"Nay, aku nggak tahan lagi. Kamu tahu aku selalu pengen kamu. Kita bisa kok, cuma sekali aja. Aku janji nggak ada yang tahu. Tubuh kamu itu bikin aku nggak bisa berhenti mikirin. Kita cari waktu, cuma kita berdua."
Jantungku berdetak kencang, campuran rasa jijik, takut, dan marah menyelimuti tubuhku. Bagaimana mungkin pria yang aku anggap keluarga bisa berkata seperti itu? Sejenak aku terdiam, tapi aku tahu aku harus menghentikan ini, meskipun dalam rasa takut yang mencekam.
"Mas, aku mohon hentikan. Apa yang Mas bicarakan itu dosa besar. Aku ini istri adik ipar Mas, kita keluarga. Mas seharusnya sadar bahwa ini salah. Kumohon, Mas berhenti sebelum semuanya hancur. Aku tidak ingin ada masalah di antara kita dan keluarga," tulisku dengan hati-hati, berharap ada secercah kesadaran yang bisa menyentuh hatinya.
Namun, harapanku seakan hancur saat balasannya datang dengan cepat dan tanpa penyesalan.
"Nay, kita ini sama-sama dewasa. Aku tahu kamu juga tertarik. Jangan munafik. Nggak akan ada yang tahu kalau kita simpan rahasia ini. Aku udah lama nunggu kesempatan ini, Nay. Kamu nggak akan rugi, aku janji."
Aku merasa seolah dunia runtuh di sekelilingku. Pesan itu menggetarkan hatiku dengan perasaan tidak berdaya. Namun, dalam lubuk hatiku, aku tahu bahwa aku tidak bisa diam. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku mengetik pesan balasan.
"Mas Kamil, tolong. Ini bukan soal rahasia atau ketidaktahuan orang lain. Ini soal moral, agama, dan kehormatan kita sebagai keluarga. Apa Mas nggak takut sama Allah? Kumohon, untuk yang terakhir kalinya, berhentilah. Jangan pernah kirim pesan seperti ini lagi. Aku nggak bisa terus hidup dalam ketakutan ini."
Setelah menekan tombol kirim, aku duduk lemas. Rasanya seluruh dunia ini menyempit, membuatku sulit bernapas. Namun, di tengah kepanikan itu, aku hanya bisa berdoa agar hatinya tersentuh oleh hidayah sebelum semua terlambat. Aku tahu dia merasa berjasa bagi keluargaku, terutama suamiku, Farhan, dan mertua kami, tapi tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan perilakunya.
Setiap malam, aku berdoa agar kebenaran dan keadilan segera terungkap, tanpa harus menghancurkan segalanya. Namun, untuk saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah memohon perlindungan Allah dan berharap suatu saat semuanya akan berakhir dengan cara yang baik.
***
Malam itu, ketika aku sedang duduk di sudut kamar, merasakan hening yang melingkupi rumah, Farhan suamiku sedang dinas ke luar kota dan nginap di sana. Besok baru kembali ke rumah. Saat sedang merenung tiba-tiba ponselku kembali bergetar. Sinar layar ponsel itu menerangi wajahku di tengah kegelapan. Hatiku berdegup kencang, perasaan was-was segera menyeruak. Aku tahu siapa yang mengirim pesan sebelum bahkan membukanya. Dengan jari-jari yang gemetar, aku akhirnya membuka pesan dari Mas Kamil.
"Nay, tolonglah. Aku beneran nggak bisa lagi menahan ini. Aku bisa bantu kamu. Aku tahu kamu dan Farhan belum juga punya anak. Kita bisa lakukan ini rahasia. Nggak ada yang tahu, dan aku bisa bantu kamu supaya hamil."
Tanganku terhenti. Kata-kata itu menohokku hingga ke dasar jiwa. Aku terdiam, merasakan kemarahan yang membara di dadaku, tetapi juga ketidakberdayaan yang tak terelakkan. Bagaimana bisa dia, pria yang aku anggap keluarga, begitu berani menawarkan sesuatu yang begitu hina? Bagaimana bisa dia berani menggunakan kelemahan terbesar yang sedang kami alami, ketidakmampuan kami memiliki anak, untuk memanfaatkanku?
Rasa perih itu begitu kuat, seakan merobek hatiku. Namun di balik semua itu, ada kemarahan yang tidak bisa lagi aku simpan. Dengan gemetar, aku mulai mengetik balasan, meskipun air mata hampir jatuh dari pelupuk mataku.
"Mas Kamil, ini sudah kelewatan. Apa yang Mas tawarkan itu bukan hanya salah, tapi sangat hina. Aku mencintai Farhan, suamiku. Dan apa yang kami lalui dalam pernikahan kami adalah ujian dari Allah, bukan celah yang bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang haram. Mas nggak ada hak untuk bicara soal anak kami. Kami berdua sedang berusaha dan aku percaya semuanya akan datang di waktu yang tepat."
Namun, dia masih bersikeras, seperti tak pernah lelah mencoba merayuku. Pesan-pesan itu datang bertubi-tubi, dan setiap kali bunyi notifikasi berbunyi, hatiku semakin terasa sesak.
"Nay, aku sungguh-sungguh. Kamu tahu aku bisa bantu kamu. Kita bisa lakukan ini dengan baik-baik, cuma sekali saja agar rasa penasaran aku terbayar. Aku janji nggak akan ada yang tahu. Aku cuma pengen lihat kamu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Aku tahu kamu butuh anak untuk menyempurnakan pernikahan kalian. Jangan takut, aku cuma pengen bantu."
Aku merasa tercekik. Kalimat demi kalimat yang dia kirim hanya menambah beban di dadaku. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dihadapkan pada godaan yang begitu vulgar dan merendahkan, terlebih dari orang yang seharusnya menjaga kehormatanku sebagai bagian dari keluarga.
Aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ini dengan tegas, tanpa lagi ada ruang untuk kesalahpahaman. Dengan hati yang masih terasa sakit dan hancur, aku mengetik pesan terakhir.
"Mas Kamil, dengar baik-baik. Apa yang Mas tawarkan ini dosa besar, dan aku tidak akan pernah tergoda oleh hal seperti ini. Aku percaya pada Allah dan percaya pada suamiku, Farhan. Jika kami belum memiliki anak, itu adalah takdir kami saat ini, dan aku tidak akan merusaknya dengan tindakan hina seperti yang Mas tawarkan. Aku mohon, untuk terakhir kalinya, berhenti mengirim pesan seperti ini. Kalau Mas masih terus mengganggu, aku akan bicarakan ini dengan keluarga. Kumohon berhenti sebelum semuanya terlambat dan berakhir buruk."
Air mataku mulai mengalir ketika aku menekan tombol kirim. Aku tidak bisa menahan rasa sakit yang menghantamku, tapi aku tahu aku harus kuat.
Aku merasa bersalah, merasa ketakutan, tapi di dalam hatiku, aku tahu aku sudah melakukan yang terbaik untuk melawan godaan ini. Cinta yang aku miliki untuk suamiku, Farhan, dan rasa hormatku pada pernikahan kami, jauh lebih besar daripada tekanan apapun yang diberikan Mas Kamil. Aku terus berdoa agar Allah memberikan kekuatan padaku dan melindungi pernikahan kami dari bahaya ini.
***
Hari ini waktu sudah habis magrib, Farhan baru saja tiba. Dia pulang kantor lebih lama dari biasanya. Ketika aku membuka pintu, dia berdiri dengan senyum lelah namun tulus, menyambutku dengan seulas senyum yang selalu bikin hati adem.
"Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Wa'alaikumsalam. Kok pulang telat mas?" tanyaku, sambil membiarkan dia masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Tadi lagi ada briefing ini terkait juga soal promosi jabatan," jawabnya santai, membuka kancing kemejanya.
Mataku berbinar mendengar soal promosi itu. "Promosi? Wah, seriusan? Terus gimana kabarnya?"
Farhan mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, alhamdulillah. Tapi masih nunggu keputusan akhir. Doain ya, Nay."
Aku tersenyum lebar. "Pasti lah aku doain mas. Setiap saat kapan saja."
Farhan tertawa kecil mendengar jawabanku yang agak manja. Dia menarikku untuk duduk di sebelahnya. Kami terdiam sejenak, menikmati momen itu. Meski sederhana, tapi kebersamaan seperti ini selalu berarti buatku. Kami mulai berciuman dan saling berpelukan. Farhan mulai melakukan ciuman dan rabaannya pada wilayah sensitif di tubuhku seakan menjadi cambuk untuk terus menaikkan gairahku. membuat tubuhku panas dingin, bulu-bulu roma di tengkuk dan tanganku seakan berdiri semua, pori-poriku merinding, perasaan malu,nikmat dan gairah datang silih berganti. Hingga akhirnya Jilbab, pakaian, bra dan celana dalamku lepas meninggalkan tubuhku dan terlempar ke lantai kamarku.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhku dan tubuh Farhan.Yang terdengar hanya lenguhan dan rintihan aku malam ini. Kain sprei sudah kusut disana sini karena gerakan tubuhku dan suamiku. Saat itu aku hanya sempat meremas kain sprey saja juga terkadang rambut suamiku disaat ia menjilati belahan payudaraku, juga memilinnya dengan mulutnya.
Dengan naluri kelelakiannya Farhan meraba raba titik titik sensitive di tubuhku. Aku mulai bergairah liang kewanitaanku mulai basah, juga payudaraku mengeras oleh rabaan dan pilinan jari jari suamiku. Aku kembali mendesis dan melenguh. Lalu ia buka kedua kakiku, Saat itu aku merasakan kemaluan suamiku mulai tegak karena gesekan dengan kulit pahaku. Akupun menurut dengan isyaratnya yang membuka pahaku. Suamiku lalu memposisikan kedua kakinya diantara pahaku yang terbuka. Ia lalu mengarahkan kemaluannya yang aku rasa saat itu mulai mengeras ke liang sanggamaku.
Perlahan kontol suamiku mulai masuk ke dalam memek aku. Beberapa kali genjotan aku makin terangsang. Saat aku baru mulai menikmati tiba tiba saja kontolnya seperti membesar dan crot….. Kontol itu telah mengeluarkan sperma dan membasahi liang memekku. Setelah itu aku merasakan kemaluan suamiku tiba-tiba mengecil dan melemah.
Malam itupun kami lewati dengan berbagai pertanyaan yang singgah dalam benakku. Apa yang sesungguhnya terjadi. Suamikupun tidur sambil memeluk tubuhku yang masih belum menemukan apa artinya kepuasan dalam berhubungan intim.
6266Please respect copyright.PENANALloFNrUxTP
6266Please respect copyright.PENANACw28AQu8MF
6266Please respect copyright.PENANAlLU1Qx3oIO
***
Sore itu, Farhan pulang lebih awal dari biasanya. Dia terlihat begitu ceria, wajahnya berseri-seri saat membuka pintu kamar. Aku yang sedang melipat pakaian di sudut kamar, hanya menatapnya heran.
“Mas, kok pulang cepat? Tumben,” tanyaku sambil tersenyum kecil.
Farhan langsung duduk di sampingku, matanya berbinar-binar. "Na, aku ada kabar bagus!" serunya penuh semangat.
Aku yang belum paham langsung menghentikan kegiatan melipat bajuku. "Kabar apa, Mas?" tanyaku penasaran.
Farhan menggenggam tanganku dengan erat. "Alhamdulillah, aku dapet promosi! Aku bakal jadi Kepala Seksi di kantor pusat di Jakarta!"
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kabar yang baru saja disampaikan Farhan. "Kepala Seksi? Di Jakarta?" ulangku pelan, memastikan aku tidak salah dengar.
"Iya, Na! Di kantor pusat! Ini kesempatan besar buat aku. Gaji bakal naik, fasilitas lebih bagus, dan ini juga bisa jadi batu loncatan buat karir aku ke depan!" jelasnya dengan mata yang berbinar-binar.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang langsung meluap di dalam dada. Bukan hanya karena promosi ini adalah pencapaian besar untuk Farhan, tapi juga karena ini berarti kami bisa pindah dari rumah mertua. Ini jawaban dari doaku. Kami akan meninggalkan semua kekhawatiran yang selama ini menghantuiku, terutama tentang Mas Kamil. Tanpa sadar, air mataku mulai menggenang di sudut mata.
“Alhamdulillah, Mas… Alhamdulillah,” kataku dengan suara bergetar, senyumku tak bisa kusembunyikan.
Farhan menatapku, tampak bingung sekaligus tersentuh melihat air mataku. “Eh, kenapa kamu nangis, Na? Kamu nggak suka kita pindah ke Jakarta?” tanyanya sambil mengusap lembut pipiku.
Aku menggeleng cepat, menahan isak kecil. "Bukan, Mas. Aku seneng banget, Mas. Ini rezeki dari Allah. Aku cuma nggak nyangka aja kalau doa-doa kita akhirnya dijawab sama Allah," jawabku sambil memeluk Farhan erat. Aku merasa begitu lega dan bersyukur. Ini adalah harapan baru bagi kami.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2