“Kemarilah,” Aleksei mendongak, mata mereka bertemu. Tatapan mata gadis itu begitu hangat dan lembut. Aleksei tak yakin bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Ia ragu-ragu berdiri berhadapan dengan gadis itu tanpa sejenak pun melepas tatapan mereka.
Kaki Lin melangkah mendekat, membuat sepatu haknya menghentak pelan. Kedua lengan gadis itu merangkul tubuh Aleksei dalam-dalam. Dagunya bertumpu pada bahu kanan Aleksei yang tinggi. Lengan kanan gadis itu melampaui bahu kirinya. Telapak tangan kanannya menggenggam pelan kain kemeja bagian punggung, tepat di bawah tengkuk pemuda itu.
Sementara tangan kiri Lin menyelip di antara sela-sela ketiak kanan Aleksei. Lalu meraih punggung dan pinggang bagian belakangnya. Matanya terpejam, merasakan tubuh Aleksei yang kaku. Kedua telapak tangannya sudah berkenaan punggung Aleksei yang dibalut kemeja katun tipis berwarna putih.
“Berhentilah bersikap tangguh sekali saja,” lirihnya.
Pelukan itu terasa agak aneh dan canggung.
Rasa nyeri terasa menyeruak dalam dada pemuda itu. Ia berdiri sejenak, masih berusaha mencerna pelukan Lin. Badannya yang tegang itu masih berdiri tegap. Mata biru terangnya melirik ke kanan, ke rambut hitam gadis itu yang kini jaraknya sangat dekat. Perlahan ia membungkuk sedikit.
Ia membalas pelukan itu. Memeluk tubuh seorang gadis untuk pertama kali. Tak ada hasrat lain yang ia rasakan. Kedua matanya menatap kosong ke sofa tunggal di belakang Lin. Wajahnya datar, ia tak yakin harus merespon bagaimana. Mungkin karena ia sudah lupa kapan terakhir kali memeluk dan dipeluk oleh seseorang.
Tangguh katamu? Aku ini pecundang. Aku cuma pandai berpura-pura tangguh. Bukankah itu yang mereka inginkan dari seorang pria?
Setumpuk memori tersirat dalam kepalanya. Perasaannya yang kacau, kemarahan, bercampur kekesalan dan kekecewaan. Seluruhnya tumpah ruah. Bertahun-tahun ia menelan bulat-bulat kesesakan itu. Tapi tidak pernah benar-benar tertelan. Sebagian besar mengganjal di dalam sukmanya yang ringkih. Menggerogoti jiwanya sedikit demi sedikit. Menghancurkan secuil demi secuil perasaan cinta di dalam kalbunya. Ia sudah menyerah pada manusia brengsek itu.
Dulu ia pernah berharap. Dulu. Sekarang tidak lagi. Hanya kebencian yang bisa ia berikan. Hingga ia pernah bertekad untuk membenci pria itu sampai mati. Pria itu sudah mencabik-cabik hatinya. Dengan mengkhianatinya dan mengkhianati orang yang paling ia kasihi di dunia ini. Tanpa rasa malu, tanpa pikir panjang. Dengan brengseknya.
Perasaan-perasaan itu entah mengapa ia sudah terlatih untuk menahannya. Tetapi dengan keadaan yang tiba-tiba ini benar-benar menguras habis kesabarannya. Semena-mena menjadikannya presiden direktur. Tanpa ba bi bu. Ia yang sudah menganggap hubungan ayah dan anak itu lenyap ditelan bumi. Sekarang malah dengan lancangnya pria itu memberikan tanggung jawab berat begini, dengan alibi mereka masih sedarah.
Lin menarik nafas panjang, membuat dadanya mengembang perlahan. Jari jemari kanannya yang tadi memegang punggung atas pemuda itu, kini meraih kepala Aleksei yang terbenam di bahunya. Mengelus rambut coklatnya yang lembut perlahan-lahan. Tubuh Aleksei terasa nyaman. Syaraf di tubuhnya merespon alami sentuhan gadis itu. Matanya mengerjap perlahan. Bahunya yang tegang kini perlahan turun dengan rileks. Santai. Sudah berhari-hari ia tak mendapat istirahat yang cukup. Fisik dan mentalnya yang lelah kini terasa lebih ringan.
Rasanya ia ingin tidur, merelakan tubuh dan kepalanya yang sakit untuk berisitirahat pada pelukan itu. Ia ingin menghentikan waktu saat itu juga agar bisa berlama-lama. Nyaman sekali.
“Menangislah kalau kau mau. Aku tak akan beritahu siapa-siapa. Keluarkan saja, Aleksei.” Mata Aleksei melebar mendengar ucapan lirih gadis itu. Langsung terdengar di telinganya, lebih jelas daripada transmisi nano disk.
Tatapan kosongnya memburam, memburam oleh air mata yang tiba-tiba memenuhi bola matanya. Ia sudah berkaca-kaca, tak terbendung lagi hingga membuat air matanya berjatuhan. Ia memeluk tubuh Lin lebih erat lagi. Tubuh mereka kini menempel lengket seperti magnet. Rasa sesak dan nyeri seketika menyeruak, meluap-luap keluar bersamaan dengan air matanya. Mengalir deras dan tertampung seluruhnya di serat-serat kain katun kemeja putih gadis itu.
Wajah Aleksei kini sepenuhnya terbenam lebih dekat ke leher Lin, tepat di kerah kemeja putihnya. Gadis itu merasakan nafas hangat Aleksei menembus lewat pori-pori kain kemejanya, menerpa kulit lehernya.
Nafas pemuda itu tak beraturan, terisak. Tak ada suara yang terdengar, hanya nafasnya dan cucuran air mata yang membasahi kerah baju. Aleksei begitu membutuhkan dekapan itu. Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
“Lin …,” lirihnya, “… temani aku,” suaranya bergetar. “Aku membutuhkanmu.”
Suaranya yang terdengar berat, namun rengekannya begitu manis dan memanja. Pemuda itu begitu rapuh, begitu ringkih. Aleksei kemudian berusaha mengatupkan gigi dan bibirnya erat. Meski gadis itu bilang tak apa untuk menangis, ia tetap bersikeras menahan emosinya. Emosi yang menyesakkan, juga rasa menahan pita suara untuk tak berteriak, membuat tenggorokan bagian atasnya nyeri. Ia sudah kalap.
Lin tak berkata apa-apa. Hanya menghela nafas dengan masih membelai kepala pemuda itu lebih lagi. Air matanya deras di balik bahu gadis itu. Sudah tak tertahankan lagi. Isakannya begitu memilukan. Begitu melas. Begitu kasihan. Menahannya bertahun-tahun sendirian tanpa ada seorang pun untuk berbagi. Parahnya lagi, ia menipu dirinya sendiri. Berpura-pura bahwa ia sedang baik-baik saja.
Emosinya meluruh malam itu. Hatinya yang nyeri, yang ia biarkan membusuk karena luka berkepanjangan. Yang menggerogoti jiwanya hari demi hari. Akhirnya ia bisa memberitahu seseorang bahwa dia sesakit ini.
Entah bagaimana ia merasa sedikit lebih baik. Sedikit lebih lega setelah puas menangis. Akhirnya ia mengangkat kepala.
Ia tiba-tiba sadar dengan ucapan bodoh dan tingkahnya yang memalukannya barusan. Layaknya anak kecil yang sedang memanja pada ibundanya. Lin dengan otomatis juga agak menjauhkan pelukan itu meski hanya sekian sentimeter hanya untuk melihat wajah pemuda itu.
Wajah tampan Aleksei memerah, terutama hidungnya. Bola matanya juga merah dan berkaca-kaca. Tatapannya memelas. Setitik air mata masih membasahi wajah pemuda itu, di bagian bawah sekitar mata lebih tepatnya. Aleksei terlihat seperti anak kecil yang sedang merengek untuk disayangi. Manis sekali.
Aku … kacau. Sial.
Mata biru terangnya memandang gadis itu, lekat-lekat tepat di bawah rambut coklat yang menutupi sebagian dahinya. Ia gugup, melirik ke arah lain, lalu melirik bagian kerah Lin yang sudah berganti warna agak gelap. Basah karena air matanya.
“Maaf ... bajumu jadi basah ...,” Aleksei masih terisak, namun ia menahannya. Meskipun begitu Lin bisa melihatnya sesekali menarik nafas singkat tiba-tiba, nafasnya yang masih tersengal.
Tubuh mereka masih dekat. Mata hitam Lin menatapnya dalam, masih terpatri. Wajah gadis itu tertegun melihat kaptennya memelas begitu. Bibir pemuda itu masih merengut hingga terlihat menggemaskan baginya.
Ternyata … kau seperti ini. Aku suka.
Jari Lin memegang pipi pemuda itu. Ia mengusap pelan titik-titik air matanya. Sebuah senyum tipis mengembang dari bibir gadis itu. “Aku ada untukmu.”
Tatapan matanya, bibirnya yang tersenyum, menghangatkan bagi Aleksei. Pemuda itu sedang terpana pada gadis di pelukannya. Kata-katanya yang manis, sikapnya yang hangat, senyumannya yang tulus, begitu memuaskan Aleksei. Satu paket lengkap obat depresan baginya. Bagaikan seorang dewi yang turun dari surga. Mengangkat rasa sesak di dadanya hanya dengan satu kalimat, hanya dengan satu sorotan mata. Dekapan dan belaian yang ia rindukan dari seseorang, bisa ia dapatkan cuma-cuma darinya.
Dua bulan ia bergumul dengan kecemasan-kecemasan itu. Pada puncaknya hari ini ia akhirnya bisa meluapkan segala perasaan itu. Melampiaskannya bersama orang ini. Melihat keadaannya yang paling terpuruk tanpa dihakimi, murni melihatnya sebagai seorang manusia. Membiarkan emosinya meluruh seluruhnya dari dalam jiwanya.
Entah apa yang mendorong pemuda itu. Matanya tak mau melepaskan tatapan dari wajah cantik Lin. Perlahan kepalanya menunduk, wajahnya mendekat ke wajah putih gadis itu. Kelopak matanya tertutup perlahan, hingga akhirnya bibir lembab pemuda itu mencium bibir merah mudanya. Ia memberikan ciuman pertamanya padanya.
Dalam hatinya ia berterimakasih dengan sangat dalam. Ciuman pertama yang selalu ia simpan untuk seseorang yang benar-benar ia cintai. Kini ia berikan begitu saja pada gadis itu. Jika ingin menyalahkan, maka ia akan menyalahkan momen ini. Momen yang baginya terlalu manis. Bagi Aleksei semuanya seperti melambat. Ia bahkan bisa menyusuri detik demi detik saat-saat wajah mereka mendekat. Saat bibir hangat mereka saling bersentuhan.
Tubuh Lin mematung. Baginya semua itu terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Pikirannya kosong. Matanya mengerjap seolah mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia melihat wajah Aleksei sudah tanpa jarak, matanya yang tadi basah, sekarang sudah terpejam erat. Wajahnya panas, ia bisa merasakan hembusan nafas Aleksei yang hangat menerpa lembut kulit sekitar bibirnya. Nafas panasnya dan Aleksei seolah saling beradu.
Bibirnya sudah dicuri oleh pemuda itu. Tanpa sadar, tubuh mereka ternyata masih dekat, meski tak seerat pelukan tadi. Jantung Lin kini berdebar-debar ketika ia akhirnya selesai memproses keseluruhan kejadian ini. Ia bisa merasakan seluruh darah di tubuhnya mengalir lebih cepat, menyusuri setiap pembuluh. Wajahnya memerah.
Ciuman Aleksei saat itu hanya diam, hanya menyentuhkan bibir lembut mereka berdua. Tidak ada nafsu disana, terasa sangat tenang dan damai.
Aleksei melepaskan ciuman itu. Ia membuka matanya perlahan. Melihat Lin dengan wajah agak shock, tatapannya kosong. Bibirnya pasrah dicium dan ditinggalkan begitu saja. Ia tak mampu mengucapkan apapun pada pemuda itu.
Segenap rasa bersalah memenuhi hati pemuda itu.
Kakinya mundur setengah langkah. Mukanya merah padam, segera melepaskan pelukannya pada gadis itu. “Ma-maaf .... Maafkan aku. Maaf …,” ia terbata-bata, detak jantungnya berpacu. Tangannya gemetar. “Lin … maafkan aku. Aku sudah ... aku ... mmhh!” ucapannya terhenti.
Tangan Lin mengepal meraih kerah baju Aleksei, kemejanya ditarik paksa oleh tangan putih gadis itu. Tak bisa mengelak, tak bisa menghindar. Kepalanya kembali tertunduk dan sangat dekat pada gadis yang lebih pendek itu. Bibir yang belum menyelesaikan kalimat itu telah mendapatkan ciuman balasan. Ia tercengang. Tak menyangka dia akan mendapat respon semacam ini.
Wow.
Mata gadis itu sudah terpejam erat hingga mengerut. Wajah mereka kembali dekat. Tubuh Aleksei seperti membeku. Seolah ada kekuatan gaib yang membuatnya mematung. Tubuhnya kaku. Jantungnya berpacu dengan cepat. Pemuda itu terkejut, berdebar. Senang mendapatkan perlakuan semacam ini? Ia tak paham juga. Tangan Lin kencang meremas kemeja bagian dadanya. Kaki jenjang gadis itu berjinjit di dalam sepatu haknya hanya agar bisa meraih bibir pemuda jangkung itu.
Sesaat setelah bibir mereka bertemu kembali, Aleksei memejamkan matanya perlahan. Berbeda dengan ciuman tadi, kali ini ia bisa benar-benar menikmati sentuhan bibir keduanya dengan gadis itu. Ia menghujani bibir lembab Aleksei dengan ciuman demi ciuman. Terasa begitu menggebu-gebu, namun agak canggung dan amatir. Ia tak benar-benar paham bagaimana cara semestinya mencium bibir seorang laki-laki.
Hanya berbekal intuisi, pemuda itu seolah paham ciuman ini akan dibawa ke arah mana.
Tangan kiri Aleksei melingkarkan pada pinggul Lin, sekaligus melekatkan kedua tubuh mereka. Sekali lagi memeluknya dengan erat. Sedangkan tangan kanannya menangkupkan pipi kiri Lin hingga ia bisa menguasai gerakan kepala gadis itu. Ia memberikan ciuman yang lebih dominan, namun tenang. Seolah menenangkan kecupan gadis itu yang penuh kegugupan. Seolah mengajari bagaimana caranya menikmati sebuah ciuman dengan mesra. Basah, hangat, dan lembut.
Ia berusaha keras untuk menahan dirinya. Menahan nafsu lelakinya, namun Aleksei sudah takluk.
Ia sudah kalah oleh birahinya. Ia ingin melanjutkan, ingin meneruskan, dan mengharapkan mereka bisa melakukan yang lebih jauh lagi. Bibir merah muda yang menggemaskan, yang sudah nekat dan berani membalas ciuman Aleksei. Pertahanan pemuda itu hancur. Belum lagi suara dari nafas panas gadis itu yang terdengar panik dan terburu-buru. Menggemaskan.
Aku … berciuman dengan seorang laki-laki. Aku berciuman dengan Aleksei.
Aleksei kembali memeluk tubuh memikat milik gadis itu. Yang terbungkus kemeja putih ketat, juga rok span biru tua yang pendek. Dengan ukuran dada sedang yang bisa ia rasakan lekukannya. Lengan dan tangan pemuda itu meraba punggung indah milik Lin. Tak pernah sebelumnya ia melihat gadis itu dengan cara seperti ini. Cara yang bernafsu seperti ini. Di dalam kepalanya, ia sudah menanggalkan pakaian gadis itu sambil menikmati rasa lembut dan manis bibir mungilnya.
Buas.
Kata yang tepat untuk Aleksei sekarang. Mata biru terangnya sudah terpejam. Pemuda kelas atas yang tahu sopan santun sudah raib. Nafsu sudah menghipnotis seluruh tubuh Aleksei. Lidah pemuda itu mulai lancang memainkan perannya. Menjilati dengan buas kedua bibir gadisnya. Menyapu setiap lapisan kulit lembut yang terpoles lipstik merah muda. Lidah liar Aleksei berusaha memasuki sela-sela kedua bibir gadis itu. Berusaha mendobrak pertahanan gadis itu yang masih mengatup.
Sial, batin pemuda itu.
Lidah lancangnya justru bisa dengan mudah masuk ke dalam mulut Lin. Seolah gadis itu membiarkannya masuk dengan suka rela. Nafas keduanya semakin menggebu. Semakin tidak beraturan hingga membuatnya mendesah pelan. Mata biru terangnya memberanikan diri untuk mengintip. Wajah cantik gadis itu sedang terpejam dengan tenang, terpampang jelas di pandangannya. Begitu menikmati ini, sama seperti dirinya. Rasanya semenyenangkan ini. Decakan suara basah dari ciuman mereka mengiringi derusan mesin jet yang lembut.
Tangan Lin yang putih dan lentik meraih tengkuknya, lalu naik perlahan ke kepalanya, menyisir rambutnya perlahan dari bawah. Seharusnya memberikan sensasi geli, tetapi bagi Aleksei yang sudah kepalang nafsu, sama sekali tidak. Justru ini membuatnya jadi tambah terangsang. Darahnya mengalir semakin deras, jantungnya bertalu-talu, tubuh kekarnya memanas. Tangan Lin kuat menekan dan mencengkram kepala pemuda itu, membuat lidah nakalnya pasrah menyelam semakin dalam ke dalam mulut.
Lagi …. Aku ingin lagi …. Jangan berhenti.
Ia pikir ia yang menguasai permainan. Justru ia lah yang sedang dipermainkan. Gadis itu menghisap lidah pemuda itu kuat-kuat. Ia sama sekali tak melepaskan apa yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Entah sejak kapan mereka berdua menjadi lihai memainkan lidahnya. Gadis itu terlihat sangat menyukai dan menikmati ciuman liar mereka berdua. Kini Aleksei lah yang menuruti keinginannya. Kepalanya terkunci. Lidahnya sudah pasrah dimakan, dijilati dan dimainkan seperti sebuah permen manis. Ia masih senang mengulum dan menikmati lidah milik pemuda itu dengan penuh hasrat.
“Mmhh …,” desah gadis itu pelan.
Mengalah dan pasrah begini terasa sangat nikmat dan menyenangkan bagi Aleksei. Mendapati gadisnya justru yang kini jadi penguasa dalam ciuman mereka, justru membuatnya semakin bernafsu. Ia sudah tidak bisa berfikir. Otaknya seolah mati, tubuhnya bergerak semaunya sendiri.
Sudahlah! Aku akan melakukannya disini denganmu!
Aleksei melepas paksa ciuman itu, mata mereka bertemu sepersekian detik. Mata biru terang pemuda itu sudah menyala oleh api birahi. Ia sedang menatap mangsanya malam itu. Sementara gadis itu terlihat bingung, canggung, juga agak takut. Ia tak yakin dengan ekspresinya kala itu. Memandang satu sama lain hanya sekilas, lalu pemuda itu sudah bergerak semaunya.
“Aaahh!” gadis itu mengerang. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rintihannya yang sulit ia kendalikan. “Mmhh!” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Matanya terpejam dengan kepala yang sudah mendongak maksimal. Tangannya tambah meremas rambut coklat halus di kepala pemuda itu.
Aleksei benar-benar berubah menjadi liar. Secepat kilat lidahnya sudah beralih ke leher jenjang gadis itu. Mencium dan menjilatinya dengan buas. Lidah pejal itu bergerak kesana kemari dengan kasar, menyapu setiap inci kulit lehernya yang lembut. Sesekali ia menggigit lembut karena tak tahan dengan wajah dan desahan menggemaskan Lin. Ia menyapukan lidahnya yang lancang itu dari bawah bagian leher hingga ke atas, tepat di bawah dagu, lalu menggigitnya pelan.
Telinga kiri Lin tak luput dari incarannya. Mulut Aleksei mengulum daun telinganya. Memberikan rangsangan yang luar biasa hingga gadis itu kembali mengerang. Wajah menggemaskannya semakin memerah. Pemuda itu sudah tidak tahan lagi. Tangannya yang sedari tadi anteng melingkar di pinggang mungilnya, kini sudah turun. Jari-jari panjangnya mencengkram paha mulus Lin. Mengelusnya hingga membuat rok pendeknya tersibak dan terangkat. Tangan Aleksei menggerayangi pahanya hingga bergerak ke bagian dalam paha putihnya.
Tolong hentikan aku Lin! Hentikan! Kenapa kau tak memintaku untuk berhenti?!
Kaki jenjangnya membeku di atas sepatu hak tingginya. Sungguh tak bisa bergerak sedikit pun. Seolah sudah merekat kuat di lantai jet mewah itu. Ia membiarkan tangan pemuda itu berpetualang di bagian pahanya. Ia justru menutup matanya erat-erat hingga mengerut. Tangannya tambah kuat mencengkram rambut coklat Aleksei. Ia takut, tapi munafik jika mengatakan tak menyukai seluruh sentuhan pemuda itu. Nafasnya semakin berburu. Jantungnya sudah seperti akan meledak.
Jari-jari panjang Aleksei sudah mencapai kulit paha bagian dalamnya. Di bagian dalam rok yang gelap itu.
Jarinya mulai naik.
Naik.
Dan naik.
Hingga tepat di bawah pangkal pahanya.
Seluruh tubuh gadis itu berusaha menahan emosinya yang meluap-luap. Menahan respon alami dari rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh pemuda itu. Ia menanti-nanti bagian mana yang akan disentuh oleh Aleksei berikutnya. Seperti apa rasanya.
‘Tuan Aleksei, pendaratan ke Distrik Beirut adalah setengah jam lagi. Mohon gunakan kendali manual.’
Pemberitahuan AI dari jet Aleksei memecah atmosfir panas kala itu. Pemuda itu terhenti, melepaskan telinga gadisnya yang sudah basah dari kulumannya. Mata birunya melirik ke arah lain seolah hendak merespon pemberitahuan AI-nya. Tangannya masih setia di bawah sana.
Alih-alih beranjak, ia justru kembali membuka mulutnya dan memasukkan lidahnya ke dalam mulut gadis itu, menciuminya lagi. Sementara tangannya yang di bawah sudah hampir tiba di bagian yang dia inginkan.
“Kapten!” Lin memegang lengan pemuda itu, menahan dan menghentikannya. Sekaligus melepas paksa ciuman mereka. Memenggal momen bercumbu mereka yang begitu panas. “K-kita harus mendarat,” sergah gadis itu. Tangan itu otomatis terlepas sendiri dari pahanya.
“Ah … Iya,” sedari tadi mereka seperti kerasukan hawa nafsu, kini mereka berhadapan dengan wajah memerah dengan rasa canggung yang kental. Keduanya tak sanggup menatap satu sama lain. Kemeja mereka agak berantakan, dasi Aleksei juga miring sedikit. “Aku ... kesana dulu,” ucapnya gugup.
Ia segera memutar badannya, berjalan ke arah pintu kokpit, menyembunyikan wajahnya yang panas, malu, dan kikuk itu dari Lin. Saat tiba di kursi pilot ia menutupi wajahnya yang merah dengan kedua tangannya.
Ah ... padahal masih ada setengah jam lagi. Dasar AI sialan. Padahal masih bisa-. Tunggu … apa-apaan aku ini?!
Sementara Lin kembali duduk ke sofa, menarik nafas panjang. Lengannya memeluk dirinya sendiri, menelan ludah.
Aku telah bercumbu dengan kaptenku. Rasanya … berdebar-debar. Kalau itu bukan Aleksei, apa aku akan menyukainya?
ns 15.158.61.12da2