"In the long run, the aggressive civilizations destroy themselves, almost always. It's their nature. They can't help it," – Carl Sagan.
Abad ke 25 adalah masa kelam seluruh umat manusia. Terjadi sebuah perang besar menyisakan hanya seperlima penduduk bumi saat itu. Lebih buruk dari Perang Dingin, Perang Dagang, Perang Dunia III, dan Perang Senjata Biologis. Perang itu disebut Perang Besar. Penyebabnya utamanya adalah diskriminasi dan gerakan ekstrimis berbagai kelompok di seluruh dunia. Rasisme, aliran kepercayaan ekstrim, penyalahgunaan data dan keserakahan elit global menyeruak dalam tragedi ini. Kelompok-kelompok bahkan pemerintahan negara-negara ikut melumuri tangan mereka dengan darah dalam perang ini. Seratus tahun lamanya pembantaian berlangsung.
Ketika perang berakhir, ketika pihak yang penuh kebencian itu binasa, tersisa hanya sebagian kecil kelompok orang di seluruh bumi. Peradaban yang telah dibangun beribu-ribu tahun hancur. Gedung-gedung, fasilitas umum, pemerintahan, struktur sosial, semuanya runtuh. Manusia kembali ke titik nol.
Sejak saat itu seluruh umat manusia bersumpah, hanya akan percaya pada satu kepercayaan dan satu pemerintahan. Kepercayaan pada ketuhanan yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Sebuah konsep ketuhanan modern yang rumit, yakni pada Maleikh Yang Agung. Yang awal dan yang akhir. Satu pemerintahan bernama Koloni Bumi yang membawahi seluruh distrik pemerintah di bumi. Semuanya mereka lakukan agar manusia tidak punah. Mereka memulai sebuah awal baru.
Semua itu berlangsung selama dua ribu tahun lamanya. Sebuah kedamaian yang didambakan semua orang di bumi. Tanpa diskriminasi dan perbedaan keyakinan. Manusia berhasil melampaui peradaban sebelumnya, bahkan membangun Koloni Mars dan Koloni Bulan. Menemukan planet lain bernama Planet Voghan dengan sebuah peradaban makhluk asing di dalamnya, Bangsa Voghan. Jaraknya setengah kuadran dari Bumi, memiliki berbagai unsur-unsur yang tak terdapat pada tabel periodik. Pada akhirnya Pemerintah Koloni Bumi dan Bangsa Voghan menjalin hubungan perdagangan.
Ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa campur tangan dogma-dogma tidak penting. Sebuah tatanan dunia baru yang sangat baik. Manusia berevolusi seiring peradaban, meskipun harus mengulang lagi dari awal. Mereka belajar dari masa lalu dan tak ulangi kesalahan sebelumnya. Planet Bumi dipenuhi dengan kehidupan. Ilmu pengetahuan menyelamatkannya melalui tangan-tangan manusia yang penuh pengampunan. Ilmu pengetahuan berusaha mencari jawaban dan menyelesaikan setiap fenomena yang ada. Kemampuan otak manusia meningkat meskipun tak serta merta seluruhnya.
Terasa seperti surga berada di pijakan kaki.
Hingga sebuah fenomena tidak wajar terjadi di akhir abad ke-43. Tiga puluh tahun lalu lebih tepatnya. Sebuah fenomena aneh terjadi pada anak-anak umur empat sampai tujuh tahun. Mereka memiliki kemampuan untuk mengendalikan atom disekitarnya. Kemampuan yang tak stabil dan terus berevolusi ini mengacaukan konsep ilmu pengetahuan yang ada. Ilmuan hanya bisa menyimpulkan bahwa fenomena itu berkaitan dengan Chaos Theory.
Namun ada sebagian kecil orang yang berkonklusi sendiri. Menganggap itu adalah kuasa dari langit. Seperti yang mereka anggap sang pencipta, tuhan dan dewa dalam agama kuno. Yang dipenuhi kekuatan ajaib luar biasa, magis, dan mukjizat yang tak bisa dijelaskan. Kelompok kecil ini punya pola pikir yang radikal dan mendasar. Ingin mengembalikan konsep ketuhanan seperti awal, seperti yang dituliskan oleh agama-agama dahulu kala. Ketika fenomena itu tak bisa dijelaskan oleh sains, mereka menganggap itu adalah peringatan dari tuhan yang sebenarnya, tuhan yang mereka percaya. Tuhan sedang memperingatkan manusia-manusia sombong itu. Yang merasa di atas langit hanya karena setetes ilmu pengetahuan.
Takut.
Takut mati.
Sudah kalah, pikirnya.
Mustahil dengan hanya mereka berlima belas, dengan lima orang lainnya yang berjaga di luar. Mata mereka memejam erat. Berharap sebuah keajaiban terjadi pada usaha terakhir mereka ini.
"Sahabat-sahabatku ...," suara seorang wanita dari kerumunan itu memecah renungan mereka. "... kita sudah berada sejauh ini. Aku ingin berterimakasih, juga meminta maaf untuk segalanya ...," ucapnya lirih. Orang-orang yang melingkar itu mendongak melihat wajah wanita itu.
"Jika aku punya kesempatan ... aku ingin bertemu kalian lagi nanti. Aku ingin memperbaiki semua ini. Aku bersumpah," seutas senyum yang sangat berat terlintas di wajahnya.
Deruan mesin di luar gedung semakin terdengar dekat. Getaran yang ia sebabkan semakin terasa, membuat serpihan debu di langit-langit berjatuhan. Sudah tidak ada kesempatan lagi. Beberapa dari mereka memandangi langit-langit yang sudah menghujani dengan debu kecil.
"Kapten Maetri! Mereka sudah dekat! Mereka tahu kita disini!" Seseorang dari luar berlari tergopoh sambil berteriak. Wanita yang dipanggil Maetri itu mengangguk.
Baiklah.
Maetri menarik nafas panjang. Badannya kini tegap menatapi satu per satu yang hadir di sana. "Maleikh Yang Agung! Maleikh Yang Awal dan Akhir! Biarlah kekuatanmu mengalir dalam jiwa kami untuk pertarungan kami kali ini!" wanita itu berseru. Pemuda-pemudi lainnya kini menarik nafas, menenangkan diri dan berdiri kokoh di kaki-kaki mereka. Keempat belas pemuda-pemudi mengulangi ucapan Maetri dengan lantang, dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah ... ayo kita lakukan!" serunya.
"Siap Kapten!" pemuda-pemudi ini berteriak. Bersiap menjalankan satu perintah terakhir dalam hidup mereka.
Dalam hati mereka semua paham, ini akan jadi yang puncaknya. Di seluruh dunia ini hanya tersisa mereka saja. Ini adalah misi bunuh diri. Mereka seharusnya bisa saja menyerah dan dipenjara selamanya, dan bertahan hidup. Setidaknya itulah yang akan dilakukan musuh pada lawannya yang menyerah. Tetapi mereka-mereka ini tak dianggap sebagai manusia, dan tak akan diperlakukan sebagai manusia. Mereka dianggap monster yang memiliki tubuh manusia. Padahal mereka pun tak pernah meminta dilahirkan seperti ini. Menyerah dan tidak menyerah, dua-duanya menawarkan hal yang sama, kebinasaan.
Kita akan mati.
Lima belas orang itu berlari menuju keluar gedung. Kini sudah jam empat sore. Gedung itu berada di sebuah tebing di pesisir pantai dekat Distrik Atlantis. Angin laut berhembus, langit menguning, deburan ombak menari lembut. Jika keadaannya berbeda, pemandangan ini pasti bagai surga untuk setiap orang. Tapi tidak untuk pasukan kecil yang dipimpin Maetri itu. Langit, samudra, dan pesisir pantai bagi mereka adalah horor. Kapal induk, pesawat tempur dan tentara sudah mengepung mereka. Hanya keajaiban yang bisa menolong. Itu pun jika ada.
"SERANG!" pekiknya.
"HAAAAAAA ...!!" kelima belas pemuda-pemudi itu langsung berlari lalu memasang kuda-kuda di tepi tebing.
Mereka memasang formasi dan mulai berkonsentrasi pada genangan air laut yang melimpah. Lainnya memasang formasi menjaga bibir pantai di bawah sana.
Maetri dan empat petarung yang lain sudah melakukan hyper jump. Melompat dengan kedua kaki mereka. Sepatu yang mereka kenakan memungkinkan gaya luar biasa besar yang membuat mereka bisa melompat dengan jarak yang jauh. Kelima petarung itu, termasuk Maetri membentuk formasi tombak. Tangan mereka mengumpulkan dan memanipulasi materi di sekitarnya. Atom kini menjadi debu. Debu kini menjadi fragmen-fragmen dan terbentuklah logam tajam yang panjang. Lima belas hingga dua puluh logam tajam tercipta setiap sepersekian detik.
Kelima petarung mengibaskan tangan mereka melempar-lempar logam tajam itu ke arah pesawat tempur saat mereka masih melakukan hyper jump. Dua puluh hingga tiga puluh pesawat tempur hancur dan jatuh, tetapi masih ada tiga ratus armada lagi jika mereka ingin menang.
Pesawat tempur tak pasrah saja dengan serangan itu. Mereka menembakkan laser beam dan peluru membabi buta formasi tombak itu.
"AAAKHH!"
Dua orang di sayap kiri terkena tembakan, satu di sayap kanan juga tumbang. Fokus Maetri terpecah. Mereka berdua jatuh ke dalam laut dan satu lagi tersungkur di pantai. Jatuh dari ketinggian ini tak mungkin selamat. Kini hanya dia dan pemuda bernama Eros itu yang tersisa.
Sebuah bola api panas meluncur dari belakang arah Maetri dan Eros. Beberapa pasukannya memberikan sokongan serangan untuk Maetri dan Eros yang kesulitan. Lainnya fokus pada membuat benteng dari tanah menahan tembakan pasukan Koloni Bumi yang berlarian di bibir pantai.
Ombak sudah terlihat besar. Ombak setinggi tiga puluh meter kini bersiap akan menghantam kapal induk di laut juga semua tentara di pesisir pantai. Pasukan yang tadi fokus pada hamparan air laut sedang mencapai klimaks serangannya.
Akhirnya! Tsunami! batinnya. Ia tersenyum singkat. Masih ada harapan pikirnya.
Kapal induk menembakkan dua buah rudal ke arah tebing dan Maetri. Wanita itu sudah terbagi konsentrasinya kepada yang ia pikir adalah secercah harapan kemenangan, lupa kalau ia tak mungkin memenangkan pertarungan ini. Rudal dengan kecepatan tinggi menuju ke arahnya. Matanya terbelalak. Hanya sesingkat itu.
Sesingkat itu.
Kematian yang tak pernah ia sangka ketika ia terlelap di kasurnya yang nyaman di malam hari.
Tujuh tahun, dan ini adalah akhirnya.
Kematian yang cepat. Kulit dan dagingnya seperti dicelup ke lava gunung berapi. Tubuhnya meleleh hingga ke tulang-tulangnya. Rasa sakit menghujam seluruh bagian tubuhnya. Seolah ia ditembaki seribu kali oleh laser beam yang panas hingga kulit dan dagingnya matang. Disaat yang bersamaan seperti ditabrak oleh tank langsung ke badan. Tubuhnya terburai ketika otaknya sudah berhenti merespon rasa sakit.
Sakit, namun cepat sekali berlalu. Sudah tak merasakan apapun lagi. Kini tak tahu mengapa segalanya terasa ringan. Ia merasakan dirinya seringan udara di atmosfir ini. Tubuhnya sudah terurai menjadi debu. Tapi wanita itu, Maetri justru merasakan sensasi terbaik yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia membuka matanya. Ia tercengang melihat sekelilingnya.
Bagaimana aku masih hidup? Atau ... ataukah aku sudah mati? Ini ... jiwaku?
Waktu berjalan sangat pelan, ia mengapung di udara. Sangat pelan, membuat api yang berkobar dan ombak yang menyapu pantai terlihat mendayu lembut. Ia melihat tubuh Eros di sebelahnya ikut meleleh karena rudal itu. Baju tempur hitam keunguannya yang terbuat dari serat karbon meleleh. Mengekspos dada dan tubuhnya, tangan dan kepalanya mulai terlepas dari badannya. Pemandangan yang lambat, menarik sekaligus mengerikan bagaimana melihat tubuh manusia hancur dilumatkan oleh rudal. Mungkin itu juga yang terjadi pada tubuhnya.
Ledakan rudal di tepi tebing memecah pelan. Api dan batuan kini bercampur dan beradu lambat. Ia bisa melihat tubuh berseragam hitam keunguan terlempar seperti dedaunan kering. Ia bisa melihat dari jauh tubuh anggota pasukan kecilnya yang tersungkur di bibir pantai. Kepalanya sudah pecah lehernya terpelintir, darahnya merah menggenang dan tersapu air laut di sekelilingnya.
Kini mata coklat Maetri menatap ke arah langit barat dimana tak ada pesawat tempur disana, hanya ada langit senja yang kekuningan. Memandang sejauh cakrawala yang ia bisa capai. Melihat air laut yang berwarna biru dengan tenang. Terakhir kalinya ia memandangi bumi. Tanpa sakit, tanpa harus berperang.
Aku kalah, ia tersenyum.
Jika ia masih memiliki tubuh, dadanya akan terasa sesak, air matanya akan deras berjatuhan. Kehilangan anak-anak muda itu karenanya. Namun ia tak bisa merasakan apapun sekarang. Semua sudah selesai. Ia merenung menatap langit sore yang tak berujung itu. Terakhir kalinya.
Tiba-tiba sebuah energi dari langit terasa sangat kuat. Energi itu menghisap jiwanya menuju melewati atmosfir bumi. Menembus awan, kini jiwanya terbang melintasi kosmos.
Oh apa ini? Apa yang terjadi setelah kematian? Alam baka? Oh, yasudah, pasrahnya. Sudah selesai segalanya yang dia lakukan di bumi. Tak tahu juga apa yang akan terjadi setelah ini.
Ia melewati kosmos melebihi kecepatan cahaya bahkan kecepatan apapun yang bisa dicapai oleh manusia. Melintasi waktu dan melampaui segala ruang dan hukum fisika yang pernah ia ketahui. Melaju melewati berbagai planet, susunan tata surya dan bintang-bintang lain yang belum pernah ia pelajari. Tiba-tiba ia berhenti.
Kosong dan gelap. Hening.
Sepasang mata sebesar matahari terbuka di hadapannya. Mata itu melihatnya dengan tatapan yang hangat, seakan ia sangat mencintai jiwa kecil Maetri. Mata terindah dengan warna seperti semesta. Lebih indah dari taburan bintang di galaksi manapun. Menyinari ujung kosmos yang gelap itu dengan cahaya berpendar yang menghangatkan hati.
'Kau sudah pulang,' sebuah suara lembut terdengar. Bukan suara pria ataupun wanita. Mata itu tersenyum, memandanginya dengan bahagia, 'Aku yakin kau memiliki banyak pertanyaan.’
'Kau, siapa? Apa kau Tuhan? Maleikh? Bagaimana dengan teman-temanku?'
'Aku adalah kau, dan kau adalah teman-temanmu.'
'Aku tidak mengerti.'
'Hanya ada kau seorang di semesta ini, kau yang paling istimewa. Sekarang, giliranku bertanya. Bagaimana hidupmu?'
'Keras dan pahit,' lirihnya.
'Kau tak selalu memiliki hidup yang seperti itu …. Selanjutnya akan lebih baik, aku berjanji.'
'Selanjutnya? Maksudmu aku akan hidup lagi?'
'Tentu saja. Sudah berkali-kali. Hidupmu adalah hidupku, rencanamu adalah rencanaku. Kau yang awal dan kau yang akhir. Hingga nanti kau menjadi bijaksana. Kini pergilah, dan mulailah lagi.'
Tiba-tiba jiwanya terlempar jauh sekali dan cepat sekali melintasi kosmos. Ia kembali jatuh ke permukaan bumi dengan kecepatan tinggi. Kini semuanya gelap.
Sepasang mata perak terbuka, terjaga dari tidurnya. Nafasnya terengah, jantungnya berdegup kencang, tubuhnya basah keringat. Mimpi jatuh dari langit bukan hal yang menyenangkan. Ia menengadahkan tubuhnya menatapi langit-langit ruangan itu.
Mimpi itu lagi, batinnya.
‘Aku bersumpah. Aku akan memperbaiki ini semua!’
ns 18.68.41.147da2