Merasakan aura yang tidak nyaman itu, siapapun yang diposisikan sebagai mangsa pasti menyadari sesuatu.
Julia Chalice, menengok kebelakang. Kedua mata merah Verlette membuatnya melayang, namun lesat tangan Verlette mendahului.
“J-jangan sakiti aku!” Kedua tangannya tertahan rantai, ia gagal melindungi wajahnya.
Verlette meraih kerahnya, Julia Chalice ketakutan sampai mati.
Namun ternyata…
“Katakan… padaku, Julia, aku harus bagaimana?” ucap Verlette memohon.
#Dubdubdub!
Langit – langit terdengar gaduh seolah membantu memecah suasana tegang yang baru saja terjadi.
“Mau kemana kamu, jerry! Sapu ini baru hanya untukmu!” terdengar samar – samar Madame Murtlock sedang berurusan dengan sesuatu.
Verlette dan Julia Chalice spontan mendongak ke atas.
“Tikus?”
“Yeah… mungkin?”
Mereka tertawa kecil. Julia Chalice lega karena itu hanya salah paham. Terutama mata merah Verlette memang agak sedikit memberi tekanan.
Mereka berdua mengobrol, Verlette mendapat teman baru.
“Hm… dulu aku pernah jualan sweeter, topi, syal, dan sarung tangan rajut. Itu dulu… saat aku menopang biaya kuliah….” Julia Chalice memegangi kerah sweeter, matanya memandang ke bawah.
“Apakah… itu berhasil?”
“Nggak begitu laris, tapi…” Julia Chalice mengangkat bahunya, tersenyum kecil. “Hey, sekarang aku ini sarjana,”
Verlette mengangguk kecil, “Sarjana Julia…”
“Ya, ya itulah aku di masa lalu, Sekarang…” Julia Chalice mengangkat dua tangannya. “Seperti tahanan….”
Verlette diam sesaat, memandangi rantai dan borgol Julia Chalice. Verlette mulai berpikir bahwa borgol dan rantai itu sedikit berlebihan.
“Jadi… apa saran… sarjana Julia padaku…?”
#Hah… (sighed)
Julia Chalice menghela nafas. Kedua tangannya mencoba merogoh saku celana kirinya dengan sedikit kesulitan.
“Kakimu gatal… sarjana Julia?”
“Kelihatan begitu olehmu?”
Dengan susah payah, Julia Chalice mengeluarkan benda berbentuk oval dengan diameter sekitar 6 cm. Manik – manik berwarna merah, kilatnya nyaris mirip kedua mata Verlette.
“Manik – manik?”
“Nah, hanya untuk contoh. Kalau hasil rajutanmu punya manik – manik, mereka akan terlihat lebih memikat dan hidup,” tambahnya. “Sini tanganmu,”
Verlette mengulurkan kedua tangannya. Julia Chalice menempatkan benda oval merah itu di atasnya.
“Woo~ manik – manik….”
“Ah, yang ini batu garnet legit!”
Kedua alisnya naik, kata Verlette, “Benarkah…? Kenapa? Kenapa… kamu ngasih… benda mahal ini…?” Verlette kaget.
“Itu… sebenarnya harta terakhirku, tolong buatlah rajutan untukmu sendiri dengan permata itu,” katanya pasrah, Julia Chalice kembali memegang sweeter rajutan Verlette. “Semuanya sudah hancur! Aku hanya akan menua atau mungkin mati di tempat ini. Maksudku, semuanya sudah habis! Harta, teman, relasi, kepercayaan, bisnis, impian, semuanya!” Julia Chalice tersenyum, namun roman mukanya tidak terlihat bahagia.
Mendengar itu, Verlette merasa sedih. Verlette kemudian mengambil senter kecil dari meja Clovis. Cahaya senter itu ditaruh di bawah permata merah itu.
“Indahnya....”
Julia Chalice menoleh kecil.
“Aku biasanya juga melakukan itu, nah, saat merindukan bisnisku dulu,”
Hanya sebentar, senter itu dimatikan dan ditaruh kembali ke tempatnya.
“Tapi… kenapa kamu ngasih ini.. padaku? Bukannya… Abigail lebih baik?”
Julia Chalice menggaruk kepalanya. “Barangkali? Tapi saat ini aku nggak memakai referensi itu?”
Verlette masih menatapnya seolah kurang puas dengan jawaban yang terdengar seadanya itu.
“Aku bersungguh – sungguh, kok! Nggak ada alasan khusus. Aku hanya ingin permata itu menemukan tubuhnya agar lebih indah?”
Verlette tetap diam saja.
#Hah… (sighed)
“Kamu… Verlette?”
“Oh… Seron Verlette. Panggil sesukamu…”
“Nah, Seron, hm…” Julia Chalice menoleh ke kanan, kiri, atas dan bawah mencari sesuatu. Hingga pada titik tertentu, pojok kiri atas meja Clovis terdapat botol kecil berwarna hijau. “Bisa tolong ambilkan itu?”
“Oke….”
Tanpa ragu, Verlette mengambilkan botol hijau itu, dan menaruhnya ke atas drawer sebelah kasur pasien Julia Chalice.
Julia Chalice mengocok botol itu dengan kedua tangannya yang diborgol. Cukup kencang namun berhati – hati.
“Apa asyiknya main gelembung?”
“Hm? Apa asyiknya merajut terus menerus?” Julia Chalice membalikkan sindiran itu pada Verlette.
“Hm… cukup mudah dimengerti…” Verlette memegang dagunya berpikir kecil.
Julia Chalice berpaling padanya, “Nah, nggak usah serius begitu, dong! Menjadi gila itu berarti bebas melakukan apapun tanpa malu, ‘kan?” Ia tersenyum lugu seperti anak kecil, seolah menerima kondisinya.
Setidaknya itulah yang dipikirkan Verlette.
Tutup botol hijau itu dibuka, dan Julia Chalice mendekatkan bibirnya pada stik berujung lingkaran bolong di tengahnya.
#Sheeusshh!
Julia Chalice meniup perlahan…
Hingga gelembung itu berukuran 6 cm, meletus di langit – langit dekat baling – baling kipas angin.
“Sir Bobble adalah mainanku masa kecil! Aku nggak bisa melupakan kenangan bersama ayah! Gelembung ini mencerminkan seperti kehidupan… seseorang….” Julia Chalice mencelupkan stik itu sambil diaduk kecil, lalu ia meniup lagi.
Hingga berkali – kali, banyak gelembung yang telah pecah.
Verlette diam… lalu memandangi permata garnet itu sekali lagi. Lalu memandangi sesosok Julia Chalice yang cenderung diam dengan raut muka nelangsa, kini tersenyum lugu seperti anak kecil….
Lantas, Verlette melihat gelembung – gelembung itu terbang tinggi…
Dan pecah.
“Sama… seperti gelembung itu… Sarjana Julia?”
Julia Chalice masih meniup gelembung. Senyumnya berangsur – angsur meredup.
“Sama… seperti gelembung itu,”
Apakah Julia Chalice benar – benar ikhlas?
Verlette merasa bimbang dengan keputusannya. Meskipun, siapapun mengerti bahwa wajahnya hanya datar tak berekspresi. Namun tidak siapapun mengerti apa yang dirasakan benaknya.
Verlette mungkin tidak berhak mengungkapkan itu, tapi…
Julia Chalice sangat kesepian, lebih sepi dari apapun di kamar sunyi nomor 33 ini.
.
.
#Kreak, Ngeek~
Pintu terbuka yang suaranya memecah kesunyian. Wajah senyum Mr. Clovis masuk lebih dulu.
“Woya? Tumben sekali, Mistress Julia Chalice?”
Julia Chalice kembali pada mode diam seperti biasanya. Dengan pandangan kosong menatap Mr. Clovis, lalu kembali memainkan gelembung ‘Sir Bobble’ tanpa gangguan.
“My Dearest?”
Mr. Clovis berpaling pada kekasihnya yang kini memandangnya dengan tajam dan bermuka cemberut. Kedua matanya tampak menyala merah terkena bayangan yang terpancarkan dari sinar lentera redup.
“Kita akan melakukannya… Clovis…!” perintah Verlette dengan nada datar. Namun kekasihnya, Clovis, tahu bahwa itu sebuah komitmen.
#Hah… (sighed)
“Nggak sabaran sekali, kamu ini…. Nah, aku juga sudah melakukan PRku,”
Mr. Clovis menghela nafas sejenak lalu menutup kembali pintu kamar. Kedua tangannya dipenuhi barang bawaan, satunya kresek polos dan yang satunya tas terbuat dari kardus pink.
Mr. Clovis mengosongkan isi kresek polos putih yang ada di lengan kirinya. Ia membuka kulkas, tampak beberapa cemilan ringan dan sebuah botol kaca dan kardus. Ia memasukkan satu – satu.
Lantas…
“Ah! Aku mengerti… my dearest dapat teman baru! Bukannya itu peningkatan?” Mr. Clovis mendekati kekasihnya dan menurunkan isi tas kardus berwarna pink, sebuah toples tabung kecil plastik mika berisi cemilan bertabur gula halus putih. “Aku menemukan spot toko biskuit yang baru – baru ini laris manis! Mereka barusan buka cabang loh!”
Verlette yang penasaran, membuka isi toples itu. Kue kering berbentuk bulan sabit dengan taburan gula halus. Mr. Clovis tahu kalau kekasihnya bukannya tidak suka yang manis – manis. Verlette hanya kemakan omongan Susan yang waktu itu bilang bahwa coklat bisa membuat wajah jelek. Agar Susan bisa menikmati coklat untuk dirinya sendiri. Jadi, Verlette menghindari coklat.
“Kue bulan… *munch* kamu… *munch* sejujurnya… ini tidak diperlukan… *munch*”
Meski Verlette berkata begitu, kenyataannya adalah sebaliknya. Mr. Clovis hanya senyum ramah seperti biasanya.
“Orang yang nggak suka Vanillekipferl (kue putri salju (indo) / kue setengah bulan {eropa}) pasti hidup di dunia lain, my dearest,”
Namun…
Mr. Clovis sadar akan kilauan merah yang menumpang di paha Verlette.
“Permisi, My dearest.” Mr. Clovis mengambil permata garnet merah itu. Ia segera mengambil senter kecil dari mejanya. Setelah menerawang dengan bantuan cahaya senter mungilnya, Mr. Clovis kembali ke Verlette untuk meminta penjelasan soal itu.
“Inilah PR yang kukerjakan,” sahut Verlette.
Verlette menyuruh Clovis untuk mendekatkan telinganya. Verlette menjelaskan semuanya tentang batu garnet itu. Kedua alis Clovis terangkat.
“Sangat menyentuh sekali, Mistress Chalice! Sangat menyentuh!” Mr. Clovis semringat sampil bertepuk tangan kecil. Ia kemudian mendekati Julia Chalice yang masih bermain gelembung, sendirian.
Melihat Clovis mendekat, Julia Chalice merasa panik. Ia muak dengan ekspresi senyuman, apalagi yang satu itu terasa aneh.
#Kratang! Gebruk!
Julia Chalice terjatuh terbaring nyaris membenturkan kepalanya. Sebagai gantinya, kedua tangannya yang diborgol dan dirantai ikut menahan membuatnya sedikit nyeri.
“J-jangan! Jangan mendekat!” Julia Chalice terpojok. Bahkan botol ‘sir bobble’ itu ikut tumpah ke lantai yang dingin.
“Ya ampun… padahal aku hanya ingin berterima kasih loh…”
“Maaf, ya….” Mr. Clovis melesatkan kilat tangan kirinya dilapisi sapu tangan siap membungkam mulut Julia Chalice.
“Mmmh! Mmm!” Julia Chalice ketakutan. Ia teringat – ingat dengan kondisi mengenaskannya saat babak belur.
Lengan Mr. Clovis lainnya yang masih memegang tas kerdus pink bergerak memaksa membelakangi Julia Chalice. Lalu bergerak ke bawah menempel pada dua engsel kaki Julia Chalice. Dengan sekuat tenaga, Mr. Clovis mengangkat kembali wanita itu ke kasurnya.
“Mmmmhh… huah!” Mr. Clovis melepas tangannya. “Grrsstt! Kamu… kamu akan menyesalinya!” Julia Chalice, menatap buas Mr. Clovis.
Mata mengeluarkan air mata kebencian, penuh dendam, amarah, ketidakterimaan, bahkan motif untuk…
“BUNUH! AKU PASI MEMBUNUHMU, SIALAN!”
Sebaliknya…
Bukannya ketakutan, Mr. Clovis malah kegirangan. Wajahnya memerah, nafasnya tersengal – sengal seperti orang mesum. Mr. Clovis bergairah.
“Itu dia! Itu dia, mistress! NYEHAHAHAHA!”
Saat itulah…
Julia Chalice melihat senyuman yang sebenar – benarnya, juga alasan mengapa tidak ada orang yang datang…
Bahagia, gairah, orgasme, dan aneh…
Senyuman iblis!
(J-jangan bilang!? T-tembok karpet itu adalah!?) pikir Julia Chalice panik.
Sebelum Julia Chalice berbicara terlalu keras, Mr. Clovis dengan sapu tangan tadi diikatkan dan membungkamnya lagi. Kedua tangan Julia Chalice yang telah diborgol memudahkan Mr. Clovis menggengam dengan hanya tangan kirinya.
Julia Chalice berusaha memberontak, namun Mr. Clovis lebih cerdas. Mr. Clovis berjanji akan membuat wanita itu pingsan selamanya bila terus menyulitkannya. Namun, Julia Chalice yang tidak takut mati, tetap terus memberontak dengan kaki, tubuhnya, atau gerakan acak lainnya.
Sampai…
“Julia… tenanglah sebentar. Clovis… akan menyiksamu bila kamu… terus begitu…” ucap Verlette santai, sambil memakan Vanillakipferl dengan lahap. Bahkan bekas gula halus menempel di bibirnya.
“Mmhampma mmsudmmny mni!?” (Apa maksudnya ini?) Julia Chalice menyentak namun mulutnya dibungkam.
Verlette kemudian menutup kembali toples itu, dan ditaruhnya di drawer terdekat.
“Kami hanya… orang gila penikmat cerita – cerita aneh….” Verlette menikmati sisa – sisa gula halus dengan mengecup jari jemarinya.
“Maukah kamu… mengubah kisahmu? Atau… pasrah mati di tangan kami?”
Verlette, dengan sekejap berada di hadapan Julia Chalice. Dengan mata merahnya yang menyala berdarah - darah, mengeluarkan aura layu dan mencekam!
TO BE CONTINUED
ns 18.68.41.146da2