Chapter 3
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pikiranku berputar-putar, mempertimbangkan segala risiko dan konsekuensi. Tapi, semakin aku berpikir, semakin aku merasa bahwa pertemuan ini mungkin adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kejelasan. Aku perlu tahu, apakah perasaanku pada Bram masih ada, atau apakah ini hanya nostalgia semata. Akhirnya, setelah berpikir cukup panjang, aku memutuskan untuk mengirim balasan.
“Oke, kita bertemu. Tapi hanya ngobrol, ya.”
Aku memilih sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai, tempat yang jauh dari keramaian dan orang-orang yang mungkin mengenaliku. Aku tidak ingin ada yang melihatku bersama Bram, apalagi sampai menimbulkan prasangka. Aku tahu ini adalah keputusan yang berisiko, tapi aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk menjawab semua pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiranku.
Sebelum berangkat, aku memastikan untuk menghapus semua pesan antara aku dan Bram di ponselku. Aku tidak ingin ada bukti yang bisa menyulitkanku nanti. Setiap pesan yang terhapus terasa seperti langkah kecil untuk melindungi diriku dari kemungkinan terburuk. Tapi, di balik itu, ada perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatiku. Aku tahu ini bukan hal yang benar, tapi aku tidak bisa menahan diri.
Saat aku tiba di kafe, Bram sudah duduk di sudut ruangan, menatap ke arah pintu dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dia tersenyum saat melihatku, dan aku merasa jantungku berdegup kencang. Aku mencoba tersenyum balik, meskipun hatiku penuh dengan keraguan. Aku mendekatinya dengan hati yang berdebar kencang.
“Terima kasih sudah datang, Zahira,” ujarnya saat aku duduk di depannya.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “ Maaf Bram aku masih merasa ini kurang baik bagi kita berdua.”
Dia menatapku dengan mata yang penuh arti. “Aku tahu, Zahira. Tapi aku rasa kita perlu berbicara. Ada banyak hal yang belum selesai antara kita.”
Aku menunduk, tidak bisa menatap matanya. “Bram, kita sudah membicarakan ini. Kita tidak bisa mengubah masa lalu.”
“Aku tahu, Zahira. Tapi, apa kamu benar-benar bahagia? Apa kamu benar-benar mencintai suamimu?”
Pertanyaannya membuatku tertegun. Aku tidak bisa menjawab dengan jujur. Aku tahu aku berbohong saat aku bilang aku mencintai Haris. Tapi, aku tidak bisa mengakuinya pada Bram.
“Aku… aku mencoba, Bram. Aku mencoba untuk mencintainya.” Aku keceplosan mengatakannya.
Bram menghela napas, matanya terlihat sedih. “Zahira, aku tahu kamu. Aku tahu ketika kamu tidak jujur pada dirimu sendiri. Kamu tidak bahagia, kan?”
Aku merasa air mata mulai menggenang di mataku. “Bram, tolong jangan. Aku sudah menikah. Aku punya tanggung jawab.”
“Tapi, Zahira, tanggung jawab tidak bisa menggantikan cinta. Kamu tidak bisa terus menjalani hidup dengan perasaan terpendam seperti ini.”
Aku menangis, tidak bisa lagi menahan emosiku. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Bram. Aku terjebak. Aku mencoba untuk mencintai Haris, tapi hatiku tidak bisa melupakanmu.”
Bram meraih tanganku, memegangnya dengan erat. “Zahira, aku masih mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”
Aku menatapnya, merasa hancur di dalam. “Bram, aku tidak bisa. Aku sudah menikah. Aku tidak bisa mengkhianati Haris.”
“Tapi, Zahira, kamu juga tidak bisa mengkhianati dirimu sendiri. Kamu tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.”
Aku menarik tanganku dari genggamannya, merasa semakin terpuruk. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Bram. Aku terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan.”
Bram menatapku dengan mata yang penuh kasih sayang. “Zahira, aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Jika kamu benar-benar mencintai Haris, aku akan menghormati itu. Tapi, jika kamu masih mencintaiku, tolong jangan menyangkal perasaanmu.”
Aku menangis, tidak bisa lagi menahan beban yang ada di hatiku. “Aku tidak tahu, Bram. Aku benar-benar tidak tahu.”
Bram mengangguk, matanya juga terlihat berkaca-kaca. “Aku mengerti, Zahira. Tapi, tolong pikirkan baik-baik. Jangan biarkan hidupmu terjebak dalam kebohongan. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Aku mengangguk, meskipun hatiku masih merasa hancur. “Aku akan memikirkannya, Bram. Tapi, tolong beri aku waktu.”
Dia tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan dalam senyumannya. “Aku akan memberimu waktu, Zahira. Tapi, tolong jangan lupakan satu hal: aku masih mencintaimu, dan aku akan selalu ada untukmu.”
Aku menatapnya, merasa campuran emosi yang sulit untuk dijelaskan. Aku tahu bahwa pertemuan ini hanya akan membuat segalanya semakin rumit. Aku terjebak di antara dua cinta: satu yang sudah menjadi tanggung jawabku, dan satu lagi yang tidak pernah benar-benar pergi dari hatiku.
“Aku antar kamu pulang ya?” tawar Bram.
“Gak usah entar bisa jadi masalah.” Sahut aku.
“Gapapa aku antar sampai ke minimarket yang kemaren kita ketemu!”
“Aku naik taxi online saja.”
“Oke baiklah kalau gitu.”
Setelah pamitan Bram pergi dengan mobilnya. Aku menunggu taxi online yang aku pesan di halaman kafe dengan hati yang berat. Aku tahu bahwa aku harus membuat keputusan, tapi aku tidak yakin apa yang harus aku lakukan. Aku terjebak dalam dilema yang semakin dalam, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini.
Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban yang tepat. Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa terus berjalan, mencoba untuk tidak tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mengikutiku.
275Please respect copyright.PENANAWUZTuOchAE
***
275Please respect copyright.PENANA6by72qdHdX
Aku kembali ke rumah dengan pikiran yang terus menerawang ke masa lalu. Pertemuan dengan Bram telah membuka luka lama yang sebenarnya tak pernah benar-benar sembuh. Lima tahun kami berpacaran—waktu yang tidak singkat—telah meninggalkan jejak yang dalam di hidupku. Kami bukan hanya sepasang kekasih yang saling mencintai, tapi juga dua orang yang telah berbagi begitu banyak momen intim, momen yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasakan cinta yang begitu dalam.
Bram dan aku sudah melakukan hal-hal yang sering dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Kami pernah begitu dekat, begitu nyaman satu sama lain, hingga batasan-batasan itu perlahan-lahan memudar. Saking cintanya aku sampai menyerahkan keperawanku kepada Bram. Saat pengumuman kelulusan SMA kami melakukan hubungan intim yang dilarang oleh agama bagi yang bukan suami istri. Kemudian kami makin ketagihan melakukannya setelah itu.
Meski aku seorang muslimah yang taat yang sanggup menjalani perintah agama dan menjauhi apa yang dilarang oleh agama. Tapi ada satu larangan yang tidak bisa aku lawan. Aku tidak bisa menolak hasrat birahi yang meluap-luap saat terbuai asmara. Saat berpacaran dengan Bram kami sudah sangat dekat. Satu kelemahanku adalah saat aku dicium oleh orang yang aku sukai maka aku tidak akan mampu mencegah dia meminta lebih. Itulah yang membuat aku sampai melampaui batasan.
Saat kami duduk di bangku kuliah kami makin sering berzinah dan makin ketagihan. Meski begitu aku tidak bersedia ketika Bram mengajak aku pindah agama agar kami bisa menikah. Aku tetaplah wanita muslimah yang kokoh dengan keyakinan aku. Aku tahu berzinah itu dosa tapi aku ingin tetap menjadi seorang muslimah.
Aku menikah dengan Haris dalam keadaan yang tidak lagi perawan. Itu adalah rahasia yang aku simpan rapat-rapat, sesuatu yang tidak pernah aku ceritakan pada suamiku itu. Aku takut, takut akan penilaiannya, takut akan reaksinya. Tapi, sejauh ini, Haris tidak pernah protes atau bertanya tentang itu.
Malam pertama kami berjalan lancar, bahkan terasa begitu mudah bagi Haris yang aku yakin masih perjaka saat itu. Tak ada usaha ekstra dari Haris untuk bersusah payah merobek selaput daraku. Karena memang sudah direnggut oleh Bram. Aku tidak tahu apakah Haris menyadarinya atau tidak, tapi dia tidak pernah membahasnya. Mungkin dia memilih untuk tidak bertanya, atau mungkin dia memang tidak peduli. Tapi, diamnya itu justru membuatku semakin merasa bersalah.
Taxi online yang aku tumpangi telah sampai di depan rumahku. Saat aku memasuki rumah, Haris ternyata sudah pulang kantor dan sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum saat melihatku masuk.
“Wah mas udah pulang. Tumben hari ini pulang cepat.” Ucap aku.
“Kebetulan tadi atasan aku minta aku ketemu kepala dinas Pertanian jadi kelar urusan itu aku tidak balik lagi ke kantor. Kamu dari mana dek? ”
“Aku nemenin Tiwi jalan ke Mall. Kebetulan juga ada beberapa kebutuhan yang harus dibeli.”
Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku berat karena aku mesti berbohong. Tak mungkin juga aku jujur bahwa aku baru menuaikan janji menemui mantan di sebuah cafe.
Haris mengangguk, lalu kembali fokus pada ponselnya. Aku berdiri di sana sebentar, memandanginya. Dia adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha membuatku nyaman. Tapi, kenapa aku tidak bisa mencintainya sepenuhnya? Kenapa hatiku masih terbelenggu oleh kenangan masa lalu?
Aku berjalan ke kamar, menutup pintu perlahan. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang foto pernikahan kami yang tergantung di dinding. Kami terlihat bahagia di foto itu, tapi apakah kebahagiaan itu nyata? Atau hanya topeng yang kami kenakan untuk memenuhi harapan orang lain?
Pikiranku kembali melayang ke Bram. Dia masih mencintaiku, dan aku tahu perasaanku padanya juga belum benar-benar hilang. Tapi, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan pernikahanku untuk mengejar cinta yang dulu? Tapi bagaimana dengan perbedaan keyakinan kami? Apa mungkin Bram mengalah dan mau jadi mualaf? Atau apakah aku harus tetap setia pada Haris, meskipun hatiku tidak sepenuhnya miliknya? Memaksakan diri untuk mencintai Haris telah aku coba dan sejauh ini aku tetap sulit mengakui bahwa aku memang tidak bisa mencintai Haris.
Aku merasa terjebak dalam dilema yang semakin dalam. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, tapi setiap kali aku mencoba memikirkannya, kepalaku terasa penuh dan hatiku semakin sakit.
Aku berbaring di tempat tidur, mencoba untuk menenangkan diri. Tapi, kenangan-kenangan dengan Bram terus menghantuiku. Aku ingat bagaimana dia memelukku erat, bagaimana dia menciumku dengan penuh kasih sayang, dan bagaimana kami berjanji untuk selalu bersama. Tapi, janji itu hancur karena perbedaan yang tidak bisa kami atasi.
Aku merasakan beban yang semakin berat. Aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku harus jujur pada diriku sendiri, dan mungkin juga pada Haris. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa mengungkapkan rahasia yang selama ini aku sembunyikan?
Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menemukan jalan keluar, meskipun itu berarti aku harus menghadapi konsekuensi yang mungkin akan menyakitkan.
Bersambung
ns 18.68.41.177da2