1: TERBANGUN DALAM KEBINGUNGAN. TIADA SUKA CITA.
Rasanya sesak.
Aster membuka matanya namun kembali berkedip-kedip. Saat ia menyadari bahwa ia berada di dalam air, ia sangat panik. Tangannya menjangkau-jangkau di sekitar mencari pegangan. Mulutnya terbuka namun berakhir dengan air yang masuk ke dalamnya. Saat tangannya berhasil menjangkau sesuatu, ia tergesa-gesa menarik tubuhnya. Barulah Aster menyadari bahwa ia berada dalam bathub besar.
Ia terbatuk hebat sampai-sampai menepuk dadanya hingga berdebum. Aster tidak akan lupa bagaimana ia putus asa menjauhkan piranha menjijikkan itu. Bagaimana dagingnya sendiri melayang di depan matanya dan bagaimana ia secara paksa terminum air yang bercampur darahnya sendiri.
Berharap mati tapi tidak bisa.
Seperti orang gila meminta kematian cepat.
Perlahan-lahan menanggung siksaan seperti neraka itu tidak mungkin hanya sekedar mimpi belaka.
Rasanya begitu nyata.
Aster berdiri dengan tubuhnya tanpa sehelai kain. Ia menatap ruangan kamar mandi yang besar dan mewah dengan tatapan bingung. Tidak tahu berapa lama ia berada di air, tubuhnya sepenuhnya berkeriput jelek. Selain itu, ia tersandung ketika kakinya baru menapaki lantai marmer dingin itu.
“Cermin,” ucapnya dengan tenggorokan tidak nyaman ketika ingatan dimana ia berteriak-teriak hingga pita suaranya pecah masih menghantuinya.
Saat ia menghadap di depan cermin. Bayangan wajah itu tidak mungkin tidak ia kenal.
Wajah Aster Sun Beiven 7 tahun yang lalu.
Tidak mungkin.
Mustahil.
Mengapa?
Bagaimana mungkin dia bisa terlahir kembali?
Aster tidak bahagia sedikitpun. Apakah ini lelucon? Tetapi ini tidak lucu. Ia memang berharap untuk diberikan kelahiran di kehidupan selanjutnya yang mustahil ada namun bukan berarti ia berharap untuk kembali ke kehidupannya sebelum kematian.
Apakah kelahiran ini hanya mengejeknya?
Kepalan tangan Aster mengetat dan memutih. Ingatan sebelum kematian dan kelahiran ini tumpang-tindih. Jika hal yang telah terjadi sama dengan alur sebelumnya, maka tentu saja lelaki itu juga ada di dunia ini.
Frustasi. Aster berjongkok dan menutup wajahnya. Air mata mengalir di sela-sela jarinya. Saat-saat menyedihkan itu ia berusaha kelihatan tenang hanya supaya Aster tidak rela lelaki itu puas. Siapa yang tahu bahwa sebenarnya Aster sangat takut. Begitu takut sehingga ia ingin memohon ampun namun harga dirinya menolak untuk melakukan itu. Tidak kepada lelaki yang dari dulu kehadirannya tidak pernah ia pedulikan dan diam-diam ia benci.
Aster tidak ingin mengalaminya sekali lagi. Kejadian itu menimbulkan trauma yang amat dalam di kepalanya yang sampai kematian datang dalam hidupnya yang sekarang ia pasti tidak akan melupakannya.
Ia merasa ia akan gila. Ia tidak bisa menerima semua kejadian ini begitu. Tidak dengan kematiannya dan tidak dengan kehidupannya saat ini.
“Huuu.. Hiksss....”
Aster terisak-isak dengan bibirnya yang bergetar. Tubuhnya terjatuh begitu saja di lantai yang dingin. Ia bahkan tidak repot-repot untuk mempedulikan tubuhnya yang tanpa sehelai benang pun. Mata Aster yang tenang itu tidak fokus.
Ia tidak bisa menerima ini semua.
Kejadian mengerikan ini bukanlah keajaiban.
Air mata itu terus-menerus turun walau tidak ada satu pun suara rintihan.
Tubuhnya perlahan mati rasa akan dingin.
Ia tidak peduli.
Kalau bisa, ia ingin kedinginan ini mengambil nyawanya sekali lagi.
Pasrah menunggu ajalnya. Aster perlahan menutup matanya. Pelan tapi pasti, Aster perlahan kehilangan kesadaran diakibatkan guncangan yang ia terima.
“Aster. Enyahlah di muka bumi ini.”
Mata itu tiba-tiba terbuka. Aster meraup oksigen serakus mungkin. Dadanya naik-turun dengan nafas putus-putus. Matanya tidak fokus bergerak ke sana kemari. Aster tidak tahu apakah itu hanyalah halusinasi tetapi ia sekali lagi mendengar suara lelaki itu. Ia menggerakkan tubuhnya yang kaku hanya untuk terjatuh kembali.
Rasa sakit yang perlahan menjalar dari pinggangnya menyentakkan Aster dari linglungnya.
Cahaya kembali bersinar di matanya.
Benar. Aku ingin hidup.
Satu-satunya cara tanpa pilihan lain adalah dia harus berusaha mengubahnya dalam hidup ini. Apa yang awalnya benci maka ia rela untuk menghapusnya. Dia akan melupakan semua rasa sakit yang telah dideritanya baik secara langsung maupun tidak oleh lelaki itu. Aster tidak ingin membalas dendam. Balas dendam hanya akan membuat Aster semakin menderita. Ia takut.
Aster sebenarnya hanya seorang pengecut.
Oleh karena itu, ia akan menghilangkan segala apapun yang di masa lalu menjadi alasan bagi lelaki itu untuk secara tega membunuhnya begitu sadis dan tak berperasaan.
Pemikiran itu berhasil menghentikan Aster dari tangisannya. Dia tidak akan mengijinkan dirinya sendiri untuk mengeluarkan air mata lagi.
Saat Aster telah memantapkan hatinya, ia bersiap untuk keluar dari kamarnya. Di situlah ia bertemu lagi dengan lelaki itu. Tepat di bawah tangga dengan kepalanya mendongak menatap Aster dengan matanya yang berkilauan. Lelaki yang saat ini masih berumur 14 tahun dengan wajah cantik menawan dengan kulit selembut dan seputih susu. Wajah polos yang saat ini ada sedikit jejak memar di pelipis kanannya. Lelaki yang sejak tiga tahun yang lalu resmi menjadi adiknya. Lelaki yang membunuhnya dengan senyuman di bibirnya.
Aster terlalu naif. Ia pikir ia setidaknya mampu bersikap rasional. Kenyataannya ia merasa tidak mampu berdiri, sekujur tubuhnya menjadi lemah. Trauma akan siksaan itu masih ada. Tetapi ia berusaha tenang, wajahnya tetap datar dan dingin. Ia menatap adiknya dengan raut acuh tak acuh padahal kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya ketika bayangan-bayangan kematian seperti kaset kusut melintas di benak Aster.
Perasaannya yang berserakan berubah chaos. Dadanya seakan meledak ketika segala amarah, dengki, dan keinginan untuk membunuh muncul dalam pikirannya. Di saat bersamaan, perutnya berputar dan melilit. Hampir tidak sadar pikiran konyol muncul. Mungkin lelaki itu bisa saja tidak berkeinginan untuk membunuhnya di awal. Kemungkinan awalnya dikarenakan Aster sendiri pemicunya. Aster begitu acuh dan tidak pernah menganggapnya. Walau Aster tidak pernah berniat untuk menyakitinya namun ia membiarkan anak itu dianiaya dan bahkan menutup mata saat ia melihat sendiri anak itu perlahan dihancurkan. Mungkin karena itu dia membalas dendam atas keluhannya.
Andai saja, lelaki itu tidak pernah masuk ke dalam kehidupannya. Aster tidak akan kehilangan seseorang yang berharga bagaikan jiwanya sendiri dan ia tidak akan membenci orang yang awalnya sangat ia hormati. Dan Aster juga tidak repot-repot bersedih dan benci setiap menatap lelaki itu.
Dan Aster sendiri tidak akan mati sebegitu buruk.
Namun semuanya sudah terlambat dan Aster sudah berjanji bahwa ia juga tidak akan membiarkan hal-hal itu terulang lagi.
Ragu-ragu. Aster memberanikan diri membuka suara, “Pulang?”
Tidak ada tanggapan. Tubuh anak itu kaku seperti kayu. Aster tidak mau lama-lama menatapnya maka ia segera membalikkan punggungnya. Bibirnya bergetar ketika berusaha mengeluarkan nada selembut mungkin yang tak pernah ia lakukan dalam kehidupan sebelumnya.
“Bersihkan kekacauan yang ada pada diri Anda dan mulai besok berangkat bersama saya ke sekolah.”
Aster tahu ia munafik. Ia masih sangat membenci lelaki itu dan mengutuk dalam hatinya tetapi sekarang ia malah mengigit peluru untuk berubah menjadi kakak yang baik secara tiba-tiba demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Aster merasa terhina.
Hanya.. dibandingkan dengan kematian itu ia rela untuk membungkuk dan berkompromi kepadanya.
●●
1: TERBANGUN DALAM KEBINGUNGAN. TIADA SUKA CITA.
Rasanya sesak.
Aster membuka matanya namun kembali berkedip-kedip. Saat ia menyadari bahwa ia berada di dalam air, ia sangat panik. Tangannya menjangkau-jangkau di sekitar mencari pegangan. Mulutnya terbuka namun berakhir dengan air yang masuk ke dalamnya. Saat tangannya berhasil menjangkau sesuatu, ia tergesa-gesa menarik tubuhnya. Barulah Aster menyadari bahwa ia berada dalam bathub besar.
Ia terbatuk hebat sampai-sampai menepuk dadanya hingga berdebum. Aster tidak akan lupa bagaimana ia putus asa menjauhkan piranha menjijikkan itu. Bagaimana dagingnya sendiri melayang di depan matanya dan bagaimana ia secara paksa terminum air yang bercampur darahnya sendiri.
Berharap mati tapi tidak bisa.
Seperti orang gila meminta kematian cepat.
Perlahan-lahan menanggung siksaan seperti neraka itu tidak mungkin hanya sekedar mimpi belaka.
Rasanya begitu nyata.
Aster berdiri dengan tubuhnya tanpa sehelai kain. Ia menatap ruangan kamar mandi yang besar dan mewah dengan tatapan bingung. Tidak tahu berapa lama ia berada di air, tubuhnya sepenuhnya berkeriput jelek. Selain itu, ia tersandung ketika kakinya baru menapaki lantai marmer dingin itu.
“Cermin,” ucapnya dengan tenggorokan tidak nyaman ketika ingatan dimana ia berteriak-teriak hingga pita suaranya pecah masih menghantuinya.
Saat ia menghadap di depan cermin. Bayangan wajah itu tidak mungkin tidak ia kenal.
Wajah Aster Sun Beiven 7 tahun yang lalu.
Tidak mungkin.
Mustahil.
Mengapa?
Bagaimana mungkin dia bisa terlahir kembali?
Aster tidak bahagia sedikitpun. Apakah ini lelucon? Tetapi ini tidak lucu. Ia memang berharap untuk diberikan kelahiran di kehidupan selanjutnya yang mustahil ada namun bukan berarti ia berharap untuk kembali ke kehidupannya sebelum kematian.
Apakah kelahiran ini hanya mengejeknya?
Kepalan tangan Aster mengetat dan memutih. Ingatan sebelum kematian dan kelahiran ini tumpang-tindih. Jika hal yang telah terjadi sama dengan alur sebelumnya, maka tentu saja lelaki itu juga ada di dunia ini.
Frustasi. Aster berjongkok dan menutup wajahnya. Air mata mengalir di sela-sela jarinya. Saat-saat menyedihkan itu ia berusaha kelihatan tenang hanya supaya Aster tidak rela lelaki itu puas. Siapa yang tahu bahwa sebenarnya Aster sangat takut. Begitu takut sehingga ia ingin memohon ampun namun harga dirinya menolak untuk melakukan itu. Tidak kepada lelaki yang dari dulu kehadirannya tidak pernah ia pedulikan dan diam-diam ia benci.
Aster tidak ingin mengalaminya sekali lagi. Kejadian itu menimbulkan trauma yang amat dalam di kepalanya yang sampai kematian datang dalam hidupnya yang sekarang ia pasti tidak akan melupakannya.
Ia merasa ia akan gila. Ia tidak bisa menerima semua kejadian ini begitu. Tidak dengan kematiannya dan tidak dengan kehidupannya saat ini.
“Huuu.. Hiksss....”
Aster terisak-isak dengan bibirnya yang bergetar. Tubuhnya terjatuh begitu saja di lantai yang dingin. Ia bahkan tidak repot-repot untuk mempedulikan tubuhnya yang tanpa sehelai benang pun. Mata Aster yang tenang itu tidak fokus.
Ia tidak bisa menerima ini semua.
Kejadian mengerikan ini bukanlah keajaiban.
Air mata itu terus-menerus turun walau tidak ada satu pun suara rintihan.
Tubuhnya perlahan mati rasa akan dingin.
Ia tidak peduli.
Kalau bisa, ia ingin kedinginan ini mengambil nyawanya sekali lagi.
Pasrah menunggu ajalnya. Aster perlahan menutup matanya. Pelan tapi pasti, Aster perlahan kehilangan kesadaran diakibatkan guncangan yang ia terima.
“Aster. Enyahlah di muka bumi ini.”
Mata itu tiba-tiba terbuka. Aster meraup oksigen serakus mungkin. Dadanya naik-turun dengan nafas putus-putus. Matanya tidak fokus bergerak ke sana kemari. Aster tidak tahu apakah itu hanyalah halusinasi tetapi ia sekali lagi mendengar suara lelaki itu. Ia menggerakkan tubuhnya yang kaku hanya untuk terjatuh kembali.
Rasa sakit yang perlahan menjalar dari pinggangnya menyentakkan Aster dari linglungnya.
Cahaya kembali bersinar di matanya.
Benar. Aku ingin hidup.
Satu-satunya cara tanpa pilihan lain adalah dia harus berusaha mengubahnya dalam hidup ini. Apa yang awalnya benci maka ia rela untuk menghapusnya. Dia akan melupakan semua rasa sakit yang telah dideritanya baik secara langsung maupun tidak oleh lelaki itu. Aster tidak ingin membalas dendam. Balas dendam hanya akan membuat Aster semakin menderita. Ia takut.
Aster sebenarnya hanya seorang pengecut.
Oleh karena itu, ia akan menghilangkan segala apapun yang di masa lalu menjadi alasan bagi lelaki itu untuk secara tega membunuhnya begitu sadis dan tak berperasaan.
Pemikiran itu berhasil menghentikan Aster dari tangisannya. Dia tidak akan mengijinkan dirinya sendiri untuk mengeluarkan air mata lagi.
Saat Aster telah memantapkan hatinya, ia bersiap untuk keluar dari kamarnya. Di situlah ia bertemu lagi dengan lelaki itu. Tepat di bawah tangga dengan kepalanya mendongak menatap Aster dengan matanya yang berkilauan. Lelaki yang saat ini masih berumur 14 tahun dengan wajah cantik menawan dengan kulit selembut dan seputih susu. Wajah polos yang saat ini ada sedikit jejak memar di pelipis kanannya. Lelaki yang sejak tiga tahun yang lalu resmi menjadi adiknya. Lelaki yang membunuhnya dengan senyuman di bibirnya.
Aster terlalu naif. Ia pikir ia setidaknya mampu bersikap rasional. Kenyataannya ia merasa tidak mampu berdiri, sekujur tubuhnya menjadi lemah. Trauma akan siksaan itu masih ada. Tetapi ia berusaha tenang, wajahnya tetap datar dan dingin. Ia menatap adiknya dengan raut acuh tak acuh padahal kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya ketika bayangan-bayangan kematian seperti kaset kusut melintas di benak Aster.
Perasaannya yang berserakan berubah chaos. Dadanya seakan meledak ketika segala amarah, dengki, dan keinginan untuk membunuh muncul dalam pikirannya. Di saat bersamaan, perutnya berputar dan melilit. Hampir tidak sadar pikiran konyol muncul. Mungkin lelaki itu bisa saja tidak berkeinginan untuk membunuhnya di awal. Kemungkinan awalnya dikarenakan Aster sendiri pemicunya. Aster begitu acuh dan tidak pernah menganggapnya. Walau Aster tidak pernah berniat untuk menyakitinya namun ia membiarkan anak itu dianiaya dan bahkan menutup mata saat ia melihat sendiri anak itu perlahan dihancurkan. Mungkin karena itu dia membalas dendam atas keluhannya.
Andai saja, lelaki itu tidak pernah masuk ke dalam kehidupannya. Aster tidak akan kehilangan seseorang yang berharga bagaikan jiwanya sendiri dan ia tidak akan membenci orang yang awalnya sangat ia hormati. Dan Aster juga tidak repot-repot bersedih dan benci setiap menatap lelaki itu.
Dan Aster sendiri tidak akan mati sebegitu buruk.
Namun semuanya sudah terlambat dan Aster sudah berjanji bahwa ia juga tidak akan membiarkan hal-hal itu terulang lagi.
Ragu-ragu. Aster memberanikan diri membuka suara, “Pulang?”
Tidak ada tanggapan. Tubuh anak itu kaku seperti kayu. Aster tidak mau lama-lama menatapnya maka ia segera membalikkan punggungnya. Bibirnya bergetar ketika berusaha mengeluarkan nada selembut mungkin yang tak pernah ia lakukan dalam kehidupan sebelumnya.
“Bersihkan kekacauan yang ada pada diri Anda dan mulai besok berangkat bersama saya ke sekolah.”
Aster tahu ia munafik. Ia masih sangat membenci lelaki itu dan mengutuk dalam hatinya tetapi sekarang ia malah mengigit peluru untuk berubah menjadi kakak yang baik secara tiba-tiba demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Aster merasa terhina.
Hanya.. dibandingkan dengan kematian itu ia rela untuk membungkuk dan berkompromi kepadanya.
●●
ns 15.158.61.54da2