Dengan Susan yang bertindak gegabah seperti itu, Madame Murtlock menjadi murka. Auranya bagai anjing galak yang siap menarik penganggu siapapun. Ziofra dan Yasmine terkejut namun ke arah ngakak, sedangkan Dokter muda wanita satunya sangat kaget nyaris jatuh.
“SUSAN!”
Lantas…
Dr. Audagird membiarkan dan menyuruhnya tenang, sebelum murkanya Madame Murtlock menjadi – jadi.
“Tapi, dokter?”
“Nggak apa, Madame,” Dr. Audagird berpaling pada yang lainnya. “Apakah bisa saya simpulkan bahwa pondok kecil sedang baik – baik saja?”
Semua orang mengangguk, kecuali Susan yang masih terus merangkul Dr. Audagird.
“Ada satu. Kamar Abigail,” Susan berkomentar tiba – tiba.
“Hoi, kamu ini ngomong apa!?” Madame Murtlock memprotes wanita keki itu.
Susan melepas rangkulannya pada Dr. Audagird. Ia menjelaskan bahwa sekitar seminggu yang lalu Abigail bercerita padanya bahwa penghangat kamarnya rusak. Kata Susan, itu bukan permasalahan yang besar karena selimut masih bekerja sangat baik.
“Tapi, Abigail nggak melapor padaku?”
“Karena Abi nggak mau merepotkan nenek tua yang repot sekali?”
Mendengar itu, Madame Murtlock langsung meraih telinga kanan susan, menjewernya sampe ia turun dari meja.
“Dudududuh! Ampun, ampun!” Susan memegangi telinganya, memekik kesakitan.
“Perbaiki tingkah lakumu supaya telinga atau nggak bagianmu yang lain mengalami kesakitan!”
“Bagian yang lain? Vulgar sekali~” sahut Susan bercanda.
Karena ucapan itu, Madame Murtlock menjewer telinganya lagi lebih keras sampai memerah. Hingga Dr. Audagird melerai, hingga saat itulah Madame Murtlock mau melepas siksaannya pada telinga Susan. Dr. Audagird menyuruh mereka untuk kembali fokus.
“Baik, soal kamar Abigail akan beres dengan saya nanti. Oh ya, biaya pemeriksaan konsultasi dokter umum untuk para suster adalah gratis beserta dengan obatnya,” tambahnya berpaling pada Madame Murtlock. “Untuk sementara waktu posisi dana donatur masih dipergunakan untuk hal itu. Mungkin kalian berpikir ‘bukannya masih lebih?’ Nah, saya tidak mungkin memfoya – foyakan semua dana. Lagipula kita nanti perlu hitungan biaya maintenance dokter umum. Juga, mungkin kedepannya saya akan menyewa manajer keuangan. Jangan khawatir, dana itu pasti ada penyampaiannya. Ada pertanyaan lagi Madame Murtlock?”
Para suster merasa lega mendengar penjelasan kompeten Dr. Audagird.
Madame Murtlock mengajukan pertanyaan yang lain mengenai banyaknya donatur dan investor yang komplain terhadap hal – hal yang tidak masuk akal.
“Nah, saya menyadari kasus Kara yang Mr. Clovis memintaku untuk dikeluarkan. Dia juga baru dua minggu kerja, dan itu murni kesalahan saya. Tapi ada masalah yang nggak masuk akal dan nggak berkaitan. Misalnya isu obat – obatan basi, pelayanan kasar, dan semacamnya. Bahkan ada isu soal pasien mati dibiarkan membusuk di ruang bawah tanah menganggu para calon donatur dan investor, Dr. Audagird. Terus terang, saya kewalahan kalau satu per satu mereka berkunjung ke sini,”
Kedua tangan Dr. Audagird menyatu dan dagunya bersandar di atasnya.
“Hm… tidak ada cara lain selain membuktikan isu itu adalah fiktif. Perumahan sekitar Patronal Desmene memang membenci kehadiran tempat ini, jadi saya asumsikan itu perbuatan mereka,”
Dr. Audagird terdiam sesaat memandang meja. Ia berpikir untuk menuntaskan masalah ini secepat mungkin.
“Isu fiktif nggak akan pernah terbukti kalau nggak dibuktikan,”
“Maksudnya, Madame?”
“Selama saya di sini, buatkan saja jadwal kunjungan para calon donatur atau calon investor untuk bertamu. Kita akan mengajaknya keliling sampai bosan!” Dr. Audagird seolah terbakar semangat. Senyumannya mirip senyuman nakal Susan. “Hahahaha, mari kita buat mereka menelan ludah mereka sendiri!”
Semua orang terdiam menyaksikan tawa jahatnya. Sesaat ia sadar bahwa dirinya mempermalukan dirinya sendiri.
“Eh-ehem!” tambahnya. “Ki-kira – kira seperti itu. Maaf kebiasaan,”
“Ada lagi, Miss Murtlock?”
“A-ah, ya…. Untuk jadwal dokter, apa hanya ada Nona Cormick? M-maksud saya, apa nanti beliau tidak kuwalahan?” Madame Murtlock memandang dokter di sebelah Dr. Audagird dengan senyuman.
“Ah! Sayangku, Sasha!” Susan kambuh dengan tingkah petakilannya. Namun, dengan sekejap, Madame Murtlock menarik rambutnya, mencegah Susan melompat seperti yang dilakukannya pada Dr. Audagird.
Dr. Cormick, wanita culun berambut twintail itu sedikit ketakutan dengan tingkah laku Susan.
“Ah, soal itu…”
#Knock!knock!
“Masuk!”
Abigail datang dengan membawa botol wine estelle yang dihadiahi Mr. Clovis. Semua orang tampak bersemangat menikmati wine mahal itu.
“Isinya tinggal separuh, saya harap itu cukup untuk anda sekalian.”
“Ah, Abi, apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Madame Murtlock.
Abigail menaruh sebotol wine itu di meja. “Pasien di kamar nomor 32 dan 33 sudah makan malam, minum obat, dan mandi air hangat. Oh ya, Mr. Clovis masih keluar,”
“Ah, terima kasih, Abi.”
“Saya permisi dulu.” Abigail keluar.
Seketika keluar, Madame Murtlock teringat sesuatu.
“Oh ya, Dr. Audagird, bagaimana soal Ambercourt?”
“Soal Julia Chalice? Oh, mereka tetap akan menyuplai, kok. Kalau tidak, aku akan menendang bokong pemimpin mereka!”
***
Mandi air hangat di malam hari tentu membuat siapapun nyaman dan melepas penat setelah bekerja. Tanpa terkecuali, Verlette.
Sedari pagi bangun jari – jemarinya kembali berkreasi, tidak heran Verlette dijuluki gadis robot. Tentu, ungkapan itu tidak didengar langsung olehnya, namun dengan perasaan khusus.
Namun kali ini, Verlette harus merasa puas karena rajutannya hari ini membuahkan sweeter baru. Siapa sangka kalau itu pada akhirnya berbuah sweeter? Yang jelas, ia harus puas untuk hari ini. Tidur malam, akan menjadi hal kedua termudah dilakukannya.
Kecuali…
Senyuman aneh Julia Chalice. Bahkan meski Verlette memejamkan mata, bukan berarti ia tidak mendengar langkah kaki.
(Clovis… belum datang….) pikir Verlette merasa kesulitan. Selama ini ia selalu bergantung pada pria bermuka ceria itu.
Saking gelisahnya, menyipit dan mengintip…
(Sedang apa… Julia?)
Pertama kalinya dan hanya disaksikan Verlette, Julia Chalice melakukan hal yang berbeda, selain merenung dan melamun.
Julia Chalice, melihat – lihat hasil rajutan Verlette. Ia memegang, membalik, dan mengamati dari berbagai sudut. Kedua tangannya masih diborgol dan rantainya tidak cukup panjang untuk mengamati topi dan tas rajutan itu.
Rasa gelisah Verlette semakin berangsur – angsur terakumulasi.
“Kamu… apa yang kamu… lakukan?” Verlette tidak tahan mengucap.
Meskipun terdengar suara tiba – tiba, Julia Chalice tampak tidak terlalu terkejut.
“Ini… kurang bagus.” Julia Chalice menoleh sedikit., sambil memegang lengan sweeter berwarna ungu yang barusan Verlette buat. “Hambar, polos, dan nggak elegan….”
Verlette bangun dan mendorong selimutnya.
“Itu… sama sekali tidak… tidak menggembirakan untuk didengar,” kata Verlette dengan suara yang datar meski ia kecewa.
“Nah, aku berusaha untuk jujur….” Julia Chalice kembali mengamati sweeter tersebut.
Verlette beranjak dari kasurnya, menghampiri Julia Chalice.
Kedua matanya kini lepas dari mengantuk. Terbuka lebar nyala merah darah.
Kini Verlette tepat di belakang Julia Chalice. Verlette mengamati rantai itu memanjang kenjang menyambung di dipan tempat tidur.
Kedua tangan Verlette bergerak dengan aneh, berpose seolah mencakar.
“Katakan… padaku, Julia….”
Verlette hendak lesat meraih kerah belakang Julia Chalice. Kedua matanya tajam seperti vampir hendak mengoyak mulut budak yang tidak sopan itu.
ns 15.158.61.12da2