Chapter 1.
Aku turun ke dapur dengan langkah pelan, memastikan tidak mengganggu tidur orang lain. Pagi-pagi begini, dapur biasanya sepi. Hari ini aku ingin memasak sesuatu yang spesial buat Farhan. Sejak tinggal di rumah ini, aku harus pandai-pandai menyeimbangkan peranku sebagai istri dan anggota keluarga besar. Walaupun terkadang terasa berat, aku mencoba tetap positif.
"Selamat pagi, Inayah." Suara lembut Mbak Fahria mengagetkanku. Dia sudah berdiri di depan kulkas, tersenyum ramah padaku.
"Oh, pagi, Mbak. Aku nggak tahu kalau Mbak udah bangun," jawabku sambil tersenyum.
"Hari ini ada rencana masak apa?" tanyanya sembari membuka pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran.
"Aku mau bikin lontong sayur, Mbak. Farhan suka banget," jawabku sambil mulai memotong bumbu-bumbu. "Mbak mau coba?"
"Oh, pasti! Kamu kan jago masak. Anak-anak pasti juga suka." Dia mendekat, memperhatikanku mengiris bawang. "Gimana, Nay, udah jadi pergi ke dokter buat program hamilnya?"
Aku terdiam sebentar, pembahasan soal kehamilan itu selalu bikin perasaanku campur aduk. Aku tahu Mbak Fahria tidak bermaksud apa-apa, tapi setiap kali topik anak dibahas, ada rasa sesak di dadaku.
"Belum, Mbak, mas Farhannya lagi sibuk." jawabku sekenanya.
Mbak Fahria mengangguk paham. "Dokter Ningsih itu bagus loh. Insya Allah kalau berusaha dengan sungguh-sungguh, pasti kamu sama Farhan bakal dikasih momongan."
Aku tersenyum kecil, berusaha menguatkan diri sendiri lewat kata-kata itu. "Aamiin, Mbak. Terima kasih ya udah ngasih semangat."
Namaku Inayah, usia 25 tahun, seorang perempuan yang sedang mencari kebahagiaan di balik rutinitas kehidupan rumah tangga. Sudah tiga tahun aku menikah dengan Farhan, suami yang sepuluh tahun lebih tua dariku. Dia pria yang baik, penuh kasih, dan begitu sabar mendampingiku. Namun, di balik senyum kami, ada kekosongan yang tak bisa kami abaikan—keinginan untuk mendengar tawa anak untuk melengkapi kehidupan kami. Bukan berarti kami belum berusaha, segala cara sudah ditempuh, namun tampaknya Tuhan masih menunggu saat yang tepat. Setiap hari, harapan itu menggantung di antara doa-doa kami, seakan menjadi bayangan yang tak kunjung berubah menjadi nyata. Tapi aku percaya, waktu memiliki caranya sendiri untuk memberikan kebahagiaan pada siapa pun yang menunggu dengan sabar.Pagi itu seperti biasa, aku bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Rumah mertua yang kami tinggali cukup besar, tak hanya dihuni olehku dan Farhan, tapi juga oleh kakak iparku, Mbak Fahria, bersama suaminya, Mas Kamil, serta kedua anak mereka yang masih kecil, Faiqa dan Faisal.
7929Please respect copyright.PENANAgb6ouFExpy
7929Please respect copyright.PENANAnkaXXdfTkB
***
"Mas," panggilku dengan nada lembut, berharap percakapan ini tidak berubah menjadi pertengkaran kecil. "Kamu nggak kepikiran buat punya rumah sendiri?"
Farhan menatapku dengan sedikit terkejut. "Rumah sendiri? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
Aku menggigit bibirku, berusaha merangkai kata-kata. "Ya... Aku cuma mikir, gimana kalau kita punya rumah sendiri? Tempat di mana cuma kita berdua, nggak rame kayak di sini. Lebih tenang."
Farhan menghela napas pelan, lalu tersenyum. "Kita kan udah nyaman di sini, Yah. Orang tua juga seneng ada kita. Lagi pula, rumah ini gede, nggak perlu pusing-pusing mikirin bayar kontrakan atau cicilan."
Aku meremas tanganku sendiri, merasa sedikit gugup. "Iya sih, Mas, tapi... Aku ngerasa kita butuh ruang sendiri. Kita udah tiga tahun menikah, tapi rasanya kayak... kita belum benar-benar mandiri."
Farhan menggeser posisi duduknya, lebih santai. "Aku ngerti kok maksud kamu. Tapi jujur aja, aku nggak ngerasa ada masalah tinggal di sini. Kita juga bisa nabung lebih banyak buat masa depan. Lagipula, kalau suatu hari kita punya anak, kan ada yang bantuin jaga juga."
Aku mendesah pelan, sedikit kecewa. "Tapi, aku pengen kita bisa punya tempat yang benar-benar milik kita. Kita bisa atur semuanya sesuai keinginan kita, tanpa ada campur tangan dari siapa pun."
Farhan tersenyum lembut, meraih tanganku. "Aku ngerti kamu pengen itu, Yah. Tapi buat sekarang, aku masih nyaman di sini. Mungkin nanti, kalau tabungan kita udah cukup atau kita bener-bener butuh pindah, kita bisa pertimbangkan lagi."
Aku terdiam. Kata-katanya mungkin masuk akal, tapi hatiku masih merasa belum puas. Rasanya seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami dari kehidupan yang lebih mandiri dan intim. Bukan berarti aku tidak menghargai keluarga besar ini, hanya saja, aku ingin kami memiliki ruang yang sepenuhnya milik kami.
Setelah percakapan itu aku melakukan kewajibanku melayani Farhan. Aku segera melepaskan pakaianku hingga telanjang bulat di depan suamiku itu. Aku memiliki tubuh yang aku sadari begitu indah. Tubuhku cukup tinggi untuk ukuran wanita Indonesia. Payudaraku juga besar ukuran 36D. Dengan puting coklat kemerahan.
Sayangnya Farhan tidak cukup perkasa untuk memuaskan hasrat aku. Setelah beberapa kali genjotan dia sudah tak bisa menahan keluarnya air mani dari kontoilnya. Tapi aku tidak mempermasalah hal itu karena bagiku membahagiakan suami adalah kewajiban.
Malam itu, setelah Farhan tertidur, aku merenung lama. Mungkin benar apa yang dia katakan—belum saatnya untuk pindah. Tapi aku tak bisa menahan keinginan itu lebih lama lagi. Aku yakin, suatu hari nanti kami akan punya rumah sendiri. Rumah yang tenang, hanya aku dan Farhan, membangun keluarga kecil kami dengan lebih leluasa.
Sejujurnya, tinggal di rumah ini membuat hatiku sering gelisah. Awalnya, aku berpikir ini hanya soal adaptasi, karena aku tak pernah membayangkan akan hidup serumah dengan keluarga besar setelah menikah. Namun, setelah beberapa bulan, kegelisahan itu tak kunjung hilang. Masalahnya bukan pada mertuaku, yang selalu baik dan penuh perhatian, atau pada kakak iparku, Mbak Fahria, yang sudah seperti kakakku sendiri. Masalah sebenarnya adalah suami Mbak Fahria, Mas Kamil.
Mas Kamil... dia pria yang, di depan semua orang, selalu tampak sopan dan ramah. Tetapi, di balik senyum dan gesturnya yang tampak baik, ada sisi lain yang membuatku merasa terancam. Tatapannya... caranya memandangku selalu terasa berbeda. Ketika yang lain mungkin melihatku sebagai bagian dari keluarga, aku sering merasa Mas Kamil melihatku dengan cara yang tak pantas. Tatapan matanya seolah menelusuri tubuhku, bahkan saat aku berusaha menutupinya dengan pakaian longgar dan hijab syar'i yang selalu kujaga.
Pada awalnya, aku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif. Mungkin aku terlalu overthinking. Tapi seiring waktu, aku semakin sadar bahwa ini bukan sekadar imajinasiku. Setiap kali kami berpapasan di lorong rumah atau bertemu di dapur saat tak ada orang lain, ada keanehan dalam sikapnya. Tatapan itu semakin nyata, semakin mengganggu, dan semakin sulit untuk diabaikan.
Ada kalanya, saat aku menyiapkan makanan di dapur dan tak sengaja berpapasan dengannya, Mas Kamil berdiri terlalu dekat. Dekat sekali, hingga aku bisa merasakan napasnya di belakangku. Pernah sekali, saat aku membungkuk mengambil sesuatu dari lemari, dia mendekat terlalu cepat. Tangannya... menyentuh pinggulku. Sentuhan itu mungkin sekilas, tapi terasa aneh, seperti disengaja. Dan entah kenapa, ada perasaan lain yang merasukiku—ketakutan.
Aku berusaha menenangkan diri. Mungkin hanya sentuhan biasa, kataku pada diri sendiri. Tapi ketika sentuhan itu berulang—bahkan berubah menjadi seperti remasan singkat di pinggulku—aku mulai mengerti bahwa ini bukan kebetulan.
Aku tak tahu harus bagaimana. Setiap kali itu terjadi, aku hanya bisa menegakkan punggung, berusaha menjaga jarak, dan menahan nafas. Aku mencoba menghindarinya sebisa mungkin. Tapi di rumah sebesar ini, dengan kami yang hidup bersama di bawah satu atap, sulit sekali menghindar dari pertemuan yang tak disengaja. Mas Kamil selalu bersikap normal di depan orang lain, sehingga membuatku seolah-olah hanya berhalusinasi jika menceritakan apa yang terjadi.
Aku tahu, bentuk tubuhku yang tinggi dengan pinggul yang montok memang sering menjadi perhatian. Tapi aku menutupinya dengan pakaian longgar, menjaga auratku sesuai syariat. Aku mengenakan hijab syar'i, berusaha menundukkan pandangan, menjaga kehormatan. Namun, di depan Mas Kamil, semua itu seolah tak ada artinya. Tatapan matanya seolah menelanjangi tubuhku, dan itu membuatku muak.
Seiring waktu, keinginan untuk memiliki rumah sendiri semakin membuncah dalam diriku. Bukan hanya karena ingin mandiri, tapi juga untuk menghindari Mas Kamil. Aku tak berani mengatakan hal ini pada siapa pun, bahkan pada Farhan. Aku takut dia akan salah paham, atau lebih buruk lagi, tak percaya padaku. Mas Kamil adalah kakak iparnya. Tentu saja Farhan mempercayainya—bagaimana aku bisa mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar tanpa bukti yang jelas?
Tetapi, aku tahu aku tak bisa terus seperti ini. Rasa cemas yang menghantuiku setiap kali aku berada di rumah ini mulai merusak kedamaian batinku. Aku ingin pergi, aku ingin kami memiliki rumah sendiri. Hanya aku dan Farhan. Di rumah kami sendiri, aku tak perlu lagi merasa takut setiap kali melangkah keluar kamar.
Namun, setiap kali aku mencoba menyampaikan keinginanku untuk pindah pada Farhan, dia selalu menanggapi dengan tenang. "Di sini nyaman, Yah. Kita nggak perlu pusing mikirin biaya tambahan. Lagipula, keluarga kan deket. Kalau suatu hari kita punya anak, mereka bisa bantu jaga juga."
Aku hanya bisa terdiam. Farhan tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan padanya bahwa di dalam rumah ini, ada satu orang yang membuatku merasa tak aman? Aku terus menyimpan ini sendiri, berharap suatu hari Farhan akan menyadari sendiri bahwa kami butuh tempat kami sendiri. Sebuah rumah yang benar-benar menjadi milik kami—tempat di mana aku bisa merasa aman.
Aku merasa terperangkap dalam situasi ini. Aku ingin protes tapi aku tidak berdaya. Mas Kamil adalah orang yang berjasa dalam hidup Farhan. Dialah yang membantu Farhan menjadi PNS, mengurus segala sesuatunya dari status honorer ketika itu hingga bisa diterima sebagai pegawai negeri. Jadi Mas Kamil selalu dipuji oleh Farhan sebagai orang yang berjasa bagi hidupnya. Dalam posisi itu membuat aku tidak mungkin menyampaikan apa yang aku alami pada suamiku, karena aku juga sadar betapa berharganya peran Mas Kamil dalam kehidupan Farhan. Aku takut, jika aku berbicara, itu akan merusak hubungan keluargaku, bahkan mungkin menghancurkan silaturahmi antara kami semua.
Aku hanya bisa menahan semuanya dengan memperkuat rasa sabar. Setiap kali Mas Kamil mendekat, aku mencoba menjaga jarak, mencari alasan untuk tidak berada di ruang yang sama dengannya. Tetapi, rumah ini terlalu besar, dan kesempatan untuk berpapasan dengannya selalu ada. Aku merasa terjebak, tak punya pilihan selain bersabar dan berdoa agar semuanya segera berakhir.
Aku sering membujuk Farhan agar mau mencari rumah kontrakan saja. Aku sudah lelah, meski baru menjelang tiga tahun tinggal bersama bagiku terasa terlalu lama ku tinggal di sini. Aku ingin memiliki rumah sendiri, atau setidaknya rumah kontrakan yang bisa menjadi tempat pribadi aku dan keluarga kecilku. Tempat di mana aku bisa merasa aman dan nyaman tanpa harus khawatir dengan kehadiran orang lain. Tapi Farhan selalu menolak, mengatakan bahwa dia belum mampu membeli rumah dan tidak ingin mengontrak karena baginya mengontrak rumah itu sangat merugikan. Alasannya masuk akal, tetapi hatiku tetap gelisah.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2