Fahri adalah seorang pendakwah yang sudah mulai banyak mendapat undangan untuk ceramah. Di usianya yang sudah 36 tahun, ia bisa menghidupi keluarganya dari hasil sedekah para pengundangnya. Gaya ceramahnya cukup menyejukkan hati dengan pendekatannya yang moderat dan penuh toleransi. Berbeda dengan pendakwah lain yang terkadang terkesan keras atau menghakimi, Fahri selalu menyampaikan pesan-pesan agama dengan lembut dan penuh hikmah. Selain sebagai penceramah Fahri juga seorang ustadz di sebuah madrasah aliyah swasta.
Di sisi lain, Salma, istrinya yang berusia 29 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga yang berwajah cantik memancarkan pesona keanggunan. Sebagai seorang muslimah yang taat, ia selalu mengenakan busana syar’i yang menutupi tubuhnya dengan sempurna, mencerminkan kecantikannya yang terjaga.
Pasangan ini telah dikaruniai dua anak. Fadli, putra sulung mereka yang berusia 6 tahun, dan Salwa, si kecil ceria yang baru menginjak usia 2 tahun. Kehidupan mereka cukup harmonis setelah hampir delapan tahun pernikahan mereka.
"Fadli, coba lihat ke luar. Suara apa itu tadi? Sepertinya suara mobil," suara Salma memecah keheningan di ruang tamu. Deru angin bercampur suara mesin truk besar terdengar samar dari luar.
Fadli, yang sedang asyik bermain dengan mainannya di lantai, langsung menghentikan aktivitasnya. Tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursi dan berjalan ke teras rumah. Matanya mengarah ke rumah kosong di sebelah, yang selama ini tampak seperti tempat tak berpenghuni.
Rumah itu sudah lama dibiarkan terlantar. Cat temboknya kusam, dan halaman depannya dipenuhi semak belukar yang tumbuh liar. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Di teras rumah itu terlihat beberapa kotak kardus besar. Sebuah mobil bak terbuka terparkir di depan, dengan mesin yang masih menyala. Seorang lelaki, kira-kira seusia ayahnya, berdiri di dekat mobil sambil mengawasi beberapa orang yang sibuk mengangkat barang-barang dari kendaraan ke dalam rumah.
“Itu di rumah sebelah, Ummi,” kata Fadli sambil menoleh ke dalam rumah.
Sore itu, Fahri, suami Salma, pulang dari kegiatan ceramahnya di luar kota. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyum hangat tetap menghiasi wajahnya saat ia melangkah masuk ke rumah. Aroma masakan yang menggoda dari dapur menyambutnya, bersama suara riang Salwa yang berlarian di ruang tengah.
Setelah menaruh tas kerjanya di sudut ruangan, Fahri duduk di sofa sambil meluruskan kaki. “Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga,” ucapnya lega.
Salma muncul dari dapur dengan secangkir teh hangat di tangannya. “Bagaimana ceramahnya tadi, Abi? Lancar?” tanyanya sambil meletakkan teh di meja depan suaminya.
“Lancar, alhamdulillah. Tapi cukup melelahkan karena perjalanannya jauh,” jawab Fahri sambil mengambil teh itu dengan penuh syukur. Ia menyeruput perlahan, menikmati hangatnya.
“Oh ya, ada kabar baru di sini,” ujar Salma, suaranya terdengar antusias. “Rumah sebelah yang sudah lama kosong itu akhirnya ada penghuninya.”
Fahri terkejut, lalu meletakkan cangkirnya. “Benarkah? Ummi udah kenalan dengan mereka?” tanyanya penasaran.
Salma tersenyum sambil duduk di sebelahnya. “Belum kenalan sih. Tadi siang mereka baru mulai pindahan. Ada beberapa orang mengangkat barang ke dalam rumah. Sepertinya keluarga kecil, aku hanya melihat mereka dari jendela saja.”
Fahri mengangguk, rasa penasaran mulai menghampirinya juga. “Semoga mereka tetangga yang ramah dan mau bersilaturahmi. Sudah lama kita tidak punya tetangga dekat.” ujarnya.
“Betul. Ummi juga berpikir begitu. Mungkin besok kita bisa mampir untuk menyapa mereka,” kata Salma.
Fahri tersenyum, matanya berbinar. “Itu ide bagus. Sebagai pendatang baru, mereka pasti akan merasa senang jika disambut dengan hangat.”
Percakapan mereka terus berlanjut, membayangkan berbagai hal tentang penghuni baru rumah sebelah. Rasa lelah Fahri perlahan tergantikan oleh antusiasme, dan sore itu menjadi momen hangat yang diisi harapan akan hubungan baik dengan tetangga baru mereka.
Sejak tinggal di kompleks ini, Fahri merasa lingkungan sekitar rumahnya cenderung sepi. Di depan rumah mereka, tinggal sebuah keluarga Tionghoa yang ramah, namun jarang berinteraksi lebih dari sekadar sapaan. Rumah-rumah lainnya di kompleks, yang letaknya agak berjauhan, sebagian besar juga dihuni oleh orang-orang yang sibuk dan lebih sering tidak berada di rumah.
Fahri yang sudah selesai mandi segera menikmati secangkir kopi hangat. Angin sore berembus lembut, membawa aroma dedaunan basah setelah hujan siang tadi. Di tengah keheningan, suara seseorang terdengar memecah suasana.
"Selamat sore," terdengar salam dari depan rumahnya.
Fahri melihat ke depan rumah. Di depan pagar rumahnya berdiri seorang lelaki berkulit gelap dengan tubuh kekar. Lelaki itu mengenakan kaos polos yang dipadukan dengan celana jeans sederhana. Di lehernya tergantung sebuah kalung salib yang mencolok. Usianya tampak sekitar 35-an tahun, hampir sebaya dengan Fahri. Dia segera menduga pasti ini tetangga barunya.
"Selamat sore juga, mari silahkan masuk." jawab Fahri sambil segera bangkit dan membuka pintu pagar.
Lelaki itu tersenyum ramah, mengulurkan tangan. “Terima kasih. Saya Julius, baru pindah ke rumah sebelah.” katanya memperkenalkan diri.
Fahri menyambut uluran tangan Julius dengan hangat. “ Saya Fahri. Selamat datang di kompleks ini. Kalau ada yang bisa dibantu jangan sungkan-sungkan!”
Julius menggeleng sambil tetap tersenyum. “Oh, tidak, terima kasih. Kami sedang membereskan barang-barang. Tapi kalau tidak keberatan, nanti mungkin kami akan butuh bantuan untuk informasi soal lingkungan sekitar. “
Fahri tersenyum ramah, menatap Julius dengan mata bersahabat. “Tentu saja, kalau butuh apa-apa, kami di sini siap membantu. “
“Terima kasih, mas Fahri,” ujar Julius tulus. Ia kemudian melirik ke arah rumahnya yang masih sibuk dengan aktivitas pindahan. “Oh ya, istri saya ingin sekali berkenalan dengan para tetangga. Mungkin nanti kami mampir.”
“Tentu, kami akan senang sekali. Kapan pun kalian sempat, jangan ragu untuk datang,” balas Fahri.
Percakapan singkat itu terasa begitu hangat. Julius tampak sebagai orang yang ramah dan penuh semangat. Kehadiran keluarga baru ini mungkin akan membawa warna baru di kompleks yang selama ini terasa sepi bagi Fahri.
Setelah berbincang sebentar, Julius kembali ke rumahnya. Fahri menutup pagar dan kembali masuk ke dalam. Salma istrinya memandangnya dengan penasaran.
"Sepertinya mereka orang Ambon dengar dari logatnya," katanya.
"Iya," jawab Fahri. "Semoga mereka ramah dan betah di sini."
Namun di dalam hati, Fahri merasa ada sesuatu yang berbeda dari Julius. Bukan sesuatu yang buruk, hanya saja ada aura misterius dari lelaki itu yang belum bisa dia jelaskan. Mungkin hanya perasaan sesaat, pikirnya. Bagaimanapun, dia merasa tetangga baru ini akan membawa cerita baru di kompleks tempat mereka tinggal.
1726Please respect copyright.PENANAp391V6B0cu
1726Please respect copyright.PENANAK0ltAUedfA
1726Please respect copyright.PENANAOcmaOhJd2T
1726Please respect copyright.PENANAV5fRx6BIBS
1726Please respect copyright.PENANArgXWeKbRRQ
1726Please respect copyright.PENANATBv4cE97rb
Malam itu, suasana di rumah Fahri terasa hangat dan penuh canda tawa. Julius dan istrinya, Rita, datang bertamu untuk berkenalan dengan keluarga Fahri dan Salma. Mereka membawa sebuah bingkisan sederhana berupa kue tradisional sebagai tanda perkenalan.
“Maaf kalau kedatangan kami malam-malam begini,” ujar Julius sambil tersenyum, menyerahkan bingkisan kepada Salma.
“Ah, tidak apa-apa. Kami justru senang akhirnya bisa bertemu dan mengenal lebih dekat,” jawab Salma sambil mempersilakan mereka duduk di ruang tamu.
Obrolan pun dimulai dengan topik ringan. Fahri menanyakan kabar kepindahan mereka, dan dari situ percakapan mengalir lancar. Rita, seorang perempuan manis dengan logat Ambonnya yang sangat kental.
“Suami saya dapat tugas pindah kerja ke kota ini,” cerita Rita sambil meminum teh yang disajikan Salma. “Kami sempat bimbang apa harus bawa anak-anak ikut kami atau meninggalkan mereka di Ambon. Tapi karena mereka memilih tinggal bersama nenek mereka, akhirnya kami memutuskan untuk tidak memindahkan mereka.”
Fahri mengangguk penuh pengertian. “Pasti berat untuk berjauhan dengan anak-anak. Berapa usia mereka sekarang?” tanyanya.
“Yang sulung sudah kelas tiga SMP, sementara adiknya baru kelas satu SMP,” jawab Julius. “Mereka dekat sekali dengan neneknya. Jadi kami pikir lebih baik mereka tetap di sana, apalagi sekolahnya bagus.”
Salma tersenyum lembut. “Semoga mereka selalu sehat dan betah di sana. Kalau ada waktu, ajak mereka ke sini untuk liburan. Kota ini juga punya banyak tempat menarik yang bisa mereka nikmati.”
Rita mengangguk setuju. “Iya, kami berencana mengundang mereka ke sini kalau liburan sekolah nanti.”
Malam itu terasa begitu hangat. Kehadiran Julius dan Rita membawa suasana baru dalam kehidupan Fahri dan Salma. Mereka merasa menemukan teman baru yang tidak hanya ramah tetapi juga nyambung saat diajak ngobrol.
Saat Julius dan Rita pamit, Fahri mengantar mereka hingga ke depan pagar. “Terima kasih sudah mampir. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Kami akan dengan senang hati membantu,” ujar Fahri.
“Terima kasih juga sudah menerima kami dengan hangat. Kami merasa seperti sudah kenal lama.” Balas Julius sambil tersenyum.
Di bawah langit malam yang cerah, mereka berpamitan dengan senyum di wajah masing-masing. Hubungan tetangga yang baru ini terasa begitu berarti bagi keluarga Fahri.
Fahri masih duduk di sofa ruang tamu sambil melihat-lihat ponselnya. Siapa tahu ada undangan menjadi penceramah. Malam semakin larut, dan suasana rumah terasa tenang setelah Julius dan Rita pulang. Salma menyusul duduk di sampingnya, menyandarkan tubuhnya yang lelah namun bahagia setelah berbincang dengan tetangga baru.
“Gimana, Ummi? Apa pendapatmu tentang tetangga baru kita?” tanya Fahri, memecah keheningan.
Salma tersenyum kecil. “Kelihatannya mereka baik dan bersahabat, Abi. Rita orangnya ramah sekali, dan Julius juga sopan. Aku senang mereka pindah ke sini, jadi kita nggak merasa terlalu sepi lagi.”
Fahri mengangguk pelan, sejalan dengan apa yang ia rasakan. Kehadiran keluarga Julius membawa semacam angin segar bagi mereka, memberikan harapan untuk hubungan bertetangga yang hangat di masa depan.
Setelah berbicara sejenak, Fahri dan Salma memutuskan untuk beristirahat. Malam itu, seperti kebiasaan mereka, mereka menutup hari dengan menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Namun, seiring berjalannya waktu, Fahri yang kini berusia 36 tahun mulai merasakan bahwa tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Sejak memasuki usia 30-an, ia merasa semakin sulit untuk mengimbangi energi Salma yang masih begitu segar dan penuh semangat.
Fahri hanya menurunkan celana dan celana dalam semetara pakaian atas tetap dia pakai. Sementara Salma juga hanya menyingkap gamisnya ke atas sampai payudaranya yang masih tertutup BH. Fahri menyusupkan jemarinya kedalam BH dan meremas payudara itu. Setelah itu dia mengelus memek Salma dan tidak lama dia mulai memasukan batang kemaluannya ke dalam memek istrinya. Tidak terlalu sulit karena kontol Fahri tidaklah besar. Salma yang telah melahirnya dua anak secara normal tentu kontol milik Fahri suaminya dengan mudah masuk.
Fahri menggenjot kontolnya dalam memek Salma dan tidak butuh lama Fahri mengejang dan menyemprotkan maninya ke dalam memek Salma. Setelah itu Fahri terkulai lemas. Sementara Salma belum merasakan kenikmatan apa-apa.
Meski begitu, Salma tak pernah mengeluh atau mempermasalahkan keadaan ini. Ia selalu bersikap pengertian dan menerima Fahri apa adanya. Baginya, cinta dan kebersamaan dengan Fahri jauh lebih penting daripada hal-hal lain. Dalam pandangannya, pernikahan adalah tentang saling melengkapi, bukan mencari kesempurnaan.
Di tengah malam yang sunyi, Fahri memandangi Salma yang tertidur di sisinya. Dalam hati, ia merasa bersyukur memiliki istri seperti Salma selain cantik dan memiliki tubuh yang indah sekaligus menjadi seseorang yang tak hanya sebagai pendamping hidup, tetapi juga sahabat sejatinya.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2