Kini semua kembali hitam pekat…
Seakan adegan ini tidak berhenti dan memutar yang lain…
Aku melihat pada klise itu, diriku empat tahun lalu sejak berpijak pertama kalinya di Eskdale Lodge. Tn. Preacher yang botak dikelilingi sebagian uban, pria tua yang hidup sendirian itu memberiku informasi terkait apa yang dilakukan dan tidak.
Roman mukanya yang tidak terlalu antusias menerimaku, mengatakan bahwa agar bertanggung jawab atas kebersihan kamar. Aku bisa mengerti, karena ia datang kemari tidak hanya mengantarku, tapi dengan tongkat pel bergegas menuju lantai di atasnya.
Tempat suram untuk orang yang suram pula.
.
Kilas balik itu kemudian dipercepat lagi…
.
Pertama kalinya bertemu gadis pendek pipi hamster, dengan ceroboh menabrakku. Kamar miliknya terpaut dua jarak dengan kamarku. Selalu setiap pagi, suara langkah kaki berlari di koridor.
Nona Fio, perangainya ramah dan selalu saja meminta maaf bahkan di situasi yang tidak perlu. Pengaplikasian budaya sungkan yang agak berlebihan. Aku ingat saat pertama kali kaca matanya terpental dari lantai tiga saat kejadian itu. Merasa bersalah, dia menangis tidak hanya minta maaf padaku, tapi juga menyesal atas kacamata sepuluh tahunnya telah pecah.
Sebagai buruh pembantu harian di umurnya yang lima tahun lebih muda dariku, ia sangat mandiri dua tahun lamanya menetap. Dirinya mengaku, dengan rela tidak mengambil kuliah demi bekerja. Masalah kacamata adalah masalah serius bagi keuangannya.
Pagi itu adalah hari libur, walau sebenarnya ia selalu mengambil jatah lembur. Namun mata adalah aset penting, jadi aku mengajaknya untuk membeli kacamata baru.
Berjalan di tengah kota, kami berdua sempat mengobrol. Sebagai dua individu yang sama – sama punya masalah, tentu kami saling bertanya.
Setelah mengajukan pensiun dini, tentu aku punya beberapa digit di rekening untuk melanjutkan hidup sekitar dua puluh tahun lagi. Dengan syarat, hidup sendiri dan tak terlalu berfoya – foya. Lagipula aku orang yang sederhana. Itulah yang kukatakan padanya saat ia bertanya dengan gugup.
Berbeda dengan Nona Fio, finansial adalah urusannya sejak lahir. Lulus SMA, dirinya hengkang dari rumah yang tak ada kata damai. Dari situlah, hidupnya dilempar ke berbagai tempat, mengadu nasib. Sebuah tekanan yang berat saat pindah ke London dari Glassgow, bahkan gaji Nona Fio tak sanggup menyewa flat.
Saking kerasnya kehidupan, pernah dilakukannya hal yang tak seharusnya dilakukan. Nona Fio, dari bibir kecilnya yang mudah tersenyum mengatakan bahwa tisu dan kapas pernah dimakannya. Katanya, terasa hambar dan teksturnya yang jauh lebih buruk daripada bubur. Agak berambut dan sedikit menggelitik bila tanpa dicelupkan air. Insting bertahan hidup yang mengesankan.
“Ho ho~ aku sebaiknya coba itu.” Suara menggema itu muncul lagi.
“Itu menggelikan.” Timpalku spontan.
Klise itu berlanjut, bahkan lebih jauh melewati bagian setelah aku membelikan kaca mata merah untuknya. Hari itu adalah dimana aku berjanji dan membuat penawaran padanya, bila butuh makan segera pencet bel kamarku.
Itu berjalan dengan baik dan kutandai seiringnya di tanggal tua…
Tidak hanya mampir makan malam, kadang juga bermain game komputerku, nonton film bersama, atau sekedar curhat. Well, tempatku dipenuhi jaringan internet berbayar dan kuat.
Di lain kesempatan ketika dirinya banyak rejeki, ia sering membawakan makan malam untuk kami.
Semakin lama, kamarku bahkan jadi tempat malas untuknya bila sedang punya masalah. Aku tidak keberatan, karena aku punya dua kamar.
Kira – kira mungkin inilah yang dirasakan orang – orang ketika punya adik perempuan. Perasaan yang rumit tidak kumengerti.
Hari demi hari…
Tiga setengah tahun aku hampir merasa terlupakan dari masa lalu…
Dengan yang kuanggap keluarga baru…
Seerat – eratnya hubungan, sedekat – dekatnya kebersamaan, setulus hati membayangkan…
Manusia tidak akan pernah mengerti isi perasaan…
.
Karena kami bertukar nomor ponsel, hari itu aku mendapat kabar. Sebuah panggilan telepon di tengah malam, bukanlah hal yang menyenangkan. Berkesan mendadak, suara yang menyambutku terdengar formal. Bahkan aku yang menyaksikan diriku dari kejauhan, masih menggigit gigiku sendiri.
.
“Saudara Fio sedang gawat, kami akan menginterogasi anda.”
.
Kilas balik berganti…
Suara sirine mobil berhenti tepat di depan apartemen. Semua orang khawatir lalu satu per satu keluar. Hanya aku dan Tn. Preacher yang diberitahu.
.
Nona Fio, mencederai tangannya sendiri. Sebuah pisau dapur ditemukan di dekat tub kamar mandi. Yang paling mengejutkannya lagi…
.
Dirinya setengah busana, kata mereka.
.
Polisi berjanji akan memberi kabar pada kami, saat ini korban belum bisa dipastikan api kehidupannya, terbaring telentang di ruangan kaca bertuliskan UGD. Situasi yang plinplan dikatakan dengan gamblang.
.
Sejak saat itu, tempatku rasanya sepi bila dibandingkan sebelumnya. Hanya saja ketika aku lebih cepat menyadari…
Sebuah kata yang eksplisit yang kuingat saat pertama kali berkenalan dengan Nona Fio, adalah dirinya buruh pembantu wanita yang muda…
Bila ada pembantu pasti ada majikan…
Bodohnya aku meski tiap harinya berita televisi kusaksikan…
Beragam korban pemerkosaan…
“Sialan!” Tanganku mengepal meninju – ninju tanpa ada objeknya. Aku terlalu memikirkan diri sendiri. Padahal kukira sedikit saja perkataan, bisa jadi merubah keadaan.
Kondisinya gawat, namun status pelaku masih dalam penyelidikan. Otomatis, aku, yang bukan keluarga secara sah, termasuk orang asing. Artinya, sekeras apapun berusaha, atau sejelek – jeleknya wajah ini merengek, mereka tetap tak akan mengizinkan siapapun menjenguk.
Sampai detik ini…
Penyesalan itu berakumulasi…
Darahku mendidih berapi – api…
Mirip arang bahan bakar kereta api…
Spekulasi yang tak pernah punya ujung solusi…
Bukan hanya pundak, seluruh ragaku bagai ditekan mesin hidrolik, mesin yang untuk meremukan barang jadi yang tak terpakai, menjadi inti serpihan untuk bahan daur ulang.
Bisikan itu seolah – olah mengulang – ulang kilas balik itu dengan gambaran mirip jawaban. Menelisik memasuki semua sela – sela pengimajinasian. Selalu diawali “Bila aku begini, kejadian itu tidak diperlukan.”
Tekanannya semakin diperkecil intervalnya…
Bisikkan itu semakin banyak, imajinasi semakin bercabang…
Hingga…
Semua itu terasa seperti suara ngiiiiiiiing…
“Tolong, hentikan?” Mataku terpejam menderita, nadaku letih bak menurunkan bendera menyerah.
Kedua tanganku menelungkup memprioritaskan daun telinga. Bahkan mengigil walau tanpa demam. Urat leherku berdenyut bukan karena marah atau sedih, hanya frustasi tanpa arah.
.
Seperti kura – kura yang bersembunyi di balik cangkang tahan medan…
.
.
Aku ketakutan.
.
.
Sesaat rasanya ada salah satu tanganku yang tersentuh. Sentuhan itu lama – lama terasa seperti guncangan kecil.
“Penn! Penn!” Suara lirih melengking yang familiar diiringi guncangan yang semakin kuat.
Kura – kura itu perlahan menampakkan kepalanya, aku sedikit demi sedikit melepas tanganku dan menoleh ke samping.
.
“Lady Honesty?”
Kedua mataku dibuka perlahan, tampak ruang konsultasi, lantai dan tembok beralaskan karpet tebal, namun metronome itu tampak roboh berceceran.
Badanku spontan beranjak dari sandaran, pemandangan luar pintu kaca memanggil – manggil kedua mata cukup heran. Rasa tentram saat alas paving itu ada, atau sekedar beberapa orang berjalan.
Jeruji roda yang diputar terdengar mendekat, “Aku nggak menyangka harus menghentikan itu di tengah jalan.”
Nafasku kian membaik, sesaat aku meliriknya tanpa kata – kata.
“Ini sama sekali nggak bagus, Penn,”
“Saya tahu penyakitnya makin parah dan ini nggak bisa diobati,” balasku.
“Nggak bukan itu.” Lady Honesty membuatku menoleh dan menatapnya dalam – dalam.
“Terus terang, kamu ini sehat dan tidak ada yang perlu diobati.” Ia berbalik arah lalu memutar roda itu kembali duduk. Seperti biasanya, ditulisnya sebuah catatan dari buku kecil yang diambil di laci pertama dekat tempatku duduk tadi.
“Kamu hanya menciptakan peluang untuk menyalahkan dirimu sendiri walaupun secara jelas, itu bukan salahmu juga tanggung jawabmu.”
“Well, saya-“
Lady Honesty menyela seolah tak memberiku kesempatan beralasan.
“Nggak ada artinya jawaban yang berlalu, lalu untuk apa menyesal dan terus bertanya? Masa lalu dan penyesalan, seperti yatim piatu yang butuh rumah. Mereka mengetuk pintu kapanpun dengan ramah.”
Ia menyobek kertas yang ia tulis lalu menyodorkan padaku, “Masalahnya, apa kamu menerima mereka?”
Itulah kata – kata terakhir Lady Honesty padaku dengan perangai agak gelisah.
ns 15.158.11.151da2