![](https://static.penana.com/images/chapter/1622097/xA_Screenshot_101.png.png)
Chapter 5
Suatu malam, saat Haris sudah terlelap, aku duduk di teras rumah, memandang langit malam yang dipenuhi bintang. Aku merenung, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku. Kenapa aku merasa begitu kosong? Kenapa aku tidak bisa mencintai Haris sepenuhnya? Dan kenapa kenangan tentang Bram terus menghantuiku?
Aku mencoba mengingat momen-momen bahagia bersama Haris. Dia adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha membuatku bahagia. Tapi, kenapa itu tidak cukup? Kenapa hatiku masih terbelenggu oleh masa lalu?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang.
Tapi, di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang aku sadari: aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku tidak bisa terus menjalani pernikahan yang terasa begitu hambar, sementara hatiku masih terikat pada kenangan masa lalu. Aku harus jujur pada diriku sendiri, dan mungkin juga pada Haris.
Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi aku percaya bahwa dengan pertolongan-Nya, aku akan menemukan jawaban yang benar. Dan, pada akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang aku buat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
Aku kembali ke kamar, melihat Haris yang masih terlelap. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang wajahnya yang tenang. Dia adalah suami yang baik, dan aku tahu dia pantas mendapatkan istri yang mencintainya sepenuh hati. Tapi, apakah aku bisa menjadi istri yang dia butuhkan? Apakah aku bisa mencintainya dengan tulus, tanpa bayangan Bram terus menghantuiku?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang.
Aku berbaring di samping Haris, menutup mata dan mencoba untuk tidur. Tapi, tidur tidak kunjung datang. Pikiranku terus berputar-putar, memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban yang tepat. Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa terus berjalan, mencoba untuk tidak tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mengikutiku.
Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi aku percaya bahwa dengan pertolongan-Nya, aku akan menemukan jawaban yang benar. Dan, pada akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang aku buat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
***
Telepon dari Tiwi, sahabatku sejak SMA, datang di tengah kebingungan yang sedang kuhadapi. Suaranya yang riang seperti biasa, tapi ada nada serius yang terselip di balik kata-katanya. “Zahira, kamu tahu Bram sudah kembali ke kota ini, kan?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba berdegup kencang.
“Iya,” Sahut aku.
“Kamu pasti sudah ketemu dia kan?”
“Iya aku sudah ketemu dia beberapa waktu lalu,” jawabku, berusaha terdengar biasa-biasa saja.
“Dia ngajak ketemuan?”
“Gak kami ketemu gak sengaja.”
“Zahira, aku cuma mau bilang kamu harus hati-hati ya,” suara Tiwi menjadi lebih serius. “Aku nggak mau ikut campur urusanmu, tapi sebagai sahabat, aku harus kasih tahu. Bram pernah bilang ke aku dia sangat kecewa waktu tahu kamu nikah. Dia bahkan pernah bilang dia berniat mau merusak pernikahanmu.”
Aku merasa seperti ditampar. Kata-kata Tiwi itu seperti membuka luka lama yang belum sembuh. “Apa? Dia bilang begitu?” tanyaku, suaraku hampir bergetar.
“Iya, Zahira. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Kamu sudah punya hidup baru sekarang, sama Haris. Jangan sampai Bram masuk dan mengacaukan semuanya,” lanjut Tiwi, suaranya penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. “Aku nggak tahu, Tiwi. Aku bingung. Aku nggak bisa bohong, aku masih ada perasaan sama Bram. Tapi aku juga nggak mau menyakiti Haris.”
“Zahira, kamu harus tegas. Kamu sudah memilih jalanmu. Jangan biarkan masa lalu merusak apa yang sudah kamu bangun sekarang. Haris itu orang baik, dan dia pantas dapat yang terbaik dari kamu,” kata Tiwi, suaranya lembut tapi tegas.
Aku menutup mata, merasakan air mata mulai menggenang. “Aku tahu, Tiwi. Tapi ini nggak semudah itu. Aku nggak bisa begitu saja melupakan Bram.”
“Aku mengerti, Zah. Tapi kamu harus ingat, Bram dulu yang memilih untuk pergi. Dia yang nggak bisa menerima kamu apa adanya. Sekarang kamu sudah punya hidup baru. Jangan biarkan dia masuk dan mengacaukan semuanya,” Tiwi mencoba menenangkanku.
Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihatnya. “Aku akan coba, Tiwi. Aku akan coba untuk tegas.”
“Kalau kamu butuh teman ngobrol, aku selalu di sini. Jangan sampai kamu sendirian menghadapi ini,” ujar Tiwi sebelum kami mengakhiri pembicaraan.
“Terima kasih atas dukungan kamu Tiwi, kamu emang teman aku yang paling baik!”
Setelah menutup telepon, aku duduk di sofa, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Peringatan dari Tiwi itu seperti tamparan keras yang membangunkanku dari lamunan. Aku tahu dia benar. Aku sudah memilih jalan hidupku dengan Haris, dan aku tidak boleh membiarkan Bram masuk dan mengacaukan semuanya.
Tapi, kenapa hatiku masih terasa berat? Kenapa aku masih merindukan Bram? Kenapa kenangan-kenangan indah bersamanya terus menghantuiku?
Aku mencoba mengingat momen-momen bahagia bersama Haris. Dia adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha membuatku bahagia. Tapi, kenapa itu tidak cukup? Kenapa hatiku masih terbelenggu oleh masa lalu?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang.
Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi aku percaya bahwa dengan pertolongan-Nya, aku akan menemukan jawaban yang benar. Dan, pada akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang aku buat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
Aku kembali ke kamar, melihat Haris yang masih terlelap. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang wajahnya yang tenang. Dia adalah suami yang baik, dan aku tahu dia pantas mendapatkan istri yang mencintainya sepenuh hati. Tapi, apakah aku bisa menjadi istri yang dia butuhkan? Apakah aku bisa mencintainya dengan tulus, tanpa bayangan Bram terus menghantuiku?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu berarti aku harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang.
Aku berbaring di samping Haris, menutup mata dan mencoba untuk tidur. Tapi, tidur tidak kunjung datang. Pikiranku terus berputar-putar, memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban yang tepat. Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa terus berjalan, mencoba untuk tidak tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mengikutiku.
Aku berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi aku percaya bahwa dengan pertolongan-Nya, aku akan menemukan jawaban yang benar. Dan, pada akhirnya, aku hanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang aku buat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
185Please respect copyright.PENANAdj6EMoy1Uz
***
Siang selesai mengerjakan pekerjaan rutinku aku sebagai ibu rumah tangga aku menerima telpon dari Rachel dekat aku waktu SMA selain Tiwi. Sudah lama aku tidak pernah teleponan dengan dia. Suaranya riang, seperti biasa.
“Zahira, kamu nggak akan percaya apa yang akan aku bilang ini!” katanya, tertawa kecil.
“Ada apa, Rachel?” tanyaku, mencoba menebak apa yang akan dia katakan.
“Bram baru aja ketemu aku,” ujarnya, masih dengan nada bercanda. “Dia bilang dia masih sangat merindukan kamu, Za.”
“Rachel, emang dia bilang gitu ya?” tanyaku, suaraku hampir bergetar.
“Iya, Zah. Bram bilang dia masih sangat mencintaimu. Dia nggak bisa move on, kayaknya. Jadi, kalau kamu mau, rumahku selalu siap buat kalian, heheheheh becanda.” Rachel melanjutkan dengan tertawa kecil.” Btw kalau kamu kangen dan mau bernostalgia, rumahku selalu terbuka untuk kalian berdua. Kayak dulu lagi, deh!”
Aku merasa seperti ditampar. Kata-kata Rachel itu seperti membuka kotak kenangan yang sudah lama kukunci rapat. Rumah Rachel adalah tempat di mana aku dan Bram pertama kali berhubungan intim. Tempat itu juga menjadi saksi bisu dari begitu banyak momen intim kami setelahnya. Orang tua Rachel yang sibuk bekerja membuat rumahnya selalu sepi, dan kami sering memanfaatkannya untuk memadu kasih. Rachel yang mensuport aku agar mau melepaskan keperawanan kepada kekasihku. Karena dia bilang saat itu dia sudah tidak perawan dan dia ingin aku juga seperti dia. Rachel yang memanas manasi aku betapa enaknya berhubungan intim dengan lelaki.
Aku merasa campuran emosi yang sulit untuk dijelaskan. Sejujurnya aku merindukan Bram, merindukan keintiman yang pernah kami bagi. Tapi, aku tahu ini salah. Aku sudah menikah dengan Haris, dan aku tidak boleh membiarkan diri terjerumus ke dalam situasi yang bisa merusak pernikahanku.
“Rachel, aku nggak tahu harus bilang apa. Aku sudah menikah sekarang. Aku nggak bisa melakukan hal seperti itu,” jawabku, mencoba untuk terdengar tegas.
“Ah, Zahira, kamu terlalu serius. Ini cuma nostalgia, kok. Nggak ada yang salah dengan itu,” Rachel mencoba meyakinkanku.’ Kita ketemuan ngobrol-ngobrol kayak reuni gitu.”
“Aku nggak bisa, Rachel. Biar bagaimanapun itu bisa mengarah pada hal-hal yang merusak rumah tangga aku,” kataku, suaraku semakin lemah.
Rachel menghela napas. “Oke, Za. Aku nggak mau memaksamu. Tapi, kalau kamu berubah pikiran, aku dengan senang hati menunggu kehadiran kamu.”
Setelah menutup telepon, aku duduk di sofa, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Pikiran dan perasaanku bergejolak. Kenangan-kenangan indah bersama Bram terus menghantuiku, tapi aku juga tahu aku tidak boleh membiarkan diri terjerumus ke dalam situasi yang bisa merusak pernikahanku.
Kucoba mengingat momen-momen bahagia bersama Haris. Dia adalah suami yang baik, orang yang selalu berusaha membuatku bahagia. Tapi, kenapa itu tidak cukup? Kenapa hati ini masih terbelenggu oleh masa lalu?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku sadara tidak bisa terus seperti ini. Sebuah keputusan harus dibuat, meskipun itu berarti harus menghadapi ketidakpastian dan rasa sakit yang mungkin akan datang. Dalam hati, kupanjatkan doa memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Jalan ini tidak akan mudah, tapi ada keyakinan bahwa dengan pertolongan-Nya, jawaban yang benar akan ditemukan. Dan, pada akhirnya, kuhanya bisa berharap bahwa apapun keputusan yang kubuat, itu akan membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk semua orang yang terlibat.
Saat melangkah ke kamar, kulihat Haris yang masih terlelap. Aku duduk di tepi tempat tidur, kupandangi wajahnya yang tenang. Dia adalah suami yang baik, dan pantas mendapatkan istri yang mencintainya sepenuh hati. Tapi, apakah aku bisa menjadi istri yang dia butuhkan? Mungkinkah mencintainya dengan tulus, tanpa bayangan Bram terus menghantuiku?
Kubaringkan tubuhku di samping Haris, menutup mata mencoba untuk tidur. Namun, tidur tak kunjung datang. Pikiran terus berputar-putar, melayang antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti. Harapan masih ada bahwa suatu hari nanti, jawaban yang tepat akan kutemukan. Tapi, untuk saat ini, langkah ini terus berjalan, berusaha untuk tidak tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mengikuti.
Dalam keheningan malam, hanya berdoa yang bisa aku lakukan, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Keyakinan pada pertolongan-Nya memberi aku kekuatan untuk menemukan jawaban yang benar. Pada akhirnya, harapan sederhana terucap agar setiap keputusan membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi semua yang terlibat.
185Please respect copyright.PENANAXLsUfHb7FH
Bersambung
185Please respect copyright.PENANAjES3jnsG6A