Kulitnya putih merona nan lembut kenyal berkilapan bagai gelembung sabun saat disinari lampu jalan, tangannya mendorong dua roda menghampiriku.
“Ho ho~ Kamu lama juga, rambut suram?” Bibir kecilnya licin digerakkan selalu seenaknya mengkritik. Tidak salah, karena memang semenjak empat tahun mulai bertempat di Eskdale aku tak pernah ke barber shop. Kubiarkan menelungkup kedua telingaku dan sedikit mata kiriku, rasanya keren.
“Mulut pedas anda tidak pernah hilang meski meneguk seliter air, huh?”
Alisnya terangkat, bentuk mata almond mengkilat bak boneka porselin, agak disipitkan mengandung kecurigaan mengajak mulutku bertutur sopan, LadyHonesty merasa gregetan. Gaun dan bando berjahitkan mawar merah selalu menjadi menarik perhatian. Walaupun si pirang keemasan dikuncir menyamping spiral ala bor bangsawan, ratu yang jarang ditemukan.
“Nih, mari makan!” tanganku menyodorkan sekotak Sashimi Sushi Japanese Set, makanan otentik jepang yang kubeli lumayan mahal tadi.
Sedikit uap keluar dari kresek itu, hidung Lady Honesty kembang kempis mengendus seperti kucing. Ocehannya untuk saat ini dibiarkan bungkam, Lady Honesty versi mama galak tidur diam.
“Ho ho~ Penn si anak pintar!” tangannya menepuk sekali ke samping kiri, hatinya menerima dengan senang.
Aku bergegas mendorong kursi roda dengan lembut, masuk ke klinik kecilnya yang tak begitu menarik dari luarnya. Tembok yang diwarnai coklat, dipenuhi ukiran mawar dengan tulisan tidak terlalu besar, “Honest Psycholog Treatment, by Honesty.” Dekorasinya salah pasar, bahkan kukira tempat ini kafe.
Di dalamnya berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Karpet dominan merah dan sedikit hitam, mawar merah, di lantai dan tembok. Totalitas tanpa batas, Lady Honesty memang agak berkelas. Setelah itu dibagian depan disambut meja resepsionis dua orang, pintu dua kamar praktek, tolilet dan tempat duduk tunggu sebanyak empat baris, masing – masing enam orang.
Kuberhenti tepat di depan meja resepsionis, lalu menaruh lukisan bersandar dekat vas bunga pintu depan. Kuangkat badannya, kedua tangannya disabukkan melingkari leherku. Bau parfum mawar merah tercium di hidungku, kini ku menggendong sang putri. Kuturunkan dengan nyaman tanpa merasa beban.
“Ho ho~ kamu memang bisa diandalkan,” ucapnya meringis.
“Anda baru bilang sekarang?” Tanganku melucuti kresek yang diikat, sekotak dua tumpuk dan dua botol plastik kuat hitam, kuletakkan pada meja terdekat.
Kepalanya bersandar di lengan kirinya, telunjuk kanannya menjahili pipiku, “Ho ho~ jangan begitu dong! Tidak banyak pria perhatian pada wanita malang sepertiku, kan?”
Itulah kata – kata manisnya bila dirinya merasa senang, nadanya lirih dipoles menawan. Namun saat suasana hatinya brutal, suaranya melengking bagai jam big ben yang dengan senang hati menusuk telingaku. Di saat itu, kepalaku hanya menunduk dan mematung.
Satu per satu kotak itu terbuka, keduanya sama. Sama isinya, dan sama porsinya. Perut keroncongan, cacing pita meronta. Kami sama – sama mematung dan terpana.
“Ho ho~ ho ho~ ho ho~, cepat, cepat, cepat!” kedua tangannya mengepal dihentakkan pada meja dengan ringan. Dia seperti anak – anak kelaparan dan bertemu dengan makanan favoritnya.
Lekas tanganku membuka bungkus sumpit, mencapit, memasukkan dengan penuh kehati – hatian. Mulut dan roman ekspresinya senada gembiranya.
“Satu lagi,” Kumasukkan lagi satu yang berlumuran keju bercampur wasabi kesukaannya. Pupil matanya membesar dan pipinya memerah tak dibuat – buat.
Itu sedikit mengingatkanku masa lalu. Bedanya adalah, nenek menyuapiku dengan masakan terburuknya. Senyuman bak matahari terang, sementara menampar pipiku sendiri sekeras – kerasnya agar terlihat memerah.
Setelah beberapa suapan setengahnya, “Kamu nggak makan, Penn?” ia mengambil tisu lalu membersihkan mulutnya.
“Anda dulu,” timpalku sambil masih terus menyuapinya sampai habis.
Lady Honesty, wanita menawan yang selalu mengawali ucapannya dengan “Ho ho~”, terdengar seperti karakter ojou-sama anime yang kutonton ketika suntuk di komputerku. Pertama kali kubertemu dengannya adalah saat berjalan linglung di sekitar gang – gang kecil. Saat itu aku berusaha menghafal dan mencari tempat taktis untuk membantu kebutuhan hidup.
Kata – katanya waktu itu, sungguh terpatri dalam ingatakanku. Dia bilang bahwa dirinya telah menungguku selama bertahun – tahun. Anehnya bahkan melalui Godiva Penn, nama mendiang nenek, untuk menolongku. Hingga saat ini aku masih menganggap itu abu – abu. Masalahnya terpaut umur. Bagaimana bisa orang yang sekiranya seumuran denganku, lalu nenek minta tolong padanya?
Dia menyuruhku masuk, lalu membuatkanku teh dari lemari yang saat ini kupandangi dalam – dalam. Lemari kaca, berisi banyak botol obat – obatan yang kubeli darinya. Sudah lama sekali rasanya, waktu selalu pergi tanpa berpamitan.
“Pemm! Mmmhm, mmhm pewuen!” Sesuatu seolah – olah menarik – narik pakaianku.
“Eh? Ma-maaf, maaf, nggak sengaja!” Dengan gegas sumpit di mulut nona muda ini kutarik.
Ia segera menuang teh pada gelas yang juga sebagai tutup botol hitam plastik itu. Lalu diteguknya perlahan.
“Ho ho~ Ya ampun! Kamu ini apa – apaan? Aku sudah kenyang, lagian isinya juga sudah habis!” Omelnya membuang muka sambil membersihkan mulutnya dengan tisu. “Kamu mikir apa, Penn?”
“Eh? Nggak…” Segera kubereskan kotak kosong milik Lady Honesty. “Saya cuma penasaran, kenapa nenek minta tolong? Anda kan masih muda sama sepertiku, kan?”
“Ho ho~ itu lagi?” Diseruputnya teh itu sebelum mengucap. “Begini – begini aku sudah lima puluh ribu tahun, loh? Kenapa? Kamu masih nggak percaya kalau aku penyihir?”
Memulai suapan sushi, kukunyah dengan pelan sambil berpikir mengangguk kecil. Rasanya benar juga, waktu itu kukira wanita malang sindrom chuunibyou (sindrom anak umur delapan tahun), kelakuannya menirukan karakter fiksi dengan bangga.
“Ho ho~ kamu akhirnya mengaku?” Ia menyeringai tampak salah menilai anggukanku.
“Enggak, saya kira anda terkena sindrom delapan tahun.”
Dengan gegas, rambutku yang dipanggilnya suram ditariknya dengan sebal, “Ho ho~ lancang kamu Penn.”
“A-ad-aduh-duh, ampun! Saya cuma membenarkan presepsi!” spontan menaruh kotak agar tidak tumpah.
Akhirnya dia mau melepaskan jambakan itu, “Ho ho~ ya sudah. Kamu ke sini ambil obat?”
Mataku melirik dengan sulit, isyarat kepala mengangguk. Pandanganku masih belum lepas dengan nikmatnya makanan favoritku.
Tanpa sepengetahuanku, Lady Honesty telah duduk di kursi roda menuju lemari kaca yang tadinya kupandangi dalam – dalam. Ia hendak meraih botol di rak yang paling tinggi. Kursi roda bukanlah pijakan yang stabil kalau kondisi berdiri.
Keadaannya itu sontak membuatku khawatir dan melempar urusanku sejenak.
Langkahku bergegas memegangi pinggangnya lalu kuangkat pelan.
“Blumueiy! Upu susuhnyu nunggu suyu mukun?” Mulut bak penuh makanan terpaksa diangkat sedikit paksaan.
Dia tersenyum puas, lalu segera mengambil obat yang diperlukan, “Ho ho~ sudah kuduga kamu memang bisa diandalkan!” nadanya terdengar memenangkan sesuatu.
Segera kuturunkan, lalu aku bisa melanjutkan makan.
Lady Honesty, psikiater muda, cantik rupawan, agak kekanak – kanakan. Mungkin hampir keterlaluan? Tapi aku selalu membiarkannya mengambil kesempatan.
Sejujurnya aku terkesima wajahnya yang mirip boneka, seolah – olah kupu – kupu terjerat pada jaring laba – laba. Sebulan sekali ambil obat, tapi setiap hari konsultasi bahkan gratis. Sebagai gantinya, aku mengurus kebutuhan hidupnya, seperti bersih – bersih, asisten harian.
Maksudku tidak mudah membiarkan penyandang disabilitas. Ngesot mengepel seharian bahkan tidak sampai setengahnya, nafasnya tersengal – sengal. Atau bolak – balik meraih lemari, memijak pada tumpuan roda punya potensi terjatuh fatal. Lebih buruknya ia tak punya dapur. Wanita tinggal sendirian di blok hitam pekat tak terukur, Lady Honesty adalah berlian dalam lumpur.
Empat tahun berturut – turut, simbiosis mutualisme berjalan. Bila pertanyaan dilontarkan, apakah kami tidak lebih baik saja menikah? Well, sayangnya pernah tinggal seatap serumah. Sekali dan tidak akan terulang lagi. Aku tidak mau predikat babu melekat terlalu lama. Manjanya bukan main, satu – satunya tiada yang lain.
Hangatnya teh melegakan kerongkongan, hidangan tadi memang memanjakan lidah. Waktuku terbatas kurang berkenan, aku segera menghadap ratu cendekiawan pembuat ulah.
“Anda perlu jasa kebersihan sebelum sesi konsultasi?” tanyaku mengambil santai menyandar di kursi empuk.
Kepala emas rambut bor sebelah itu menolak, “Ho ho~ enggak perlu, Penn. Hari ini sangat spesial. Bukan karena ikan mahal itu, tapi karena hari ini harinya. Tapi…” Ia melipat kedua tangan untuk dijadikan sandaran dagunya. Sementara kepalanya tertunduk agak serius.
“Sampai pada konsultasi ke-1460, berapa banyak orang yang paling berharga dalam benakmu?”
Pertanyaan monoton yang sering dilontarkannya.
“Itu lagi, kah? Apa pentingnya?”
Matanya melirik tajam ke kanan, “Ho ho~ sudahlah! Rincinya hanya diriku yang tahu menahu. Mortal sepertimu hanyalah benalu.”
Well, itu agak kasar tapi, “Ya, ya. Sejauh ini tinggal dua. Anda dan Nona Chernyy,” jawabku.
“Ho ho~ Russian white itu?” angguk kecilnya membuatku sedikit resah.
Tangannya membuka laci mengambil sesuatu, “Makin kecil ya, Penn?
“Uh huh, begitulah,” kataku menelan ludah.
Satu per satu dari empat laci meja itu dibukanya, “Kali ini aku… yang telah berjanji membantu permasalahanmu pada Godiva, pasti memberimu jalan keluar.” Sebatang pena dan buku yang biasa ia gunakan mencatat. Namun tangannya masih menjelajah di laci ketiga dan keempat dari bawah.
Sejauh ini kata – katanya masih repetitif. Walau suasana canggung ini tak berselang lama setelah ditaruhnya benda berdentum berbentuk trapesium di sebelah botol obatku yang diambilnya tadi.
“Ahohoho~ ceritakan penyesalanmu pada metronome ini, Penn.”
“Itu lagi? Dari awal?” Sempat harapanku tinggi sejak benda itu dipamerkannya pertama kali.
“Semuanya… yang membuatmu resah. Biarkan Lady Honesty yang anggun ini mendengarnya, Penn…” Tangannya digerakkan seperti berpidato pada bawahannya, nada melengking meriah sesaat lalu melembut. “Boleh, kan?”
Lagi – lagi gaya sindromnya itu tidak ada perubahan. Mataku mulai tidak menarik memandang sebelah kiriku penuh kebosanan.
Kubuang pandanganku sejenak, aku ingin cari angin sebentar. Anehnya, pintu kaca klinik ini seperti dilem erat, bahkan pintu – pintu dan rak almari ditarik tak gentar. Bola mataku membesar penuh pertanyaan seluas – luasnya isi luar yang hampa tak bergambar.
“Loh i-ini dimana?” Aku berlutut mencari – cari pijakan paving tak kunjung ketemu.
Suara dorongan kursi roda terdengar mendekat. Sedekat bibir itu menyentuh mesar telingaku dengan suara samar , “Ho ho~ kamu kaget?”
ns 15.158.61.54da2