Chapter 3
Beberapa minggu berlalu sejak Sarah mulai bekerja di rumah Pak Hendrik. Setiap hari berlalu dengan kehangatan dan keramahan dari keluarga itu, membuat Sarah merasa lebih betah. Dia sudah terbiasa dengan rutinitas rumah tangga, dari memasak hingga membersihkan rumah, dan selalu merasa dihargai oleh keluarga tersebut.
Pak Hendrik sering memuji kerja keras Sarah dan perhatian Sarah yang selalu teliti dalam setiap tugasnya. “Kamu benar-benar pandai memasak, Sarah. Makananmu selalu enak dan lezat,” katanya suatu hari di dapur.
“Terima kasih, Pak Hendrik. Saya hanya melakukan apa yang saya bisa,” jawab Sarah dengan tersenyum. Dia senang bisa membantu dan membuat keluarga ini merasa nyaman.
Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Sarah merasa lega karena diterima dengan hangat oleh keluarga Pak Hendrik, dan dia mulai terbiasa dengan rutinitas baru di rumah besar itu. Setiap pagi, dia bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, dan membersihkan rumah dengan telaten. Pak Hendrik dan keluarganya selalu bersikap sopan, dan Sarah merasa nyaman bekerja di sana. Namun, seiring berjalannya waktu, Sarah mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam cara Pak Hendrik memperlakukannya.
Di awal, perhatian Pak Hendrik tampak seperti bentuk apresiasi atas pekerjaan Sarah. Dia sering memuji hasil masakan Sarah atau bagaimana rumah selalu terlihat rapi dan bersih. Tapi perlahan-lahan, perhatian itu terasa semakin personal. Ketika mereka berbicara, Sarah sering merasa bahwa pandangan Pak Hendrik terlalu lama tertuju padanya. Mata lelaki itu seolah menelusuri setiap detail wajahnya, memperhatikan senyum dan setiap gerakan yang Sarah lakukan. Senyum yang diberikan pun terasa lebih dari sekadar keramahan biasa, ada sesuatu di baliknya yang sulit dijelaskan oleh Sarah, sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman.
Hari itu, Sarah sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan siang untuk keluarga. Udara pagi yang sejuk masuk melalui jendela, membelai lembut wajahnya yang berkeringat karena uap masakan. Di tengah kesibukannya, dia mendengar langkah kaki mendekat, dan tanpa perlu menoleh, dia tahu itu adalah Pak Hendrik.
"Masak apa hari ini, Sarah?" tanya Pak Hendrik dengan nada lembut yang sudah mulai dikenal oleh Sarah.
Sarah tersenyum, meski ada sedikit rasa gugup yang tak dia pahami sepenuhnya. "Tumis sayuran, Pak, dengan ayam panggang."
Pak Hendrik mendekat, lebih dekat dari biasanya. "Aromanya enak sekali," ucapnya sambil berdiri di belakang Sarah, membuat jarak di antara mereka semakin menipis.
Sarah merasakan kehadirannya begitu dekat, dan detik-detik berikutnya seolah berjalan lambat. Saat dia bergerak ke samping untuk mengambil bumbu di rak, Pak Hendrik juga bergerak, namun kali ini lebih dari sekadar kebetulan. Tangannya entah sengaja atau tidak, melintas di pinggul Sarah, seolah menyentuh dengan lembut dan disengaja. Sentuhan itu, meski hanya sesaat, terasa seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Sarah. Pinggulnya yang membulat di balik gamis seakan menjadi pusat perhatian sejenak, membuatnya tersentak dalam diam.
Waktu seolah berhenti. Sarah menahan napas, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Hatinya berdegup kencang, dan rasa tidak nyaman yang selama ini dia coba abaikan, kini terasa begitu nyata. Namun, ketika dia menoleh, Pak Hendrik hanya tersenyum, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Senyum yang seharusnya menenangkan, tapi kini terasa sarat dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat Sarah merasa cemas.
Dia berusaha menormalkan ekspresinya, meski jantungnya masih berdegup kencang.
"Maaf, Pak. Saya sudah mau selesai," ucap Sarah dengan suara yang sedikit bergetar.
Pak Hendrik hanya mengangguk pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan Sarah yang masih berdiri di dapur, mencoba memahami perasaannya sendiri. Dalam keheningan yang tiba-tiba terasa begitu mencekam, Sarah tahu bahwa ini bukan lagi sekadar pekerjaan biasa. Ada sesuatu yang telah berubah, sesuatu yang membuatnya harus lebih berhati-hati di rumah ini. Namun, dia tidak bisa menyangkal, di balik semua kecemasan itu, ada dorongan perasaan lain yang muncul, perasaan yang tidak pernah dia harapkan muncul di tempat seperti ini.
Sarah mencoba berpikir positif. Mungkin, pikirnya, Pak Hendrik tidak sengaja menyenggol pinggulnya. Lagipula, di dapur yang tidak terlalu luas, wajar saja jika mereka saling bersentuhan tanpa sengaja. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Sarah mulai berubah. Kejadian yang sama terus berulang, membuatnya semakin sulit untuk mengabaikan tanda-tanda yang ada.
Hari demi hari, Sarah merasa semakin waspada. Setiap kali Pak Hendrik berada di dekatnya, dia menjadi lebih cemas, was-was kalau sentuhan itu akan terjadi lagi. Sarah mencoba menjaga jarak, bersikap sopan namun tegas dalam setiap interaksi mereka. Tapi entah mengapa, setiap kali mereka berdua berada di ruangan yang sama, Pak Hendrik selalu menemukan alasan untuk mendekat. Entah itu untuk memuji hasil masakan Sarah, atau sekadar memberikan saran kecil. Dan saat itu terjadi, sentuhan-sentuhan itu terus berulang—sentuhan yang awalnya terasa seperti kebetulan, kini semakin jelas sebagai sesuatu yang disengaja.
Suatu hari, ketika Sarah sedang menyapu ruang tamu, dia merasakan kehadiran Pak Hendrik yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Hatinya langsung berdegup kencang, dan dengan sigap, dia berpindah ke sisi lain ruangan, menjaga jarak. Namun, Pak Hendrik tetap mendekat, berbicara dengan nada yang begitu lembut, seolah tidak ada yang salah.
"Sarah, sapuanmu selalu rapi. Rumah ini terasa lebih hidup sejak kamu di sini," ucapnya, dengan senyum yang seolah memerangkapnya dalam dilema.
Sarah hanya tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatiannya pada sapu di tangannya. “Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.”
Pak Hendrik mendekat lagi, dan kali ini, Sarah bisa merasakan tubuhnya menegang. Saat dia mengangkat kepala, mata mereka bertemu—tatapan Pak Hendrik yang penuh dengan sesuatu yang Sarah tidak ingin pahami. Sarah mencoba mundur, namun ruangan terasa begitu sempit. Dalam sekejap, kenangan tentang sentuhan-sentuhan sebelumnya kembali membanjiri pikirannya.
Ketika Pak Hendrik berjalan melewatinya, tangan itu lagi-lagi menyenggol pinggulnya, kali ini lebih lambat, lebih terasa. Dia seperti mermas sedikit pinggul montoknya. Sarah menahan napas, dan rasa tidak nyaman yang selama ini dia coba abaikan kini semakin menghantuinya. Sarah merasa terperangkap dalam situasi yang tidak bisa dia kontrol. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin ini semua hanya perasaannya saja, namun kejadian itu berulang terlalu sering untuk dianggap sebagai kebetulan.
Dalam upayanya menjaga jarak, Sarah mulai mengatur ulang rutinitasnya. Dia memastikan dirinya selalu sibuk ketika Pak Hendrik berada di rumah, memilih berada di kamar atau di dapur ketika Pak Hendrik sedang di ruang tamu. Bahkan, ketika mereka harus berbicara, Sarah memastikan jarak di antara mereka cukup aman, agar sentuhan itu tidak lagi terjadi.
Namun, ketegangan itu semakin nyata. Setiap kali Sarah melihat Pak Hendrik, perasaan takut dan tidak nyaman terus menghantuinya. Dia mulai merasa bahwa rumah yang dulunya nyaman ini telah berubah menjadi tempat yang penuh ancaman. Seringkali, Sarah berdoa di malam hari, memohon petunjuk kepada Allah, berharap diberi kekuatan untuk mengatasi situasi ini. Namun, di balik doa-doanya, Sarah tahu bahwa dia harus segera mengambil keputusan, sebelum situasi ini semakin memburuk.
Dengan setiap langkah yang dia ambil, Sarah merasakan beban yang semakin berat di hatinya. Meski dia berusaha menjaga jarak dan menjaga dirinya, rasa takut dan kecemasan terus menghantui. Sarah tahu, dia tidak bisa terus seperti ini. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Keluarganya membutuhkan uang, suaminya jauh, dan pekerjaan ini adalah satu-satunya yang dia miliki saat ini.
Dalam keheningan malam, Sarah sering kali terjaga, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Haruskah dia meninggalkan pekerjaan ini? Tapi ke mana dia harus pergi? Dengan berat hati, Sarah sadar bahwa dia berada di persimpangan yang sulit. Keputusan apa pun yang dia ambil akan mengubah hidupnya, dan itu adalah keputusan yang tidak bisa diambil dengan mudah.
Hanya kebaikan Ibu Maria dan kedua anaknya, Herbert dan Hana, yang membuat Sarah bertahan. Dalam rumah besar yang terasa semakin menyesakkan itu, Ibu Maria selalu bersikap ramah dan penuh perhatian. Setiap kali mereka berbicara, Sarah merasa ada kehangatan yang tulus, seolah-olah dia adalah bagian dari keluarga. Herbert dan Hana juga sering mengajaknya berbincang ringan, berbagi cerita tentang kuliah atau sekadar bercanda untuk menghilangkan kepenatan. Dalam momen-momen seperti itu, Sarah merasakan sejumput kedamaian, sedikit pelipur lara di tengah kecemasan yang terus menghantui pikirannya.
Namun, kebaikan mereka juga menjadi beban di hati Sarah. Bagaimana bisa dia meninggalkan pekerjaan ini, mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh keluarga yang begitu baik padanya? Ibu Maria sering kali memberikan tambahan uang belanja, atau memberikan makanan lebih untuk dibawa pulang, memahami bahwa Sarah sedang berjuang. Hal ini membuat Sarah semakin sulit untuk memutuskan pergi, meski rasa tidak nyaman terus menggerogoti dirinya.
Sarah juga tidak bisa mengabaikan kebutuhan finansialnya. Tabungannya semakin menipis, dan dengan Adnan yang masih jauh di Kalimantan, dia tahu bahwa pekerjaan ini adalah satu-satunya harapan untuk bertahan. Dia tidak bisa berhenti, tidak saat ini, ketika uang begitu penting untuk menghidupi rumah tangga mereka. Setiap kali berpikir untuk menyerah, bayangan akan kebutuhan sehari-hari, tagihan yang harus dibayar, dan kekhawatiran akan masa depan membuatnya menggigil. Sarah tahu dia harus bertahan, setidaknya sampai situasinya membaik, sampai dia menemukan solusi lain.
Namun, setiap kali Pak Hendrik berada di dekatnya, kecemasan itu kembali menyelimuti hatinya. Sentuhan-sentuhan yang tampaknya sepele—sekadar senggolan yang bisa saja dianggap tidak disengaja—telah menjadi bayang-bayang gelap dalam pikirannya. Setiap kali hal itu terjadi, Sarah berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kebetulan, bahwa Pak Hendrik tidak benar-benar bermaksud melakukan hal yang lebih jauh. Namun, semakin sering kejadian itu terulang, semakin sulit bagi Sarah untuk membohongi dirinya sendiri. Senggolan itu sudah mulai berubah menjadi remasan-remasan lembut.
Dia mencoba bersabar, mencoba menenangkan hatinya dengan berpikir positif.
"Ini hanya sementara, setelah suamiku sudah mapan dengan pekerjaannya aku bisa menyusulnya kesana" bisiknya dalam hati, berulang kali, seolah mantra yang bisa mengusir semua ketakutan. "Yang dilakukan Pak Hendrik hanya sekadar sentuhan-sentuhan, belum ke tahap yang lebih jauh. Semoga hanya sampai disitu saja tidak melewati batas."
Tapi kata-kata itu semakin kehilangan kekuatannya, terutama ketika Sarah harus menghadapi kenyataan yang berulang setiap hari. Sarah mencoba untuk selalu waspada, menjaga jarak sebisa mungkin, namun dalam rumah itu, tidak selalu mudah. Kadang-kadang, dia merasa seperti seekor burung kecil yang terperangkap di dalam sangkar, terbang di dalam ruang yang terbatas, mencoba menghindar dari ancaman yang tidak pernah terlihat jelas, tetapi selalu terasa di dekatnya.
Malam-malam panjang Sarah kini dipenuhi dengan doa-doa yang lebih intens. Dia berdoa untuk kekuatan, untuk keberanian, dan untuk petunjuk dari Allah. Air matanya sering kali mengalir tanpa henti saat dia mengadu kepada-Nya, berharap bahwa semua ini hanya akan menjadi ujian yang bisa dia lewati. Namun, di sudut hatinya, Sarah tahu bahwa kesabarannya semakin diuji. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan dalam situasi ini, tapi dia tahu bahwa dia harus bertahan, setidaknya untuk sekarang..
Bersambung
ns 15.158.61.6da2