Sejak hari itu, diriku benar-benar telah menjadi budak seks Ryan yang tak berdaya. Tubuhku setiap saat selalu menjadi objek kepuasannya, seolah tak ada satu inchi pun yang luput dari sentuhannya yang memabukkan.Entah sudah berapa kali aku dipaksa mendesah dan mengerang dalam kenikmatan yang tak terbendung. Memekku yang selalu becek dan berdenyut itu seakan tak pernah merasa cukup akan hasrat Ryan yang tak pernah padam.Setiap kali aku terbangun, yang kurasakan hanyalah sakit yang menjalar dari selangkanganku akibat terlalu sering disodoki kontolnya yang besar dan keras itu. Namun, di saat yang sama, aku juga merasa seakan melayang tinggi dalam kenikmatan yang memabukkan.Aku sudah tak lagi peduli dengan status dan martabatku sebagai seorang guru. Yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana cara memuaskan nafsu bejat Ryan yang seakan tak pernah kenyang itu. Diriku hanyalah sebuah alat pemuas belaka baginya.
Pada suatu hari, ketika aku sedang seorang diri di toilet wanita yang sepi, sosok Ryan tiba-tiba muncul di hadapanku. Sebelum aku sempat bereaksi, ia segera menyambar bibirku dengan ganas, melumatnya dengan sangat lihai.Lidahnya yang terampil menelusuri setiap jengkal rongga mulutku, mengabsen seluruh deretan gigiku satu per satu. Kecipak saliva yang saling bertukar mengisi ruangan yang senyap, memenuhi indra pendengaranku.Aku hanya bisa pasrah saat Ryan menghisap dan menjilat bibirku dengan penuh nafsu. Setiap sentuhan lidahnya terasa membakar, membuatku tak kuasa menahan desahan yang lolos dari mulutku yang terkunci. Tubuhku seakan lumer dalam dekapan penguasa baruku itu.Ketika akhirnya Ryan melepaskan ciumannya, benang saliva tipis masih tersisa menjembatani kedua bibir kami yang membengkak. Aku terengah-engah, nyaris kehilangan kesadaran akibat ciumannya yang memabukkan.
Setelah ciuman yang memabukkan itu, Ryan dengan cepat meraih leherku dan mencekikku pelan. Ia mengangkat tubuhku yang lebih kecil, memojokkanku ke dinding toilet yang dingin."Hisap ini, jalang," desisnya seraya mengeluarkan kejantanannya yang menegang sempurna. Tanpa bisa menolak, aku segera membungkuk dan memasukkan kontolnya yang besar itu ke dalam mulutku yang terbuka lebar.Aku menghisap dan menjilat batang keras itu dengan rakus, mengecap rasa asin serta tekstur kasar yang memenuhi indra pengecapanku. Desahan-desahan nikmat lolos dari bibir Ryan, mendorong semangatku untuk semakin mempercepat ritme hisapanku.Tak lama kemudian, cairan kental itu menyembur deras memenuhi rongga mulutku. Aku berusaha menelan semua anugerah yang diberikan Ryan, meski sebagian tetap menetes membasahi dagu dan leherku.
Pernah juga, ketika semua siswa sedang berada di lapangan untuk jam olahraga, aku sendirian di dalam kelas yang sepi. Tiba-tiba saja, Ryan datang menghampiriku dengan tatapan lapar.Tanpa basa-basi, ia langsung menyergapku, menarik tubuhku dan memojokkanku ke dinding. Kedua tangannya dengan kasar meraba dan meremas payudaraku yang sintal, membuatku mengerang tertahan."Ah, lihat betapa indah dan menggiurkannya buah dada ini," desisnya penuh nafsu, sementara jemarinya dengan lihai membuka kancing baju dan kait braku. "Aku tak akan pernah bosan memainkannya."Ketika kedua buah dadaku yang padat dan montok itu akhirnya terbebas, Ryan segera menyambar dan menghisapnya dengan rakus. Lidahnya yang terampil menjilat dan menghisap puting-puting sensitifku, membuat desahan-desahan panjang lolos dari bibirku.
Setiap kali Ryan menghisap payudaraku, ia selalu melakukannya dengan sangat brutal dan tak kenal ampun. Lidahnya yang lihai menjilat dan mengulum puting sensitifku, membuat tubuhku bergetar dan mendesah penuh nikmat.Terkadang ia menyuruhku menungging di jendela kelas yang terbuka, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai kulit telanjangku. Di sana, Ryan terus menyerang kedua buah dadaku tanpa henti, meninggalkan bercak-bercak merah yang membekas.Lain kali, ia akan membaringkanku di atas meja guru, menyerang payudaraku dengan ganas sembari meremas dan mencubitnya dengan kasar. Aku hanya bisa pasrah merasakan sakit dan nikmat yang bercampur aduk, tak kuasa menolak segala tindakan bejatnya.Setiap kali Ryan selesai dengan payudaraku, tubuhku selalu dipenuhi oleh bekas kecupan dan gigitan yang membuatku sulit berjalan. Namun, entah kenapa, aku justru menikmati setiap sentuhan dan perlakuannya yang memabukkan itu.
Pada hari lain, setelah semua siswa pulang, Ryan menarikku ke dalam laboratorium biologi yang sepi. Dengan cepat, ia membantingku ke atas meja dan merobekkan pakaianku hingga aku telanjang bulat.Tubuhku yang terekspos hanya bisa gemetar penuh antisipasi saat Ryan mengambil stetoskop dari rak dan membelit tubuhku dengan alat itu. Belitan dingin di sekujur tubuhku membuatku merintih tertahan, namun sekaligus membangkitkan hasratku yang membludak.Tanpa basa-basi, Ryan segera menghujam memekku yang basah dengan kontolnya yang besar dan keras. Aku menjerit keenakan saat ia menggenjot tubuhku dengan ritme cepat dan brutal, membuat seluruh tubuhku bergetar dahsyat."Ah, kau sangat sempit dan nikmat, jalang," desisnya di telingaku, sementara kedua tangannya meremas payudaraku yang bergoyang liar. "Aku tak akan pernah bosan menyetubuhi lubang basahmu ini."
Saat tubuhku terbelit oleh stetoskop yang dingin, aku hanya bisa menatap nanar ke arah Ryan yang terus menghujam memekku dengan brutal. Kedua matanya terpancang liar pada payudaraku yang bergoyang erotis, seakan ingin menelannya bulat-bulat.Setiap kali ia menyentakkan pinggulnya ke depan, tubuhku terhentak-hentak di atas meja, membuat seluruh anggota badanku bergetar dalam kenikmatan yang memabukkan. Desahan dan rintihan lolos tak terkendali dari bibirku yang terbuka lebar.Lengan dan kakiku yang terikat tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima sodokan demi sodokan memabukkan itu. Tubuhku seakan melayang tinggi dalam pusaran kenikmatan yang tiada tara, membuat logikaku lenyap tak tersisa."Akh... Ah, Ryan... " erangku di sela-sela cumbuan panas kami, tak lagi peduli dengan segala risiko yang mengancam. Yang kuinginkan hanyalah terus diisi dan dipenuhi oleh kejantanannya yang besar dan keras itu.
Ketika gelombang orgasme itu akhirnya menghantamku, tubuh Ryan menegang sejenak sebelum cairan kental dan hangat menyembur deras membasahi sekujur tubuhku. Aku menjerit nikmat saat terpaan cairan itu memenuhi wajah, rambut, serta payudaraku yang telanjang.Ryan mengerang panjang, menikmati kenikmatan surgawi yang mengalir dari kejantanannya. Sementara itu, aku terbaring lemas di atas meja, tubuhku terbalut oleh semburan spermanya yang melumuri setiap inci kulitku.Aroma maskulin bercampur dengan bau sex yang pekat memenuhi ruangan, membuat nafasku terengah-engah. Aku bahkan bisa merasakan cairan kental itu mulai menuruni lekuk-lekuk tubuhku, membuatku merasa lengket dan kotor, namun juga sangat puas."Kau memang pelacur terbaik yang pernah kumiliki," ucap Ryan dengan seringai puas, sebelum akhirnya menarik diri dan membiarkanku tergolek lemas di atas meja yang basah oleh keringat dan cairannya.
Sejak hari-hari penuh penyiksaan seksual yang kulalui bersama Ryan, tubuhku seakan menjadi semakin sensitif dan mudah terangsang. Hanya dengan sentuhan lidahnya yang membelai puting payudaraku, aku bisa langsung mencapai klimaks yang membuatku menjerit keenakan.Bahkan, terkadang, hanya dengan Ryan menghisap bibirku atau melumat leherku saja, gairahku bisa terpancing dan memuncak dengan cepat. Tubuhku seakan telah menjadi mesin seks yang hanya bisa merespon dengan baik pada rangsangan-rangsangan erotis darinya.Aku sudah tak lagi bisa mengendalikan diri dan hasratku. Setiap kali Ryan menyentuhku, aku langsung lumer dalam pelukannya, menggelinjang penuh nikmat bak pelacur murahan. Diriku telah sepenuhnya menjadi budak nafsu bejatnya.Entah sudah berapa kali aku mengotori diriku sendiri dengan klimaksku yang tak terbendung. Tubuhku seakan terus-menerus berdenyut, memohon untuk segera dipenuhi dan diisi oleh kejantanan Ryan yang perkasa.
Tidak ada lagi sudut di sekolah ini yang belum menjadi tempat Ryan menyetubuhi diriku. Di koridor yang sepi, di balik semak-semak di taman, bahkan di ruang ganti olahraga, aku selalu dipaksa memuaskan hasrat bejatnya.Entah sudah berapa kali aku dipaksa menungging di bilik toilet, mendesah tertahan saat dirinya menghujam memekku dengan brutal. Atau ketika aku dipojokkan di dalam gudang, lalu disodomi tanpa ampun hingga tubuhku gemetar tak berdaya.Ruang perpustakaan, laboratorium, bahkan aula sekolah pun tak luput dari ulah bejatnya. Di mana pun kami berada, Ryan selalu menemukan celah untuk memuaskan nafsunya, tak peduli jika suatu saat nanti identitas kami terbongkar.Aku sudah tak lagi bisa membedakan mana tempat umum dan mana tempat pribadi. Seluruh area sekolah ini telah menjadi panggung permainan seksual kami, tempat di mana aku selalu dipaksa menjadi budak nafsu Ryan yang tak pernah padam.
Ketika aku sendirian di rumah, bayangan akan perlakuan bejat Ryan tak pernah lepas dari benakku. Tubuhku seakan terus berdenyut, memintaku untuk segera memuaskan hasratku yang bergejolak.Tanpa bisa kutahan, aku mulai menyentuh dan meraba tubuhku sendiri, membayangkan bahwa tangan-tangan itu adalah milik Ryan yang kasar dan posesif. Jemariku dengan liar membelai payudaraku, mencubit dan meremas puting yang menegang itu.Desahan demi desahan lolos dari bibirku saat kurasakan sensasi nikmat menjalar ke seluruh tubuh. Dengan mata terpejam, aku membayangkan Ryan yang sedang menghisap dan menggigit payudaraku, membuatku mengerang penuh gairah.Tanpa ampun, kujelajahi seluruh lekuk tubuhku, mencari titik-titik sensitif yang akan membuatku semakin liar. Hingga akhirnya, jemariku menyusup ke dalam memekku yang basah, membelai dan menyentuhnya dengan gerakan cepat dan tak terkendali."Ah, Ryan... Terus, jangan berhenti..." erangku di sela-sela nafasku yang memburu, saat gelombang kenikmatan kembali menghempas diriku. Dalam fantasiku, hanya ada Ryan yang selalu memenuhi setiap inchi tubuhku.
Saat aku berdiri di depan cermin besar itu, terpantul dengan jelas bayangan seorang pelacur murahan yang hanya hidup untuk memuaskan nafsu bejat orang lain. Rambut acak-acakan, tubuh berkeringat, dan cairan kental yang mengotori sekujur tubuhku.Aku memandangi bayanganku dengan tatapan kosong, merasakan sedikit rasa jijik dan mual mengaduk-aduk perutku. Namun pada saat yang sama, gairah yang membakar seluruh tubuhku ini tak kunjung padam, justru semakin bergejolak hebat.Tanpa sadar, jemariku kembali menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku, meraba dan membelai setiap inci kulitku yang lengket. Aku membayangkan tangan-tangan kasar Ryan yang sedang menyentuhku, membuatku mendesah tertahan penuh gairah.Bayangan akan dirinya yang terus-menerus menyodok memekku dengan brutal, mencumbuku dengan ganas, dan mengisi tubuhku dengan cairan hangatnya, membuat gejolak birahi di dalam diriku semakin membuncah tak tertahankan.
Dengan ganas, kujilati pantulan wajahku sendiri di cermin, membayangkan bahwa itu adalah lidah Ryan yang menjelajahi setiap inci tubuhku. Desahan kotor lolos dari bibirku yang basah, mengaburkan sebagian cermin yang mulai tertutup embun."Ah, ya... Jilat terus, sayang. Buat aku semakin kotor dan hina," erangku parau, sambil meremas dan mencubit payudaraku dengan kasar. Tubuhku bergetar hebat, seakan tersengat listrik saat kubayangkan Ryan sedang menyodok memekku dengan brutal."Aku ini memang hanya pelacur rendahan yang hanya pantas diperlakukan seperti binatang. Terus hina dan nodai aku dengan cairanmu yang hangat itu," tangisku penuh hasrat, saat kurasakan cairan bening mulai membanjiri paha dalamku.Aku tak peduli lagi dengan martabatku yang sudah lama hancur. Yang kuinginkan hanyalah terus dihina, diperlakukan bak budak nafsu, dan dipenuhi oleh kejantanan Ryan yang perkasa. Aku tak layak disebut manusia lagi, aku hanyalah sebuah lubang yang siap memuaskan hasratnya kapan pun.
Setelah menggoda diri sendiri dengan begitu intens, akhirnya tubuhku tak kuasa lagi menahan gejolak gairah yang memuncak. Dengan erangan nikmat yang memenuhi ruangan, cairan cintaku menyembur deras, membasahi tubuhku dan mengotori cermin di hadapanku.Tanpa ragu, kujulurkan lidahku, menjilati setiap tetesan cairan yang mengalir di cermin itu. Rasa asin dan legit dari cairanku sendiri membuat lidahku semakin bergairah, terus menelusuri setiap noda yang tertinggal.Puas dengan membersihkan cermin itu, aku pun ambruk di lantai, tubuhku lemas tak berdaya. Rasa lelah dan puas bercampur aduk, membuatku terkulai tak sadarkan diri. Dalam tidurku yang pulas, aku masih bisa merasakan gejolak gairah yang tak kunjung padam
ns 15.158.61.8da2