Blok gang perempatan tiga sampai enam, adalah salah satu lubang gemerlap kota ini. Seluas pandangan menyapa, orang terlihat bahagia. Menari – nari, mengepul asap rokok berangkulan, ditemani instrumen disko kecil dan botol – botol insomnia. Bahkan tidak sekali pemuda kurus kerontang tampak belum sarapan, membagi – bagikan serbuk putih mirip bumbu dengan gratis. Katanya, itu adalah tiket bebas nikmat tanpa habis.
Ada juga seseorang yang secara penampilan bukan dokter, bukan juga perawat, menjarum tangan temannya dengan penuh ego. Berjejer mengantri, kadang juga main tangan demi menggelora. Mereka pencari keringanan, bila sesuatu di pundak terlalu berat.
Maju sedikit, blok lima condongnya orang banyak bersedih. Aku ingat sekali, tempat itu sama sekali tidak berubah. Setelah melewati perempatan ke lima atau masuk ke blok lima.
Wanita – wanita mengantri di kanan kiri, bak wajah berkecukupan dengan syal mirip bulu hewan dan pakaian glamour, sampai yang menangis tersedu – sedu serak dalam pita suaranya. Yang mengatur antrian, mirip bidan, kadang membuat pelanggan sedikit baikan. Atau menolak mentah – mentah, perlakuan tanpa ramah, bila orang banyak cakap sementara nota tak bisa dijamah.
Kadang aku berhenti sesaat, sekedar memberi tisu. Bukannya perhatian, aku hanya merasa itu menangis yang tidak perlu. Sesedih apapun tetap tidak menghapus dosa lalu.
Sedangkan menginjak blok enam, ini kebalikan dari sebelumnya. Dari pada bunga kisut menatap malu, kini bunganya tampak indah percaya diri. Mereka dengan eloknya sekedar merangkul, menarik ke suatu distrik pub terdekat. Atau bagi pria gemuk berdompet tebal yang sakunya sering digerayangi bagi kupu – kupu malam.
Sebuah pengalaman tolol terpatri di otakku. Pernah sekali aku tertipu. Antara bodoh, atau mataku hanya terlalu lelah. Niatnya cari restoran jepang, well, internet selalu tidak pernah salah. Restoran jepang selalu punya setidaknya tulisan jepang, bukan? Walaupun setelah sadar, aku juga perlu tahu apa yang tertulis.
Saat itu, harapannya menghibur diri. Sesuap sushi atau sashimi, apapun itu dengan wasabi. Suasana memang jejepangan, lesehan beralaskan tatami, dan bilik – bilik. Sejenak kupikir, tempat ini hanya untuk pasutri. Dari bilik – bilik terdengar suara wanita. Bukan suara ambigu, sebatas obrolan menemani berakhirnya hari.
Tak lama dari sepuluh menit…
Pesanan datang. Mataku mematung ketitka pelayan masuk. Teringat masa lalu, instrumen drum berdentum tanpa suara, Nona Erica. Well, pesananku memang datang, sepaket olahan ikan. Masalahnya aku tidak merasa memesan kelinci. Apalagi yang dipakai kaum hawa. Karena sudah terlanjur, mau bagaimana lagi. Pesan dua set untuk satu orang lainnya.
Malas seterang – terangnya kumengakui, tapi olahan ikannya memang tidak main – main. Tertulis lisplang “Kimochigai”, lampu kuning remang – remang. Oornamen koin digantung berjejer delapan biji dan lampu lampion sebanyak enam buah adalah dekorasinya.
Tidak sampai di situ, seonggok individu yang terlibat oleh pengalaman memalukanku itu sekarang pindah di pintu depan. Bahkan selama bertahun – tahun. Terakhir katanya ia tidak terlalu berbakat di posisi sebelumnya.
Pakaian ala wanita kuil tertutup, gaun putih membawa tongkat kecil seperti jimat anti setan. Meskipun terlalu menonjol di bagian drumnya.
“Konnichiwa?” Ucapku padanya.
Menyadari suara basku yang lumayan dalam, rambut hitam legam panjang berkilau menjuntai saat kepalanya menoleh. Matanya tidak terlalu sipit untuk orang asia, bagai kilatan mutiara. Senyumnya sehangat teh yang diseduh saat hujan.
“Konbanwa!” balasnya sambil membungkuk.
Ia kemudian tertawa kecil. Mendengarnya membalas beda, itu berarti bukti bahasa jepangku tidak meningkat. Setiap kali kami bertemu, ia selalu memberiku kupon diskon.
“Tn. Penn? Lama tidak ketemu!” wajahnya bagai melompat kegirangan seperti anak kecil. Tapi memang benar, sekitar tiga bulan lamanya. “Apa yang ada di punggung anda, Tn. Penn? Lukisan lagi? Anda memang pecinta lukisan ya!”
Alisku mengangkat sama halnya dengan bahu, “Bisa kamu tebak?”
Ia memberiku kupon dan brosur.
“Diskon lagi? Kamu nggak dimarahi bosmu, Nona Azusa?” Kataku sambil menelisik isi brosur itu, yang mana yang bisa digunakan kupon.
Ia menggeleng menolak, “Enggak, enggak. semua sudah sesuai bos, kok!” tangannya menunjuk ke brosur paling depan, “Sashimi sushi japanese set saat ini hadir, loh!”
Japanese Set adalah produk yang selalu kubeli. Itu terkadang lebih mahal karena style yang mereka pakai benar – benar dari negeri bunga sakura.
Tanganku menggaruk kepala yang tak terasa gatal, sashimi sushi bukan makanan murah. Apalagi versi otentiknya. Namun, diskon itu tertulis angka yang cukup besar, lima puluh persen. Lagipula, tidak enak juga bertamu tanpa membawa sesuatu.
“Satu ya, onegai.”
“Wakarimashita!” nadanya bak semangat pagi lalu ia segera ke belakang untuk meneruskan pada kasir.
Setelah itu, kami mengobrol sedikit sambil menunggu pesananku tiba. Ia mengatakan telah banyak berkembang semenjak awalku bertemu dengannya. Posisinya dipindah sebagai kasir, karena ia tak mampu merubah sikapnya. Ia sangat anti dengan pria. Itu bisa disadari, waktu itu, tangannya bergetar meskipun wajahnya dipaksa tersenyum.
Aku tidak terlalu menggali terlalu dalam soal sensitif. Tapi katanya, setelah cukup lama diposisi kasir, ia perlu perubahan. Yaitu di bagian depan, sebagai penerima tamu, tokoh iklan.
Beberapa menit lewat, Nona Azusa ke belakang untuk mengantarkan pesananku.
“Terima kasih, Tn. Penn.” Ia membungkuk.
500 pounds melayang, fiuh, cukup fantastis.
“Ya, kamu juga-“ Sesaat telah kuterima dan bergegas pergi, kedua tangannya menghentikan pundakku.
“A-anu!” Katanya menyela dengan malu bercampur sungkan. “Ha-hari ini saya terakhir bekerja!”
“Eh?” Wajahku mengheran membayangkan yang tidak – tidak.
“Saya akan mengajar bahasa jepang di London,” jelasnya sebelum pikiranku semakin liar.
Mendengar itu, rasanya seperti minum limun di tengah gurun, segar dan melegakan. Aku memendam rasa haru, tapi sungguh sangat bersyukur. Roman muka Nona Azusa memang tidak cocok di gang kecil ini. Sedikit ingatakanku saja, dia memang pernah bilang soal biaya pendidikan sih.
“Selamat kalau begitu, Nona Azusa! Maksudku, Sensei!” Tanganku dengan sigap mengepal meraih kedua tangannya. Ia sedikit merasa malu.
Ia menjelaskan bahwa dirinya mengikuti salah satu lowongan pekerjaan program pemerintahan. Banyak sekali daerah inggris yang membutuhkan sastra jepang. Namanya terpilih untuk mengajar di London. Itu adalah keuntungan sekali seumur hidup.
Ia kemudian memberiku sepucuk nomor ponsel dan lokasi flat dekatnya mengajar.
“Westminster? Ini sih dekat banget dengan kota besar London! Ta-tapi, flatnya mahal loh!” Kataku sambil menggaruk – garuk kepala.
“Enggak masalah, karena bayarnya nol!” Jari telunjuk dan jempol kanannya dibuat melingkar huruf O.
Well, menurutku itu lompatan yang jauh dari nasibnya sekarang. Program pemerintahan memang menakjubkan.
“Anda… kalau mau bisa sesekali berkunjung?” Roman mukanya semerah buah apel.
Tubuhku serasa ditabrak dari dua arah, permintaan berat dua buah. Rasanya tidak enak menolak, tapi London bukanlah seharusnya aku berpijak. Bagi pencari hal baru, itu adalah tempat seluas – luasnya pengalaman. Tapi untuk beberapa orang, itu sedalam – dalamnya tempat mengukir penyesalan.
“Kuusahakan, Nona Azusa, terima kasih!” Kataku berpijar di tengah – tengah lalu pergi.
Seraya menjauh, senyuman hangatnya tidak luntur sedikitpun sambil melambaikan tangan. Aku sedikit merasa bersalah, kemungkinan terbesarnya ini terakhir kalinya bertemu. Pilihanku kekeh dan tidak bisa dibantah. Bahkan menyewa psikiater untuk membantu menghapus jejak masa lalu, London dan diriku. Menunjukkan betapa seriusnya masalahku.
Blok tujuh dan delapan hanyalah tempat bisnis kecil – kecilan. Bukan petang, tapi pagi hari. Beberapa diantaranya toko alat tulis, jasa cetak, atau bahkan bahan pokok hingga sayur – sayuran. Aku tidak pernah lepas belanja di sini mengingat harganya jauh lebih mendingan.
Badanku akhirnya diputar haluan belok kiri pada perempatan ke sembilan, tentunya setelah melewati blok ke delapan. Berjejer bangunan komersial tiga petak di sebelah kanan, adalah tempatnya.
Terlihat kursi roda yang tumben di malam berangin ini memandang langit.
“Lady Honesty?” Lambaian tanganku segera membuatnya menoleh.
ns 15.158.61.12da2