“Kamu ingin merajut, Abi?”
Wanita berambut panjang itu, kekasih Mr. Clovis, mengulurkan dua stik rajutnya.
“Eehh? Sa-saya nggak yakin soal itu?” Abigail tidak tahu harus berbuat apa. Ia mengambil stik rajut itu dan meneruskan pekerjaan wanita itu.
#Kreeek, Kreeeak!
Suara sesuatu seperti kertas disobek dengan acak. Mr. Clovis tampaknya sedang membuka paket itu.
“Nah, Nona Abi, bisakah aku minta tolong?”
(Serius? Kenapa mereka berdua bisa tahu nama panggilanku?) Abigail masih bertanya – tanya dalam benaknya.
“E-em… tentu.” Ia menaruh dua stik rajut itu sambil berpaling pada wanita yang perangainya lemas. “Saya akan kembali, Madame,”
Wanita itu hanya diam saja. Mulutnya mencucu seperti ikan koi. Perasaannya agak mendung seolah mainan kesukaannya direbut oleh orang lain.
Abigail mendekati pria yang memakai jas kantor biru langit itu dari belakang. Badan Mr. Clovis tampak sedikit bergetar, sama seperti rasa cemas Abigail.
“Anda baik – baik saja, Mr. Clovis?”
Tiba – tiba…
Mr. Clovis berbalik spontan, wajahnya tiga ratus enam puluh derajat lebih menyeramkan dari yang sebelumnya.
“KYAAAAHHHHHH!!” Abigail lesat terjatuh duduk ke belakang, mulutnya menganga.
Wajah Mr. Clovis berubah dipenuhi kerutan dan bibir yang sangggaaat lebar menunjukkan gigi – giginya. Kedua matanya bulat – bulat berwarna putih. Senyuman itu sinis dan mencekam memberi tekanan yang luar biasa.
“Bagaimana, Abi? Apa aku sudah cocok?” Mr. Clovis mendekatinya sambil membawa silet. Mulutnya yang lebar tidak bergerak meski ia berbicara.
“Ja-jangan mendekat!” Abigail mundul merayap, seolah hendak diterkam. Kedua alis Abigail menghadap ke atas mirip bentuk gunung, dahinya mulai menetes keringat dingin.
Namun….
“Clovis, hentikan, jangan kayak anak kecil!” perintah kekasihnya meski nadanya terdengar kurang bersemangat. Wanita itu melanjutkan pekerjaan merajutnya.
Mr. Clovis segera melepas topeng yang seharusnya dipakai saat halloween. “Ya ampun, My Dearest, apakah aku berlebihan? Hm….”
Kini wajah senyum Mr. Clovis kembali normal. Ia menaruh silet di meja kantornya lalu mengulurkan tangannya pada Abigail.
“Maaf, Abi, aku hanya mencoba topeng latex yang baru kubeli, hehehe!” Mr. Clovis terkekeh. “Kebiasaan burukku kambuh kalau lihat wajah lugu dan culun sepertimu, maaf,”
“A-ah… ya… nggak masalah….” Abigail mencoba berdiri dari uluran tangan Mr. Clovis.
(Jantungku mau copot, Ughhhh!)
Mr. Clovis mengajak Abigail untuk melihat barang – barang yang dibelinya, alias isi paket yang barusan abigail antarkan.
Ada empat item, termasuk topeng menyeramkan tadi. Tiga lainnya adalah botol cairan gelembung, boneka lebah, dan buku cerita dengan cover keras dan terlihat mahal.
“E-erm… untuk madame?” Abigail mengambil botol hijau cairan gelembung yang bertuliskan “Sir Bobble” berkarikatur orang tua memakai baju lab meniup gelembung.
“Kamu tahu? Melihatnya merajut terus menerus sedikit membosankan, bukan?” bisik Mr. Clovis.
“Sa-saya… tidak berpikir begitu, sir….” Abigail melirik ke arah wanita itu. Roman muka kekasih Mr. Clovis semakin cemberut, tampaknya ia mendengar bisikan tadi.
Mr. Clovis lesat menyahut botol itu dengan semangat. “Nah, aku tahu cepat atau lambat mainan usang ini bisa menghidupkan gelora anak kecil tahun 80-an! Begini demonstrasinya!”
Mr. Clovis mengocok kuat botol tersebut. Saat tutup botol itu dibuka, terdapat stik plastik yang ujungnya melingkar dan berlubang menyatu dengan tutup botol. Lubang itu ditempati kilauan gelembung.
Mulut Mr. Clovis segera didekatkan….
#Fuuuuuhhhh…!
Sebuah gelembung mulai membesar hingga berdiameter 7 cm. Gelembung itu terus terbang tinggi sampai akhirnya pecah setelah mendarat di langit – langit dekat baling – baling kipas angin.
Melihat gelembung itu, Abigail sejujurnya merasa senang karena mainan dari masa kecilnya dipertontonkan lagi.
“Bagaimana, Abi? Aku rasamy dearest akan tersanjung dengan ini? Hehe!” Mr. Clovis terkekeh optimis.
“Y-ya… saya juga berpikir begitu,” sahut Abigail kurang yakin. Abigail melirik pandang ke arah kekasih Mr. Clovis yang hanya asik dengan dua stick rajutnya yang ulet.
Tapi…
“Woo~ Keren sekali…..” seru wanita itu datar. Wanita itu bahkan tidak sama sekali menatap gelembung itu atau memperhatikan Mr. Clovis meniup gelembung. Bahkan pujian untuk Mr. Clovis itu malah terdengar seperti ejekan yang diperhalus.
#Pfft!
Abigail tergelitik perutnya. Mr. Clovis memandangnya balik dan Abigail langsung minta maaf.
Tanpa pudar sedikitpun wajah senyumnya, Mr. Clovis mengambil alat lainnya.
“Masih terlalu cepat untuk menyerah, my dearest!” Mr. Clovis dengan kilat mengambil boneka yang dibelinya. Lalu ia menundukkan tubuhnya, seolah memberi hadiah pada putri dari seluruh penjuru mata angin, kedua tangannya diulurkan. “Ini untuk ratuku! Boneka kesukaan anda ‘BeeBear Beedump’ dari kartun ‘Beebear’!” Mr. Clovis seolah memainkan nadanya seperti memerankan tokoh pelayan di pertunjukan drama.
Abigail terlihat berusaha sangat keras mencubit tangannya dan menggigit bibirnya. Ia tidak ingin tertawa.
Kekasih Mr. Clovis menunjukkan rasa hormatnya. Ia melirik pelan, dan mengambil boneka itu. Boneka lebah dengan ekspresi jahat namun terlihat lucu.
“Hm… ‘Boibee’ adalah si lebah, ‘BeeBear’ adalah si Beruang….” Wanita itu memandang sesaat. Kemudian ditaruhnya boneka itu di bawah selimutnya. “Nah… aku memang ingin beli boneka karena ingin mencoba membuat satu nanti…..”
Wanita itu kembali menggerakkan dua stik rajutannya.
Ironisnya, niat Mr. Clovis yang ingin menjauhkan kekasihnya dari hal merajut justru malah balik memotivasi kekasihnya itu.
Mr. Clovis berbalik arah memandang Abigail dalam – dalam. Wajahnya… masih tersenyum, namun Abigail menyadari hati Mr. Clovis sudah remuk. Pria yang malang.
“Ba-bagaimana ini, Abi!? A-a-apa aku harus pesan lagi!?” Mr. Clovis memegang pundak Abigail cukup kencang. Kerutan kecil di dahi Mr. Clovis yang secara signifikan membedakan bahwa dirinya sedang sedih dan panik, Abigail mempelajari hal baru.
“E-EEHH? Y-Ya… bagaimana ya…? Anu… bukannya dia adalah kekasih anda!? Ke-kenapa nggak tanya langsung!?” balas Abigail seadanya. “O-oh ya-ya… bukannya masih ada satu lagi?”
#Sheeesshh
Angin masuk dari celah pintu.. Pertanyaan Abigail sekejap membuat suasana itu berubah. Mr. Clovis melemahkan cengkeramannya lalu menuju ke meja kantornya.
“Oh? Buku ini? Nah…. Aku membeli buku ini bukan untuk my dearest.” Mr. Clovis mengangkat dan membolak – balikkan buku yang berwarna crimson gelap itu.
“O-oh… untuk membantu pekerjaan anda, begitu Mr. Clovis?” Abigail dengan gugup membalas seadanya.
Mr. Clovis mengabaikan basa – basinya lalu mendekati Abigail, sekali lagi. Kali ini perasaan Abigail mengatakan bahwa orang ini sangat serius.
“Hey, Abi, maukah kamu menjadi suster untuk my dearest?”
Abigail sekejap menumbuhkan rasa cemas. Itu adalah pertanyaan yang paling ia hindari. Bila itu telah diucapkan, Abigail harus berusaha sekuat pikiran kreatifnya untuk menolak dengan cara yang paling halus. Apalagi… setelah mendengar arahan Susan jauh hari sebelumnya, dan peringatan dari Madame Murtlock.
Untuk Abigail, rasa cemas itu adalah takut membuat Mr. Clovis kecewa.
“A-anu… s-s-s-s-say-saya… nggak bisa memutuskan itu… Mr Clovis. Sayang sekali-”
Mr. Clovis menyandar bokongnya di atas meja kantor. “Aku rasa Madame Murtlock mengatakan sesuatu yang nggak penting padamu?”
“E-eeh? Ng-nggak, nggak, nggak! I-ini.. nggak ada hubungannya dengan Madame Murtlock, loh! Hehehe…” Abigail menolak namun wajahnya barangkali dapat dibaca oleh Mr. Clovis dengan mudah.
Mr Clovis diam sejenak sambil memegangi dagunya. Lekukan bibirnya yang mirip huruf “U” kini berada di arah sebaliknya. Sedangkan Abigail… sedang diunjung tanduk nasibnya.
#Clack!
Mr. Clovis menjentiikan jarinya. Dalam sekejap, bibirnya kembali seperti semula, membentuk huruf “U”.
“Aha! Kalau begitu, aku akan langsung bilang ke Madame Murtlock!”
Sesaat Mr. Clovis menurunkan bokongnya dan langsung berjalan menuju pintu keluar. Namun, Abigail menahan dadanya.
“A-anu… sa-saya saja yang akan bi-bilang, bagaimana!?”
“Hm? Kalau nggak berhasil?” Mr. Clovis seolah nggak mau hasilnya tidak sesuai harapan.
Abigail tanpa berpikir panjang, dengan spontan berkomitmen, “S-Saya akan membuat itu ber-berhasil!”
Abigail hanya tidak mau meninggalkan masalah pada seniornya apalagi Madame Murtlock yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.
Mr. Clovis berjalan ringan menyamping. Sesaat itu membuat Abigail khawatir, tapi ternyata Mr. Clovis mengarah ke kulkas. Mr. Clovis membuka kulkas dan mengambil sesuatu, lalu kembali pada Abigail.
“Nah, ini hadiah untukmu, Abi. Tolong usahakan yah!?” Mr. Clovis memberi sebuah kresek.
“O-oh… terima kasih.” Abigail menerima pemberian Mr. Clovis. Rasa cemasnya kini turun jadi nol. Saat meraba isi kresek itu, Abigail menyadari suatu lekukan khas.
(Sebuah botol? Kok familiar ya?)
Mr. Clovis masih dengan wajah senyumnya, sementara Abigail berbalik arah sambil membuka isi kresek itu.
Botol hitam wine, dengan kain bertekstur bludru sebagai media keterangan. Tercap di kaca botol wine itu “Estelle Distillery” dan tulisan “Pinot Chardonnay” berwarna emas mengkilat.
Dalam sekejap, tulisan itu mengetarkan alisnya, mulut Abigail menganga agak sulit ditahan. Mata Abigail terbelalak saking kagetnya.
(WOOOOAHHH!!! Ga-gajiku setahun, nih!!!!) Abigail menebak seru di benak pikirnya.
“A-A-A-ANDA YAKIN SOAL INI!?” Abigail spontan mengeraskan nadanya saking kagetnya. Ia terlalu terbawa semangat.
“Nah, nah, aku nggak pernah menarik pemberianku, sih.” Mr. Clovis menggaruk kepalanya dengan santai.
“Bo-boleh saya tanya… berapa hargamya?”
Mr. Clovis mengacungkan jari telunjuknya.
“Sepuluh ribu?” dengan percaya diri, Abigail menebak seolah pasti.
(Wah kalau sepuluh ribu aku bisa punya sisa setengah setahun sih! Tapi… aku harus tanya bagaimana ia bisa dapatkan promo!)
“Eh? Ya nggaklah. Seratus ribu pounds.”
Mendengar itu, kedua mata Abigail seperti mata ikan mati.
(TI-TIGA TAHUNNNN GAJIII SIALLLL!!!!!)
ns 15.158.61.6da2