya yang begitu bidang dan perutnya yang kotak-kotak.
“Kamu mau ngapain?! Keluar! Pergi atau aku teriak sekarang juga!” Ancamku dengan raut wajah ketakutan.
“Coba aja kalo kamu berani teriak! Fajar bakal terima akibatnya!” Balas Narto mengancamku.
Aku tau dia begitu serius dengan ucapannya, Narto tidak akan segan-segan menyakiti orang lain jika kemauannya tak dituruti. Kejadian tadi di tempat resepsi sudah membuktikannya, Narto tak takut memicu keributan jika emosinya terpancing, menyakiti suamiku tentu bukan hal sulit bagi preman kampung ini. Aku terkesiap tak tau harus berbuat apa. Ketakutan seketika menjalari seluruh tubuhku. Narto melangkah mendekatiku, memelukku dengan kasar kemudian menarikku menuju atas ranjang.
“Jangan melawan, nikmati saja. Aku janji akan memuaskanmu Diandra…” Bisiknya penuh intimidasi.
Aku tersentak dan berusaha memberontak. Pikiran negatifku terbukti, Narto hendak memperkosaku! Tapi, aku tidak berani teriak, aku seperti tak bisa mengontrol tubuhku sendiri. Narto berusaha menciumku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan! Jangan...kumohon!!” aku mengiba dan terisak.
Tanpa mempedulikan permohonanku Narto terus berusaha menyosor bibirku. Pada sebuah kesempatan, akhirnya ia berhasil melumat bibirku. Tangannya yang kasar itu mulai meraba-raba dadaku. Ia melakukannya dengan tegas khas lelaki yang kuat. Sesekali ia juga melakukannya dengan lembut. Tubuhku benar-benar dibuat belingsatan.
Aku mati-matian berusaha menahan nafsu yang mulai melanda. Tapi, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Entah kenapa lama-lama aku mulai membalas ciuman Narto yang menggairahkan itu. Bahkan ketika Narto memelorotkan baju batik yang kupakai, aku tidak menolaknya sama sekali. Narto mengangkat kedua tanganku, lalu ciumannya mengarah ke ketiakku.
Ia melepas BH-ku hingga kedua buah dadaku yang padat dan kencang itu tersingkap. Narto meremas-remas dadaku sambil tetap menjilati ketiakku. Sesekali tangannya juga meraba-raba puting susuku dengan lembut. Oh, rasanya nikmat sekali. Aku menggigigit bibir bawahku karena keenakan.
“Mas Fajar maaf, aku tidak sanggup lagi…” tangisku dalam hati.
Aku merasa bersalah sekali. Aku telah membiarkan orang lain yang bukan suamiku menjamah tubuhku, mencumbuiku serta menikmati dadaku. Padahal, selama ini yang bisa melakukannya hanya Mas Fajar, suamiku. Tapi, aku membela diri bahwa aku tidak punya pilihan lain. Jika memberontak, bisa saja Narto menyakitiku, lebih-lebih membuat Mas Fajar celaka kemudian hari. Nafsu pun semakin menguasaiku. Aku meremas-remas kepala Narto sambil mendesah-desah.
“Ouuucchhhhh…Ouucchhhhh….”
Ciuman Narto terus turun hingga mencapai perutku. Aku mengerang keenakan. Tangannya yang kokoh itu mencoba melepaskan celana dalam warna hitam yang kupakai. Bukannya menolaknya, aku malah mengangkat pantatku supaya celana dalamku mudah dilepas. Tak butuh waktu lama hingga aku benar-benar telanjang bulat.
Narto membuka kedua pahaku, lalu mengamati vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu yang tipis dan rapi. Rupanya vaginaku sudah sangat basah. Aku merasa malu sekali. Narto adalah orang pertama yang melihat kemaluanku selain suamiku sendiri. Tiba-tiba, kepala Narto masuk ke pangkal pahaku, lalu mencium dan menjilati vaginaku.
“Aaakhhh...Ssshhh!!!” Aku menjerit kecil sambil menggigit bibirku sendiri.
Baru kali ini aku merasakan sensasi seperti ini. Bahkan Mas Fajar pun belum pernah melakukannya sama sekali. Aku serasa terbang di awang-awang. Rasanya sungguh nikmat! Narto sepertinya tahu di mana titik-titik sensitif seorang wanita. Saat itu aku benar-benar tidak mempedulikan statusku lagi sebagai istri Mas Fajar. Aku di bawa ke langit ketujuh oleh Narto.
Aku mengencangkan kedua pahaku hingga kepala Narto jadi agak terjepit. Meski demikian, hal itu tidak menganggu aktivitasnya. Ia tetap memainkan lidahnya pada permukaan vaginaku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika Mas Fajar melihatku dalam kondisi seperti ini. Apakah ia akan diam saja atau melawan Narto?
Beberapa saat kemudian, Narto berhenti menjilati vaginaku. Ia melepas celana panjang dan celana dalamnya dengan cepat. Astaga, penis Narto besar sekali! Tegak dan benar-benar terlihat kokoh, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar itu. Narto membangunkanku, lalu memaksaku untuk mengoralnya. Aku pun menuruti kemauannya dengan setengah terpaksa. Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku.
Aku mencium penis Narto dengan canggung, lalu mulai mengoralnya. Rasanya asin. Narto sepertinya suka sekali dengan caraku mengoralnya. Tangannya meremas kepalaku, dan sesekali menyingkirkan rambutku yang panjang dari wajahku. Tiba-tiba saja aku merasa hina. Aku adalah seorang istri baik-baik, tapi sekarang malah mengoral penis seorang preman, bahkan seorang yang sangat kubenci.
“Eeemmccchhh!! Eeemcchhh!!!” Dengusku saat penis Narto menyesaki mulutku, sesaat kulirik preman kampung itu, seringai mesum terlihat di wajahnya.
“Ouucchh!! Enak banget isepanmu…” Ujar Narto sembari mengelus-elus kepalaku.
Narto menarik penisnya dari mulutku, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya itu dengan penuh gairah. Lidahku dan lidahnya saling terpagut. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, semuanya berjalan begitu saja. Tanganku secara spontan merangkul kedua lehernya. Siapapun yang melihat kami pasti sepakat bahwa adegan itu bukan merupakan sebuah pemerkosaan.
Narto menidurkanku, lalu membuka kedua pahaku yang sintal dan padat berisi itu. Vaginaku pun terbuka lebar. Bulu-bulu hitamnya tampak kontras dengan pahaku yang putih. Aku sudah benar-benar pasrah. Ia menjilati leher dan ketiakku, lalu perlahan-lahan mulai memasukkan penisnya ke vaginaku.
“Jangan…Jangan…Jangan…” Mulutku menolak dan tubuhku meronta untuk menghindari disetubuhi olehnya, namun vaginaku terasa gatal sekali.
Di satu sisi aku ingin segera menikmati penis besar Narto yang nampak lebih perkasa dibanding milik Mas Fajar, tapi di sisi lain hati nuraniku berkata untuk menjaga kesucianku sebagai istri yang baik.
“Aaaaaaah….!!!!” Aku menjerit kecil saat penis Narto berhasil masuk ke liang kenikmatanku. Perlahan namun sukses membuat lubang senggamaku terasa begitu sesak.
Aku mendongakkan kepala ke atas dan membusungkan dada. Nikmatnya sungguh tidak terperi! Selanjutnya Narto mulai menggerakkan pinggulnya naik turun secara konstan, preman kampung yang begitu kubenci itu berhasil menyetubuhiku. Aku mendesah-desah dengan penuh gairah saat Narto menggenjot tubuhku. Tubuhnya bersimbah peluh. Begitu pula dengan tubuhku. Aku meraba-raba dadanya yang bidang dan gagah. Saat itu pula aku sudah tidak bisa mendengarkan nuraniku lagi, aku pun larut dalam nikmatnya birahi.
Setelah beberapa lama, kami pun berganti posisi. Narto menyuruhku menungging, lalu mulai menggenjotku dari belakang. Tangannya mencengkeram kedua pinggangku. Aaah, Narto benar-benar pintar bercinta. Desahanku pun semakin keras saja. Aku tidak peduli bila sampai ada orang yang mendengarnya.
“Aaachhh!!! Aaachh!!!!”
Tubuhku meliuk-liuk tak beraturan. Setelah beberapa lama, kami berpindah posisi lagi. Kali ini aku kembali berada di bawah, sementara Narto menggenjotku dari atas sambil mengamati wajahku yang terlihat memerah karena keenakan. Aku merasa malu sekali dipandangi dalam keadaan seperti ini. Tapi, aku sudah tidak peduli lagi. Aku hampir mendapatkan orgasme, dan Narto masih terus menggenjotku.
“Ouucchh! Cepetin! Cepetin!!” Pintaku bersemangat.
Bukannya menuruti kemauanku yang sudah diambang orgasme, Narto justru memperlambat genjotan penisnya pada vaginaku. Pria berambut gondrong itu rupanya sengaja mempermainkanku, memaksaku agar memohon kepadanya. Narto merundukkan tubuhnya, dengan rakus dia kembali menciumi bibir tipisku, aku pun membalas ciumannya tak kalah ganas. Berkali-kali kurasakan vaginaku berdenyut di bawah sana, menagih untuk kembali dirojoki penis kekar Narto.
“Enak ya?” Tanya Narto.
“Banget…Please…terusin….Please…” Pintaku kembali tak rela jika Narto mengendorkan tusukan penisnya.
“Aku keluarin di dalem ya…”
“Hah? Jangan! Jangan keluarin di dalem! Keluarin di luar aja!” Narto menggerakkan penisnya dengan sangat perlahan, menggelitik tiap senti liang senggamaku.
“Cepetin lagi….” Aku menatap Narto dengan pandangan sayu sambil memohon kepadanya, sungguh aku benar-benar merendahkan harga diriku sendiri.
“Aku mau ngeluarin di dalem. Boleh, kan? Aku mau bikin kamu hamil.” kata Narto sambil menyeringai. Aku tersentak kaget.
“Jangan! Aku mohon, keluarin di luar aja!” Ucapku sambil berusaha menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri, sebab genjotan Narto menjadi sangat lambat. Narto diam saja, lalu benar-benar menghentikan genjotannya.
“Ya udah kalo nggak mau crot dalem, kita udahan aja.” Ancam Narto, aku kembali menoleh ke wajahnya dengan tatapan sayu.
“Aku mohon jangan berhenti…Ayo entotin aku lagi…”
Aku benar-benar memohon kepadanya supaya Narto kembali melanjutkan genjotannya. Seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam vaginaku, tapi tertahan sehingga membuatku gelisah. Narto masih diam. Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berkata dengan lirih dan pasrah kepadanya.
“Ya udah, keluarin di dalem.”
“Apanya? Ngomong yang jelas!” Seru Narto.
“Keluarin pejunya di dalem aja supaya aku hamil! Kamu boleh menghamiliku! Ayo, hamili aku!” Aku setengah berteriak.
Aku kaget mendengar ucapanku sendiri. Rupanya aku benar-benar sudah dikuasai nafsu sehingga mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh itu, betapa murahannya aku menyadari diriku menjadi seperti ini. Narto tersenyum penuh kemenangan, lalu kembali menggenjotku. Aku mendesah-desah tak karuan. Tanganku menggapai-gapai benda apa pun yang bisa kugenggam.
“Ouucchh! Iyah!! Enak! Terusin! Genjotin memekku! Aaachh!!”
“Sedikit lagi… sedikit lagi… ayoo….” Aku terus menyerocos tak karuan. Aku mulai mendekati puncak kenikmatan. Belum pernah aku merasakan proses yang demikian hebat itu, sebab selama ini Mas Fajar tidak mampu mengimbangiku.
Sepertinya Narto juga mau keluar. Ia memelukku dari atas, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya dengan panas. Aku pun memeluk punggungnya dengan erat. Dadaku menempel dengan erat di dadanya yang kekar. Narto semakin mempercepat genjotannya. Desahanku semakin keras, tapi tidak terdengar jelas karena bibirku sedang dilumat oleh Narto. Beberapa detik kemudian….
“Aaaahhhh!!!” Aku menjerit sambil membusungkan dada.
Tubuhku melengkung ke atas. Pangkal pahaku bergetar hebat. Jari-jari tanganku mencengkeram punggung Narto dengan kuat. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Aku benar-benar terbang ke puncak kenikmatan dunia. Tubuh Narto juga terasa bergetar. Rupanya kami orgasme bersama-bersama.
Sperma milik preman kampung itu memancar dengan kuat dan membanjiri liang kehormatanku. Aku telah membiarkan cairan lelakinya masuk ke dalam vaginaku. Kami sama-sama diam, mungkin masih menghayati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Napas kami terengah-engah.
“Aaahhh! Gila ini enak banget..” Dengus Narto seraya memelukku. Aku seolah habis dibawa ke puncat tertinggi dunia dengan segala macam kenikmatan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata.
“Cepat pergi dari sini, nanti ada orang yang tau.” Otak warasku bekerja, kulepas dekapan Narto. Sekilas kulihat raut kekecewaan di wajahnya. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan kembali memakai pakaianku.
“Maafin aku ya..” Ujar Narto, entah kenapa aku merasa wajahnya jadi begitu teduh saat ini, tak lagi segarang biasanya.
“Udah lupakan aja, aku harap ini pertama dan terakhir kalinya. Jangan ganggu kehidupanku dan kehidupan Mas Fajar lagi.” Kataku dengan dingin.
“Baik kalau begitu aku pamit dulu, sekali lagi aku minta maaf.” Setelah mengenakan pakaiannya, Narto melangkah pergi meninggalkan kamar dan rumahku. Kudengar suara motornya menyala sebelum kemudian berangsur pergi.
5855Please respect copyright.PENANAqGylPY6er7
BERSAMBUNG
Cerita "SECRET AFFAIR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2