Chapter 1
Sarah duduk di teras rumahnya yang sederhana, dikelilingi oleh keheningan pagi. Udara sejuk yang menyapa kulitnya seakan menjadi penghibur di tengah kegelisahan yang semakin menggerogoti hatinya. Wajahnya tampak pucat dan lelah, bekas-bekas malam-malam tanpa tidur yang terus menghantuinya selama hampir sebulan terakhir. Adnan, suaminya, telah pergi ke Kalimantan untuk pekerjaan baru yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Namun, kenyataan tak seindah harapan. Selama sebulan penuh, tidak ada kabar pasti darinya, dan tabungan Sarah semakin menipis, mengancam keberlangsungan hidup mereka di Jakarta yang keras.
Sarah menarik napas panjang, merasakan beratnya beban yang semakin menekan dadanya. Matanya yang sayu memandang kosong ke arah jalanan sepi di depan rumah. Setiap detik terasa lambat, seolah waktu sendiri ikut bersimpati dengan penderitaannya. Pikiran-pikiran buruk mulai merayap, membayangi pikirannya dengan skenario terburuk yang mungkin terjadi pada Adnan.
Tiba-tiba, ponsel di saku gamisnya bergetar, memecah keheningan yang melingkupi pagi itu. Jemarinya yang gemetar meraih ponsel dan melihat sebuah pesan masuk dari Lia, sahabatnya yang selalu ada untuknya di saat-saat sulit.
"Sarah, aku ada kabar baik nih! Mau ngobrol nggak?"
Sekilas, rasa penasaran bercampur harapan muncul di hati Sarah. Mungkin, kali ini kabar baik benar-benar akan datang. Tanpa pikir panjang, dia segera mengetik balasan, seolah-olah pesan dari Lia adalah tali penyelamat yang datang di saat yang tepat.
"Boleh, aku ke tempatmu sekarang ya."
Sarah berdiri, mencoba menyatukan kekuatan yang tersisa di tubuhnya yang lelah. Hatinya berdebar dengan harapan baru, meski kecil, namun cukup untuk membuatnya melangkah keluar dari rumah menuju pertemuan yang mungkin bisa mengubah nasibnya.
Beberapa menit kemudian, Sarah tiba di rumah Lia. Mereka berdua duduk di ruang tamu yang nyaman. Lia tersenyum sambil menyodorkan secangkir teh hangat kepada Sarah.
"Ada apa, Li?" tanya Sarah dengan nada ingin tahu.
Lia tersenyum lebih lebar. "Sarah, aku dengar dari temanku, ada keluarga yang butuh asisten rumah tangga. Gajinya lumayan dan kerjanya nggak terlalu berat."
Sarah mengangkat alis, sedikit terkejut. "Benarkah? Di mana?"
"Dekat sini. Tapi…," Lia berhenti sejenak, terlihat ragu-ragu.
"Tapi apa?" desak Sarah.
Lia menatap Sarah dengan mata penuh pengertian. "Keluarga ini... seorang pendeta dan istrinya. Mereka baik kok, cuma... ya, kamu tahu kan, mereka Kristen."
Sarah terdiam, menatap lantai dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Bagaikan badai yang tiba-tiba mengamuk di lautan, hatinya dipenuhi gelombang kebingungan dan ketakutan. Di satu sisi, dia sangat menyadari betapa gentingnya situasi keuangan mereka. Tabungannya hampir habis, dan Adnan belum memberikan kepastian kapan dia bisa mengirim uang. Setiap hari yang berlalu tanpa pemasukan terasa seperti pengkhianatan terhadap janji-janji yang mereka buat bersama. Namun di sisi lain, tawaran pekerjaan ini datang dengan dilema yang tak pernah dia bayangkan harus dihadapinya: bekerja untuk seorang pendeta.
Sarah merasa jiwanya terbelah. Bekerja di lingkungan yang begitu berbeda dari kebiasaannya, di mana keyakinan yang dipegang teguh selama ini mungkin akan teruji, membuatnya takut akan kehilangan jati diri. Bayangan hidup di bawah naungan kepercayaan yang berbeda, meski hanya dalam pekerjaan, membuat hatinya gemetar. Bisakah dia menjaga imannya tetap teguh, atau apakah ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum siap dia hadapi?
Lia, yang duduk di sebelahnya, merasakan keraguan itu. Dia meraih tangan Sarah dengan lembut, mencoba menyampaikan dukungan melalui genggaman eratnya. "Sarah, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah untukmu. Tapi kamu harus ingat, keluarga itu sangat menghargai keberagaman. Mereka nggak akan memaksa kamu melakukan apa yang bertentangan dengan keyakinanmu. Mereka butuh bantuan sekarang, sama seperti kamu butuh pekerjaan."
Kata-kata Lia menggema di kepala Sarah, namun tetap saja rasa bimbang tidak bisa hilang begitu saja. Sarah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan badai di dalam dirinya. Mata yang terpejam seakan mencari petunjuk dari Tuhan, meminta kekuatan untuk membuat keputusan yang tepat.
"Aku butuh waktu untuk memikirkannya, Lia," ucap Sarah akhirnya, suaranya nyaris bergetar.
Lia mengangguk, memahami pergulatan batin sahabatnya. "Tentu, Sarah. Ini keputusan besar, dan kamu perlu waktu. Apapun yang kamu putuskan, aku akan selalu mendukungmu."
Sarah mengangguk pelan, namun di dalam hatinya, pergulatan itu belum selesai. Bayangan masa depan yang tak pasti, tuntutan kebutuhan yang semakin mendesak, dan keyakinan yang harus dipertahankan semuanya berputar di dalam pikirannya, meninggalkan jejak-jejak keraguan yang mendalam. Sementara itu, waktu terus berjalan, membawa Sarah semakin dekat ke arah keputusan yang akan mengubah hidupnya.
Malam itu, usai menunaikan salat Isya, Sarah tetap duduk di atas sajadahnya. Tubuhnya yang lelah terasa berat, seolah beban hidupnya semakin menekan setiap tarikan napas. Di tengah kesunyian malam, hanya suara hatinya yang lirih berbisik, memohon petunjuk kepada Allah. Matanya terpejam erat, mencoba menahan air mata yang tak terbendung lagi.
Dalam hati, Sarah merasakan kekalutan yang mendalam. Pekerjaan yang ditawarkan Lia, meski mampu menjadi jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang mencekiknya, membawa dilema yang tak kalah berat. Bekerja untuk keluarga pendeta bukanlah keputusan yang bisa diambil dengan ringan. Keyakinannya, yang selama ini dia pegang erat, terasa goyah oleh pilihan ini. Namun, di sisi lain, situasi yang dihadapinya juga tidak mudah. Tanpa pemasukan, bagaimana dia bisa membantu suaminya yang kini jauh di Kalimantan? Bagaimana mereka bisa bertahan di tengah kerasnya hidup di kota ini?
Dengan hati yang penuh keraguan, Sarah menengadahkan tangannya, memohon kepada Sang Maha Kuasa. "Ya Allah, aku hanya ingin membantu suamiku dan menghidupi rumah tangga kami," bisiknya, suaranya hampir hilang di telan keheningan malam. Air mata yang sejak tadi dia tahan, kini mengalir perlahan di pipinya, menandai betapa beratnya beban yang dia pikul.
Sarah menangis dalam doanya, merasakan setiap tetes air mata yang jatuh sebagai saksi betapa rapuhnya dia saat ini. Di balik kekuatan yang selalu dia coba tunjukkan, di dalam keheningan malam ini, hanya kepada Allah-lah dia bisa mengungkapkan semua kegelisahannya. Sarah berharap, dalam sujud dan doanya, Allah akan memberikan petunjuk yang dia butuhkan, memberikan cahaya di tengah kegelapan yang kini menyelimuti hatinya. Sebab hanya dengan petunjuk-Nya, Sarah yakin dia akan mampu mengambil keputusan yang benar, meski jalan yang harus dilalui terasa begitu sulit.
Pagi harinya, Sarah merasa sedikit lebih tenang. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Adnan sebelum membuat keputusan. Meski sinyal telepon sering kali buruk, dia berhasil menghubungi suaminya.
"Assalamu'alaikum, Mas," sapa Sarah lembut ketika mendengar suara Adnan di ujung telepon.
"Wa'alaikumussalam, Sarah. Ada apa? Kamu terdengar cemas," balas Adnan dengan nada khawatir.
Sarah menjelaskan situasinya, tentang tawaran pekerjaan dari temannya dan kegundahannya tentang bekerja untuk seorang pendeta.
"Bagaimana menurutmu, Mas?" tanya Sarah setelah selesai bercerita.
Adnan terdiam sejenak, terdengar berpikir. "Sarah, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi aku percaya sama kamu. Jika kamu merasa ini adalah jalan yang terbaik untuk sementara waktu, aku mendukungmu. Yang penting, kamu tetap menjaga iman dan keyakinanmu."
Sarah merasa lega mendengar kata-kata suaminya. "Terima kasih, Mas. Aku akan mencoba."
"Allah selalu bersama kita, Sarah. Jangan khawatir. Dan aku akan segera pulang begitu aku mendapatkan pekerjaan di sini," tambah Adnan dengan nada penuh semangat.
Sarah tersenyum kecil. "Amin, Mas. Aku menunggu kepulanganmu."
Setelah menutup telepon, Sarah merasa hatinya lebih ringan. Dia tahu bahwa keputusan ini mungkin akan membawanya ke jalan yang tidak biasa, tapi dengan dukungan Adnan dan keyakinannya kepada Allah, dia merasa siap untuk menghadapi tantangan ini.
Dia mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk Lia. "Li, aku mau ambil pekerjaan itu. Kapan aku bisa mulai?"
Beberapa detik kemudian, pesan dari Lia masuk. "Alhamdulillah! Aku akan atur pertemuan dengan mereka besok. Terima kasih, Sarah. Kamu nggak akan menyesal."
Sarah menarik napas dalam-dalam, memandang langit biru di luar jendela. "Ya Allah, bimbinglah aku di jalan-Mu," doanya lirih, dengan hati yang penuh harapan dan keberanian untuk memulai hari yang baru.
Bersambung
ns 15.158.61.23da2