Farhan tersenyum hangat, memelukku balik. "Iya, Na. Allah baik banget sama kita. Ini juga rezeki buat kamu, biar kamu bisa hidup lebih nyaman. Kita bakal punya kehidupan baru di Jakarta. Mulai dari nol, tapi aku yakin kita bisa lebih bahagia di sana," ucapnya lembut di telingaku.
Aku melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah suamiku yang penuh dengan semangat. "Kapan kita berangkat, Mas?" tanyaku tak sabar.
"Secepatnya, mungkin bulan depan. Aku bakal urus semua persiapan dari sekarang. Kita juga bisa cari rumah yang cocok di sana. Nggak perlu lagi tinggal sama keluarga," jawabnya penuh antusias.
Hatiku semakin lega mendengar rencana itu. Aku sudah tak sabar untuk segera meninggalkan tempat ini, meninggalkan bayang-bayang kelam yang selama ini menghantui kehidupanku. Ini adalah awal baru. Dan yang paling penting, di Jakarta nanti aku dan Farhan akan memulai hidup kami sendiri, tanpa gangguan dari siapa pun.
“Kita bisa tinggal di rumah sendiri, Nay seperti impian kamu. Aku tahu kamu pasti pengen punya privasi, dan sekarang Allah kasih kita kesempatan buat mulai semuanya dari awal,” tambah Farhan lagi.
Aku hanya bisa tersenyum, rasa syukur memenuhi hatiku. "Alhamdulillah, Mas. Aku seneng banget. Aku akan selalu dukung kamu, dan insyaAllah di sana nanti kita bisa hidup lebih tenang, lebih bahagia. Dan siapa tahu, di sana juga kita bisa segera punya momongan," candaku sambil menyeka air mata bahagia yang masih mengalir.
Farhan tertawa kecil, mengangguk. "Aamiin, Na. Semoga doa kita selalu dikabulkan oleh Allah. Aku janji akan selalu buat kamu bahagia, Na. Kamu pantas dapet kebahagiaan lebih."
Malam itu, setelah salat Isya, aku dan Farhan mengucap syukur bersama. Doa yang selama ini kuhaturkan akhirnya dijawab dengan cara yang tak terduga. Kami berdoa agar kehidupan kami di Jakarta nanti membawa lebih banyak kebahagiaan dan ketenangan. Aku tahu, ini adalah awal baru yang penuh harapan bagi kami berdua.
Malam ini kami merayakan kegembiraan ini dengan bercinta. Aku melayani hasrat birahi suamiku. Tapi seperti hubungan intim kami sebelum-sebelumnya semua berlangsung seolah sebuah kewajiban saja. Farhan melepas pakaianku dan pakaiannya sendiri dengan tergesa-gesa. Lalu dia meremas kedua payudara aku yang berukuran besar mencium putingnya menyedotnya. Kemudian dia meraba-raba memek aku setelah itu dia masukan kontolnya.
“Shhhhhhhh ahhhhhhh ahhhhhhh!” Desahku saat aku mulai terangsang.
Seperti biasa saat aku mulai merasa sedikit nikmat saat itu pula kontol suamiku menyemburkan spermanya. Selalu begitu setiap kali berhubungan intim. Tapi kali ini aku tidak begitu memusingkan hal itu. Karena aku sedang bergembira akan promosi yang diterima oleh suamiku. Yang tentu saja akan berdampak besar bagi hidupku juga.
***
Proses kepindahan kami terasa begitu cepat, seolah-olah semua bergerak dalam hitungan hari. Setelah kabar promosi Farhan, segala persiapan untuk pindah ke Jakarta berjalan dengan lancar. Farhan langsung mengurus administrasi di kantornya terlebih dahulu, Dia berangkat terlebih dahulu ke Jakarta sekalian juga mencari rumah kontrakan yang siap kami tempati.
Akhirnya Farhan berhasil mendapatkan sebuah rumah kontrakan sederhana yang akan kami tempati. Rumah itu terletak tak jauh dari kantor tempat Farhan bekerja di Jakarta. Meskipun dilihat dari foto-foto yang dikirimkan oleh Farhan rumah kontrakan itu tidak besar dan sangat jauh kalau dibandingkan dengan rumah yang kami tinggali bersama mertua, aku merasa sangat bersyukur. Yang terpenting, kami akhirnya memiliki tempat sendiri.
Hari terakhir di rumah mertua pun tiba. Suasana di rumah terasa campur aduk, antara haru dan penuh rasa syukur. Aku dan Farhan sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa. Tidak banyak, hanya beberapa koper berisi pakaian dan barang pribadi. Selebihnya, kami akan memulai dari nol di Jakarta. Saat semua sudah siap, aku menyempatkan diri berbicara dengan Mbak Fahria di ruang tamu.
Mbak Fahria menatap koper-koper yang sudah tertata rapi di sudut ruangan. Matanya terlihat sedikit sedih, mungkin merasa kehilangan karena kami akan pindah.
"Mbak, aku mau pamit," kataku sambil duduk di sampingnya.
Dia tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Ya ampun, Nay. Mbak seneng kamu dan Farhan akhirnya punya kehidupan sendiri di Jakarta. Tapi... Mbak juga sedih, soalnya bakal kangen sama kamu," katanya, suaranya sedikit bergetar.
Aku merasakan haru yang sama. Meskipun tinggal bersama selama tiga tahun ini tidak selalu mudah, aku tetap merasa dekat dengan Mbak Fahria. "Aku juga bakal kangen, Mbak. Juga sama Faiqa dan Faisal. Terima kasih selama ini udah baik sama aku," jawabku dengan tulus.
Mbak Fahria menatapku, kali ini dengan mata yang berembun. "Kamu hati-hati di sana ya, Nay. Jagain Farhan, terus jangan lupa sering-sering kabarin Mbak. Nanti kalau ada waktu, Mbak sama Mas Kamil bisa main ke Jakarta."
Deg. Mendengar nama Mas Kamil membuatku merasa canggung. Namun, aku hanya mengangguk, berusaha tetap tersenyum. "Insya Allah, Mbak. Aku bakal sering-sering kasih kabar," kataku dengan hati yang berusaha tenang.
Saat itu, kedua mertuaku juga menghampiri. Ibu mertua duduk di sebelah Mbak Fahria, sementara bapak mertua berdiri di dekat pintu, memandang kami dengan senyum bangga.
"Ibu sama bapak seneng, akhirnya Farhan dapet rezeki besar. Tapi ibu juga sedih kalian harus pergi," kata ibu mertua sambil menggenggam tanganku.
Aku tersenyum lembut, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. "Alhamdulillah, Bu. Ini berkat doa-doa ibu sama bapak juga. Kami juga sedih harus pergi, tapi insyaAllah ini yang terbaik buat kita semua," jawabku dengan suara yang berusaha menahan tangis haru.
Bapak mertua menepuk bahu Farhan. "Farhan, bapak bangga sama kamu. Ingat, ini baru awal. Kamu harus kerja lebih keras, tanggung jawab kamu makin besar. Dan jangan lupa, selalu jaga Inayah. Dia istri yang baik."
Farhan tersenyum, menundukkan kepala. "Iya, Pak. Terima kasih atas semua doa dan dukungannya. Saya nggak akan sia-siain kepercayaan ini, dan insyaAllah saya bakal jaga Inayah sebaik mungkin."
Kemudian, Farhan berbalik padaku, matanya penuh kasih sayang. "Ayo, Na. Kita pamit sekarang. Perjalanan ke Jakarta masih panjang, dan kita perlu segera berangkat."
Aku mengangguk, lalu bangkit dari sofa. Kami berpamitan satu per satu dengan semua anggota keluarga. Ketika sampai di depan pintu, aku menoleh sekali lagi ke arah rumah besar itu. Ada banyak kenangan di sana, baik yang indah maupun yang penuh ujian. Tapi sekarang, kami akan memulai kehidupan baru yang insyaAllah lebih tenang dan bahagia.
Untungnya suasana itu berlangsung tanpa kehadiran mas Kamil yang kebetulan sedang ada tugas kantor ke kabupaten tetangga. Kalau ada dia tentu kehikmatan suasana perpisahan keluarga ini menjadi terganggu terutama bagi aku.
***
Perjalanan ke Jakarta berlangsung lancar. Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya kami tiba di rumah kontrakan yang sederhana namun nyaman. Rumah itu kecil, hanya terdiri dari dua kamar tidur, sebuah ruang tamu, dan dapur. Tidak besar, tapi aku merasa lega. Ini adalah tempat yang selama ini aku impikan—tempat di mana aku dan Farhan bisa hidup tenang tanpa merasa canggung atas kehadiran orang lain di rumah.
Begitu sampai, Farhan membuka pintu rumah dan menoleh padaku dengan senyum lebar. "Selamat datang di rumah kita, Na," ucapnya penuh kebanggaan.
Aku melangkah masuk, menatap sekeliling. "Alhamdulillah, Mas. Rumahnya sederhana, tapi aku suka. Rasanya tenang, jauh dari keramaian," kataku sambil meletakkan tas di atas sofa kecil yang ada di ruang tamu.
Farhan menghampiriku, menggenggam tanganku. "Kita mulai semuanya dari sini, Na. Ini memang belum besar, tapi aku janji suatu hari nanti kita bakal punya rumah yang lebih nyaman dan lebih luas. Yang penting kita udah keluar dari situasi yang nggak nyaman di rumah orang tua."
Aku tersenyum, merasa lega sekaligus bersyukur. "Iya, Mas. Alhamdulillah. Di sini kita bisa mulai hidup kita sendiri, tanpa gangguan apa pun," kataku dengan penuh harapan.
Farhan mengangguk, matanya menatapku lembut. "Kita jalani hidup di Jakarta ini dengan penuh syukur ya, Na. Dan aku yakin, di sini kita bakal lebih bahagia."
Aku hanya bisa mengucapkan syukur dalam hati. Aku tahu, kepindahan ini adalah jawaban dari semua doaku selama ini. Dengan Farhan di sisiku, aku merasa siap menghadapi apa pun yang ada di depan kami. Kami telah memulai lembaran baru, dan aku yakin, Allah akan selalu memberikan jalan terbaik bagi kami.
****
Kehidupan di rumah kontrakan sederhana ini berjalan dengan tenang dan stabil. Setiap hari, aku menjalani rutinitas sebagai seorang ibu rumah tangga. Membersihkan rumah, memasak makanan untuk Farhan, dan memastikan segala kebutuhannya tercukupi. Di tengah kesibukan itu, aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang lebih baik—termasuk dalam melayani suamiku, baik dalam hal-hal kecil maupun dalam memenuhi kewajiban batin kami sebagai pasangan.
Namun, ada sesuatu yang terus mengganjal di hatiku. Aku selalu mendengar cerita dari teman-temanku atau membaca di buku-buku bahwa hubungan suami istri seharusnya menjadi sesuatu yang indah, penuh keintiman, dan bahkan membawa kebahagiaan yang mendalam. Tapi, selama tiga tahun pernikahan kami, aku belum pernah merasakan apa yang sering mereka bicarakan. Hubungan kami terasa... hambar, seolah hanya sebatas kewajiban yang harus kulakukan.
Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, Apa yang salah? Apakah aku yang kurang memahami apa itu hubungan suami istri? Apakah aku yang terlalu bodoh untuk merasakan kenikmatan itu? Atau... mungkin suamiku yang belum bisa membuatku merasa seperti yang sering diceritakan orang lain? Belum lagi soal kami hingga kini belum dikaruniai momongan. Semua itu menjadi masalah yang muncul dibenakku di saat seharusnya aku sedang merasa senang bisa jauh dari mas Kamil.
Oh iya tentang mas Kamil aku sudah mengganti nomor ponselku dan aku memblokir nomor ponselnya biar ketika dia mendapatkan nomorku entah dari siapa tidak akan bisa menghubungiku. Semoga saja dia tidak menggangu aku lagi. Aku juga selalu hati-hati mendapat pesan atau panggilan dari nomor tak dikenal. Kalau terasa mengganggu aku akan memblokirnya.
Malam itu, seperti biasanya, setelah selesai makan malam dan Farhan sudah bersiap-siap untuk tidur, aku duduk di sisi tempat tidur, memandangi punggungnya yang terbaring tenang. Pikiran-pikiran itu terus menghantui, mengalir dalam benakku.
Meskipun rasa penasaran itu terus menghantui, aku memilih untuk memendamnya dalam hati. Setiap kali membaca cerita-cerita novel romantis kesukaanku selalu ada saja bagian yang mengungkapkan betapa nikmatnya hubungan percintaan antara sepasang manusia berlainan jenis, hatiku selalu bertanya-tanya: Mengapa aku tidak merasakan hal yang sama? Apa yang salah?
Namun, aku tidak pernah berani membicarakannya dengan Farhan. Bagiku, menanyakan hal itu terlalu berisiko. Aku takut akan menyinggung perasaannya, takut ia merasa tersudut atau berpikir aku tidak puas dengan dirinya. Farhan selalu menjadi suami yang baik, penuh tanggung jawab, dan selalu berusaha membuatku nyaman. Aku tak ingin merusak hubungan kami hanya karena rasa penasaran ini.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2