Distrik Beirut terlihat tenang malam itu. Dari jendela sebuah gedung kantor lantai enam puluh, cahaya gedung-gedung sebelahnya mulai terlihat menyala satu persatu. Sudah hampir pukul tujuh malam. Pria berumur empat puluh lima tahun itu masih mengetik-ketik keyboard virtual di atas smart table-nya. Sebuah meja pintar dengan layar bening dari baja isenium yang berdiri di atasnya. Menampilkan berbagai proyeksi dokumen-dokumen dan grafik penjualan. Jam kantor sudah usai, namun pria itu masih mengecek laporan-laporan minggu ini.
Seorang wanita setengah Voghan memandangi langit Distrik Beirut malam itu. Ia duduk di sofa panjang di ruangan yang sama dimana pria itu bekerja. Tangannya yang berwarna kopi gelap memegangi leher gelas berisi anggur merah yang ia sesap sesekali. Punggungnya bersandar santai pada sofa. Wanita itu adalah ras campuran antara manusia dengan bangsa Voghan. Bangsa Voghan dari Planet Voghan yang jaraknya setengah kuadran dari bumi. Bisa dibilang ia setengah alien, mungkin sudah keturunan ke sekian.
Salah satu yang membedakan antara manusia dengan Voghan adalah bagaimana Voghan bisa dengan leluasa mengubah warna tubuh mereka. Kulit, rambut, bahkan iris, hampir seperti bunglon atau gurita.
“Prim, kapan kau akan presentasi hasil surveinya?” Mata abu-abunya kini memandangi wanita itu dari balik kacamata cyber-nya. Ia masih mengenakan jas abu yang sama lengkap dengan rompi dalam dan dasinya. Ia sudah rapi untuk pertemuan malam ini.
“Besok,” jawabnya singkat, tanpa mengalihkan pandangannya. Iris matanya yang berwarna abu itu konstan memperhatikan taburan cahaya bintang yang berlomba dengan taburan lampu di distrik. “Direktur Simone, kapan yang lain datang?”
Jari pria yang dipanggil Direktur Simone itu terhenti. Ia meneguk minuman herbal hangat yang baru ia buat lima menit lalu. Punggungnya bersandar pada kursi direkturnya yang fleksibel dan ergonomis. “Aku sudah minta Aleksei dan Lin datang. Kalau si kembar tidak bisa.”
“Kok tidak bisa?” Kini ia melihat pria berambut pirang klimis dengan sedikit brewok di wajahnya dengan bingung. “Ini rapat tertutup kenapa tidak bisa datang?”
“Itu karena …,” Simone membetulkan kacamata cyber-nya yang sedikit melorot dari hidungnya. “… aku meminta mereka mengantarkan anggur ke Distrik Cyprus tadi siang,” jawabnya agak sungkan.
Wanita bernama Prim itu memandangnya tak percaya. “Astaga, memangnya tak bisa suruh orang lain untuk mengantar? Bisa-bisanya kau suruh mereka di saat seperti ini,” sergahnya. Alisnya sudah mengernyit tegang.
“Itu pesanan khusus untuk acara jamuan makan malam distrik dengan perusahaan-perusahaan. Aku kirim mereka juga sekalian mewakili perusahaan kita,” pria itu berkilah sembari menutup berkas-berkas di layar iseniumnya. Mengusap-usap dan mengetuk layar itu hingga sudah tak ada lagi simbol-simbol, tulisan atau menu yang berpendar lembut dalam layar itu. “Tidak mungkin aku kirim sembarang orang ke acara seperti itu. Lagipula acara itu sudah masuk agenda dua minggu yang lalu. Sedangkan pertemuan ini? Baru tadi pagi aku dikabari. Mendadak.” tegasnya. “Untung saja Aleksei dan Lin bisa datang.”
Wanita itu kini membisu, tak bisa berkata apapun lagi untuk protes. Kancing atas kemeja kerjanya sudah ia lepas dari tadi. Jam kerjanya sudah habis. Biasanya di jam-jam itu ia sedang merendam tubuhnya yang tinggi dan sintal itu ke air hangat di bak mandi apartemennya. Mencepol rambut panjangnya yang bergelombang dan memasang masker wajah. Namun malam ini ia duduk di sofa panjang, di ruang kerja direktur. Rambut putihnya yang berombak sepunggung tergerai lepas. Masih mengenakan rok span pendek dengan stocking agak gelap yang menerawang dari kulit pahanya yang berwarna abu pucat.
Hari ini ia lelah sekali, harus mengerjakan tugas kantor. Dua hari ini dua orang dari Biro Stabilisasi Ziel terus-terusan mengunjunginya untuk diinterogasi.
Prim menjadi salah satu saksi yang melihat langsung kejadian itu. Kejadian ledakan di salah satu toko kimia di Distrik Damaskus. Ia juga sudah menceritakannya berulang kali pada pria bernama Simone itu.
Tidak ada korban jiwa, namun ledakannya parah sekali. Beberapa orang di sekitarnya terluka. Sebenarnya yang memicu kekhawatiran dan kecurigaan biro adalah karena Prim melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh ada disana. Tidak ada yang tahu gerak-gerik biro. Polisi mempublikasikan bahwa itu adalah murni kecelakaan.
Banyak sekali bahan kimia disana, katanya ada yang tertumpah atau apalah itu, lalu tak sengaja tercampur dengan bahan lain hingga menimbulkan reaksi ledakan dan terbakar. Begitu yang diungkapkan oleh pihak kepolisian. Namun bagi orang-orang seperti Prim dan Simone, jelas sekali biro punya andil untuk menjauhkan hidung polisi dari kasus itu. Kasus ini dari kemarin menjadi topik heboh di jagat cloud.
Pintu masuk ruang direktur itu bergeser terbuka otomatis. “Manajer Simone,” sapa Aleksei.
Ia dan Lin sudah berdiri di pintu masuk, menenteng blazer biru tua mereka. Prim spontan mendongak ke arah mereka, menjadi bersemangat. Buru-buru meletakkan gelas anggurnya lalu berjalan cepat ke arah mereka meskipun jaraknya sekitar lima meter. Meski ia mengenakan sepatu hak tinggi, baginya itu perkara sepele untuk setengah berlari. Hanya butuh sekejap saja untuk wanita itu berada di pintu masuk.
“Lin!” serunya. “Apa kabar? Ah, sudah lama sekali, kamu kemana saja, sih? Aku kangen tahu!” Dada Prim yang terlihat ranum memamerkan belahannya dari sela-sela kancingnya yang terbuka.
Ia membenamkan wajah Lin dengan agak membabi-buta. Lin membalas pelukan singkat itu dengan pasrah. Sementara Aleksei yang baru hari Minggu kemarin melihat Prim dan Simone hanya tersenyum singkat melihat mereka. Ia berlanjut menghampiri Simone, menjabat tangannya, lalu mengobrol kecil meninggalkan mereka.
“Aku baik-baik saja Nona Prim. Nona bagaimana? Sudah lama tak jumpa ya, haha ….”
Prim masih memegangi bahu gadis itu, memandanginya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi berulang kali. Memandangi gadis yang mengenakan rok span biru tua, dengan kemeja putih berlengan pendek. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berdecak kagum.
“Kamu cocok banget jadi mahasiswa Andromeda. Benar-benar beda sekali dari yang dulu! Sudah seperti Aleksei kedua saja!” wanita itu terkekeh.
Lin tersenyum lebar hingga matanya menyipit. “Ya, mau bagaimana lagi. Kalau sudah jadi mahasiswa sana ya musti pakai pakaian seperti ini.”
“Haha! Iya iya. Eh, kurusan ya?” membuat Lin kini memperhatikan tubuhnya sendiri.
“Memangnya kelihatan banget ya? Kapten juga bilang begitu tadi.” Lin menunduk memperhatikan bagian perutnya yang terlilit rok span.
“Iya, pinggangmu mengecil. Kelihatan lebih bagus sih, tetapi aku jadi khawatir kau sakit atau kenapa-kenapa.”
“Hah? Tidak kok, aku baik-baik saja,” bantahnya singkat.
“Kurang sehat? Wajahmu merah dan bibirmu pucat sekali,” jari Prim menunjuk ke wajah gadis itu. Kepalanya sudah dimiringkan penasaran. Tangan putih gadis itu spontan menutupi bibirnya. Lin menjadi sedikit gugup.
“A-Ah, itu. Mungkin aku kelelahan. Memang lagi jarang istirahat sekarang,” ucapnya sambil mengibas-kibaskan tangannya. Ia lupa untuk memoles ulang lipstiknya tadi.
Prim menyapu pandangannya pada gadis itu dari atas ke bawah. Memperhatikan setiap detil bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya. Dalam kegugupan itu, Lin tak sengaja melirik Aleksei yang sedang mengobrol dengan Simone, membuat Prim curiga dan ikut melirik pemuda itu yang tak sadar.
Prim menjulurkan lehernya, mendekatkan wajahnya pada gadis itu. “Kau habis diapakan oleh Aleksei?” ucapnya agak lirih.
Alisnya sudah mengerut, menerka-nerka jika gadis itu habis dimarahi lagi atau apa. Tetapi wajah Lin malah memerah mengingat ciuman hebatnya dengan pemuda itu setengah jam lalu.
“Ah ... Tidak diapa-apakan kok!” bantahnya lagi, namun kali ini bahasa tubuhnya gugup.
Prim curiga. Otaknya memproses kegugupan Lin sepersekian detik. Ia menarik kepalanya dan menegakkan badannya, tangannya terlipat di depan dadanya, berfikir. Ia menatap gadis itu curiga. Ia mendengkus seraya memiringkan senyumannya.
“Bohong …,” lirihnya pada gadis itu. Ia kembali mendekatkan wajahnya, lalu tersenyum nakal. Senyumnya begitu sumringah hingga membuat kedua mata kuningnya menyipit. Sederet giginya kini terlihat. “Kau habis melakukan sesuatu dengan Aleksei ‘kan?” tebaknya. Jari telunjuknya kini bergerak memutar dari porosnya menggoda gadis berambut hitam itu.
“Tak apa, aku paham,” wanita yang tingginya sama dengan Aleksei itu mengangguk-angguk mantap sambil memejamkan matanya pada Lin yang gelagapan. Lalu ia berjalan meninggalkannya menuju ke kedua pria itu.
Lin tak bisa berkata apa-apa, bingung harus menjelaskan bagaimana kepada orang dewasa itu. Mau berbohong pun sulit. Ingin membetulkan asumsinya pun tak tahu caranya. Seolah Prim adalah cenayang yang bisa tahu isi otaknya. Ada rasa sedikit cemas dalam hatinya kalau-kalau wanita bernama Prim itu menanyakan yang aneh-aneh pada Aleksei. Ia memandangi punggung lebar pemuda itu yang sedang mengobrol dengan Simone.
***
“Dasar jalang!” pekik pria bertubuh gempal itu. Menggaung di dalam ruangan Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Stellar Corporation. Wanita di depannya sudah merasa muak sampai sakit kepala. Pria itu adalah Otto Heartnet, salah satu anggota dewan Pemerintahan Koloni Bumi.
Ia menunjuk-nunjuk wanita itu, mengacung-acungkan jarinya yang agak gemuk. “Kau jangan coba-coba berbohong padaku, ya! Jangan mentang-mentang perusahaanmu besar kau bisa berbuat seenaknya! Aku bisa melenyapkan kalian dalam semalam!” ancamnya. Dengan usia dan tempramen yang begitu, pria itu terengah-engah hanya dengan mengucapkannya dalam satu nafas saja. Matanya sudah seperti mau keluar dari rongganya. Wajahnya yang pucat sudah bengis dan tajam.
Wanita itu sudah bersedekap. Setelah dikata-katai terus-terusan, ia masih berusaha mengendalikan dirinya. Ia melempar senyum singkat. “Harus berapa kali saya katakan Tuan Heartnet. Tentara Ziel itu tidak ada. Anda menuduh kami hanya berdasarkan rumor, sudah fitnah namanya. Saya bisa menuntut Anda ke pengadilan,” bicaranya masih tenang sejauh ini.
Pria bernama Otto itu berjengkit. Pengadilan? Mau bawa bukti apa ke pengadilan? Bawa-bawa rumor? Yang benar saja!
“K-Kau …,” kini jari lancang yang tadi menunjuk-nunjuk malah bergetar. Bola matanya bergerak kesana kemari tak beraturan, memikirkan kata-kata apa yang bagus untuk melawan wanita ini. “Kau lancang! Mentang-mentang kau punya otoritas AI, beraninya kau mengancamku!”
Wanita itu terkekeh tiba-tiba membuat Otto terkesiap. Mata pria itu justru terbelalak. Tawa wanita itu terhenti setelah ia puas. “Oh, jadi ini soal otoritas AI?” ucapnya sambil tersenyum sinis. “Siapa yang membuat kami jadi punya otoritas atas AI? Ah … ya, itu benar. Para anggota dewan,” ia memberi penekanan di dua kata terakhirnya. Mata perak wanita itu melotot tak kalah ganas.
Otto terlihat dongkol namun gusar. Bibir di balik kumis tebalnya bisu. Ia hanya bisa beradu tatap dengan wanita yang sepertinya sudah menang telak. “Aku … Aku akan membongkar yang kalian sembunyikan! Camkan itu! Kalian semua dan para pemilik Ziel!”
Wanita itu semakin merasa jijik. Kesabarannya sudah habis. “Sekarang kau lancang membawa-bawa Biro Stabilisasi Ziel?!” hardiknya. Sudah tak bisa pura-pura sopan ataupun formal lagi. “Kami berusaha agar orang-orang ini mendapat kesempatan hidup yang lebih baik. Bisa belajar, bekerja, bermasyarakat seperti orang normal lainnya. Sedangkan kalian?” ia berdecak. Kakinya perlahan melangkah menghampiri si pria gempal. “Kalian perlakukan mereka seperti hewan percobaan. Menjijikan!” geram wanita itu.
Tangan Otto yang terbalut jas hitam sudah turun. Tangannya menggenggam angin kosong di samping tubuhnya. Mulutnya terkunci. “Aku jadi ingin tahu. Otoritas AI diserahkan pada kami, pemilik Ziel juga diserahkan pada biro. Lalu tuan ini kerjanya apa?” nada bicaranya jauh lebih tenang karena ia paham kalau sudah menang.
Wajah pucat Otto memerah. Mungkin jika diteruskan pembuluhnya bisa pecah. Ia hanya bisa mengeratkan giginya dan mengepal tangannya kuat-kuat. “Mengatur AI itu pakai otak dan keterampilan, begitu juga mengurus para pemilik Ziel. Bukan dengan menjilat orang dan bersilat lidah seperti politisi macam Anda,” sindirnya.
“Kau … jalang! Sok pintar! Tahu apa kau!”
“Kalau saya tidak pintar, saya tidak akan berada disini,” timpalnya mantap dan santai. “Seandainya otoritas AI dan urusan Ziel dipegang oleh Pemerintah Koloni Bumi. Anda bisa jamin data pengguna tidak bocor? Bisa jamin navigasi seisi planet tidak kacau? Dan para pemilik Ziel tak menerima diskriminasi atau dibakar hidup-hidup? Saya akan beri Anda tepuk tangan paling meriah kalau bisa,” cecarnya. Pertanyaannya membabi buta seperti peluru tajam. Senyumnya sudah ia miringkan menantang.
Pintu otomatis ruangan itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar tiga puluh lima tahun sudah tegap dan rapi memasuki ruangan.
“Nona Luna,” suaranya sangat dalam namun tenang. Tak perlu meninggikan volumenya, ia sudah bisa membuat bulu kuduk seseorang berdiri hanya dengan suara itu. Mereka menoleh.
“Tuan Presdir,” jawab Luna sembari membungkuk sedikit pada pria itu.
“Tuan Heartnet,” sapanya sopan. Kedua orang yang dari tadi beradu mulut kini memperbaiki sikap mereka.
“Maaf, tetapi kami ada agenda lain hari ini. Semoga Tuan Heartnet bisa memahami. Bran akan mengantar Anda ke lobi,” ucapnya sambil tersenyum sopan, sekaligus menunjuk seorang karyawan bernama Bran yang sedang menunggu di pintu ruangan. Matanya menyipit tersenyum, namun terkesan dingin.
“Lebih baik Anda pulang saja dan beristirahat. Tidak baik untuk tekanan darah Anda kalau keseringan datang kemari,” ucap Luna dingin.
Kehadiran tiba-tiba pria itu membuat Otto justru menjadi ciut. Menyembunyikan kegeramannya barusan. Sementara wanita bernama Luna memutar bola matanya sambil menghela nafas. Ia berbalik mengambil blazer abu-abu yang bertengger di kursinya, lalu melangkahkan kaki jenjangnya meninggalkan Otto ke pintu keluar.
***
“Luna, kau seharusnya tidak perlu begitu pada Tuan Heartnet,” pria itu kini menengok ke arah kanan memandang wajahnya yang diterpa cahaya distrik. “Lain kali biar aku yang bicara padanya.”
“Dia memanggilku jalang hari ini,” ketusnya. “Orang tua itu tidak akan berani bicara padamu. Dia beraninya hanya menggertakku,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari gedung-gedung distrik malam itu. “Aku sampai jenuh sekali dia terus-terusan menerobos masuk ke ruanganku dan memojokkanku. Membawa-bawa tentara Ziel terus-terusan. Kalau saja bukan anggota dewan sudah kuusir.” Nada bicaranya terdengar jengkel.
Hover car yang mereka naiki melaju kencang di lintasan raya. Pria itu tersenyum kecil meski tak ditatap olehnya. Tangan kanannya kini meraih tangan kiri lentik wanita itu. Ia mengaitkan jari-jarinya yang panjang pada celah jarinya yang lebih mungil. Luna baru memandangnya, bersamaan dengan genggaman tangan pria itu.
“Ares … menurutmu, aku ini serakah?” ucapnya pelan.
“Kau? Serakah?” tanya pria tampan bernama Ares itu. Si Tuan Presdir yang menjemputnya dari ruangan seusai ia melayani debat kusir dengan Otto Heartnet. Ia tersenyum sambil memiringkan kepalanya, menyapu wajah Luna. “Kalau kau serakah, aku ini apa?”
“Aku membuatmu terlibat begitu dalam dengan biro, lalu aku memegang otoritas AI. Bukankah itu-.”
“Hanya karena itu kau menganggap dirimu serakah?” sanggahnya. Tubuh Ares sudah berbalik seperti semula. Ia menatapi navigasi hover car yang ada di depannya. “Kau tahu betul apa saja yang sudah pernah aku lakukan. Tanpamu pun aku akan melakukan hal yang sama.”
Itu benar. Tanpa dirinya pun, pria bertubuh jangkung itu akan menerjang segala yang ada di hadapannya. Tanpa terkecuali. Pria dengan ambisi sebesar ini untuk membuat perusahaannya menjadi nomor satu di seluruh koloni. Serakah hanyalah sepotong kata yang mengiringi tekad baja pria ini. Ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Luna masih menancapkan tatapannya pada pria itu dalam-dalam. “Meskipun aku harus mengakui juga bahwa pengetahuan darimu yang mengarahkanku untuk melakukan semua ini.”
Luna. Luna yang membuatnya begini. Luna yang membuatnya menempuh lajur ini. Itu karena Luna telah melihat masa depan dan ingin mengubah akhir cerita para pemilik Ziel.
“Sebuah perusahaan non-pemerintah memegang kendali AI di seluruh koloni. Wajar kalau mereka gusar. Tapi perusahaan itu adalah perusahaanku. Stellar Corporation. Merekalah yang berlutut di hadapanku, memohonku untuk memegang kendali AI. Bahkan mereka sendiri yang menyusun ketetapan dalam undang-undang soal ini.”
“Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab, karena ini adalah keputusanku. Aku akan beri tahu ketua dewan soal Otto.” Mata hijau Ares kini menatap wanita itu. Tangan kanannya meraih tangan mulus milik Luna. Bibir tipisnya mencium punggung tangan wanita itu dengan lembut. “Dia sudah mengganggu perusahaanku sekaligus wanitaku. Dan aku tidak suka.”
Mata hijaunya yang dingin menancap dalam pada tatapan mata perak Luna. Pandangannya itu bagai seekor elang yang sedang mengintai mangsanya. Ares tidak pernah main-main dengan perkataannya. Juga tak pernah ada orang yang berani bermain-main dengan pria kebal hukum sepertinya.
ns 15.158.61.20da2