Malam semakin larut. Sebagai sepasang suami istri mereka memadu kasih di atas ranjang. Terlebih anak mereka telah tertidur. Mengobrol tentang banyak hal.
Itulah Nur dan Eka. Nur ialah seorang guru di sebuah sekolah SMA, sementara Eka ialah seorang dosen.
Malam itu mereka mengobrolkan tentang pekerjaan mereka. Hingga Nur bercerita tentang salah satu siswinya yang mungkin tak akan melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi. Padahal ia anak yang tekun, baik, dan giat. Akademiknya tak perlu diragunkan. Ia tak direstui oleh orangtuanya kuliah, kabarnya karena ekonomi. Sudah dijelaskan bila mungkin sekali mendapatkan beasiswa. Tapi apalah daya, orangtuanya amatlah kekeh tak ingin anaknya sarjana tapi merestui untuk segera menikah.
“Wah, sayang sekali nasib anak itu,” ucap Eka.
Mereka hening sejenak dalam pelukan. Nur memeluk suaminya amat menempel. Dada Nur pun seperti terjepit.
“Mas, mau ga nikah lagi?” tanya Nur. Eka tentu saja terkejut. “Iya, Mas menikah lagi. Kita pernah bayangin kalau di atas ranjang ini trheesome kan? Kalau punya istri dua kan Mas bisa melakukannya. Sudah sah juga. Tak ada hukum yang dilanggar. Harta kurasa cukup dan bisa diusahakan Mas...”
Alasan istrinya memang benar, mereka pernah membayangkan perilaku seks itu. Tapi ini masih membuatnya terkejut. Mengapa istrinya memintanya?
Nur pun mengisi keheningan, “Nur izinkan menikah asal Nur yang memilihkan istri kedua untuk Mas. Nur yakin mas senang, begitu pula dengan dia Mas. Nur juga siap dimadu Mas asal sama pilihan Nur.”
“Memangnya siapa yang kamu inginkan menjadi istri keduaku?” tanya Eka.
“Siti, Mas. Siswi yang kuceritakan tadi,” tatap Nur dengan mata yang menatap wajah suaminya. Nur amat berharap ini.
“Nur..,” belum sempat melanjutkan, Nur telah berucap kembali, “Siti anak yang baik mas, Nur rasa pantas untuk Mas. Mas juga suami yang baik, Nur rasa juga pantas untuk Siti Mas. Soal harta kita cukup. Aku ingin dia bisa kuliah juga mas.”
“Kalau ia ingin kuliah, kita bisa bantu dana dan kebutuhannya. Tak hingga sampai menikahinya Nur. Itu bisa,” jawab Eka.
“Mas, Siti seperti ‘beban’ dikeluarganya Mas, makanya orangtuanya ingin segera menikahkan Siti segera. Kita ga tahu Mas, Siti akan mendapatkan suami seperti apa nantinya, belum tentu sebaik kamu Mas. Kamu juga bisa mengontrol kuliahnya. Kalau kita hanya membiayainya saja, bisa saja orangtuanya menyuruhnya berhenti. Kasihan dia Mas.”
Eka terdiam, memang dilema. Ada benarnya pula istrinya berucap seperti itu. “Apa tidak terlalu muda ia menikah Nur? Kamu gurunya, bukankah tak dianjurkan usianya menikah?”
“Iya, Mas, tapi ini demi kebaikannya. Nur rasa ia juga sudah siap walau Juli besok ia baru berumur 17 Mas. Yakinlah Mas. Nur merestui. Nur siap dimadu. Nur siap membantu pernikahan ini Mas,” pelukan Nur makin erat.
Eka menarik napas panjang. Ia sangat sayang dengan istrinya. Tak ingin hatinya dibagi dengan orang lain. Tapi ini permintaan istrinya untuk berbagi hati. Nur pun menyatakan siap berbagi. Keputusan yang amat berat.
Walau pun begitu, sebenarnya Eka terlintas pikiran bagaimana rasanya punya istri yang amat muda. Mungkin saja ia belum tahu tentang banyak hal terutama soal hubungan suami istri. Semangatnya sebagai anak muda tentu berapi-api, ia tak ingin mematikan api itu. Tetapi permintaan macam apa ini?
“Baiklah, tawaranmu aku terima. Tapi Nur, ada syarat yang harus kamu penuhi, bicaralah dengan orang tuanya dulu sebagai istriku bukan sebagai gurunya Siti. Temuilah tanpa Siti. Biarkanlah orangtuanya yang menawarkan kepada Siti. Bila, ia telah siap, temuilah Siti, temuilah sebagai istriku, bukan gurunya.”
Malam semakin sunyi, sebuah putusan hebat tercipta dalam pelukan di usia pernikahan mereka yang memasuki tahun keenam. Eka tak menyangka ini terjadi. Tapi apalah buat? Ini permintaan istri tersayangnya.
ns 15.158.61.5da2