0: AWAL DARI RASA SAKIT.
Rasa sakit yang hebat di kepalanya membangunkan Aster. Keningnya terus menerus berkedut hingga urat-urat di keningnya menonjol begitu hebat seperti layaknya cacing yang menggeliat-liat. Rasanya begitu menakjubkan sehingga bibirnya bergetar terus-menerus namun tidak ada suara yang berhasil keluar dari tenggorokannya. Hanya ketika Aster berjuang membuka matanya secara pelan dan saat retina sudah mampu menangkap objek di depannya, Aster tidak mampu lagi mendeskripsikan perasaan apa yang harus ia keluarkan.
Bersamaan dengan keinginan untuk membunuh, Aster juga merasakan ketidakberdayaan hampir menjurus ke situasi putus asa.
Objek di depannya yang awalnya terlihat samar-samar perlahan-lahan membentuk bayangan lelaki. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan setan. Bola matanya yang hitam berkilauan sekarang hanya bisa mengingatkan seseorang akan citra seorang iblis yang ingin mengunyah tulang-tulang Aster sampai tak bersisa.
“Bangun?” suara serak lelaki itu membawa rasa genit tidak pada tempatnya.
Aster tidak menjawab.
Lelaki itu juga tidak keberatan. Ia menghirup sebatang rokok dan begitu saja membuangnya setelah itu. Ujung jarinya yang langsing mengetuk di atas lututnya dan mau tidak mau menjadikan tubuh Aster tegang dan waspada. Firasat buruk muncul saat hatinya sembari menghitung ketukan pelan itu dalam pikiran. Bola matanya bergetar dari balik poninya yang berantakan.
“Ada permintaan terakhir sebelum mati?”
Sekian lama hening akhirnya lelaki itu mengerluarkan suara bernada rendah saat membuka bibirnya yang merah menawan di depan Aster.
Aster yang sekarat masih bisa mendengar bisikan itu namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan apa-apa. Entah karena ia memang tidak perlu menjawab apapun karena tidak ada yang akan berubah atau karena ia sama sekali tidak bisa mengeluarkan sedikit pun suara. Tanggapan itu membuat lelaki itu menaikkan sudut mulutnya saat melihat bahwa wanita di depannya masih bersikap sama sejak dulu. Sikap yang menunjukkan bahwa kehadiran orang lain bukan sesuatu yang berarti untuknya. Bahwa ia merasa tidak perlu untuk bersimpangan dengan siapapun selama orang tersebut tidak cukup berharga untuk menangkap perhatiannya.
Lelaki itu mendesah. Matanya menunjukkan keprihatinan tetapi siapa yang tahu apakah ia benar-benar merasakan yang sebenarnya.
“Aster jangan salahkan aku untuk ini. Kaulah penyebab kematianmu sendiri jadi jangan membenciku, oke?”
Masih tidak mendapatkan jawaban apapun dari mulut Aster karena ia malah menundukkan kepalanya. Suasana yang sangat hening ini membuat orang sesak dan merinding ketika aura kematian bisa terasa dari ruangan pengap ini. Lelaki itu mempunyai suasana hati yang bagus hari ini jadi ia tidak keberatan untuk diabaikan oleh pihak satunya. Jika orang-orang di luar yang memperlakukannya seperti ini mungkin hari berikutnya mereka tidak tahu dimana tulang-tulang mereka dikuburkan.
Hanya saja, tidak peduli seberapa toleransinya lelaki itu, ia masih bukan pria yang sabar. Setelah cukup menatap wajah Aster yang masih memilih bersikap acuh, matanya kembali memancarkan keinginan haus darah yang ditandai dengan sinarnya yang semakin gelap. Ia ingin menghancurkannya sebegitu buruk tetapi juga tidak tahan untuk mengakhirinya secepat mungkin. Perasaan kotradiktif ini membuat lelaki itu menjilat bibirnya.
Lalu dengan lambaian tangan, beberapa pria kuat muncul dari kegelapan. Mereka mengangkat Aster dan menyeretnya seperti daging mati. Ujung mulut Aster berkedut terus-menerus terhadap ngilu yang terasa pada luka-luka lebam biru-keunguan yang bengkak dan menjijikkan di sekujur tubuhnya. Sedikit saja gerakan menimbulkan rasa nyeri akut.
Aster tahu ia tidak punya kesempatan untuk hidup sehingga walau ia sangat tidak rela, ia pasrah. Apalagi ia tidak mampu memberontak karena ia bahkan tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri yang telah mati rasa. Hanya ketika matanya melihat sebuah akuarium raksasa, ia sangat syok sehingga tubuhnya tegang. Bahkan ketika ia mencoba untuk berteriak ‘tidak’, yang keluar hanya suara-suara aneh.
Akuarium itu berisi puluhan ikan piranha.
Ikan piranha itu berenang begitu liar. Mata mereka seperti monster yang kelaparan dan gigi mereka yang tajam dan tidak teratur seperti mesin penggiling daging.
Aster berjuang menggerakkan ototnya sedemikian rupa. Tetapi ia yang dikurung dan disiksa tanpa henti selama 38 jam, apa yang bisa diharapkan dari perjuangannya? Sia-sia.
Ia dipaksa untuk menaiki tangga satu per satu hampir dan kakinya terantuk di setiap balok tangga. Ketika Aster berdiri di panggung setinggi dua meter di atas akuarium itu, Aster sadar bahwa ia masih meremehkan lelaki itu.
Lelaki itu mendongakkan kepalanya lalu sudut mulutnya terungkap senyuman. Ia tersenyum begitu cantik. Matanya berkilau saat berhasil menangkap ekspresi teror dari mata Aster. Barulah ia puas. Tangannya perlahan terangkat dan dengan lambaian sederhana memberikan sinyal kematian.
Aster tidak tahu bagaimana ia jatuh ke dalam akuarium. Ia berteriak dengan suara-suara aneh akibat rasa sakit yang begitu menyedihkan dari hasil dagingnya yang dicabik-cabik terus-menerus. Ia berjuang tanpa henti. Matanya terus menatap ke depan walau pemandangan di depannya hanyalah lautan darah. Setiap ia membuka mulutnya rasa amis dari air bercampur darah membuat ia gila.
Aster ingin mati. Ia ingin segera mati. Tetapi kenapa rasanya begitu lama.
Sebegitu bencikah lelaki itu sehingga sangat ganas dan kejam.
Jika ia diberikan kesempatan di kehidupan selanjutnya, maka ia berharap untuk tidak bertemu dengan orang itu. Biarkan mereka tidak pernah bersimpangan sampai akhir hayatnya nanti.
●●
ns 18.68.41.147da2