Setiap malam, dalam doaku, aku memohon pada Allah agar diberikan jalan keluar. Aku tahu, sebagai istri dan seorang muslimah yang selalu berusaha untuk membangun ketaatan, aku harus bisa bersabar. Tapi sampai kapan?
Selain masalah Mas Kamil yang selalu membuatku merasa tidak nyaman, tentu saja masalah kemampuan suamiku diranjang tetap jadi pikiranku juga. Meski aku selalu berusaha menganggap itu bukan masalah. Aku mencoba menganggapnya sebagai hal kecil, sesuatu yang mungkin akan berlalu seiring waktu. Namun, setiap aku memenuhi kewajibanku melelayani suamiku sebagai istri, perasaan itu selalu muncul. Apalagi kalau bukan perasaan tidak puas.
Aku berbaring di samping Farhan, yang sudah tertidur lelap dengan wajah damai. Tubuhku menyentuh selimut yang dingin, namun di dalam dadaku ada rasa hampa. Setiap kali aku dan Farhan berhubungan, aku merasakan sedikit kenikmatan, tapi itu selalu terasa terlalu cepat, belum sempat menyentuh puncaknya. Aku pernah membaca tentang kepuasan yang sempurna dalam hubungan suami istri, mendengar cerita dari teman-teman, dan kadang aku bertanya-tanya, apa yang salah? Apakah karena ini aku belum bisa hamil?
Mungkin tubuhku yang bermasalah, atau mungkin aku yang terlalu banyak berpikir. Tapi ada kalanya, dalam keheningan malam seperti ini, aku tak bisa menepis perasaan bahwa aku belum pernah benar-benar puas. Aku tahu Farhan mencintaiku, dan dia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Tapi, setiap kali semuanya berakhir terlalu cepat, aku hanya bisa terdiam, memandang langit-langit kamar, bertanya-tanya apakah ini hal yang normal.
Aku tak berani membicarakannya dengan Farhan. Bukan karena aku tidak percaya padanya, tapi karena aku takut menyakiti hatinya. Aku tahu dia akan merasa kecewa atau terluka jika aku mengatakan bahwa aku tidak pernah benar-benar merasakan kepuasan penuh. Aku tak ingin membuatnya merasa kurang, merasa tidak cukup baik. Lagipula, hubungan kami lebih dari sekadar itu. Aku mencintai Farhan dengan tulus, dan aku tahu dia pun demikian. Tapi terkadang, di dalam keheningan ini, aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Apa mungkin ini penyebab kami belum dikaruniai anak? Pemikiran itu seringkali menghantui pikiranku. Namun, lagi-lagi, aku memilih untuk menyimpannya sendiri. Aku tak ingin merusak keharmonisan pernikahan kami. Aku hanya bisa berharap, suatu hari nanti, aku akan menemukan jawabannya. Tapi sampai saat itu tiba, aku terus memendam semua ini, seolah-olah masalah ini hanyalah hal kecil yang tak perlu diungkapkan.
***
6698Please respect copyright.PENANALweVpsrYa6
Sudah beberapa minggu terakhir ini, suasana hatiku semakin gelisah. Apa yang awalnya hanya berupa tatapan tak nyaman dan sentuhan-sentuhan yang kuanggap kebetulan kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengancam. Mas Kamil, suami kakak iparku, tidak lagi puas hanya mencuri kesempatan ketika kami berpapasan di rumah. Sekarang, dia mulai berani menghubungiku lewat WhatsApp.
Pertama kali pesannya masuk, aku merasa jantungku berhenti. Pesan itu terlihat begitu polos di permukaan—sekadar sapaan singkat, menanyakan kabar. "Lagi ngapain, Nay?" begitu katanya. Aku mencoba mengabaikannya, berpura-pura sibuk. Tapi tidak lama kemudian, pesan lain masuk lagi. Kali ini nadanya berbeda, lebih pribadi. "Aku selalu mikirin kamu, lho."
Aku gemetar. Aku tahu ini salah, tapi aku juga tahu bahwa jika aku melaporkannya, situasi ini bisa berubah menjadi lebih rumit. Mas Kamil adalah suami Mbak Fahria, orang yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Jika aku berbicara, apakah keluarganya akan mempercayaiku? Atau mereka akan menganggapku sebagai penyebab masalah?
Setiap kali aku melihat nama Mas Kamil muncul di layar ponselku, rasa takut dan jijik bercampur menjadi satu. Dia mulai mengirim pesan-pesan yang semakin tidak pantas, kata-kata yang membuat darahku berdesir dalam ketakutan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Setiap pesan yang masuk seolah membuatku terjebak lebih dalam dalam situasi ini. Dia tahu bahwa aku tak akan berani membicarakannya kepada siapa pun—itulah yang membuatnya semakin berani.
Namun, diamku ini semakin menyiksaku. Di satu sisi, aku takut akan reaksi keluarga jika kebenaran ini terungkap. Bagaimana jika Farhan mengetahuinya? Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika dia tahu suami kakaknya sendiri melakukan hal seperti ini kepadaku. Tapi di sisi lain, aku merasa semakin terpojok. Seolah-olah aku harus terus menerima perilaku ini tanpa bisa berbuat apa-apa.
Malam itu, aku duduk di atas tempat tidur dengan ponsel di tangan. Pesan dari Mas Kamil lagi-lagi muncul di layar. Aku menatapnya lama, mencoba mencari keberanian untuk melawan. Tapi apa yang harus kulakukan? Jika aku membalasnya, apakah ini akan memperburuk keadaan? Jika aku terus diam, berapa lama lagi aku harus menanggung ini semua?
Hatiku berdebar, tanganku gemetar, dan aku hanya bisa berharap bahwa ini semua segera berakhir. Namun, tanpa langkah nyata, aku tahu harapan itu hanyalah angan-angan.
Apalagi, Mas Kamil bukan hanya sekadar suami kakak iparku. Dia adalah orang yang sangat berjasa dalam kehidupan suamiku. Farhan selalu bercerita dengan penuh hormat tentang bagaimana Mas Kamil membantu mengurus proses kepindahannya dulu, sebelum kami menikah. Dari seorang honorer yang tidak pasti masa depannya, Mas Kamil lah yang membuka jalan bagi Farhan untuk menjadi seorang PNS. Karena itulah, Farhan sangat menghormatinya, bahkan hampir seperti seorang kakak kandung.
Situasi ini membuatku semakin sulit. Farhan selalu memandang Mas Kamil sebagai sosok yang berjasa besar dalam hidupnya. Dia sering berkata bahwa jika bukan karena bantuan Mas Kamil, mungkin hidup kami tidak akan sebaik ini sekarang. Setiap kali Farhan menceritakan hal itu dengan penuh rasa terima kasih, aku hanya bisa terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kepada Farhan bahwa orang yang sangat dia hormati itu sebenarnya menghancurkan ketenangan batinku?
Diam-diam aku menahan segala kecemasan ini sendiri, mencoba tetap tersenyum di depan semua orang. Tapi di dalam hatiku, perasaan takut dan tertekan semakin menjadi-jadi. Mas Kamil tahu bagaimana menjaga citranya di depan keluarga. Dia selalu terlihat ramah dan baik hati, sehingga tidak ada yang akan menyangka bahwa dia memiliki sisi gelap yang hanya aku yang mengetahuinya.
Malam-malamku semakin tak tenang. Setiap kali suamiku mengajak bicara soal betapa beruntungnya dia memiliki keluarga yang selalu mendukung, terutama Mas Kamil, aku merasa seperti tenggelam dalam kebohongan. Aku ingin berteriak, mengungkapkan semuanya, tapi setiap kali aku mencoba membuka mulut, aku kembali dihadang oleh ketakutan—takut merusak hubungan suamiku dengan keluarganya, takut menjadi penyebab keretakan yang tak akan pernah bisa diperbaiki.
Aku terus memendam ini semua, berharap ada jalan keluar tanpa harus menghancurkan apa yang sudah ada. Tapi di dalam diriku, aku tahu bahwa waktu sedang berlari, dan semakin lama aku diam, semakin besar kerusakan yang mungkin terjadi.
Pesan dari Mas Kamil semakin tidak terkendali. Pagi ini, ketika Farhan baru saja berangkat bekerja, ponselku bergetar lagi. Awalnya aku ragu untuk membuka pesan itu, tetapi rasa penasaran membawaku ke layar ponsel. Kali ini, pesannya benar-benar melewati batas yang tak pernah ku bayangkan.
"Nay, kamu tahu kan, tubuhmu itu luar biasa molek. Aku sering nggak bisa tidur, bayangin kamu. Aku benar-benar pengen ngerasain kamu, Nay. Aku yakin kita bisa bikin semuanya seru tanpa ada yang tahu."
Aku terdiam, membaca ulang pesan itu dengan perasaan campur aduk antara marah, takut, dan jijik. Bagaimana bisa suami dari kakak iparku, yang seharusnya melindungiku sebagai keluarga, justru berani mengirim pesan seperti ini? Air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya. Dadaku sesak, seolah-olah dunia runtuh di sekitarku. Aku merasa tak berdaya.
Aku hanya bisa beristigfar, berharap Allah memberikan kekuatan untuk menghadapi situasi ini. Pesan itu terasa seperti ancaman yang menggantung di atas kepalaku. Aku tak tahu harus melakukan apa. Ingin rasanya menceritakan ini kepada Farhan, tapi ketakutan akan kehancuran hubungan suamiku dengan kakaknya menghentikan langkahku.
Setiap kali aku mencoba beristirahat, kata-kata vulgar dari Mas Kamil terngiang di kepalaku, membuatku merasa kotor dan terpojok. Aku terus memohon kepada Allah agar diberikan jalan keluar, tapi semakin hari, pesan-pesan itu semakin berani, semakin vulgar, dan aku hanya bisa terus beristigfar, berusaha menjaga kewarasanku di tengah rasa takut yang semakin mendalam.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2