3: LANTAI 8.
Beberapa orang ditakdirkan kecewa ketika apa yang mereka harapkan tidak terjadi. Mereka pikir setidaknya akan ada pertunjukan bagus yang terjadi. Namun siapa sangka Aster Beiven yang selalu menyendiri tiba-tiba membela adik tidak sahnya itu di depan semua orang. Walaupun kata-kata Aster tidak sepenuhnya hangat, semua orang tidak sebegitu bodoh untuk tidak mengerti maksud terselubung darinya.
Entah apa yang merasuki diri Aster. Semua orang merasa bahwa Aster menyiratkan kepada mereka untuk jangan sampai bertindak begitu leluasa terhadap Lethan karena bagaimanapun juga Lethan adalah seorang Beiven.
Apakah itu hanya pura-pura atau tidak, itu cukup untuk membuat mereka berhati-hati. Pikiran itu juga menyadarkan mereka akan fakta yang mereka lupakan.
Lethan mungkin sekedar anak tidak sah tetapi saat ini hanya dia satu-satunya keturunan langsung dari keluarga terkemuka Beiven Grup. Maka tidak dipungkiri suatu hari nanti ia akan terbang melampaui ketinggian lebih dari yang mereka mampu meraih.
Selama ini mereka meletakkan fakta itu dibelakang kepala setengahnya merupakan tanggung jawab Aster. Ia begitu tidak memedulikan Lethan dan tidak menganggapnya di matanya sama sekali. Memang Aster hanyalah anak angkat tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa semasa hidup Ny. Beiven dan anak lelakinya sangat menghargai gadis itu. Ia bahkan mendapatkan kehormatan begitu besar menyandang nama Beiven di punggungnya. Beberapa orang mungkin meremehkan Aster di dalam hati mereka tetapi bukan berarti mereka bisa leluasa mengungkapkan pemikiran mereka. Fakta bahwa mereka bersekolah di sekolah elite milik Yayasan Beiven School sudah lebih dari cukup sebagai alasan.
Untuk Lethan? Siapa pun tahu bahwa Aster tidak menerima lelaki itu. Jadi apa jika ia menyandang nama Beiven? Hidupnya masih tergantung terhadap niat Aster. Aster tidak keberatan mereka melecehkannya maka mereka tidak takut menganggu anak itu. Namun sekarang, mereka mungkin tidak tahu apakah mereka mampu melihat hari esok jika mereka masih berani melakukannya.
Tetapi masih diragukan juga apakah tindakan ganjil Aster ini hanya berupa minat sesaat yang suatu saat akan kehilangan gairahnya?
Lethan bingung. Ia menatap punggung Aster yang tidak jauh berjalan di depannya dengan curiga. Apa yang sedang dimainkannya? Seketika jantung Lethan berdetak kencang karena cemas. Apa Aster menemukan sesuatu mencurigakan pada dirinya? Mungkinkah Aster menyadari bahwa selama ini kepribadiannya hanyalah suatu kepura-puraan Lethan belaka?
Ia gatal untuk mengkonfirmasi hal ini secepat mungkin. Ia merasa tidak aman.
Lalu Lethan melihat Aster yang berhenti di lift dan masuk ke dalam. Lethan menunggu sampai Aster pergi dengan lift itu.
Aster mengerutkan kening melihat tingkah Lethan dengan mata yang bergerak takut dan waspada berdiri di luar lift. Melihat bagaimana wajah sepolos salju ini akan tiba-tiba menjadi seperti setan yang tertawa saat menyiksanya. Untuk sesaat, Aster menjadi mual.
Nada Aster dingin menusuk tulang saat berbicara, “Apa yang Anda lakukan. Masih belum masuk?”
Lethan berjengit dan melangkah pelan dan berdiri di samping Aster di dalam lift. Ketika Aster menekan lantai 8, Lethan membelalakkan matanya tidak percaya. Capital High School dibawah panji Yayasan Beiven School hanya memiliki 6 lantai dan lantai 8 adalah lantai ekslusif spesial buat Aster. Tidak pernah ada orang yang berani menekan lantai 8 karena ada pemindai sidik jari khusus di dalamnya. Bisa dibayangkan bagaimana Aster begitu protektif terhadap kehidupan pribadinya.
Semakin hal-hal melenceng dari kebiasan hanya semakin menambah kecurigaan Lethan semata.
Sebaliknya, Aster diam berdiri dengan kaku. Anak disebelahnya masih 14 tahun. Masih polos dan tidak bersalah. Tetapi kenapa Aster merasa sangat tidak aman seolah lengah sedikit saja maka ia bisa saja tidak tahu kapan ia mati. Aster merasa yang berdiri di hadapannya adalah lelaki yang saat itu menatapnya seperti binatang mati. Aster menjadi ingin menghilangkannya dari muka bumi. Selamanya.
Namun pemikiran itu hanya sesaat. Sejahat apapun niatnya, Aster masih seseorang yang berprinsip dan enggan mengotori tangannya dengan perbuatan nista itu. Jika begitu, bukankah ia sama saja dengan lelaki itu?
Lift terbuka. Aster keluar terlebih dahulu dan diikuti oleh Lethan. Saat Aster membuka pintu dengan pindaian retina mata dan sidik jadi nampaklah ruangan seluas 1 lantai terbentang di depannya. Paling menakjubkan yaitu dimana setengah dari ruangan itu ditempati dengan rak besar dan tinggi berisi buku-buku. Di tengahnya terdapat meja belajar dan di sampingnya terdapat sofa besar berkulit asli berwarna hitam mewah dimana di sudut sofa terdapat lipatan selimut. Sisanya terdapat kamar mandi, kulkas, dan lemari pakaian. Serta dinding-dinding yang diisi lukisan kontemporer. Sangat nyaman yang disaat bersamaan seperti dunia independen kecil.
Pemikiran Lethan mungkin kejam tetapi tetap saja sebagai anak berusia 14 tahun ketika dihadapkan akan kemewahan ini, ia masih terdiam. Selama ini dia dan Aster sepenuhnya bertindak sebagai orang asing. Jadi ia tidak mengerti mengapa Aster mengajaknya masuk ke teoritorialnya. Lethan juga sepenuhnya menyadari bahwa sejak kehadirannya di rumah leluhur Beiven itu dan bagaimana orang-orang itu satu per satu meninggalkan Aster, Aster membencinya dalam-dalam di hatinya. Di sisi lain, Aster juga tidak melakukan apapun padanya dan mengasingkannya secara terang-terangan hingga semua siswa berani membuat hari-harinya menjadi sulit.
Tetapi tetap saja jika bukan karena Aster dia tidak akan menderita begitu sulit sehingga Lethan membencinya.
Aster tidak tahu bahwa sebenarnya sudah begitu lama akar kebencian Lethan terhadapnya tumbuh. Saat memasuki ruangan ia menatap dengan linglung. Ruangan ini telah menjadi saksi bisu kesedihannya ketika ia menghadapi fakta bahwa orang-orang itu meninggalkannya. Aster cepat sadar dan berjalan menuju kursi di belakang meja kerjanya. Ia menyandarkan punggungnya dan menutup mata.
Lethan menggertakkan gigi. Sebenarnya apa yang diinginkan orang ini. Lethan seperti menginjak paku ketika kakinya dengan resah berdiri berniat meninggalkan tempat ini sesegera mungkin.
Sekian lama, Aster membuka mulut dengan mata masih terpejam. Ia berkata dengan suara lelah, “Duduklah.”
Lethan tidak mengindahkannya dan masih berdiri di depan Aster. Ia memilih menutup mulutnya rapat-rapat.
Lama tidak mendapati tanggapan dan tidak mendengar sedikitpun suara gesekan pada sofa, Aster masih tidak membuka matanya. Ia menunggu dengan toleran.
Melihat tingkah Aster yang begitu acuh dan tidak bisa ditebak pikirannya akhirnya membuat Lethan tidak tahan. Tangan kanannya mengepal erat di samping pahanya. Ia merasa harga dirinya sedang dipermainkan. Betapa Aster tidak tahu lethan sangat membenci perasaan tidak berdaya itu.
Lethan pasrah dan membuka mulutnya, “Kenapa?”
Masih ada jeda beberapa belas detik sebelum Aster membuka matanya dan di mata itu berisi kegelapan tak berdasar. Sekilas seperti ada kerumitan yang tak bisa ditafsirkan dengan kata-kata ketika Lethan melihatnya.
Aster tidak repot-repot menutupi hal itu dan membiarkan Lethan menyadarinya. Hanya supaya anak itu merasa diyakinkan. Sebab dari sini Aster akan melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Untuk menghindar dari nasib malang itu. Untuk berpisah dengan baik-baik dengan iblis itu dan berharap agar tidak pernah bersimpangan lagi setelah itu. Selamanya.
“Anda telah berada di sini kurang lebih 3 tahun,” kata Aster memulai percakapan.
Tubuh Lethan tegang. Ia tidak mengantisipasi bahwa topik ini muncul.
Aster menegakkan punggungnya dan menopang kepalanya dengan kedua tangan dan menunduk. Ia melanjutkan, “Tidak dipungkiri bahwa Anda menderita dan disalahkan. Padahal Anda adalah satu-satunya keturunan langsung Beiven yang tersisa. Namun sebaliknya saya yang bukan apa-apa mendapatkan banyak kehormatan dari Beiven.”
Ada semacam keletihan dalam nada suara Aster. Ia tidak memperhatikan bahwa Lethan kembali mengepalkan tangan kanannya sehingga lengannya gemetar. Lethan masih enggan bersuara.
“Saya tahu bahwa saya tidak berhak menyalahkan apa yang telah terjadi itu kepada Anda. Bahwa...........”
Kata-kata itu akhirnya tidak sanggup Aster ucapkan. Jelas itu adalah skala terbalik Aster dalam hidupnya. Memang ia telah memantapkan hati untuk melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Tapi ia masih tidak sanggup dan rela sekedar melibatkan nama orang itu untuk keegoisan Aster.
Lethan juga tidak ingin mendengar kelanjutannya maka ia akhirnya membalas, “Aku tidak mengerti.”
Aster tersenyum mengejek. Kepalanya terangkat dan senyuman itu juga menghilang. Ia menatap Lethan sungguh-sungguh.
“Suatu saat nanti Anda yang akan mewarisi Beiven sepenuhnya. Jalanmu sudah pasti sangat sulit. Maka berkerja keras dan berusahalah sungguh. Dimana Anda harus bisa belajar untuk membawa beban berat itu di pundakmu.”
Detak jantung Lethan berdetak kencang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti dadanya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Aster disertai tatapannya yang serius.
Lalu saat Aster tersenyum kecil dan mengucapkan kalimat terakhir. Kegelisahaan lethan pada akhirnya tidak bisa terbendung lagi.
“Apapun yang terjadi saya tepat di belakang Anda.”
Ruangan itu kembali sunyi. Bunyi tik tik tik jarum jam terdengar seperti tetesan air dari keran yang lupa ditutup. Ada perasaan halus dan rumit yang terasa ketika mendengar. Seolah-olah bumi ini hanyalah ruang kosong dan hampa.
Tidak tahu sudah beberapa lama Lethan telah meninggalkan ruangan. Aster tidak menghitung. Aster membenamkan tubuhnya di atas sofa dan lengan kirinya menimpa keningnya sementara matanya tertuju ke arah langit-langit atap.
Kembali mengingat perkataan terakhir yang ia ucapkan entah kenapa Aster tidak yakin apakah ia sendiri yang mengucapkan kalimat itu.
Ia sendiri yang jelas tahu bahwa tidak ada niat yang tulus untuk mengawalinya. Jadi ia juga tidak optimis apakah Lethan tergerak saat itu. Apakah Lethan setidaknya mulai memaafkannya walau sedikit?
Taruhan ini adalah hidup dan matinya.
Bagaimana pun air dalam ember itu telah tumpah. Yang diperlukan Aster hanya untuk terus mencoba.
Maka ia akan tahu apakah taruhannya menghasilkan buah yang manis atau malahan seperti senjata yang balik menembak Aster alih-alih kepada musuh.
Aster mendesah, “Aku harap dia orang yang pintar.”
Setelah itu, Aster bangun dan melihat jam di pergelangan tangannya. Ia berdiri lalu merapikan seragamnya dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah tegas.
●●
ns 15.158.61.5da2