Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas menuju ke kamar mandi. Dengan frustrasi, aku membuka pakaianku dan segera masuk ke dalam shower. Air hangat mengalir membasahi seluruh tubuhku, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana murid sialan itu memaksa penisnya masuk ke dalam mulutku. Aku menggosok bibirku dengan keras, berusaha menghapus bekas sentuhannya yang masih terasa. Rasa jijik dan mual menyeruak dalam diriku, namun di sisi lain, ada sensasi aneh yang membuat tubuhku meremang. Aku menekan perasaan itu dalam-dalam, tak ingin mengakui bahwa ada sebagian diriku yang... menikmatinya. Aku menggigit bibirku dengan frustasi, air hangat membasahi wajahku, menyamarkan air mata yang tanpa sadar mengalir dari mataku.
Dengan frustrasi, aku menyiram air hangat ke seluruh tubuhku, membiarkan air itu membasahi setiap lekuk dan celah di tubuhku. Aku meraba payudaraku yang montok, meremas dan mencubitnya dengan kasar, seolah ingin menghapus sentuhan murid sialan itu dari sana. Jemariku kemudian turun ke perutku, menyusuri lekuk pinggulku, dan akhirnya berhenti di area kewanitaanku yang masih terasa perih. Aku meringis, namun tak bisa menahan desahan ketika jemariku mulai memainkan klitoris yang membengkak itu. Rasa jijik dan nikmat bercampur aduk, membuatku gila. Aku harus menghentikan ini, tapi tubuhku berkhianat, menginginkan sentuhan yang lebih. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengusir bayangan saat murid brengsek itu memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Aku tak ingin kejadian itu terulang lagi. Tidak. Tidak akan pernah.
Esok paginya, aku memberanikan diri untuk kembali mengajar di kelas yang sama dengan Ryan. Rasa was-was membebani pikiranku, tapi aku mencoba bersikap tenang dan profesional. Saat Ryan dan teman-temannya memasuki kelas, aku berusaha untuk tidak memperhatikannya. Tetapi entah kenapa, mataku terus tertarik untuk mencuri pandang ke arahnya. Saat tatapan kami bertemu, aku spontan mengalihkan pandangan, jantungku berdebar kencang. Aku mengajar dengan sedikit gugup, berusaha menjaga jarak dan tidak memberi kesempatan bagi Ryan untuk mendekati atau menyentuhku lagi. Dalam hati, aku berharap situasi ini cepat berlalu dan aku tidak harus berhadapan dengannya lagi.
Ketika aku mengelilingi ruangan untuk memantau pekerjaan siswa, aku tidak sengaja melihat layar ponsel Ryan. Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat video yang sedang diputar di sana - video saat aku dipaksa memberikan oral seks padanya kemarin. Tubuhku gemetar menahan marah dan kepanikan. Si brengsek itu merekam kejadian itu dan sekarang mengancamku dengan videonya! Aku mencoba tetap tenang di permukaan, tak ingin menimbulkan kecurigaan, tapi di dalam diriku, aku hancur. Bagaimana bisa aku menghadapi situasi ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin rahasia memalukan itu tersebar. Tidak, aku harus mencegahnya dengan segala cara.
Hatiku berdebar kencang ketika Ryan memberi isyarat agar aku menemuinya saat jam istirahat nanti. Aku tahu aku tidak bisa mengambil ponselnya secara paksa, terlalu berisiko. Dia pasti akan mengancam menyebarkan video itu jika aku melawan. Dengan berat hati, aku mengangguk pelan, memberinya isyarat bahwa aku akan datang. Selama pelajaran berlangsung, aku sulit berkonsentrasi, pikiranku dipenuhi oleh bagaimana aku akan menghadapi Ryan nanti. Aku harus mencari cara untuk mengambil kembali video itu, apapun yang terjadi. Tidak ada pilihan lain, aku harus mengikuti kemauannya untuk saat ini.
Dengan perasaan was-was, aku melangkah memasuki perpustakaan yang sepi. Suasana hening dan sunyi mendominasi ruangan, hanya ada beberapa rak buku yang tampak berdebu. Aku berjalan perlahan, mencari sosok Ryan yang telah memberi isyarat untuk menemuinya di sini. Jantungku berdebar kencang, bayangan akan video yang dia rekam terus-menerus menghantuiku. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan, tapi aku harus melakukan apapun untuk mendapatkan kembali video itu sebelum tersebar. Tiba-tiba, aku melihat Ryan bersandar di salah satu rak, tersenyum penuh misteri ke arahku. Tanpa basa-basi, dia menarikku ke dalam dekapannya, bibirnya melumat bibirku dengan ganas. Tubuhku membeku, namun tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya...
Aku berhasil mendorong Ryan menjauh dariku, nafasku terengah-engah. "Apa yang kau mau?!" desisku pelan, berusaha tidak menimbulkan kecurigaan dari luar. Ryan menyeringai, lalu mengeluarkan ponselnya dan memutarkan video memalukan itu di hadapanku. "Kau tahu apa mauku, Nona Guru," bisiknya penuh ancaman. "Jika kau tidak menuruti perintahku, video ini akan tersebar luas." Aku merasakan jantungku berdegup kencang, panik menyergap diriku. Aku tak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya, demi menjaga rahasia memalukan itu tetap tersimpan. Dengan berat hati, aku mengangguk pelan. "Baiklah, apa maumu?"
Tubuhku menegang saat Ryan tiba-tiba berada di belakangku, tangannya yang besar meremas payudaraku dengan kasar. Aku menggigit bibir, berusaha menahan desahan yang ingin lolos dari mulutku. Tidak, aku tidak boleh menikmati ini. Tapi tubuhku berkhianat, sensasi dari sentuhannya membuatku bergairah. "Tidak... Kumohon, jangan lakukan ini," bisikku lirih, namun Ryan hanya menyeringai dan semakin gencar meremas payudaraku. "Ibu cukup menikmati saja, aku tahu kau menginginkannya," bisiknya penuh ancaman di telingaku. Aku tak berdaya, hanya bisa pasrah menerima perlakuannya saat ini.
Aku bisa merasakan jemari Ryan yang lihai dengan cekatan membuka kancing kemejaku satu per satu. Jantungku berdebar kencang, seiring dengan sensasi dingin yang menyentuh kulitku saat ia menarik lepas kemejaku. Perlahan, ia menurunkan tali braku, membiarkan payudaraku yang montok dan kenyal terjatuh bebas. Aku menggigit bibirku, berusaha menahan desahan yang ingin lolos. Sensasi hangat telapak tangannya yang besar membelai dan meremas buah dadaku membuat seluruh tubuhku terasa panas dan lemas. Aku bisa merasakan putingku menegang, bergairah akan sentuhannya. Rasa malu dan nikmat bercampur aduk, membuatku semakin tak berdaya.
Aku tidak bisa menahan tatapan terpesona saat Ryan dengan brutal meremas dan memainkan payudaraku. Jemarinya yang kasar dengan lihai mencubiti dan memilin putingku yang menegang, membuatku menggigit bibir menahan desahan nikmat. "Lihatlah betapa montok dan kenyal payudaramu ini, Ibu Guru," goda Ryan, suaranya rendah dan penuh nafsu. "Begitu indah dan menggoda, aku tak sabar menjamahnya lebih jauh." Ia lalu dengan sengaja menampar pelan buah dadaku, membuat rasa sengat dan geli menjalar ke seluruh tubuhku. Aku terengah, tubuhku melemas dan tak berdaya menghadapi hasratnya yang membara.
Aku berusaha memalingkan wajahku, menghindari kontak mata dengan Ryan. "Tidak... Hentikan ini," ucapku terbata-bata, nafasku memburu menahan gejolak nafsu yang membara dalam diriku. "Aku tidak menginginkan ini... Kumohon, berhenti." Tapi tubuhku berkhianat, setiap sentuhannya membuat sensasi nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Aku terus-menerus menolak, namun suaraku semakin lirih dan tak meyakinkan. Aku ingin melarikan diri, tapi Ryan terus menekan dan memojokkanku, membuatku tak berdaya.
Aku tak mampu lagi menahan desahan yang lolos dari bibirku ketika Ryan semakin gencar memainkan payudaraku. Ia meremas dan meremas buah dadaku dengan ganas, membuat sensasi nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Jemarinya yang kasar mencubit dan menarik-narik putingku yang mengeras, membuatku tersentak dan mengerang tertahan. Tubuhku melemas, seolah kehilangan seluruh tenaga saat ia menghujani payudaraku dengan kecupan dan gigitan. Aku berusaha mati-matian menahan diri, tapi kenikmatan ini terlalu memabukkan. Aku hanya bisa pasrah saat Ryan terus menyerang toket-toketku dengan rakus.
Aku tercekat saat merasakan tangan Ryan mulai bergerak menyusuri pahaku, menyibak rok yang kukenakan. Jantungku berdebar kencang, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Ryan melihat celana dalamku yang sudah basah oleh cairan gairahku, ia menyeringai lebar. "Lihatlah dirimu, Ibu Guru," bisiknya penuh godaan. "Kau sudah begitu basah dan siap untuk dinikmati." Tubuhku gemetar menahan gejolak gairah yang semakin membuncah. Aku ingin berontak, tapi diriku seakan terhipnotis oleh sentuhan dan godaannya. Aku tak mampu lagi mengendalikan diriku, hanya bisa pasrah menerima perlakuannya.
Aku berusaha menggelengkan kepala dengan panik saat Ryan menyibak celana dalamku, membuat memekku yang pink dan mengkilap terekspos di hadapannya. Rasa malu dan takut memenuhi diriku, tapi di saat yang sama aku tak bisa menyangkal gairah yang membara. Bibirku bergetar saat aku mencoba menghentikannya, "Ti-tidak, jangan lakukan ini..." Namun tubuhku berkhianat, mengkhianati pikiranku. Aku bisa merasakan cairan birahi semakin membanjiri liang intimku, membuat memekku tampak begitu menggoda dan siap untuk dijamah.
Aku tak kuasa mengalihkan pandanganku dari memekku yang kini terpampang jelas di hadapan Ryan. Bibirku yang merekah bagai bunga mawar tampak begitu menggoda, diselimuti oleh jembut halus berwarna pink lembut. Cairan bening nan kental mengalir perlahan dari dalam liang intimku yang becek, membasahi area sekitarnya. Aku berusaha menutup kaki, tapi Ryan dengan cepat menahan gerakanku, terpesona oleh pemandangan indah di hadapannya. "Begitu cantik dan menggairahkan," gumamnya dengan suara serak penuh gairah. Tubuhku bergetar, antara rasa malu yang membuncah dan kenikmatan yang tak terbendung.
Wajah Ryan semakin dekat dengan memekku yang terbuka lebar, membuatku bergidik ngeri. Aku berusaha keras mendorong tubuhnya, tapi tenagaku seakan-akan terkuras habis. Aku hanya bisa menyandarkan punggungku pada rak buku, pasrah menerima apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku berdebar kencang, antara takut dan... nafsu yang semakin bergejolak. Cairan bening terus mengalir dari dalam memekku, membasahi area sekitarnya. Aku tak bisa menyembunyikan keadaan tubuhku yang mulai menghianati pikiranku.
Jantungku berdegup kencang saat Ryan bergumam, "Jadi ini wangi memek si guru baru..." Wajahku memanas mendengar kata-katanya, rasa malu dan jijik memenuhi pikiranku. Namun, di sisi lain, tubuhku berkhianat - cairan birahi semakin deras mengalir, membasahi area kewanitaanku. Wangi memekku yang kini terpampang jelas di hadapannya pasti begitu menggairahkan, seperti aroma bunga mawar yang telah mekar, bercampur dengan aroma musk yang memabukkan. Aku ingin berteriak menolak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan memohon, berharap Ryan akan segera menghentikan ini semua.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat kurasakan lidah Ryan perlahan menjulur, mendekati memekku yang telah basah dan menggoda. Tubuhku menegang, seluruh sarafku seakan dialiri listrik saat ujung lidahnya menyentuh bagian paling sensitif di antara kedua kakiku. "Aaahhh!" Aku tersentak kaget, menggeliat tak nyaman. Rasa nikmat yang membludak memenuhi diriku, membuatku lupa akan penolakan yang sedari tadi kusuarakan. Seluruh tubuhku seakan terbakar oleh gairah yang tak terbendung.
Aku berusaha keras menahan desahanku yang tertahan di tenggorokan saat Ryan menjilat dan mengulum memekku tanpa ampun. Lidahnya menyapu dengan gerakan memutar, menelusuri setiap lekuk dan lipatan sensitif di sekitar kewanitaanku. Sesekali ia menghisap klitoris ku yang membengkak, membuat gelombang kenikmatan menyerang seluruh tubuhku. "Aaahhh... Ja-jangan keras-keras," aku berbisik di sela-sela desahku yang tertahan, berusaha menutupi suara yang lolos dari bibirku.
Aku berusaha sekuat tenaga menahan suaraku, tapi desahan lolos begitu saja dari bibirku saat Ryan semakin brutal menyerang memekku. Lidahnya menjilat, menghisap, dan mengulum cairan birahinya yang terus mengalir deras. Rasanya pasti begitu manis dan memabukkan, bagaikan madu yang menetes dari sarang lebah. Aku tak bisa menghentikan tubuhku yang bergetar hebat, menghianati pikiranku yang terus mengumandangkan penolakan. "Nngh... Hentikan... Hentikan!" Aku mencoba memperingatkannya, tapi suaraku terdengar begitu lemah dan tidak meyakinkan.
Wajah Ryan semakin dekat dengan memekku yang terbuka lebar, membuatku bergidik ngeri. Aku berusaha keras mendorong tubuhnya, tapi tenagaku seakan-akan terkuras habis. Aku hanya bisa menyandarkan punggungku pada rak buku, pasrah menerima apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku berdebar kencang, antara takut dan... nafsu yang semakin bergejolak. Cairan bening terus mengalir dari dalam memekku, membasahi area sekitarnya. Aku tak bisa menyembunyikan keadaan tubuhku yang mulai menghianati pikiranku.Entah sudah berapa banyak wanita yang pernah Ryan nikmati sebelumnya, hingga tekniknya dalam memanjakan kewanitaan bisa sedemikian hebat. Lidahnya menyusuri setiap lipatan, memberi sentuhan-sentuhan lembut yang membuatku menggila. Ketika ujung lidahnya menyentuh klitoris ku yang membengkak, tubuhku tersentak kaget. Geli, nikmat, dan belum pernah kurasakan sebelumnya. "Aaahhh... Ryannn..." Desahku tanpa bisa kutahan, tubuhku berkhianat semakin menikmati sentuhannya.
Tubuhku terasa semakin lemas, gejolak nikmat yang menjalar ke seluruh sarafku membuatku hampir kehilangan kendali. Desahan-desahan lolos begitu saja dari bibirku, semakin sulit untuk kutahan. Aku takut rak buku yang menjadi sandaranku tak akan mampu menahan beban tubuhku yang semakin bergetar hebat."Aaahhh... Ryan, hentikan... Aku... Aku tak tahan lagi..." Aku memohon di sela-sela desahanku, walaupun jauh di lubuk hatiku, aku sangat menginginkan Ryan terus menjamah tubuhku. Mataku terpejam erat, menolak untuk melihat kenyataan. Aku mengutuk diriku sendiri atas gairah yang kini menguasai diriku.
Alih-alih menghentikan aksinya, Ryan justru semakin bersemangat menyerang tubuhku. Ia menghisap bibir memekku dengan rakus, menggoda klitoris yang terus berdenyut. Gelombang kenikmatan menyerang tubuhku tanpa ampun, membuatku semakin sulit menahan diri."Aaahh... Ja-jangan... Hentikan..." Aku berusaha memohon di sela-sela desahan yang terdengar semakin putus asa. Tubuhku bergetar hebat, seakan siap meledak kapan saja. Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan puncak kenikmatan yang semakin dekat.
Aku mengangguk cepat, berusaha keras menahan suaraku meskipun lidah Ryan semakin liar menjilat dan menghisap seluruh permukaan memekku. Ia menyapu klitoris ku dengan gerakan memutar yang membuatku hampir menjerit keenakan. Kemudian, lidahnya menelusuri setiap lipatan sensitif, mencicipi setiap tetesan cairan birahi yang lolos dari dalam sana.Tiba-tiba Ryan berhenti, membuat aku mengerang kecewa. "Ahhh!" Aku menatapnya dengan tatapan memohon, tubuhku masih bergetar hebat menanti sentuhan-sentuhan memabukkannya.
Aku hanya bisa terdiam dengan nafas terengah-engah, tubuhku masih bergetar menginginkan sentuhannya. Rasa kecewa menyelimutiku saat Ryan menghentikan aksinya, seolah-olah aku baru saja dijatuhkan dari puncak kenikmatan. Aku menatapnya dengan tatapan memohon, berharap dia akan melanjutkan penyiksaan nikmat ini."Ayolah, Ibu. Bukankah Ibu ingin saya berhenti?" Ia menggodaku dengan seringai nakal, membuat desahan lolos begitu saja dari bibirku. Aku tak mampu menjawab, lidahku seakan kelu. Aku hanya bisa berharap dia segera melanjutkan aksinya dan memberikan kepuasan yang kurindukan.
Tubuhku tersentak kaget saat Ryan membalik posisiku, membuatku menghadap rak buku. Aku bisa merasakan pantatku yang terpampang jelas di depan wajahnya, membuat jantungku berdebar tak karuan. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Rasa was-was bercampur dengan gairah yang kian membara di dalam diriku."Belum saatnya Ibu keluar," ujarnya dengan nada menggoda. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, berusaha menahan desahan yang hampir lolos. Pikiranku masih berperang dengan tubuhku yang terus menginginkan sentuhannya. Aku tak tahu harus berbuat apa, selain pasrah menerima apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Aku bisa merasakan tatapan lapar Ryan yang terpaku pada bongkahan pantatku. Kulit putih mulusku yang halus terekspos dengan jelas, membingkai lekuk indah yang membuatnya pasti ingin menyentuhnya. Aku bisa membayangkan bayangan nafsunya saat mengamati celah di antara pantat sintalku, membayangkan bagaimana rasanya menelusuri lipatan sensitif yang tersembunyi di sana."Lihat betapa indahnya pantat Ibu ini," bisiknya dengan nada seduktif, membuat tubuhku bergidik ngeri. Namun di sisi lain, aku tak bisa menyembunyikan rasa antusiaku akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku menunggu dengan napas tertahan, membayangkan sentuhan-sentuhan memabukkan yang akan segera menyerang tubuhku.
Aku bisa merasakan deru napas Ryan yang memburu, semakin dekat dengan pantatku. Aroma memek yang bercampur dengan keringat dan hasrat memenuhi rongga hidungnya, membuatnya semakin menggebu. Lidahnya menjilat dengan gerakan perlahan, merasakan setiap jengkal kulitku yang halus. Bunyi kecipak basah terdengar saat ia menyapu seluruh permukaan pantatku, seakan ingin mengecap setiap rasa yang ada.Tangannya yang besar meremas dan menampar bokongku dengan kasar, membuat desahan tertahan lolos dari bibirku. Tubuhku bergetar hebat, antara rasa nikmat dan sedikit sakit yang bercampur aduk. Aku tak bisa menahan diri lagi, hanya bisa pasrah menerima perlakuannya yang semakin liar.
Aku bisa merasakan lidah basah Ryan yang menjilat langsung lubang pantatku dari belakang. Gerakan liarnya menelusuri celah sensitif itu, membuatku menahan napas menahan desahan yang hampir lolos. Ia menggunakan ujung lidahnya untuk memutar-mutar area yang membuatku meremang nikmat, terkadang menekan masuk perlahan, mencoba menerobos masuk.Sensasi aneh nan menggelitik menjalar ke seluruh tubuhku, memaksaku menggigit bibir bawah sekuat tenaga. Aku tak ingin mengeluarkan suara sedikit pun, meski tubuhku berkhianat dan terus menginginkan lebih. Deru napas Ryan yang memburu terasa semakin dekat, membuat bulu kudukku berdiri tegak. Ini begitu memalukan, namun di sisi lain aku tak bisa menyembunyikan gairah yang semakin membuncah.
Tubuhku menegang saat merasakan ujung penis Ryan menempel di memekku dari belakang. Aku terkejut, tak menyangka ia akan berani sejauh ini. "Ti-tidak. Ja-jangan Ryan.. ja-jangan..." Aku memohon, berusaha menghentikannya, tapi seolah-olah kata-kataku tak terdengar olehnya."Ohhh..." Sebelum aku sempat bereaksi, kejantanannya telah memaksa masuk, memenuhi seluruh rongga sensitifku. Aku menjerit tertahan, rasa sakit dan nikmat bercampur aduk, membuatku lupa akan sekelilingku. Tubuhku bergetar hebat, berusaha menyesuaikan diri dengan invasi tiba-tiba ini.
Aku merasakan kontol Ryan yang besar dan panjang menerobos masuk ke dalam memekku yang sempit. Sensasinya begitu memabukkan, membuat tubuhku seolah-olah terbakar oleh gairah yang membuncah. Setiap inci kejantanannya yang berurat melesak ke dalam, mengisi kewanitaanku hingga tak tersisa ruang kosong.Dinding-dinding memekku yang lentur berkedut-kedut, seakan mencoba menarik kontol Ryan agar semakin dalam menghujam. Cairan birahi mengalir deras, melumasi setiap gesekan yang terjadi. Bunyi kecipak basah memenuhi ruangan, mengiringi desahan-desahan nikmatku yang tak terbendung lagi.
Aku berusaha keras menutup mulutku dengan telapak tangan, berusaha menahan desahan-desahan nikmat yang terus lolos dari bibirku. Tubuhku bergerak binal mengikuti ritme hentakan Ryan yang menyerang memekku tanpa ampun. Buah dadaku yang sintal bergerak liar, seolah ikut menikmati permainan gila ini."Nnngh... Ti-tidak... Hentikan..." Aku terus berusaha menolak, meski tubuhku berkhianat dan semakin larut dalam sensasi memabukkan ini. Rasa malu dan nikmat bercampur aduk, membuatku tak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Yang kumiliki hanyalah hasrat yang tak terbendung untuk terus dihujam oleh kontol Ryan yang besar.
"Ahh, lihat betapa becek dan berdenyutnya memek Ibu ini," ejek Ryan di sela-sela hentakan kuatnya. "Begitu rakus menelan kontolku, seolah tak ingin lepas." Ia menyeringai, mencengkeram pinggulku erat untuk semakin menghujam dalam."Memekmu ini sungguh luar biasa, Bu Guru. Begitu ketat dan basah, membuatku semakin tenggelam dalam genggamannya." Desahnya dengan nada menggoda, membuat rona merah menjalar ke seluruh wajahku. Aku tak sanggup membalas, hanya bisa mendesah pasrah menerima semua perlakuannya.
Aku tak habis pikir, darimana Ryan mempelajari teknik menggerakkan pinggulnya yang begitu lihai. Setiap hentakan kontolnya mencapai bagian terdalam memekku, memenuhi rongga sensitifku dan menghadirkan gelombang kenikmatan yang membuatku lupa daratan."Ah.. ah.. ry-ryan.. ahh my god.. ja-jangan..." Aku terisak di sela-sela desahku, berusaha memohon agar ia berhenti, namun tubuhku justru berkhianat dan semakin menginginkan lebih. Ia begitu memenuhi dan memuaskan setiap titik rahasia di dalam sana, membuatku seolah-olah melayang menuju surga kenikmatan.
Ketika aku kira Ryan akan memperlambat temponya, ia justru menjambak rambutku dengan kasar dan semakin mempercepat serta memperdalam setiap hentakannya. Tubuhku melengkung tak terkendali, lidahku menjulur keluar tanpa sadar, terseret oleh kenikmatan yang tak terbendung.Sensasi memabukkan itu memenuhi setiap inci tubuhku, membuatku seolah-olah kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku hanya bisa pasrah merasakan kontolnya yang besar dan keras menghujam memekku tanpa ampun, mencapai titik terdalam yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Wajahku saat ini pasti tampak sangat berantakan. Lidahku menjulur keluar, sementara air liur menetes-netes dari mulutku yang terus meracau tak karuan. Mataku terpejam erat, tenggelam dalam kenikmatan yang menguasai seluruh tubuhku.Aku yakin wajahku memerah padam, menampakkan ekspresi nakal yang tak biasa kuperlihatkan. Desahan dan erangan lolos begitu saja, tanpa bisa kututup-tutupi lagi. Seluruh diriku hanyut dalam hujaman kontol Ryan yang terus menyerang tanpa ampun.
Ryan dengan sengaja menarik rambutku lebih keras, memaksa wajahku berpaling ke arahnya. "Wajah yang begitu nakal, Bu," gumamnya seraya menyeringai. "Kamu benar-benar guru bispak!"Aku tersentak mendengar hinaan itu, namun entah kenapa justru membuatku semakin terangsang. Rasa malu dan nikmat bercampur aduk, membuatku tak lagi peduli dengan apa yang dikatakannya. Yang kuinginkan hanyalah terus dihujam oleh kontolnya yang besar dan keras.
"Aaahh... ohhh.." Aku terus mendesah tanpa henti, lidahku terjulur keluar sementara air liur mengalir deras membasahi dagu dan leherku. Cairan kewanitaanku membanjiri lantai perpustakaan yang kosong ini, mengaburkan segala hal selain kenikmatan yang Ryan berikan."Ohh, lihatlah betapa becek dan birahinya memekmu, Bu Guru," bisiknya seraya semakin mempercepat tempo hentakannya. "Kau benar-benar pelacur yang luar biasa." Kata-katanya seharusnya menyakitiku, tapi justru membuatku semakin tenggelam dalam kenikmatan yang memabukkan.
"Su-sudah Ryan.. ohh.. kalau begini terus.. ibu bisa.. ibu bi-bisa..." Aku berusaha mengeluarkan kata-kata di sela-sela desahan yang semakin tak terkendali. Tubuhku bergetar hebat, menandakan bahwa aku akan segera mencapai puncak kenikmatan."Bisa apa, Bu?" Ia menggoda dengan nada rendah, semakin mempercepat gerakan pinggulnya yang menghujam dalam. "Bisa apa?"Aku tak sanggup menjawab, hanya bisa mengerang frustasi saat merasakan gelombang orgasme yang siap menyeretku. Seluruh tubuhku seolah terbakar oleh kenikmatan yang tak tertahankan.
Gelombang orgasme yang dahsyat menyerangku, membuat seluruh tubuhku bergetar hebat tak terkendali. Memekku terus berdenyut dan berkedut, mencengkeram kontol Ryan yang masih bersarang di dalam sana."Hahh... ahhh..." Aku mengerang panjang, tak mampu lagi menyuarakan kata-kata. Tiba-tiba, Ryan mencabut kejantanannya dan memaksaku berlutut di hadapannya. Sebelum aku sempat bereaksi, cairan peju miliknya menyembur deras, membasahi wajahku yang sudah berantakan."Akhirnya kau mencapai puncaknya juga, Bu Guru yang nakal," desisnya. "Terima hadiahmu." Aku hanya bisa mendongak pasrah, membiarkan cairan kental itu mengalir membanjiri wajah dan rambutku yang menutupi sebagian pandanganku.
Cairan kental dan hangat itu menyembur deras membasahi seluruh wajahku. Aku bisa merasakan peju Ryan menetes-netes membasahi leher dan buah dadaku yang sintal. Aroma maskulin yang memabukkan tercium kuat, menguar memenuhi indera penciumanku.Teksturnya begitu kental dan lengket, menempel erat di kulitku. Aku bisa merasakan hangatnya cairan itu saat perlahan mengalir turun, membasahi lekuk-lekuk tubuhku. Desahan nikmat lolos begitu saja dari bibirku yang terbuka lebar, menerima semua anugerah yang diberikan oleh Ryan.
Ketika gelombang orgasme itu perlahan mereda, barulah aku menyadari bahwa Ryan sedari tadi diam-diam merekam adegan itu dengan smartphonenya. Rasa terkejut langsung menyergapku, membuatku terdiam kaku."Kau akan menjadi budakku mulai sekarang, Bu..." ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Tiba-tiba saja aku merasa terjatuh ke dalam jurang siksaan seksual yang tak berujung. Aku terjebak, tak berdaya menghadapi ancaman yang ada di depanku.
485Please respect copyright.PENANAsqVTyP5bIV
485Please respect copyright.PENANANhsYOhxxvE