ETH #3
“Eth, aku telah menemukan beberapa tempat yang bisa dijadikan referensi untuk desain kantor kita nanti. Coba lihat?”
“Eth, aku akan menyurvei beberapa tempat yang cocok untuk menjadi markas kita. Ini daftar negara yang telah aku terlusuri. Bagaimana?”
“Oh? Sepertinya tempat itu cukup bagus.”
“Yeah kita bisa berangkat beberapa setelah upacara kelulusan nanti.”
“Eth?”
“Eth?”
“Eth?”
Ethellia mengangkat kepalanya dari kertas besar di atas meja. Ia mengangkat kaca matanya sembari memijat pangkal hidungnya. Lalu merebahkan tubuhnya pada punggung kursi. Tiga orang di dalam ruangan tiba-tiba menjadi canggung tidak tahu bagaimana menanggapi suasana yang sedikit aneh. Akhirnya Ethel menatap teman-temannya yang canggung dengan senyum tipis.
“Yeah maaf. Apa tadi?”
Gadis berambut pendek ikal mengernyitkan alisnya. Mata madunya memandang wajah kusut Ethel sembari menghela nafas.
“Kenapa kamu Eth. Sejak tadi pagi kamu bersikap aneh.”
Ethellia memandang dua wanita dan satu laki-laki yang berwajah sangat baik ini dengan iri. Lalu mengingat penampilannya yang biasa-biasa saja menjadikannya bertanya-tanya bagaimana seumur hidupnya ia terus bertemu dengan orang-orang yang berwajah cantik dan tampan. Kakak kandungnya sendiri bahkan juga tampan mengapa ketika sampai kepadanya tidak ada satu pun gen baik itu turun kepadanya?
Lippe melihat tatapan melayang Ethel membuatnya pengin sekali melemparkan sesuatu ke kepalanya supaya ia sadar.
“Eth, kok kamu malah melamun sih? Kamu tolong deh fokus sedikit, Chief.”
Apabila Lippe sudah memanggilnya dengan sebutan chief maka ia benar-benar menyimpan niat buruk kepada Ethel. Ethel pun menyerah untuk bermain-main dan berdiri dari kursinya. Saat ia melihat proposal yang diajukan teman-temannya, ia mengelus dagunya dengan sikap sok misterius. Padahal itu tidak ada artinya sebab hampir keseluruhannya ia akan menyetujuinya begitu saja.
Ethel akan bersiap untuk mengangguk ketika ia melihat kembali nama negara Indonesia yang tercantum di dalamnya. Jantungnya seperkian detik berhenti berdetak. Seketika itu juga pandangannya menjadi dingin sehingga membuat Noah, Emma, dan Lippe ketakutan akan perubahan suasana yang tiba-tiba ini.
Ethel menaikkan sudut bibirnya yang terlihat aneh. Ia mengangkat kepalanya dari buklet kepada Noah yang bertanggung jawab untuk survei.
“Sepertinya kamu tertarik pergi ke Indonesia.”
Noah merasa ada sesuatu yang salah saat mendegar suara Ethel tetapi tidak yakin. Ia pertama menatap Lippe keheranan yang dibalas Lippe dengan memutar matanya pertanda tidak tahu.
“Yah begitulah,” ucap Noah ragu-ragu.
Ethel mendengus lalu meletakkan buklet itu sembarang. “Sepertinya tidak masalah. Kalian bisa melakukannya dengan kekebasan masing-masing.”
Emma masih sedikit curiga akan perubahaan suasana hati Ethellia sehingga berusaha sekalilagi mengkonfirmasi persetujuannya.
“Eth, sesuai kesepatakan yang lampau, kamu akan ikut menemani Noah.”
Sembari berjalan memunggungi mereka, Ethellia berjalan menuju meja kerjanya dengan kernyitan di dahinya. Ia jelas tidak akan mau menginjakkan kaki ke sana lagi.
“Aku akan. Tetapi beberapa negara tidak akan aku kunjungi.”
Emma mengangguk tidak mempertanyakan lebih lanjut. “Akan baik-baik saja untuk itu.”
Lippe menatap desain struktur yang sejak tadi menjadi fokus Ethellia. “Apa itu desain yang diminta Prof. Wilson untuk kamu kerjakan, Eth?”
Ethellia melirik desain itu dengan malas. “Ya, ia bilang akan membawaku untuk mempresentasikannya saat kami berangkat ke Italia.”
Noah mengangkat kepalanya. Jelas ia tertarik terhadap topik ini. “Prof. Wilson sepertinya berharap banyak padamu, Eth.”
Lippe menganggukkan kepalanya menyetujui. “Itu bagus. Selama kamu berhasil akan membawa dampak besar bagi bisnis kita.”
Ethellia diam tidak menanggapi. Ia duduk dan memperhatikan sketsa itu sekilas. Tentu saja proyek ini harus berhasil karena ia telah menghabiskan banyak usaha untuk itu. Proyek ini awalnya bagian dari tugas akhirnya sebelum kelulusan namun tidak menyangka bahwasanya Prof. Wilson akan benar-benar tertarik untuk membawanya agar mempresentasikannya kepada rekan-rekannya di Italia. Awalnya Ethel tidak terlalu tertarik akan hal itu namun Pak tua itu bersikeras dan menganggunya sepanjang hari yang membuat keseharian Ethel menjelang persiapan wisudanya tertunda banyak hal. Ethel menjadi lelah dan menyetujuinya tanpa daya.
Sementara itu, ia awalnya tidak terlalu tertarik pada jurusannya ini. Ia lebih suka berkeliling dunia mengeksplorasi semua jenis coklat dan hidangan pembuka manis lainnya lalu ia akan membuka cafe dan toko makanan manis. Suatu kebetulan –jika tidak disebut kecelakaan- ia pernah menghadiri beberapa pameran dan mulai tertarik kepada sketsa-sketsa desain yang rumit dan unik. Setelah itu ia mencoba untuk memulai dan ternyata ia mempunyai bakat untuk itu. Syukurlah ia mempunyai beberapa kemampuan untuk mendapatkan jurusan itu di universitas yang ia inginkan.
Lalu setelah memasuki dunia kampus, ia harus memulai dari awal. Ia benar-benar mempelajarinya dari nol dan fokus sepenuhnya untuk itu. Ia bahkan memasuki klub yang pendaftaran anggotanya sangat rumit dan susah dimasuki agar supaya ia bisa mengembangkan kemampuannya dan semoga saja juga menghasilkan beberapa proyek kecil. Hasilnya, ia menjadi semakin suram dan penyendiri. Hampir setengah waktunya setiap hari ia habiskan di ruangan sempit baik di ruang belajarnya atau klub untuk terus mendesain. Layaknya madman, beberapa orang bahkan melihatnya dengan tatapan aneh.
Akibatnya adalah Ethellia kita tidak membuat kemajuan sepersen pun dalam kehidupan romansa kampus. Yang pada akhirnya saat dipikirkan kembali olehnya hanya membuat Ethellia jengkel sampai mati. Tentu saja bukan karena itu saja, klub yang ia masuki dengan susah payah ternyata diisi oleh orang-orang yang keseluruhannya super good-looking. Jadi setiap pertemuan, pemandangan Ethellia selalu seperti merchusuar karena terlalu berbeda. Akhirnya Ethellia menjadi mati rasa dan semakin tidak peduli.
Belum lagi bayang-bayang cinta pertama masih melekat di benaknya.
Suatu keajaiban memang, ia tidak menjadi benar-benar gila.
“Eth, kamu benar-benar baik-baik saja kan?”
Ethellia mengangkat sebelah alisnya sebelum mengeluarkan tawa kecil. Seperti biasa, Emma, wanita sensitif ini, masih belum puas sebelum ia mengkonfirmasi kecurigaannya. Padahal jika dipikirkan, ia sudah kembali ke kepribadiannya sehari-hari. Tidak tahu, mengapa Emma begitu kekeuh untuk perubahan sesaat tadi.
“Ya.. Tenang saja, Em, aku tidak akan merusak apa yang telah kita rencanakan.”
Emma menggigit bibirnya saat menahan malu. “Bukan itu yang kumaksud, hanya saja..”
Ethellia meletakkan tangan di pundak Emma. “Benar-benar tidak ada yang terjadi. Kamu tahu aku telah hampir tidak tidur selama dua hari kemarin. Mungkin otakku belum sepenuhnya me-refresh-kan diri. Jadi, jangan terlalu khawatir.”
Akhirnya, Emma menyerah dan menganggukkan kepala. Kali ini, matanya tidak lagi menatap Ethellia dengan segala macam spekulasi.
Etheliia berkeringat dingin. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya mengajak Emma adalah langkah yang benar. Jika kejadian ini berulang lagi, bukankah setiap hari ia harus menahan penderitaan dari menghadapi segala macam spekulasi dan pertanyaan Emma yang sesungguhnya Emma sendiri tidak lihai menyembunyikannya yang semakin membuat Ethel frustasi karena tidak bisa berpura-pura tidak tahu.
●●
ns 15.158.61.23da2