Setelah beberapa hari Julius dan istrinya, Rita, tinggal di sana, Fahri merasa lega. Ia mendapati bahwa Julius adalah sosok yang baik, ramah, dan mau bersosialisasi dengan tetangga.
Rita, istrinya, juga tak kalah menyenangkan. Meski cara bicaranya masih kental dengan logat Ambon, hal itu justru menambah keunikan kepribadiannya. Berbeda dengan Rita, Julius sangat fasih berbahasa Indonesia, sehingga mudah berkomunikasi dengan siapa saja.
Ketika Julius mengundang Fahri dan keluarganya untuk berkunjung ke rumahnya, dia merasa senang dan tanpa ragu menerima undangan tersebut.
“Ummi, ayo kita bersiap-siap untuk memenuhi undangan Pak Julius dan istrinya ke rumah mereka,” ujar Fahri lembut sambil menatap Salma, istrinya, yang tengah membereskan piring di dapur.
Salma menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke arah Fahri. “Emang gapapa, Mas? Aku khawatir mereka ngajak kita makan. Kita gak tahu apa itu halal buat kita. Terus kita juga gak enak kalau nolak.”
Fahri tersenyum bijak dan mendekati istrinya. “Ummi, gak ada salahnya kita menghargai undangan mereka. Berbuat baik kepada tetangga itu penting, tak peduli apapun agama atau kepercayaan mereka. Lagipula Abi yakin mereka akan menyediakan makanan yang halal buat kita. Kalau kita menghargai undangan mereka itu adalah sebuah kebaikan. Dan kebaikan yang kita lakukan akan mencerminkan kebaikan agama kita, bukan?”
Salma mengangguk perlahan, hatinya luluh oleh kata-kata suaminya. Ia tahu, Fahri selalu berusaha menjadi sosok yang mengutamakan keharmonisan, terutama dalam hubungan bertetangga.
“Baiklah, Abi. Kalau begitu, Ummi akan segera bersiap-siap. Anak-anak juga kita ajak ya Abi,” kata Salma sambil tersenyum.
“Iya Ummi, ajak mereka!” Sahut Fahri
Fahri merasa lega melihat istrinya setuju. Ia menyadari pentingnya membangun hubungan yang baik dengan Julius dan istrinya, Rita. Meski mereka berbeda keyakinan, Julius dan Rita sudah menunjukkan sikap yang sangat ramah sejak awal pindah ke lingkungan itu. Tidak menghadiri undangan mereka akan terasa kurang sopan dan berpotensi merenggangkan hubungan yang seharusnya bisa terjalin dengan baik.
“Abi, kira-kira kita perlu membawa sesuatu sebagai tanda hormat?” tanya Salma, mulai memilih pakaian untuk dikenakan.
“Tidak perlu repot-repot, Ummi. Kehadiran kita sudah cukup. Tapi kalau kamu mau, kita bisa membawa sedikit buah-buahan dari dapur sebagai bentuk penghormatan.”
Salma tersenyum sambil mengangguk. “Baik, Abi. Aku siapkan sebentar.”
Dalam perjalanan menuju rumah Pak Julius, Fahri merasa yakin bahwa langkah kecil seperti ini bisa membawa kebaikan besar. Baginya, mempererat hubungan dengan tetangga adalah salah satu cara sederhana untuk menciptakan kedamaian dan saling pengertian.
Ketika Fahri berserta Salma istrinya dan Fadly anaknya tiba di rumah Pak Julius, ia dan istrinya, Bu Rita, menyambut mereka dengan senyum hangat yang begitu tulus. Pintu rumah mereka yang sudah terbuka seakan menjadi simbol keramahtamahan yang jarang kami temui di tempat lain.
“Silakan masuk, silakan masuk,” ujar Pak Julius dengan nada bersahabat, sembari mempersilakan kami melepas alas kaki di depan pintu.
“Wah, senang sekali akhirnya bisa berkunjung ke rumah Pak Julius,” kata Fahri dengan senyum ramah, sementara Salma menyusul di belakangnya sambil membawa sebakul kecil buah-buahan sebagai tanda hormat.
“Oh, tidak perlu repot-repot membawa apa-apa, ini sudah lebih dari cukup!” kata Rita sambil menerima bingkisan buah-buahan itu. Logat Ambonnya yang khas terdengar begitu hangat, menambah suasana akrab di antara mereka.
Begitu masuk ke dalam rumah, aroma harum yang khas langsung menyeruak di udara. Di meja tamu yang sederhana namun tertata rapi, sudah tersaji aneka kue tradisional khas Ambon. Ada bagea yang renyah, kue sagu yang lembut, hingga kue lapis legit dengan lapisan yang menggoda.
“Ini kue-kue khas dari kampung halaman kami,” jelas Bu Rita dengan nada bangga, sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir-cangkir kecil.
“Kami memang suka membawa sedikit rasa kampung halaman ke mana pun kami tinggal,” tambah Julius sambil tersenyum.
Salma mencoba sepotong bagea dan langsung tersenyum puas. “Wah, ini enak sekali. Rasanya berbeda dengan kue-kue yang biasa saya coba. Apa ini dibuat sendiri?”
Bu Rita mengangguk dengan semangat. “Iya, semuanya saya buat sendiri. Kalau suka, nanti saya ajarkan resepnya.”
Obrolan pun mengalir dengan begitu alami. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pengalaman Julius dan Rita ketika pertama kali pindah ke lingkungan ini, hingga cerita tentang kehidupan mereka di Ambon dulu. Meski ada perbedaan budaya dan keyakinan di antara kedua keluarga itu, momen tersebut terasa penuh kehangatan dan rasa saling menghormati.
Mereka kemudian makan bersama berupa hidangan makanan berupa nasi dengan lauk ikan laut dengan bumbu-bumbu khas ambon. Fahri dan Salma menikmati hidangan makanan itu dengan senang hati.
“Pak Fahri dan Bu Salma, terima kasih sudah mau datang ke rumah kami. Bagi kami, hubungan bertetangga itu sangat penting, apalagi di tempat baru seperti ini,” kata Pak Julius di penghujung pertemuan.
“Justru kami yang harus berterima kasih, Pak Julius atas jamuannya. Sebagai tetangga alangkah baiknya saling silaturahmi.” balas Fahri dengan tulus.
Hari itu menjadi salah satu pengalaman yang menyenangkan bagi Fahri dan keluarganya, mereka tidak hanya menikmati kue-kue khas Ambon yang lezat dan makan malam yang nikmat, tetapi juga merasakan keakraban baru dengan tetangga yang selama ini tidak didapatkan di kompleks perumahan ini sebelumnya.
Setelah beberapa bulan tinggal bertetangga, hubungan Salma dan Rita berkembang menjadi sangat akrab. Keduanya memiliki banyak waktu luang karena sama-sama tidak kerja kantoran hanya fokus sebagai ibu rumah tangga, sehingga sering kali menghabiskan waktu bersama.
Rutinitas sederhana seperti saling mengantar makanan menjadi hal yang mempererat hubungan mereka. Salma sering kali mengirimkan masakan khas Jawa kepada Rita, seperti sayur lodeh, tempe bacem, atau opor ayam. Ternyata, Rita sangat menyukai cita rasa masakan Jawa.
“Bu Salma, ini bagaimana cara bikin tempe bacemnya supaya bumbunya meresap seperti ini? Enak sekali!” tanya Rita suatu hari, dengan nada penuh semangat.
Salma tersenyum. “Ah, mudah saja, Bu Rita. Nanti saya ajarkan. Kalau ada waktu, kita masak bareng di rumah saya, ya.”
Sebagai gantinya, Rita kerap membalas dengan mengirimkan makanan khas Ambon seperti ikan kuah kuning, kasbi rebus, atau papeda. Salma yang awalnya belum terlalu akrab dengan makanan Ambon, kini mulai menyukai kelezatan dan keunikan rasanya.
“Bu Rita, bumbu ikan kuah kuning ini apa saja, ya? Rasanya segar sekali!” Salma bertanya sambil mencicipi hidangan yang dikirimkan oleh Rita.
“Oh, itu pakai kunyit, serai, dan jeruk nipis, Bu Salma. Besok saya ajarkan kalau mau!” jawab Rita sambil tersenyum lebar.
Hubungan mereka semakin erat dari hari ke hari. Hampir setiap kali ada waktu luang, Salma akan berkunjung ke rumah Rita, atau sebaliknya. Mereka berbagi cerita, mulai dari pengalaman sehari-hari sebagai ibu rumah tangga hingga obrolan ringan tentang suami mereka. Bahkan, mereka sering kali membantu satu sama lain dalam berbagai urusan, seperti merapikan rumah atau mengurus acara keluarga kecil.
Meskipun berasal dari latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda, Salma dan Rita berhasil menemukan kesamaan yang mendalam: semangat untuk menjalin hubungan baik, saling mendukung, dan menghormati. Persahabatan mereka menjadi contoh nyata bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan penuh kehangatan.
Hari-hari mereka kini terasa lebih berwarna, dihiasi oleh persahabatan yang tulus dan saling pengertian. Salma pun sering datang ke rumah Rita begitu juga sebaliknya. Bahkan ketika Julius, suami Rita, sedang berada di rumah, Salma tidak merasa canggung untuk berbincang-bincang dengan Rita. Suasana selalu terasa santai dan penuh kehangatan, apalagi Julius memiliki sifat humoris yang mampu mencairkan suasana.
“Bu Salma, apa pak Fahri tidak cemburu ibu sering datang ke sini, ketemu lelaki ganteng kayak saya,” ujar Julius dengan nada bercanda, membuat Rita dan Salma tertawa terbahak-bahak.
Salma tak mau kalah. Dengan cepat, ia menimpali sambil tersenyum lebar, “Wah, Pak Julius, kayaknya saya harus segera lapor ke Pak Fahri kalau di sini ada ‘saingan’ yang katanya ganteng. Tapi tenang kayaknya, beliau nggak bakal cemburu!”
“Yakin dia gak bakalan cemburu. Saya serius ganteng loh,” balas Julius dengan nada dramatis, membuat semua orang kembali tergelak.
Salma, yang mencoba menahan tawa, malah tertawa lebih keras, sementara Rita mengangkat alis pura-pura marah.
“Abang ganteng harus sadar diri dong. Pak Fahri jauh lebih tampan dari abang ganteng!” Ucap Rita dengan nada galak.
Mereka kembali tertawa, menjadikan momen-momen kecil terasa begitu istimewa. Di balik candaan itu, Salma tak bisa memungkiri bahwa Julius memang memiliki pesona tersendiri. Dia memang ganteng. Raut wajahnya yang tegas namun ramah mengingatkan Salma pada penyanyi idolanya yang asal Ambon. Ketampanan Julius yang khas Ambon, ditambah dengan sikapnya yang santun dan humoris, membuat siapa pun merasa nyaman berada di dekatnya.
Namun, Salma tetap menjaga perasaannya agar tidak melampaui batas. Bagi Salma, hubungan bertetangga yang baik harus dibangun dengan saling menghormati dan menjaga diri. Ia merasa beruntung memiliki tetangga seperti Julius dan Rita, yang tidak hanya ramah tetapi juga selalu menyambutnya dengan tangan terbuka.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2