Ujian akhir sekolah akan sebulan lagi. Siti tengah bersiap untuk ujian itu, tak di rumah, tak di sekolah tetap sibuk belajar. Walau ia sadar prestasi akademiknya mungkin tak akan membawanya kebangku kuliah.
Sementara itu, Nur, izin pulang lebih awal dari sekolah, alasannya ada keperluan mendesak keluarga. Alasan itu tak salah, sebab hari itulah Nur memenuhi permintaan suaminya untuk menemui orangtua Siti.
Siti telah janjian dengan ibunya Siti. Maksudnya yang ia beri tahu ialah membahas masa depan Siti. Sesampainya di rumah Siti, Nur bertemu dengan kedua orangtua Siti. Rumahnya amat sederhana dan bisa dibilang ekonomi yang cukup pada umumnya.
Nur disambut baik oleh kedua orangtua Siti. Di ruang tamu yang sederhana, tiga cangkir teh terhidang dengan biskuit. Obrolan pun dibuka dengan tentang Siti. Nur menanyakan kebenaran ketidakmungkinan Siti melanjutkan kuliah.
“Benar Bu Nur, kami bukannya ingin memutus mimpi Siti tapi kami takut sesuatu terjadi kepadanya, entah soal keuangan bahkan pergaulan, Bu,” ucap Ibunya Siti.
“Ya, benar itu. Jadi, kalau bisa Siti segera menikah saja. Nanti kalau sudah menikah, terserah mereka apakah Siti akan kuliah atau bagaimana. Itu urusan mereka,” tambah sang ayah Siti.
Nur sebagai wali kelas Siti amat sakit mendengar ini. Memang pembukaan obrolan hubungan antara guru dengan siswanya. Hingga...
“Begini Pak, Bu, maksud saya bertamu bukan hanya mendengar cerita dari Bapak dan Ibu. Namun, saya berniat menjadikan Siti istri kedua suami saya. Saya berani menjamin kehidupan Siti. Apa yang diharapkan Bapak Ibu juga bisa segera terwujud, Siti menikah. Kami tentu juga berharap Siti bisa tetap kuliah walau sudah menikah,” ucap Nur dengan tertunduk.
“Oh, bagus itu. Ibu gurunya tahu juga tentang Siti. Saya rela melepaskannya,” ucap sang Ayah. Sementara Ibu Siti hanya tertunduk tak menduga bila anaknya akan segera dipinang. Tak meduga pula akan menjadi istri kedua.
“Saya mengikuti keinginan Bapak saja Bu Nur, semoga hal baik selalu menyertai Siti, Bu,” ucap sang Ibu.
“Baiklah, saya harap pertama jangan beri tahu Siti hingga ujian akhirnya usai. Setelah ujian berakhir walau ijazah kelulusan belum keluar, apakah kita bisa saling mengenalkan Siti dan suami saya?”
“Saya silakan saja, datanglah kembali bersama suami sekaligus bakal calon anak kesayangan saya, Siti,” ucap sang Ibu yang memegang tangan sang suami erat.
Sang Bapak hanya mengangguk.
Nur merasa ini amat mulus sekali untuk meminta Siti dari orangtuanya. Tak ada penolakan. Rasanya memang Siti dianggap “beban” di sini.
Saat sore, Siti pulang kerumah. Rumahnya amat damai. Tenang. Bapak Ibunya tersenyum lebar melihat Siti. Siti merasa aneh dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Tapi tak ada jawaban pasti. Hanya makanan kesukaannya tersaji. Perlakuan orangtuanya pun sangat-sangat baik, tak seperti biasanya yang agak mencuekkannya.
Malam pun tiba. Obrolan di ranjang antara Eka dan Nur pun seperti biasanya. Kali ini topiknya ialah pertemuan Nur dengan kedua orangtua Siti.
“Benar Mas, Siti memang diharapkan segera menikah dengan orangtuanya. Dan kamu telah mendapatkan lampu hijau dari orangtuanya untuk mengenal Siti. Nanti ya Mas, setelah Siti selesai ujian.”
Eka hanya diam, memeluk istrinya. Hatinya seperti tertekan sebab istri tersayangnya benar-benar melakukan dan menginkan pernikahan suaminya dengan anak didiknya.
“Mas, Siti anak yang baik Mas. Bawalah ia menjadi lebih baik. Ajari ia yang baik. Aku juga siap membantumu mengajarinya menjadi istri yang baik untukmu Mas,” ucap Nur.
ns 15.158.61.41da2