Mendungan gerimis di malam…
Alih – alih membawa kesedihan, malam gerimis ini membuat senyuman lebar di bibir Verlette. Setelah makan malam, para suster mengunjungi kamar 33. Selayaknya pasar, para suster, satu per satu melihat hasil rajutan Verlette.
Semua suster telah ambil bagian. Semua suster baik yang pernah atau tidak mengurus pasien di kamar 33, telah ambil bagian.
Mulai dari tas…
Topi…
Sarung tangan…
Syal…
Dan Sweeter.
Semuanya ludes menyisakkan seperempatnya. Sekitar satu sweeter, satu tas, dua pasang sarung tangan, tiga topi, dan dua syal. Tentu saja Abigail, Susan, dan Madame Murtlock telah ambil bagian.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak berdiam di tempat ini, Verlette senyam – senyum sendiri. Ia bahkan tidak menunda makan malam dan minum obat tepat waktu.
Malam itu setelah makan malam, Mr. Clovis izin keluar sebentar untuk membeli beberapa cemilan ditaruh di kulkasnya. Mr. Clovis memberi pesan pada Abigail bahwa sedikit coklat di kulkasnya ada yang mendekati kadaluarsa. Ia ingin Abigail membaginya dengan Susan dan semua suster di lantai bawah.
Meski begitu…
(Hoah…! Pria itu nggak tahu artinya sedikit, huh!?) protes Abigail saat melihat isi kulkas.
Di bagian pembeku, sekitar delapan batang 350gram coklat batang dengan waktu kadaluarsa dua hari lagi. Angka itu bukanlah sedikit. Sedangkan beberapa minuman kaleng serta susu kotak 1,5 liter empat buah.
“Nona Verlette, anda mau coklat?”
Verlette berpaling ringan. “Aku… nggak terlalu suka…. Clovis… bahkan lupa kalau aku… nggak suka manis….”
“Oh, begitu?”
Abigail berpaling pada Julia Chalice. Roman muka Abigail tampak tidak yakin. Lagipula sudah pukul 19.30, sup kentang Julia Chalice mungkin mulai dingin. Ia belum makan malam.
“Nona Chalice….. Mau coklat?” Abigail mengulurkan satu batang pada wanita itu.
Julia Chalice, wanita berambut pirang lurus sebahu dengan akhiran berombak, menoleh kecil. Ia mengulurkan tangannya, meraih coklat itu, dan menaruhnya di meja.
“Maaf,”
“O-oh… ti-tidak masalah….” Abigail berbalik dan menaruh sisa tujuh coklat itu ke dalam pembeku. Ia berpikir setelah memandikan para pasiennya, yang berarti tugasnya berakhir di hari itu. Kemudian ia akan mengambil coklat itu.
Lantas…
Abigail mencoba mengingatkan Julia Chalice untuk segera menghabiskan makan malamnya.
“Baik, maaf.” Julia Chalice segera mengambil mangkuk di atas drawer dekatnya, dan mulai makan.
Meski ia mengunyah makan malamnya, Julia Chalice tampak tidak menikmati. Mulutnya saja yang digerakkan, tangannya menyendok dengan perlahan, sementara pandangannya menatap langit – langit.
(O-oh… dia mulai menurut?)
Hingga sampai ke pengobatan terakhir, yaitu luka memarnya, Julia Chalice bertingkah normal dan tenang. Kini perangainya lebih ke arah ‘tidak peduli’ atau sekedar ‘pasrah’.
Tentu, Abigail masih merasa terganggu dengan itu dan mencatat dalam laporan aktivitas kesehariannya. Artinya, kondisi mentalnya lebih condong belum stabil daripada pulih, meski Julia Chalice sendiri mulai menurut dan bertindak sesuai prosedur.
“Ba-baik, saya akan ke kamar 32 mengantar pasien untuk mandi. Saya juga akan menyiapkan air hangat untuk kalian berdua, tolong yang akur ya?” Abigail mendorong gerobak medisnya keluar dari tempat itu.
“Uh-huh,” Verlette mengangguk kecil sambil terus merajut, sedangkan Julia Chalice hanya diam saja dan memandang tembok samping.
Abigail kini telah meninggalkan ruangan nomor 33, menyisakan dua insan pasien yang sama – sama jarang mengobrol.
Suasana di ruangan itu terasa sangat sepi, bahkan lebih hening daripada hutan ataupun kuburan.
Verlette merasa sedikit canggung dengan Julia Chalice yang kedua tangannya diborgol itu.
(Hm… apakah melamun itu… seru?) pikir Verlette sambil melirik sedikit ke arah Julia Chalice.
Namun yang tidak terduga….
Julia Chalice tengah tersenyum ke arahnya. Senyuman itu hanya sekedar formalitas.
Hanya saja, bila dilakukan oleh orang yang sedari kemarin diam merenung dan memandang tembok karpet,
Tentu itu sedikit membuat hati Verlette merinding ketakutan.
***
Di sebuah ruangan berbentuk persegi panjang, enam orang duduk berseberangan di dua sisi meja persegi panjang pula, sambil memegang sebuah selembar kertas. Sedangkan dua wanita muda berjas putih duduk bersebelahan menghadap tiga dan satu kepala suster.
“Mari kita mulai, teman – teman,” ucap wanita dengan lipstik menyala merah dan berambut kuncir ala sekretaris yang cantik dan rapi. “Silahkan, mulai dari Zofia,” Wanita itu duduk sambil melipat kakinya, memakai rok seksi warna hitam.
Ketiga suster mulai memberikan laporan harian hari ini, 13 april.
Dari ketiga suster itu punya kesimpulan yang sama yaitu tidak ada lonjakan emosi yang signifikan. Meskipun, Susan sedikit berkeringat mengenai laporan Abigail pagi tadi dan memilih untuk memutihkan permasalahan itu.
“Oke, kawan – kawan. Bulan depan kita akan kedatangan pasien baru. Hm… cukup banyak, tapi beberapa yang di kamar 12 sampai 22 akan keluar dari tempat ini. Kondisi mereka beralih ke perawatan rumah. Untuk sementara ini, apakah ada permasalahan di ruang tidur para suster?” tanya wanita berlipstik menor itu.
Madame Murtlock mengangkat tangannya.
“Ya, Miss Murtlock?”
“Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan, Dr. Audagird. Pertama, akhir – akhir ini banyak komplain dari donatur dan investor. Nah, salah satunya memang salah saya, sih. Tapi beberapa yang lainnya adalah mengenai dana yang belum direalisasikan dalam setahun dana terkumpul. Bukannya ini saat yang tepat untuk membocorkan rancangannya pada kami, dokter?”
Ketiga suster lainnya ikut berpendapat ringan, bahkan Susan menambahkan bahwa itu akan menjadi kesulitan utama berdiskusi baik pada donatur atau investor lama dan baru.
“Tenang, semuanya!” tambahnya. “Nah… cepat atau lambat saya pasti ditagih soal itu. Oke… nggak ada masalah, saya jelaskan.” Dr. Audagird, wanita berlipstik menor merah dan rambut kuncir rapi ala sekretaris itu menaruh setumpuk kertas yang diambil dari tas merah berkelasnya.
Dibukalah halaman demi halaman, Dr. Audagird mulai menjelaskan rincian anggaran yang dimaksud Madame Murtlock.
“Oke, kalian pasti paham bahwa Rumah sakit ini punya struktur bangunan yang unik. Lantai satu dan lantai dasar punya dua arah dekat tangga. Sedangkan lantai bawah tanah, hanya satu arah dari ujung ruang meeting. Dan lantai dasar sebelas ruangan diatur berseberangan yang bertempatkan setelah ruang kepala suster atau resepsionis lalu berbelok ke kiri sebelum tangga,” kata Dr. Audagird dengan nada halus dan tegas.
“Mempersingkat saja, Dr. Audagird. Di seberang kamar mandi khusus pegawai, ruang dapur dan ruang meeting ada tiga ruangan. Satu ruangan sementara untuk gudang obat – obatan sekaligus apotik. Apakah bisa saya asumsikan pembahasan ini termasuk dua ruangan kosong itu?” Madame Murtlock mengutarakan pendapatnya.
“Terima kasih, Miss Murtlock atas jalur alternatif penjelasannya,” Dr. Audagird kemudian berpaling pada semua suster bergantian. “Itu benar, salah satu ruangannya akan digunakan untuk ruang dokter bekerja dan beristirahat. Sedangkan satu ruangan berikutnya… saya berpikir ruangan itu akan digunakan dokter umum. Ruangan itu sekaligus menyimpan obat – obatan umum seperti obat panas, diare, lambung dan sebagainya. Ada yang keberatan?” Dr. Audagird melemparkan pendapatnya ke masing – masing individu.
Tampaknya, masing – masing insan tidak begitu tertarik untuk berpendapat.
Tapi…
Susan, dengan wajah kekinya, tanpa basa – basi mengacungkan tangan.
“Oi, nona menor, aku mau tanya! *munchmunch*” kata Susan, sambil mengunyah permen karet.
Semua pandangan tertuju pada tingkah susan.
Dr. Audagird mencoba tersenyum seprofessional dan mencoba sesabar mungkin. Masalahnya mata kiri Dr. Audagird agak mengedip tanpa jeda, Madame Murtlock segera tahu kalau Dr. Audagird sedikit sebal.
“Hush! Bicaramu itu tolol!” bisik Madame Murtlock sambil menyikut ringan pinggang susan.
“Ehhh? Ngga apa kok! Kaylene teman lamaku!” balas bisik Susan.
“S-susan… kita ada di ruang meeting. A-apa k-kamu lupa-a, huh?” kata Dr. Audagird sehalus mungkin meski sambil menggigit giginya sendiri.
“Ah, maaf, Kaylene. *Munchmunch*” Susan kembali menyandar santai, memejamkan matanya.
“Susan!” Dr. Audagird beranjak dan membentak sambil menggebrak ringan meja. Seisi ruangan kaget dan menjadi canggung.
Alih – alih memanggil formal, wanita keki itu malah menggunakan nama depan. Itu yang memicu naiknya tensi Dr. Audagird.
Namun…
#Hah… (Sighed)
Dr. Audagird menghela nafas, kini ia lebih tenang.
“Eh-ehem…” tambahnya. “Nah, saya yakin yang hendak ditanyakan Susan adalah ‘apakah para suster boleh menggunakan konsultasi umum dokter?’ Tentu saja! Itu niat saya dari awal. Rumah sakit ini baru berdiri tiga tahun dan saya menyadari betapa kerasnya kerja para suster di tempat ini. Namun, sejak berdirinya tempat ini, fasilitas yang paling efektif untuk operasional adalah pondok kecil untuk tempat menginap suster. Karena itu, dengan budget yang terbatas untuk sementara selama tiga tahun ini, saya fokuskan untuk itu. Ngomong – ngomong, apa ada masalah dengan kamar suster selama ditinggali? Apakah ada masukan? Laporan?”
“Ziofra? Yasmin? Madame Murtlock?” Dr. Audagird memandang para suster, lalu Madame Murtlock. Mereka saling menggelengkan kepala. Dr. Audagird merasa lega, kecuali Susan yang hanya diam saja.
#Hah… (sighed)
“Susan?” Dr. Audagird menepuk jidatnya merasa putus asa memanggil nama itu.
Susan melipat tangannya sambil bersandar di kursi putar dengan santai dan seolah tidur. Kemudian, ia membuka salah satu matanya…
#Jump! Gedebrak!
Susan tiba – tiba melompat dari meja dan memeluk Dr. Audagird. Susan menggesek – gesek pipi wanita itu dengan kegirangan.
“Oh! Kaylene! aku kangen kamu!”
ns 15.158.61.54da2