Inggris di malam cerah...
Kota selalu mendebarkan kelihatannya, khususnya di hari jumat. Mungkin karena besoknya sabtu dan kebanyakan perusahaan libur di hari itu? Yah, barangkali. Aku juga libur di hari itu. Tapi, kendatipun libur, aku selalu susah untuk tidur. Kukira jadi manajer pemasaran lebih senggang daripada sales dulu, eh ternyata lebih sibuk.
Setiap kali menenggalamkan kepalaku sejenak, aku selalu gelisah memikirkan aktivitas yang kukerjakan. Walau, pada kenyatannya aktivitas itu telah kukerjakan dan ternyata tidak menjadi masalah di keeseokan harinya. Kata temanku, Nona Vernicol, aku hanya overthinking. Barangkali memang iya, memang sejak SD aku ini begini.
Satu per satu sarannya telah kulakukan. Dari A sampai Z, semuanya tidak terlewatkan satu pun.
Pertama, nonton film yang membosankan. Itu hanya berlangsung selama 10 menit, laluaku matikan TVku dan tambah bete.
Kedua, nonton film yang menegangkan dan rumit. Itu malah membuatku kepikiran untuk memecahkan kerumitan pada film itu. Endingnya, susah tidur.
Ketiga, minum susu hangat sebelum tidur. pada akhirnya itu membuatku mules di malam hari.
Keempat, mengenyangkan perut. Awalnya ada gejala mengantuk, tapi itu berakhir nyaris sama pada cara ketiga. Bedanya, ketika aku di toilet, justru tambah banyak pikiran dan inspirasi yang bikin kepalaku tidak tenang tidur. Meski poop sudah keluar, pikiran itu malah semakin terpatri dan semakin banyak.
Kelima, berolah-raga di malam hari. Nah, aku telah mendaftar di gym terdekat untuk sebulan. Dan itu hanya berakhir seminggu, tubuhku pegal dan sakit semua. Saat sakit, aku memang bisa tidur nyenyak. Masalahnya, apakah aku harus sakit dulu kalau ingin tidur nyenyak?
Keenam, ini sebenarnya paling tidak aku suka. Mengonsumsi obat tidur. Jujur dan legit, memang bisa mengantuk. Hanya saja ini hanya membuatku terbangun kesiangan. Percayalah, aku seperti mayat yang mati sementara selama 16 jam. Sekali saja kupakai, kalau tidak mau disepak keluar dari perusahaan.
Ketujuh, membaca novel sebelum tidur. Aku pernah membeli sekitar 6 judul sekaligus. Membaca novel memang menenangkan, hanya saja 6 judul itu berakhir dalam semalam. Artinya, aku yang mencari cara agar tidur tenang dan nyenak ternyata malah terjaga semalaman karena novel. Walau aku sebenarnya menikmati setiap kata dan bahasa yang tertuang pada novel.
Kedelapan, mencoba menghitung domba di dalam pikiran. Aku sedikit meragukan pada awalnya, tapi-well, keraguan itu benar. Menghitung berhubungan dengan angka, sedangkan pekerjaanku juga berkaitan dengan angka. Karena aku orang yang efektif dan efisien, maka daripada menghitung domba imajinasi, aku malah kembali merefleksikan hitungan angka yang berkaitan dengan pekerjaanku.
Kesembilan. minum kopi. Ini sebenarnya saranku. Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi aku mulai melihat diriku sendiri yang anomali begini, barangkali itu bisa membantu. Normalnya kopi memang mengandung kafein. Barangkali kafein bekerja sebagai penenang untuk orang sepertiku, barangkali. Well, ternyata itu memang bodoh. Aku hanya terjaga semalaman, sedangkan paginya pusing sehingga aku izin tidak bekerja.
Kesepuluh, adalah saran terakhir dari Nona Vernicol, karena dia mengaku kehabisan cara. Yaitu jalan - jalan di kota. Seperti yang kulakukan saat ini.
Tidak ada hal spesifik sih. Malahan aku seperti orang kesasar, terlepas dari fakta telah tinggal selama 20 tahun di kota ini. Paling sekedar nonton pemusik jazz jalanan, ke toko buku untuk beli novel lain, atau makan fast food kalau aku ingin.
Tapi, ada satu hal yang menarik minatku...
Ignacio The Living Art - Unique and Mythical Piece of Art
Tulisan itu menempel di plang kayu yang diukir dengan cantik. Itu mengarahkanku berbelok sedikit dari restoran fast food cumi tepung yang biasa kubeli, ke gang kecil. Sebuah studio kecil Tempatnya agak asing untukku sebagai seorang yang tidak pernah keluyuran di perkotaan selain karena sebuah saran, apalagi ke gang kecil seperti ini.
Tiga blok kulewati Sesampainya aku menghadap di sebuah pintu kayu dengan ukiran rumit sama persis seperti plang yang kulihat tadi. Pintu itu terbuka dengan sendirinya.
'O-oh... otomatis kah? ' pikirku. Biasanya pintu otomatis yang kukenal adalah saat di mall. Pintu kaca pada umumnya, yang terbuka dengan kedua bergeser ke samping kanan dan kiri, atau model engsel putar. Tapi memang pintu semacam itu dilengkapi sensor inframerah yang biasa bisa dilihat. Nah, di pintu ini aku tak melihat itu.
Aku berlagak bodoh amat dan langsung masuk. Ya ampun lagipula kenapa harus juga dipeributkan? Bisa saja konsep inframerah tidak hanya dipajang untuk umum, kan?
Seketika aku masuk, aku langsung dihadapkan dengan tangga ke bawah. Yang berarti, studio itu berada di bawah. Di sekitar tangga hanya terdapat lampu kuning dinding yang agak redup. Suasana yang menenangkan.
Tak lama, aku dipertemukan di ruang resepsionis. Ruangan itu cukup unik, hanya ada sebuah meja lengkap dengan pembayaran via kartu kredit atau debit, satu komputer dan satu orang resepsionis. Ada dua pintu ke kanan dan kiri. Pintu ke kanan dilapisi tembok berwarna putih, sementara yang kiri dilapisi tembok berwarna kuning keemasan. Kedua warna di tembok itu dipisahkan meja dan sang resepsionis itu sendiri.
Wanita resepsionis itu melambaikan tangannya seperti seorang guide tour. "Sebelah kanan untuk lukisan, sebelah kiri untuk ukiran."
tambahnya dengan senyuman lugu, "Silahkan tuan, ada yang bisa saya bantu?" Nadanya lembut untuk sebuah wajah yang datar. Bahkan awalnya dia ini kukira patung loh.
"Ah-saya tidak terlalu paham-um.... mungkin hanya kebetulan," Aku memang spontan saja ke tempat ini. Aku menggaruk kepalaku, karena aku memang tidak tahu kenapa aku ke tempat ini.
"Ah, kalau begitu, bagaimana dengan melihat - lihat lukisan, tuan?' Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah kiri. Kiri dari sang resepsionis, adalah posisi kananku.
"Well-um, begini... saya tidak terlalu paham seni-sebenarnya...."
Ia pun berdiri.
"Lukisan di Studio Ignacio punya nilai seni yang tinggi. Bahkan, setiap satu lukisan tersimpan pada rak kaca khusus anti peluru sehingga tidak mudah dicuri. Lukisan ynag dijual di studio ini punya banyak manfaat. Seperti misalnya susah tidur,"
Karena keramahannya, masuklah aku ke pintu sebelah kanan, yang dilapisi tembok berwarna putih. Sang resepsionis itu hanya mengantar sampai di depan pintu. Aku berjalan ke lorong sempit dengna lampu redup kuning yang sama ketika aku menuruni tangga sebelumnya. Lorong ini sekitar sepuluh langkah. Hanya saja, lorong ini bertembok dengan lapisan karpet tebal yang empuk
'Wanita yang ramah....' pikirku awalnya. Namun, 'Eh sebentar, kenapa dia bisa tahu kalau aku susah tidur?' sejenak aku berpikir lagi. Lalu aku berpikir bodoh amat. Yah, itu karena orang kekurangan tidurkan bisa saja terlihat dari wilayah sekitar matanya menghitam? Atau gaya bicara sepertiku tadi yang agak lemas dan bodoh amat. Bisa dipahami, sih.
Sesampainya setelah membuka pintu kaca buram yang tebal, tampak studio itu cukup kecil. Meski kecil tapi cukup leluasa karena yang dipajang hanya lima lukisan saja. Seperti yang dikatakan Nona Resepsionis tadi kalau lukisan berdiam di dalam etalase kaca yang tebal dan keras.
"Selamat malam, sir!"
Satu pria sekitar 55 tahunan memakai tuxedo hitam dengan tongkat mirip yang dipakai tuan kumis di mainan monopoly. Pria itu rapi dan necis, dengan monoclenya bahkan itu tampak seperti jutawan yang berintelektual tinggi.
"Selamat malam juga, sir..." balasku. Namun aku spontan memalingkan pandanganku terhadap satu wanita pekerja yang mematung dan melihat sebuah lukisan.
"Kemari tuan, lukisan akan memilih pembeli dengan sendirinya!"
Pria itu mempersilahkanku. Lima etalase kaca yang kokoh itu berdiri berjejer seperti lima pilar di depan dan bersandar pada ujung tembok karpet. Sementara wanita yang kupikir adalah pembeli, sedang berdiri di paling pojok kanan.
Lukisan - lukisan yang terpampang memang unik dan belum pernah sekalipun dipajang di museum kesenian, kata pria necis itu. Walau aku sendiri belum bisa memastikan.
Tapi setelah beberapa detik aku berjalan, aku terpukau dengan salah satunya. Seperti lukisan begambar sebuah grand piano lengkap dengan tempat duduk, sheet not balok tanpa pemainnya. Kanvasnya agak menguning dan cocok dengan apa kata pria itu yang bahwa lukisan ini telah berumur dua ratus tahunan.
Lukisan itu sebenarnya cukup sederhana. Hanya grand piano hitam sederhana, kursi pemain, dan sheet not balok. Tapi entah kenapa aku seolah akan diperdengarkan musik - musik klasik era mozart, beethoven atau Tchaikovsky.
"Anda memang bisa mendengarkan musik itu," ucapnya.
Wow dia bisa membaca pikiranku? Well, sejatinya pengalamanku sebagai sales yang bahkan di kelas manajer saat ini bahkan tidak bisa menebak seakurat itu. Tapi memang, rekanku sendiri pernah bilang, semakin banyak pengalaman maka semakin bisa membaca gerak - gerik pembeli sampai ke tingkat pikiran mereka.
'Seolah bisa mendengarkan musik'. seharusnya begitu.
"Berapa lukisan ini?" aku langsung to the point pembahasan. Aku sambil memicingkan mataku melihat keterangan pada etalase itu. "Um... The Ivory...?"
"Ah, sentuhan yang tidak mengecewakan. The Ivory cocok dengan orang - orang yang susah tidur dan sering menggelungkan pikiran mereka terhadap kesibukkan. Pasang di kamar anda dan jangan lupa nyalakan lilin merah,"
"Hah? Lilin merah?" aku terhenti sesaat. Well, aku mungkin bisa mengerti bila di suasana gelap dengan sebuah lilin, maka lukisan seperti ini seolah memancarkan keartistikannya. Tapi kenapa harus lilin merah?
"Ya, anda bisa taruh lilin merah di mana saja asal masih di satu rumah. Sentuhan seni toko kami punya 'nilai tersendiri' yang anda harus cari tahu. Setiap orang akan menerima kesan yang berbeda. Tapi ketika anda tertarik dengan suatu lukisan, maka lukisan tersebut memang telah memilih anda, sir!" jelas pria itu dengan ramah dan detil. Ia bahkan terlihat antusias dan bahkan tidak keberatan kalau aku bertanya banyak sekalipun.
'Nilai tersendiri? Hm....'
"The Ivory, sentuhan tangan Martinez De Ramone, di tahun 1888, seorang pianis asal spanyol yang merantau ke inggris. Karirnya meningkat drastis saat ia berhasil memainkan berbagai musik klasik dengan kesempurnaan 1 : 1. Dia bermain tidak mengaransemen sedikitpun atau dia bermain musik dengan kesempurnaan. Suatu waktu ketika di penghujung umurnya, kedua jari mulai lemah dan kehilangan temponya memainkan piano. Karena hal itu, katanya lagu - lagu klasik itu selalu terdengar di telinganya dan membuatnya tidak bisa tidur. Harus bermain piano untuk menghindari itu, masalahnya jari - jarinya sudah tidak kuat. Sebagai gantinya, ia melukis sebuah piano yang menggambarkan perasaannya pada musik yang dia ingat di kepalanya...." Pria necis itu bercerita sedikit.
"Sang pemusik yang berakhir dengan melukis? Sangat unik. Jadi berapa?"
"350,000 pounds, dengan sertifikat garansi selamanya dari Ignacio Studio,"
'Sudah kuduga harga selangit!' aku mengenyitkan keningku dan berpikir.
"Sertifikat garansi selamanya? Untuk apa?"
"Kami akan menerima lukisan itu bila sewaktu - waktu anda ingin menjualnya. Tentu harga yang kami tawarkan minimal adalah 90% dari yang anda beli. Tapi, anda boleh menjual sewaktu - waktu, karena toko kami setiap harinya punya harga fluktuatif. Pertimbangkan itu untuk investasi saya rasa tidak ada salahnya?"
Benar - benar karakter yang sangat berpengalaman dalam penjualan. Aku memang tidak boleh meremehkan pria necis ini. Aku mengatakan padanya untuk berpikir sejenak sambil melihat - lihat lagi detil lukisan The Ivory yang menarik minatku. Yah, aku juga butuh meluangkan waktu untuk berpikir sejenak karena 350,000 pounds bukan uang sedikit. Pria necis itu meninggalkanku dan beralih ke wanita yang di pojok kanan, ternyata seorang pembeli juga.
'Aku ingin beli!' pikirku. Semakin lama dipandang, semakin besar keinginan untuk membeli lukisan itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, itu hanya luisan grand piano biasa dengan kanvas putih yang telah menguning karena telah berumur.
Tidak lama tanpa pikir panjang, aku langsung check out pesanan. Karena pria necis itu harus menganggpku lebih senior, makanya aku bisa dapat seharga 300,000 pounds saja. Kubayar lunas melalui meja resepsionis.
"Ah, sir, yang anda harus pahami adalah gunakan lilin merah itu sekali sehari. Batas toleransi hanya 5 kali kesalahan berturut - turut selama lima hari," ucapnya.
Lukisan itu kini telah dipacking dan hndak dikirimkan ke rumahku.
"Hah? Kenapa begitu? Bukannya lilin itu hanya untuk dekorasi?"
"Kami ini penjual The Living Art, sir! Sebuah seni yang hidup tergantung bagaimana anda merawat dan memandang mereka! Yang jelas, ketika lukisan itu memilih anda, sebenarnya anda pasti tidak masalah dengan itu," sahut pria itu masih dengan antusiasnya.
Lagi - lagi kata - kata itu. Well, yang jelas kalau aku tidak akan mendapat masalah rasanya sudah cukup.
"Ah, saya mengerti, sir," balasku sebelum pergi.
***
Tiga hari setelah malam itu, barulah aku paham. Aku bisa tertidur nyenyak. Aku bisa mengerti kenapa ini harganya mahal.
Living Art memang seni yang unik. Sesuai anjuran aku menyalakan lilin merah di malam hari. Lukisan itu memang tampak sangat indah. di kamar. Bahkan, ketika tidur, aku bermimpi masuk dalam suatu hall besar dengan pemusik - pemusik klasik yang memamerkan sheet balok mereka ke khalayak umum. Sementara kau berada di bangku terdepan , dengan jelas bisa melihat detil wajah sang pemusik itu. Baik Mozart, Beethoven, maupun Tcaikovsky! Pokoknya, setiap malam hari, mimpi ini terasa kenyataan. Aku seolah kembali di jaman era klasik.
Tiga hari berlarut seminggu...
Seminggu empat kali, tidak terasa sebulan...
Sebulan berjalan di bulan ke enam....
Temanku menyadari perubahan ekspresiku yang begitu ceria dan bertenaga. Aku tak menyangka ketika bisa tenang tidur setiap malam, performa pekerjaanku meningkat drastis. Alhasil, aku ditunjuk untuk perjalanan dinas ke jerman selama seminggu.
Tapi sebelumnya, aku telah akrab dengan Nona Vernicol yang kini jadi kekasihku. Dia yang selama ini peduli dengan masalahku, membantuku, dan selalu memberiku nasehat. Pantas untuknya kalau aku mulai jatuh cinta.
Masalahnya adalah, Nona Vernicol, seniorku dua tahun lebih tua, juga pada akhirnya mengidap gangguan tidur yang telah kulalui beberapa bulan lalu. Cara yang ia sarankan padaku waktu itu telah diambilnya dan juga tak berhasil. Padahal sebelumnya, selama dia sempat untuk tidur, maka dia akan tidur. Tidak peduli siang, malam, lama atau pun sebentar, dia harus tidur. Nona Vernicol percaya kalau tdiur dapat menjernihkan otak. Yang itu dapat membuatnya fokus bekerja dengan maksimal.
"Bagaimana kalau kamu menginap di rumahku, sayang? Kau mungkin bisa menghemat biaya apartemenmu,"
"Hah? Apa pengaruhnya dengan penyakit susah tidur yang kualami?"
Aku sempat lupa memberi tahu tentang lukisan itu. Aku mengatakan padanya bahwa dengan lilin merah itu, dirinya bisa menikmati tidur nyenyak dengan mimpi di sebuah hall besar pemusik - pemusik era klasik.
Awalnya dia ragu, namun ketika orang sepertiku, yang telah bertahun - tahun susah tidur membuat wajahku terlihat lelah,kemudian perubahan di ekspresi wajahku terlihat lebih baik, Nona Vernicol tidak punya pilihan lain.
Sehari setelah kepergianku, Nona Vernicol memberiku kabar bahwa saranku sangat mujarab. Dengan melakukan semua yang kukatakan, ia persis mengalami mimpi di hall besar mendengarkan sekaligus menyaksikan pemusik era klasik. Ia bahkan melakukan video call denganku hanya mengungkapkan betapa menaknjubkannya penampilan Beethoven dengan lagu "Kreutzer" yang dibawanya. Bahkan, Nona Vernicol saking cintanya dengan mimpi itu, ia berniat melakukan itu setiap hari.
12 oktober....
Hari demi hari berlalu, setiap harinya ia selalu memberiku kabar menakjubkan. Kecuali dua hari yang lalu ia sama sekali belum memberi kabar. Aku sempat khawatir, tapi barangkali dia memang sibuk? Well hari ini aku putuskan untuk melihatnya dengan dua mata kepalaku sendiri.
Seketika setelah dari bandara london, mengambil koperku, aku langsung cepat - cepat pulang ke rumah. Hal yang memicu kekhawatirkanku lebih adalah, aku mencium bau busuk. Bukan hanya itu, aku bahkan melihat lalat berterbangan dekat ruang tamu. Aku segera naik ke atas, karena biasanya Nona Vernicol tidur di lantai atas. Dan benar saja. Bahkan aku harus menggunakan penutup hidung ketika masuk.
Dengan kaget , aku dapati kekasihku, Nona Vernikol tak sadarkan diri dengan keadaan naas. Kepalanya pecah, sementara terdapat banyak bekas saus merah mengental di tembok dekat lukisan itu. Saus merah kental itu berceceran di sekitar lukisan, mengalir menetes ke lantai.. Bahkan ada juga yang terlihat mengering di atas meja dekat lampu tidur.
Tanpa pikir panjang, aku melapor ambulan dan polisi.
Dengan keadaan bingung aku mondar - mandir, hingga menginjak sesuatu yang telah digenangi darahnya. Sebuah kertas catatan, ditulis dengan tinta merah yang sama seperti yang mengalir di lantai/
'MUSIK ITU TERUS BERPUTAR DI KEPALAKU! BAGAIMANA AKU BISA MENGGAMBAR PIANO KALAU TIDAK ADA KANVAS!? KEPALAKU MAU PECAH!"
Aku sesaat menoleh ke cairan mengering di lampu tidur. Ada sekitar sepuluh lelehan yang mengering. Kukira apa, ternyata itu hanyalah lilin. Tapi lilin itu membuatku sadar atas kebodohanku.
Aku bertekuk lutut, menangis terisak -- isak....
'Andai kata aku memberitahukannya dengan jelas...'
ns 15.158.61.23da2