Fahri kembali dapat undangan melakuan dakwah di daerah jawa tengah. Ada beberapa kota di daerah itu yang akan jadi tujuan dia melakukan dakwah. Itu membutuhkan waktu hingga berberapa minggu. Dulu waktu masih belum punya anak Salma bisa mengikuti kemana Fahri pergi berdakwah. Namun kini ada anaknya yang sudah sekolah yang tentu saja tidak bisa dia tinggal.
Di sisi lain Fahri menyadari bahwa dengan ketiadaannya di rumah, akan sedikit sulit bagi istrinya jika membutuhkan hal-hal tertentu menyangkut keperluan rumah tangga.
Sebelum Fahri berangkat ke luar kota untuk tugas ceramah agama, ia sempat memberi saran kepada Salma agar menumpang mobil Julius, tetangga baru mereka, jika kebetulan Julius dan istrinya, Rita, ingin keluar rumah. Untuk belanja di Mall atau pasar besar.
“Kalau hanya untuk lauk dan sayur, kamu kan bisa beli dari tukang sayur keliling. Tapi kalau ada keperluan lain, jangan sungkan untuk ikut dengan mereka,” pesan Fahri sebelum pergi.
Tapi Salma agak gengsi untuk mengikuti saran suaminya. Kecuali mereka yang mengajaknya. Sebenarnya, Salma jarang ke minimarket atau mal jika Fahri tidak ada di rumah. Kalau dia tidak gengsi dan mau menuruti saran Fahri tentu akan makin sering bagi Salma bertemu dengan Julius. Dengan begitu makin banyak kesempatan buat lelaki itu terus-terusan mencoba untuk melakukan hal-hal yang terkadang membuat Salma tidak nyaman..
Perbuatan Julius itu sebenarnya bukan masalah besar bagi Salma. Bahkan terkadang Salma diam-diam menyukai candaan lelaki itu. Tapi yang bikin Salma tidak nyaman adalah ketakutan jika Rita menyadari kelakuan suaminya.
Di satu sisi, Salma merasa cukup kuat untuk menahan segala macam perlakuan dari Julius. Dia tahu bahwa dirinya masih bisa menjaga perasaan dan kehormatan dirinya, meski Julius sering kali nekad melakukan hal-hal yang sangat beresiko kalau terlihat oleh Rita.
Semakin hari, Salma merasa semakin sulit menghindari Julius, terutama karena Rita yang selalu mengajaknya datang ke rumah, entah suaminya ada di sana atau tidak. Dan setiap kali mereka berbicara atau duduk bersama, Julius selalu menunjukkan perhatian yang membuat Salma merasa sedikit canggung. Salma tahu bahwa dia tidak bisa terus menghindar. Apalagi tiba-tiba dia tidak lagi datang ke rumah Rita justru akan menimbulkan tanda tanya.
Suatu sore Rita mengetuk pintu dan mengajak Salma keluar.
“Kita ke mal, ya, Salma. Saya ingin beli beberapa keperluan bulanan,” ujar Rita dengan senyum ramah.
Salma tersenyum hangat, matanya berbinar. “Wah kebetulan saya juga mau belanja kebutuhan bulanan. Sekalian jalan-jalan, ya.”
Rita tertawa kecil. “Betul, sekalian cuci mata. Kadang rasanya sesak kalau hanya di rumah terus.”
Mereka pun berangkat bersama menggunakan mobil Julius. Suasana di dalam mobil terasa akrab dan penuh tawa. Julius, yang menyetir dengan tenang, sesekali ikut bercanda dengan dua perempuan itu. Salma merasa cukup nyaman duduk di kursi belakang mobil dengan kedua anaknya. Salma akan menitipkan kedua anaknya itu ke rumah mertuanya yang tidak begitu jauh sebelum melanjutkan pergi ke mall.
Sesampainya di mal, Salma dan Rita berjalan berdampingan, menjelajahi lorong-lorong penuh toko. Mereka membandingkan harga barang, memilih kebutuhan rumah tangga, dan tak lupa mampir ke kedai kopi untuk menikmati segelas minuman hangat sambil berbincang.
“Terima kasih, Bu Rita, sudah mengajak saya keluar hari ini,” ujar Salma saat mereka selesai belanja. “Rasanya lega sekali bisa jalan-jalan seperti ini.”
“Ah, sama-sama, Bu Salma. Malah saya yang senang ada teman. Kalau sendirian, belanja itu rasanya membosankan,” jawab Rita sambil tersenyum.
Kali ini tidak ada gangguan aneh dari Julis terhadap Salma hanya candaan garing saja yang muncul dari lelaki itu.
***
Suatu pagi yang cerah, Rita datang berkunjung ke rumah Salma dengan raut wajah antusias. Ia membawa undangan khusus untuk Salma. “Salma, saya mau mengundang kalian sekeluarga ke pesta pertunangan sepupu saya. Acaranya di rumah keluarga saya di daerah puncak sana,” ucap Rita dengan senyum lebar.
Salma terdiam sejenak. Ia merasa agak segan menerima undangan itu. “ Iya nanti inysa Allah kalau ada kesempatan saya hadir.”
“Usahakan hadir ya. Kita pergi sama-sama!”
Dalam hati Salma merasa tidak enak menghadiri undangan itu karena dia tidak kenal dengan keluarga Rita tapi menolaknya juga rasanya tidak sopan. Salma mencoba mencari alasan agar dia tidak perlu menghadiri undangan itu.
Malamnya Salma menelpon Rita.
“Saya kayaknya gak bisa menghadiri undangan itu. Maaf ya?”
“Kenapa?”
“Gak kenapa-kenapa cuma gak enak saja saya gak kenal keluarga kamu soalnya."
1584Please respect copyright.PENANAyZ1l5jngal
Namun, Rita tidak menyerah. “Tidak apa-apa, Bu Salma. Saya justru ingin mengenalkan kamu kepada keluarga saya. Mereka pasti akan senang bertemu dengan tetangga baru kami. Lagipula, acaranya pasti seru, dan kamu bisa sekalian refreshing,” ujarnya, penuh semangat.
Salma masih ragu, tetapi ketika mengingat bahwa Fahri belum pulang dari tugas ceramahnya, ia mulai berpikir ulang.
“Daripada hanya di rumah saja, mungkin ini bisa jadi pengalaman baru,” gumamnya dalam hati. Akhirnya, dengan senyum kecil, ia mengangguk. “Baiklah, saya ikut. Saya akan ajak Fadli dan Salwa juga, gak enak kalau di titip sama neneknya lagi.”
Rita tampak lega dan senang. “Iya ajak anak-anak kamu! Mereka pasti suka. Anak sepupu-sepupu saya juga banyak yang seusia mereka,” ujarnya riang.
Salma menelpon Fahri suaminya meminta izin untuk menghadiri undangan dari keluarga Rita. Setelah itu dia bersiap bersama kedua anaknya. Fadli tampak senang karena bisa keluar rumah, sementara Salwa terus memeluk boneka kesayangannya. Mereka berangkat menggunakan mobil Julius, dengan Rita yang duduk di kursi depan sebagai navigator.
Perjalanan menuju rumah keluarga Rita di daerah puncak terasa menyenangkan. Sepanjang jalan Rita tak henti-hentinya bercerita tentang keluarganya dan tradisi mereka, membuat Salma merasa lebih nyaman.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang sudah dipenuhi tamu. Tenda berwarna putih berdiri megah di tengah halaman, dihiasi lampu-lampu gantung yang berkilauan. Suasana meriah langsung terasa.
Rita menggenggam tangan Salma sambil tersenyum. “Ayo, dek Salma, kita masuk. Saya akan kenalin dengan keluarga saya.”
Meski sempat ragu, Salma mulai merasa senang karena diterima dengan hangat oleh keluarga Rita. Hari itu menjadi pengalaman baru yang tidak hanya menghilangkan rasa sepi, tetapi juga mempererat hubungan Salma dengan tetangga barunya.
Tak heran jika Rita begitu ramah dan baik hati—ternyata sifat itu memang mengalir dari keluarganya. Keluarga besar Rita menyambut Salma dengan hangat, seolah-olah ia adalah tamu istimewa yang telah lama mereka nantikan.
“Silakan masuk, nak Salma! Anggap saja rumah sendiri,” ujar seorang wanita paruh baya yang ternyata adalah bibi Rita, sambil tersenyum lebar.
Salma yang awalnya merasa canggung, perlahan mulai merasa nyaman. Mereka menyuguhkan aneka hidangan khas daerah yang begitu lezat, dan tak henti-hentinya memastikan Salma merasa dilayani dengan baik. “Bu Salma, cicipi ini, ini favorit keluarga kami,” kata seorang anggota keluarga sambil menyodorkan sepiring makanan.
Anak-anak Salma pun tak luput dari perhatian. Mereka diajak bermain oleh anak-anak dari sepupu-sepupu Rita yang seusia, membuat suasana semakin akrab dan menyenangkan. Melihat keramahan itu, Salma merasa seperti bagian dari keluarga besar mereka, meskipun baru pertama kali bertemu.
Kehangatan keluarga Rita membuat Salma berpikir, Pantas saja Rita selalu membawa energi positif. Keluarganya memang luar biasa ramah dan penuh perhatian.
Selama pesta pertunangan di rumah keluarganya Rita Julius sesekali iseng menyenggol-nyenggol Salma saat berpapasan. Kadang dia menyetuhkan lengannya di pinggul montok Salma. Dalam hati Salma berkata bahwa Julius ini tak habis-habis dengan kelakuannya yang mengganggu.
Pukul setengah delapan malam setelah makan bersama keluarga Rita, Salma bersiap kembali ke rumahnya. Dia dan kedua anaknya akan diantar oleh Julius saja karena Rita ditahan oleh keluarganya buat nginap. Julius akan balik lagi ke puncak setelah mengantar Salma. Sebenarnya Salma ingin naik taksi online saja. Tapi Rita memohon dengan sangat agar aku mau diantar oleh suaminya. Tentu tidak enak untuk terus menolak.
Malam itu, Salma duduk di kursi belakang mobil Julius bersama Salwa, sementara Fadli, putranya, sudah duduk di kursi depan di sebelah Julius. Meskipun perjalanan itu terasa biasa, ada perasaan tak nyaman yang menggelayut di hati Salma. Ia berusaha menenangkan dirinya, tidak ingin terlihat mencurigai. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa cemas itu semakin sulit diabaikan.
Julius, suami dari sahabatnya, sering kali membuat Salma merasa was-was dengan sikapnya yang terlalu bebas. Bahkan ketika Rita ada di dekat mereka, Julius tak ragu untuk melewati batas, seperti saat-saat di pesta tadi, di mana ia secara sengaja menyenggol pinggulnya saat berpapasan. Salma selalu berusaha berpikir positif, tetapi rasa tidak nyaman itu tetap mengganggu.
Sekarang, hanya ada mereka berempat di dalam mobil. Suasana dalam mobil terasa membosankan, meskipun suara mesin mobil yang menyala dan lagu lembut di radio mencoba mengisi kekosongan. Julius mencoba membuka percakapan dengan santai, berusaha mencairkan suasana.
"Bagaimana menurutmu, Dek Salma, soal pesta tadi? Makanannya enak, kan?" tanya Julius, sesekali melirik kaca spion sambil fokus mengemudi.
Salma hanya mengangguk kecil, menjawab dengan singkat, “Iya, cukup enak. Saya suka.” Namun, rasa gelisah yang sejak tadi mengusik hatinya tak juga reda.
Julius tersenyum tipis, seolah tak peduli pada nada dingin Salma. “Saya juga suka makanannya. Tapi yang paling saya cari itu kue apem. Sayang banget gak ada di pesta tadi,” katanya dengan nada rendah namun terdengar mesum, nyaris seperti gumaman, tapi penuh arti.
Salma membeku sejenak. Ia tahu betul apa maksud tersembunyi dari ucapan itu. Kue apem. Bukan sekadar nama kue tradisional, tapi istilah dengan makna yang jauh lebih intim dan itu istilah lain untuk menyebutkan alat kelamin wanita. Ia menarik napas dalam, berusaha meredakan debaran jantungnya yang semakin cepat. Ini bukan kali pertama Julius melontarkan candaan soal kue apem. Dan kali ini membuatnya semakin cemas karena tak ada Rita istri Julius di sampingnya..
Dengan hati-hati, Salma menjawab, “Kue apem memang enak, tapi biasanya bukan menu pesta seperti tadi.” Suaranya terdengar ringan, meski dalam hati ia berharap percakapan ini segera berakhir.
Julius tertawa kecil, tetapi Salma memilih untuk menatap lurus ke depan, fokus pada jalan yang mereka tempuh, dan memikirkan cara untuk menjaga jarak dari godaan yang tak nyaman ini.
“Jadi, kapan aku bisa mencicipi kue apem buatan Bu Salma?” tanya Julius sambil melirik Salma dengan senyum tipis yang penuh arti. Nada suaranya dibuat santai, seakan itu hanya sebuah pertanyaan biasa.
Salma menegang. Sejak tadi, ia sudah merasa terpojok dengan obrolan Julius yang perlahan mulai menyerempet ke arah yang tidak nyaman. Pertanyaan itu terdengar seperti candaan ringan, tapi Salma tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelucon. Julius bukan orang yang berbicara tanpa tujuan. Dia memang punya hasrat mesum yang sudah makin berani dia ungkapkan..
Salma berusaha menjaga ekspresi tetap tenang, meski dalam hatinya ia merasa tersudut. “Saya jarang bikin kue apem, Pak Julius,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar biasa saja. “Kalaupun bikin, biasanya cuma untuk keluarga di rumah.”
Namun Julius tidak menyerah begitu saja. “Ah, masa cuma buat keluarga? Kalau buat tamu istimewa kayak saya, gak boleh?” tanyanya, suaranya semakin dalam, seolah menekan.
Salma mulai kehilangan kata-kata. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa agar percakapan ini berhenti tanpa memancing Julius untuk melangkah lebih jauh. Tatapannya terpaku ke luar jendela, berusaha mencari pelarian dari suasana canggung yang kian menyesakkan.
“Bapak bisa pesan saja di pasar,” jawabnya singkat, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Di sana banyak yang jual.”
“Beda dong, Bu. Kue apem Bu Salma pasti lebih spesial,” balas Julius dengan nada menggoda. Kali ini, ia sedikit tertawa, menambah tekanan pada ucapannya. Apalagi dia lagi-lagi seperti tempo hari langsung bilang kue apem bu Salma. Tidak menyebut buatan bu Salma. Perasaan wanita muslimah itu makin tidak karuan.
Salma menarik napas dalam, menahan rasa gelisah yang semakin menghimpit. Hatinya berkata bahwa Julius sengaja mendorong batas, menguji reaksinya. Ia tahu, semakin ia menunjukkan ketidaknyamanan, semakin Julius akan merasa menang.
“Terima kasih atas pujiannya, Pak Julius,” katanya akhirnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. “Tapi saya belum berminat bikinnya.” Nada tegas dalam ucapannya memberi sinyal bahwa ia tidak ingin percakapan ini berlanjut.
Julius terdiam sesaat, mungkin tidak menyangka Salma akan membalas dengan ketegasan seperti itu. Namun, ia kembali tersenyum kecil, seolah mengabaikan peringatan halus tersebut.
“Ah, semoga suatu saat bu Salma berminat ngasih apem buat saya.,” katanya, masih berusaha memperpanjang pembicaraan soal apem yang membuat Salma semakin merasa tidak nyaman.
Baca kelanjutan cerita ini sampai tamat di https://karyakarsa.com/RollyManan/salma-dan-tetangganya
atau hubungi telegram @elevensange
ns 15.158.61.20da2