ETH #2
Ethellia berbaring terlentang di karpet tebal ruang tamu yang luas. Ia menatap langit-langit dalam pandangan linglung.
“Wisuda, ya?” gumam Ethellia.
Megan yang membawa beberapa majalah fashion menatap adik iparnya yang bergumam aneh. Ia memasang kaca mata dan mulai membaca tanpa menegur posisi terlentang yang tidak sopan itu.
“Hei Kakak Ipar, kapan Kak Re pulang?” tanya Ethellia dengan menyenggol kaki Megan.
“Gak tau tuh.”
“Loh kok ga tau sih?”
Pengin sekali Ethellia melempar barang-barang busuk kepada kakak iparnya itu. Wanita jahat ini semakin tidak berperasaan dari hari ke hari.
“Tanya aja sana sama kakakmu itu.”
Ethellia mengangkat alisnya seraya memberikan senyum picik. “Loh kenapa? Kan Kakak Ipar istrinya Kak Re. Wajar dong kalau aku nanya sama Kakak Ipar.”
Megan bahkan tidak termakan asutan gadis bodoh yang hanya ingin membuatnya marah. Ia mendengus dan kembali membaca majalahnya. Ethellia ingin membuka mulutnya lagi untuk menyemburkan omong kosong namun saat melihat tatapan seperti ular membuat Ethel mengenyahkan pikiran nistanya.
“Uh tidak asik banget,” gerutu Ethel pelan.
Megan masih ingin mengabaikan Ethel tetapi melihat wajahnya yang kesusahan seperti itu membangunkan rasa ingin tahunya. Gadis ini biasanya selalu bertingkah seakan dunia itu indah. Tertawa cekikikan dimana-mana yang bahkan membuat Megan selalu ingin menggali lubang karena malu. Mungkin tidak selalu, hanya terakhir kali gadis ini membuat wajah kesusahan hanya saat awal-awal ia kuliah.
“Hei Kak Ipar, lo masih ingat cinta pertama lo gak?”
Megan memasang wajah bingung dan memikirkannya sejenak bertanya apa maksud adik ipar kucelnya namun akhirnya menganggukkan kepala.
Ethellia membuka matanya lebar tidak menyangka kakak iparnya masih mengingat cinta pertamanya.
“Oh... Kenapa masih ingat?” tanya Ethellia penasaran dicampur malu-malu.
Megan mengendikkan bahunya acuh tak acuh. “Cuman ingat aja, kalau kamu ga nanya ga akan pernah terpikirkan, tuh.”
“Jadi maksudnya kesan lo sama orang yang pertama kali bikin lo jatuh cinta bukan sesuatu yang spesial,” kata Ethellia sembari menundukkan kepalanya.
“Tentu saja. Namanya juga yang pertama, kamu pikir sudah berapa tahun berlalu dan sekarang gue sudah menikah. Ngapain memikirkan sesuatu yang bukan bisnis kita? Bukannya sudah berlalu?” kata Megan sinis.
Ethellia mengigit bibirnya. Ia memasang wajah sedih. Yah mungkin tidak semua orang seperti dia yang masih memikirkan orang yang bahkan menolak perasaan kita mentah-mentah –bahkan kejam- di tempat pertama. Hanya saja perasaan itu masih memberikan rasa sakit kepadanya. Seakan ada sesuatu yang menghambat dan membuatnya sesak. Ethellia menjadi tidak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar di ruang utama. Megan menatap ngeri kepada Ethel yang tertawa. Awalnya, Megan sedikit curiga mengapa Ethel bersikap aneh dan tiba-tiba bertanya sesuatu yang klise seperti itu. Namun ketika melihat bagaimana ia tertawa sepertinya cuma membicarakan topik random.
Ethel juga tidak tahu kenapa ia tertawa sangat keras. Padahal tidak ada lelucon sama sekali.
Ah. Ia sebenarnya menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan kebodohannya sendiri.
●●
ns 15.158.61.42da2