"Uughh!" seorang pemuda tersungkur lemas terlentang. Ia menyeringai kesakitan dengan mulutnya yang sudah dipenuhi darah.
Kepalan tangan pejal yang barusan memukul wajahnya masih sama posisinya.
"OOOOHH! ITU PASTI SAKIT SEKALI!" pekik seorang komentator di tengah seruan penonton. Suaranya menggema ke seluruh arena.
"Rahangku rasanya bergeser, padahal bukan aku yang dipukul, haha," sahut komentator yang lain. "Pertandingan baru sepuluh menit tapi dua orang sudah lumpuh, pemirsa!"
Dua orang lainnya berlari ke arah si pemuda yang barusan dipukul tadi. Mereka mengenakan seragam tempur tim yang sama, berwarna hitam terbuat dari serat karbon berteknologi tinggi dengan beberapa pola garis menyala biru. Memakai kacamata cyber warna hitam yang menutupi seluruh mata, alis dan pelipisnya. Sementara pria yang barusan melayangkan bogem mentah pada rekan mereka mengenakan seragam yang sama, tetapi garis bajunya menyala merah.
Ia adalah tim lawan.
"Wah wah! Bagaimana ini John?! Personel yang lain bukannya fokus pada poin malah melindungi kaptennya!"
"Sepertinya Tim Shadow mengalami krisis setelah kipernya harus diangkut oleh medic drone. Ya jelaslah mereka harus melindungi kaptennya. Kalau satu orang lagi diangkut oleh medic drone, mereka kalah!"
"Iya! Tapi lihat itu! Dua personel Tim Garuda santai sekali merebut orb dari altar! Tak ada Keeper, tak ada siapapun! Tim Shadow sudah tak peduli lagi dengan altar mereka! Aaa! Kacau sekali bung!"
Kedua personel Tim Shadow mulai melancarkan serangannya berganti-gantian bahkan bersamaan untuk melumpuhkan personel tim lawan yang sudah memukul kapten mereka. Bertubi-tubi serangan dilancarkan, pukulan dan tendangan dilemparkan, tetapi berhasil dihindari dan ditangkis. Satu personel lagi dari Tim Shadow berlari mencoba ikut menghajar orang yang sama.
"Tiga lawan satu! Tiga lawan satu! Ini bukan pertandingan lagi Peter! Ini balas dendam anggota Tim Shadow pada kapten Tim Garuda! Skor saat ini 12-50!" suasana di arena semakin panas.
"Kalau mereka bisa melumpuhkan kapten lawan, Tim Shadow bisa saja memutar balik keadaan ini!"
Sebuah serangan aerokinesis meluncur dari tinjuan gadis Tim Shadow. Seperti sebuah bola kanon dengan kekuatan dorongan setara serudukan dua puluh banteng. Pemuda yang jadi bulan-bulanan di arena itu menyadarinya. Ia langsung melakukan hyper jump menghindari serangan yang mematikan, seolah dia bisa membaca gerakan angin yang transparan di dalam arena. Ia sudah melayang ke atas dan memundurkan tubuhnya dari mereka bertiga. Serangan yang meleset itu mengenai dinding konkrit arena dan menghasilkan dentuman keras.
"WAH! Dia selamat dari pukulan angin Tim Shadow! Belum pernah ada yang berhasil selamat, apalagi menghindar! Apakah ini akan jadi titik balik dari pertandingan?! Kapten Tim Garuda sudah terpojokkan dan sisa pertandingan masih sepuluh menit lagi!" serbuan komentar John membuat penonton di arena semakin riuh.
Sesaat ketika kaki kapten Tim Garuda menginjak tanah, ternyata seorang personel Tim Shadow sudah melakukan hyper jump ke arahnya dan melakukan ancang-ancang pukulan angin saat ia mengapung di udara. Pemuda yang terdesak itu menyilangkan tangannya berharap bisa menahan serangan mematikan itu.
"AAAAHH! OHHH! APA ITU! WAAA!"
"GILA GILA GILA! AAAAHH! INI ... !"
Tiba-tiba sebuah tendangan secepat kilat dilancarkan oleh anggota Tim Garuda yang lainnya. Dari arah kanan entah datang kapan dan bagaimana. Tendangan itu sukses mendarat di rusuk kanan personel Tim Shadow dan menggagalkan pukulan anginnya. Sesaat setelah personel itu tersungkur, penonton bersorak.
Medic drone yang dari tadi terbang di atas arena kini mengerumuni pemuda yang sudah tak bergerak itu. Drone-drone itu membungkus tubuhnya dengan serat abu-abu seperti kepompong dan mengangkutnya pergi dari arena.
Suara peluit terdengar sangat kencang mengakhiri pertandingan.
"Dan pemenangnya adalah Tim Garuda!" penonton yang mayoritas pendukung Tim Garuda bersorak-sorak puas. "Dengan perolehan skor 55-12 dan berhasil menumbangkan dua anggota tim lawan!!"
Layar besar dalam ruangan sudah berganti dengan reka adegan tendangan terakhir penentu kemenangan barusan. Kamera memperbesar gambar perkenaan tendangan dengan rusuk personel Tim Shadow.
"Kupikir tadinya Tim Garuda menggunakan aerokinesis pada tendangannya. Ternyata dia memanfaatkan gaya dorong sepatu hyper jump untuk menyingkirkan Tim Shadow! Cerdik sekali dia. Melindungi kaptennya sekaligus memenangkan pertandingan."
Kini layar itu menampilkan wajah kedua komentator yang mengenakan jas putih.
"Pertandingan barusan hanya satu ronde dan telak dimenangkan oleh Tim Garuda. Menurutmu kenapa Peter?"
"Kalau kau lihat histori pertandingan, Tim Garuda memang kuat dan punya koordinasi tim yang baik. Yang perlu diwaspadai itu kaptennya. Dia dapat julukan 'Banteng Asia Tenggara' bukan asal-asalan. Tim Garuda juara umum tahun lalu, dan kaptennya MVP! Makanya aku bisa paham kenapa Tim Shadow mati-matian incar kaptennya. Kalau kaptennya sudah tumbang, pertandingan jadi lebih gampang. Tapi aku salut sama kapten Tim Shadow, dia punya nyali buat satu lawan satu sama banteng. Hahaha" (MVP : Most Valuable Player, Pemain Paling Berharga)
"Hei hei ... sepertinya kau terlalu menyanjung satu pihak. Kau habis berapa duit untuk bertaruh di turnamen ini?"
"Hahaha! Ketahuan ya ... Aku vote Tim Garuda dengan setengah gajiku, jadi aku senang kalau mereka menang! Easy money! Hahahaha!" mereka berdua tertawa kencang. "Tapi yang aku bilang barusan tak berlebihan. Memang itu yang terjadi di arena, kan?"
"Haha ... baiklah. Pemirsa di stadion maupun di rumah, jangan lupa juga untuk melakukan voting dan bertaruhlah untuk jawara favorit kalian! Cuma setahun sekali kita bisa berjudi ramai-ramai seperti ini! Setelah ini akan ada-."
"Stop," seketika seluruh adegan rekaman pertandingan di layar terhenti.
Seorang pemuda duduk di sebuah sofa panjang berwarna hitam. Itu adalah rekaman pertandingan kelima yang ia tonton hari ini. Kini ia menyapu smart band yang ia kenakan di tangan kirinya. Sebuah gelang metal lentur berteknologi tinggi untuk berkomunikasi. Sudah sepuluh kali ia mencoba melakukan sebuah panggilan, tapi tak ada jawaban.
'Beredar Rekaman Ledakan Distrik Damaskus!'
'Kepala Distrik Damaskus Memperketat Keamanan.'
'Inilah Pernyataan Resmi Kepolisian Distrik Damaskus.'
Beberapa pemberitahuan dari portal berita beserta thumbnail-nya muncul bergantian di proyeksi hologram yang mengapung di atas smart band-nya. Sudah dari kemarin beritanya itu lagi itu lagi. Sedang jadi berita panas. Pemuda itu mematikan smart band-nya. Ia kembali menengadah menatap ke layar besar di ruang tengahnya.
Ia mengusap di awang-awang, layar besar itu merespon dengan sensor gerak. Menu-menu bermunculan, lalu rekaman pertandingan yang lain dimainkan.
"Selamat datang di Seleksi Turnamen Global Ziel Vechter Tahun 4320!"
***
Universitas Andromeda, Distrik Metro. Rabu, 5 Januari 4321. Pukul 08.31. Tertulis di pojok kanan atas 'meja pintar' atau smart table di dalam ruang kelas. Sebuah meja canggih layaknya sebuah komputer. Meja itu berwarna perak bersih, atau bisa berwarna hitam dan lain-lain sesuai dengan selera, permukaannya halus.
Di atasnya terdapat sebuah layar bening berukuran 15,6 inci, berdiri dengan sebuah kaki. Jika dioperasikan, baik meja maupun layar bening itu akan berpendar menunjukkan angka dan huruf, menu, gambar, dan data-data yang lainnya. Kemampuan smart table itu tidak seperti tablet biasa yang bisa dibawa-bawa. Prosesornya lebih cepat memproses, bisa menyimpan data hingga ribuan terabyte.
Gadis itu melipat tangannya yang terbalut kain blazer warna biru tua. Tumit kanannya terus naik turun dengan gugup. Meskipun begitu ia tak mau hentakannya terdengar oleh seisi ruangan atau lututnya tiba-tiba mengenai bagian bawah meja.
Ia menengadahkan lengan kirinya. Ia memandangi smart band yang membungkus pergelangan tangan kirinya. Ia takut-takut sambil matanya melirik ke arah depan, dimana Profesor Yamada sedang menjelaskan materi ekonomi dasar. Takut kalau-kalau Profesor Yamada tiba-tiba melakukan kontak mata kepadanya. Sebuah garis merah muncul berpendar, bersamaan dengan sebuah teks pada smart band-itu.
Lima panggilan tak terjawab dari Aleksei.
Jarang-jarang gadis bernama Lin Meiga menerima panggilan sepagi ini dari pemuda itu. Jika hanya basa-basi untuk mengucapkan selamat atas lolos menjadi mahasiswa Universitas Andromeda ya tidak akan terus-terusan menghubungi seperti itu. Lagipula Aleksei pasti paham dia sedang ada kelas pagi.
Ini minggu pertama perkuliahan, Lin tidak mau kalau ia ditegur dosen hanya karena teralihkan perhatiannya pada smart band. Ia hanya bisa menunggu hingga kelas berakhir jam sepuluh nanti.
***
"Baiklah sampai disini dulu, kita akan bertemu lagi minggu depan," Profesor Yamada kini mengusap-usap smart table khusus dosen di depan. Ia mengambil nano plate dari baja isenium -baja tembus pandang- berisi bahan ajar yang dari tadi ia letakkan di atas meja pintar itu. Pria berumur empat puluh lima tahun itu sudah berjalan tergesa meninggalkan ruang kelas, membuat jas putihnya berkibar sedikit.
Lin menghela nafas, ia menyenderkan punggungnya di kursi. Terasa lama sekali sepertinya, mungkin karena ia juga ingin cepat-cepat selesai. Jari manisnya kembali mengetuk smart band-nya. Delapan belas panggilan tak terjawab dari Aleksei. Beberapa mahasiswa lain keluar dari kelas, yang lainnya sudah lenyap, mematikan proyeksi hologramnya karena mereka melakukan kelas jarak jauh.
"Hai, namamu siapa?" Lin tersentak.
Matanya kini bertatap dengan sosok di depannya. Seorang gadis lain yang duduk tepat di depan Lin kini sudah memutar badan menghadap ke arahnya. Rambut gadis itu merah dan sangat ikal, panjang sepinggang. Ada sedikit bintik-bintik samar di pipi tepat di bawah matanya. Wajahnya terlihat bersemangat.
Raut wajah Lin agak bingung, berusaha merespon pertanyaan barusan.
"Ah ... Aku Lin, Lin Meiga," itu gadis pertama yang mungkin akan menjadi temannya selama di Universitas Andromeda pikirnya.
"Aku Anna, Anna Travers. Salam kenal ya Lin!" Anna menawarkan jabat tangan pada Lin. Ia pun membalas jabatan tangan putih gadis itu. Anna mengernyitkan dahinya.
"Kau bukan dari Distrik Metro ya?" Terkanya sesaat ketika mendengar aksen Lin yang tak familiar. Lin menggeleng pelan sambil tersenyum singkat sembari melepas jabat tangan mereka.
"Aku dari Distrik Beirut, baru semingguan tinggal di asrama. Kau asli sini?"
"Ya tidak sih. Orang tuaku dari distrik luar, tapi dari sekolah dasar aku sudah pindah kemari. Kapan-kapan kalau kau senggang kita jalan-jalan yuk, bagaimana?" Anna melihat ke arah luar jendela kelas. Terlihat kumpulan gedung kaca untuk pertanian vertikal. Selain itu juga berbagai bangunan-bangunan berbentuk seperti pohon baobab.
"Banyak sekali hal seru di Distrik Metro."
"Boleh. Salam kenal ya Anna," jawabnya sopan.
"Eh, kau suka musik? Grup band? Atau boyband?" sergah Anna dengan wajah berbinar.
"Aku biasa saja sih. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak. Aku suka sekali sama boyband. Sekarang yang sedang naik daun itu Bridge Boys. Coba browsing di cloud saja. Lagunya bagus-bagus."
Anna menunjukkan pin berwarna hitam dengan logo bertuliskan 'BB' berwarna putih. Inisial dari Bridge Boys. Pin itu tersemat tepat di kerah blazer biru tuanya.
"Tadinya aku pikir kau suka boyband juga. Habisnya tampangmu terlihat seperti cewek-cewek yang suka sama boyband, hahaha."
"Nanti aku cari tahu deh. Aku baru pertama dengar sih."
Pikirannya terus ke panggilan tak terjawab dari Aleksei. Ia ingin segera menyudahi basa-basi ini, tapi merasa tidak enak pada Anna. Mata Lin berganti-gantian menatap pintu keluar dan smart band-nya dengan gugup.
"Sudah dua tahun lebih debut, tapi memang di Distrik Metro lumayan terkenal. Mereka juga ada-"
"Anna maaf," potongnya. Gadis berambut merah itu terdiam. " ... aku harus menelepon dulu. Maaf ya, aku pergi dulu, nanti kita ngobrol lagi."
Lin menangkupkan kedua tangannya dan sedikit membungkuk sesudah memotong cerita asik Anna soal Bridge Boys. Setelah melempar senyum tidak enak pada Anna, dia berjalan cepat-cepat.
Anna memandangi gadis itu beranjak dan jalan tergesa dengan menenteng tas slempang hitam mininya keluar kelas. Ia tak sempat berkata yang lain-lain. Ruang kelas sudah lengang. Perlahan ia mengangkat smart band di tangan kirinya, mengusapnya singkat melakukan panggilan dengan seseorang.
Sebuah proyeksi hologram muncul, memperlihatkan wajah seorang pria yang hampir mirip dengannya, dengan rambut pendek rapi berwarna merah yang sama.
"Apa?" ketus pemuda itu.
"Aku dapat target baru," ucapnya sambil tersenyum girang.
"Kau sampai telepon aku begini, pekerjaanku jadi tertunda. Lagi pula berapa kali musti aku bilang, kalau mau membahas soal 'itu' jangan sembarangan telpon dimana saja," ia menukas dingin perhatiannya masih tersita oleh kerjaannya, membuat gadis itu cemberut.
"Aku tahu kok! Aku cuma mau bilang saja sama Kak Fred. Kali ini targetku anak luar distrik."
"Oh?" kali ini pemuda bernama Fred itu memperhatikan wajah adiknya yang sudah berbinar.
"Anaknya juga kayaknya pendiam. Kata ayah anak pendiam paling gampang untuk diajak, kan? Aku mau dekati dia. Aku sudah perhatikan dia dari kemarin-kemarin. Semoga akhir pekan ini aku bisa bawa dia ke kakak. Anaknya cantik juga lho. Kakak pasti suka."
"Apa sih?!" Fred terlihat agak sebal.
"Kau itu cari penganut baru Daeva. Bukan cari orang untuk dijodoh-jodohkan denganku. Jangan kebanyakan streaming serial drama. Nanti kucabut langganan channel dramamu ya," ucapnya setengah mengancam.
"Eh! Kakak kok jahat sih! Jangan begitu dong! Kalau anak itu diberkati Daeva, kakak bisa menikah dengannya kan?" Fred kini tak membantah, namun wajahnya masih terlihat kesal.
"Aku kasihan sama kakak, sibuk dengan kerjaan dan cari anggota, sampai-sampai tak sempat punya kekasih."
"Kau itu apa-apaan sih!" Fred semakin kesal. "Aku tak peduli mau menikah atau tidak. Selama aku bisa membesarkan Kuil Daeva, itu sudah cukup. Kau juga Anna. Ayah sudah jadi Grand Reverend. Jadi kau jangan main-main lagi soal ini, paham?"
"Iya maaf," lirih gadis itu.
"Manusia jaman sekarang itu sudah lupa sama tuhan. Baru tahu sedikit soal sains sudah congkak. Konsep Maleikh itu absurd. Orang-orang sekarang sudah seperti binatang. Berjudi, berzina sembarangan dianggap normal. Umat manusia akan lebih baik kalau semua percaya pada Daeva. Kau mengerti kan apa yang kita hadapi?"
Anna mengangguk pelan, ekspresinya terlihat tidak nyaman. "Hah. Aku malah menceramahimu jadinya. Aku harap kau mengerti, Anna. Akhir pekan ini aku akan luangkan waktu buatmu."
"Terimakasih, Kak," seutas senyum kecil tercipta di bibirnya.
"Kau juga harus hati-hati kalau mau bahas ini ya. Demi keselamatanmu juga. Kita sudahi dulu. Sanctus omnipotens Daeva."
"Sanctus omnipotens Daeva."
ns 15.158.61.21da2