Chapter 2
Pagi yang cerah membentang di langit, seolah memberikan semangat baru bagi Sarah saat dia berdiri di depan gerbang rumah besar yang dikelilingi oleh taman hijau nan rapi. Rumah itu tampak megah namun hangat, dengan pepohonan rindang yang melingkupi halaman depan. Sarah menarik napas panjang, mencoba mengusir kegugupan yang perlahan menyelinap di hatinya. Ini adalah hari pertamanya bekerja di rumah Pak Hendrik, seorang pendeta yang terkenal dengan kebaikannya. Namun, berada di lingkungan yang begitu berbeda dari yang biasa dia kenal tetap membuatnya merasa asing.
Dengan langkah hati-hati, Sarah mendorong gerbang besi yang sudah terbuka. Suara derit lembut terdengar saat dia melangkah masuk, berjalan di atas jalan setapak yang menuju ke pintu depan. Ketika dia sampai di depan pintu, Sarah merapikan jilbabnya dan menarik napas sekali lagi, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk pintu.
Tak lama, pintu itu terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya. “Selamat pagi, kamu pasti Sarah, ya?” Wanita itu adalah Bu Maria, istri Pak Hendrik.
Sarah mengangguk dengan sopan, menyembunyikan rasa gugup yang masih tersisa. “Iya, Bu. Selamat pagi.”
“Selamat datang di rumah kami. Masuklah, jangan sungkan,” ujar Bu Maria dengan hangat, mengundang Sarah masuk ke dalam rumah.
Sarah melangkah masuk, merasakan suasana rumah yang terasa tenang dan nyaman. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan foto-foto keluarga, dan aroma kopi yang hangat tercium dari dapur. Di ruang tamu yang luas, ada Pak Hendrik yang sedang duduk di sofa sambil membaca koran. Ketika melihat Sarah masuk, dia menurunkan korannya dan tersenyum ramah.
“Selamat datang, Sarah. Saya Hendrik,” katanya, berdiri dan mengulurkan tangan.
Sarah menjabat tangan Pak Hendrik dengan sopan, merasakan kekuatan namun kehangatan dalam genggamannya. “Terima kasih, Pak. Saya senang bisa bekerja di sini,” jawab Sarah dengan suara lembut.
Pak Hendrik mengangguk, tampak senang dengan kedatangan Sarah. “Kami juga senang kamu bisa bergabung dengan keluarga kami. Oh, ini dua anak kami, Herbert dan Hana.”
Herbert, seorang pemuda dengan senyum ceria, mendekat dan menjabat tangan Sarah. “Senang berkenalan denganmu, Sarah. Semoga betah di sini,” ucapnya dengan ramah. Di sebelahnya, Hana yang tampak lebih pendiam namun tak kalah ramah, mengangguk dan tersenyum.
“Senang berkenalan dengan kalian juga,” jawab Sarah, merasa sedikit lega dengan sambutan hangat yang dia terima. Meski masih ada sedikit kegugupan, namun keramahan keluarga ini sedikit banyak mengurangi kecemasannya.
Setelah perkenalan singkat itu, Bu Maria mengajak Sarah berkeliling rumah, memperkenalkan ruang-ruang yang akan menjadi tempat kerjanya. “Ini dapurnya, nanti kamu akan banyak membantu di sini. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bilang, ya,” ujar Bu Maria sambil membuka pintu dapur yang luas dan bersih.
Sarah mengangguk, berusaha menyerap semua informasi yang diberikan. Dia merasa bahwa, meski tantangan akan tetap ada, dia telah diterima dengan baik di rumah ini. Di dalam hati, Sarah berdoa semoga pekerjaan ini bisa menjadi awal yang baik bagi dirinya dan keluarganya, serta membawa berkah bagi semua.
Hari itu berlalu dengan cepat. Sarah belajar banyak tentang kebiasaan dan rutinitas keluarga Pak Hendrik. Bu Maria dengan sabar mengajarinya cara memasak hidangan favorit keluarga dan bagaimana merawat rumah yang besar itu. Sementara itu, Hanna dan Herbert sering muncul di dapur untuk mengobrol dengan Sarah, bertanya tentang kehidupannya dan berbagi cerita tentang kuliah mereka.
Saat makan siang tiba, keluarga Pak Hendrik mengundang Sarah untuk bergabung. Meskipun pada awalnya dia merasa ragu, mereka memastikan bahwa dia adalah bagian dari keluarga selama bekerja di sana.
"Sarah, kamu harus makan bersama kami," kata Pak Hendrik. "Kamu bukan hanya pekerja di sini, tetapi juga bagian dari keluarga kami."
Sarah terharu mendengar itu. "Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya sangat menghargai kebaikan kalian."
Bu Maria tersenyum. "Tidak perlu sungkan, Sarah. Kita semua adalah saudara dalam kemanusiaan, meskipun keyakinan kita berbeda."
Sarah merasa betah di rumah itu. Kebaikan dan keramahan keluarga ini membuatnya merasa diterima dan dihargai. Meskipun mereka berbeda agama, mereka saling menghormati keyakinan satu sama lain. Setiap kali Sarah perlu melakukan salat, keluarga ini dengan senang hati memberinya waktu dan ruang.
Malam itu, saat semua sudah tidur, Sarah duduk sendirian di kamarnya, merenung. Dia merasa bersyukur karena menemukan tempat kerja yang begitu penuh kasih. Ternyata, Allah memberinya jalan yang tidak terduga namun penuh berkah.
"Dengan izin-Mu, Ya Allah, semoga aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan tetap teguh dalam iman," doanya lirih sebelum memejamkan mata, siap untuk menyambut hari-hari berikutnya dengan hati yang tenang dan penuh syukur.
Sarah memutar-mutar ponselnya, menunggu suaminya mengangkat telepon. Hatinya berdebar-debar, tak sabar ingin mengabarkan kabar gembira ini. Begitu suara suaminya terdengar di seberang sana, senyumnya mengembang lebar.
"Halo, Mas! Apa kabar?" sapa Sarah dengan suara ceria.
"Alhamdulillah, baik, Sayang. Kamu gimana? Ada kabar baik, ya?" jawab suaminya dengan nada penasaran.
"Iya, Mas. Akhirnya aku dapet kerjaan!" seru Sarah antusias.
"Beneran, Sayang? Alhamdulillah! Di mana?" tanya suaminya, terdengar sangat bersemangat.
Sarah tertawa kecil mendengar suaminya begitu gembira. "Di perusahaan yang aku ceritain kemarin, Mas. Posisi administrasi. Gajinya luSarahan, bisa buat bantu kita nabung juga."
"Masya Allah, seneng banget dengernya, Sayang. Aku bener-bener bahagia," ucap suaminya dengan suara yang terdengar lega dan penuh syukur. "Akhirnya ada juga kabar baik buat kita."
Sarah bisa mendengar nada haru di suara suaminya. "Iya, Mas. Semoga ini awal yang baik buat kita. Gimana sama kerjaan Mas di sana? Ada kabar juga?"
Suaminya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Belum ada yang pasti, Sayang. Mas masih kerja serabutan aja, cukup buat makan sama bayar kos. Tapi nggak apa-apa, Mas nggak mau nyerah. Nanti pasti ada jalan."
Sarah menghela napas, berusaha memberikan semangat. "Aku yakin, Mas. Allah pasti kasih jalan buat kita. Yang penting kita tetap usaha dan berdoa. Aku selalu doain Mas dari sini."
"Iya, Sayang. Mas juga di sini doain kamu. Terima kasih, ya. Rasanya lebih kuat kalau ada kamu yang selalu support Mas."
Mereka terdiam sejenak, merasakan kehangatan cinta yang mengalir meski jarak memisahkan mereka. Sarah tahu, perjuangan mereka masih panjang, tapi dia yakin, bersama-sama, mereka bisa melewati semua ini.
"Mas, kita harus tetap semangat, ya. Demi masa depan kita," ucap Sarah dengan tegas namun lembut.
"Iya, Sayang. Kita pasti bisa. Terima kasih sudah kasih kabar baik ini. Bener-bener bikin Mas semangat lagi," balas suaminya dengan penuh semangat.
Sarah tersenyum, merasakan hatinya hangat. Dia tahu, dengan suaminya di sisinya, meski jauh, dia tidak pernah sendirian. Mereka akan terus berjuang bersama, sampai suatu saat, impian mereka terwujud.
Bersambung
ns 15.158.61.20da2